Kehamilan Minggu ketujuh, Pertahankan Diet Sehat Anda

Kehamilan Minggu ketujuh, Pertahankan Diet Sehat Anda

Kehamilan – Apa saja yang terjadi di masa-masa kehamilan minggu ketujuh Bunda? Bunda masih perlu mempertahankan diet sehat ya.

diet sehatUkuran: Di akhir pekan ini, panjangnya 0,44 sampai 0,52 inch ( 11 sampai 13 mm).

Perkembangan: Si kecil sudah mempunyai calon kaki dan tangan yang muncul seperti sirip pendek.  Bagian vital dalam kehidupan, yaitu jantung, telah menonjol dari tubuh. Dalam jantung ini telah terlihat bagian yang terdiri atas bilik kanan dan bilik kiri. Bronkus (pipa udara) primer terbentuk di paru-paru. Hemisfer otak (bagian penting yang menyusun otak) juga bertumbuh. Di dalam perutnya, usus halus berkembang dan muncul usus buntu. 

  • Bagaimana Kondisi Anda?

Anda sudah mulai merasakan pada perut Anda terjadi perubahan. Tetapi untuk menunjukkan kepada orang lain, Anda masih kesulitan karena perubahan ini hampir belum nampak. Anda masih merasakan kehamilan dengan munculnya gejala umum kehamilan seperti pucat, pusing, dan baju Anda sempit di sekitar pinggang. Jangan paksakan untuk bekerja jika kondisi anda lemah dan terasa sakit-sakit.  

  • Asupan Gizi

  1. Produk susu

Selama kehamilan, Anda harus membiasakan diri dengan produk susu karena makanan ini sangat penting bagi Anda dan janin. Di dalam susu ini terkandung kalsium yang penting bagi Anda dan janin Anda. Susu segar, keju, dan Yogurt sangat baik buat anda. Untuk produk susu rendah kalori, pilih susu dengan kandungan rendah lemak, bukan rendah protein. Hindari susu yang yang tidak dipasteurisasi.

  1. Vitamin dan Mineral ekstra 

Vitamin untuk kehamilan biasanya mengandung vitamin A, B1,B2, B3, B6, dan B12, Vitamin C, Vitamin D, dan Vitamin E. Nah vitamin ini penting untuk anda dan janin.

Suplemen Kalsium penting untuk membangun tulang dan gigi yang kuat pada bayi dan membantu menjaga tulang Anda agar tetap sehat selama kehamilan. Sebab selama hamil, Anda membutuhkan 1.200 sampai 1.500 mg kalsium per minggu. Jumlah ini terdapat dalam sekitar 3 sampai 4 gelas susu skim per hari. Selain berhubungan dengan tulang dan gigi, kalsium membantu mengendalikan tekanan darah dan mengurangi hipertensi serta resiko pre eklampsia. Jika Anda rajin minum susu, mungkin suplemen kalsium tidak perlu lagi.

Zinc bermanfaat untuk wanita yang kurus atau berat badan kurang selama kehamilan. Mineral ini diyakini membantu wanita kurus meningkatkan harapan untuk dapat melahirkan bayi dengan berat normal dan sehat. 

  • Mengenal lebih jauh 

  1. Obat bebas

Obat bebas diperuntukkan bagi orang secara umum (bukan wanita hamil). Dalam kondisi hamil penggunaannya sangat dibatasi. Kandungan yang sering terdapat dalam obat bebas adalah aspirin, kafein, paracetamol, dan fenacetin. Jenis ini tidak sembarangan dapat diminum oleh ibu hamil. Beberapa obat juga mengandung penenang dan penghilang rasa sakit yang berdampak  tidak baik bagi janin.

  1.   Jamu

Anda harus tahu asal usul jamu atau herbal dan kandungannya. Pelajari beberapa bahan alami yang tidak aman bagi janin; misalnya mahkota dewa, telur mentah atau setengah matang.. Bahan ini mungkin berkhasiat dan menyehatkan, tetapi tidak demikian untuk janin.

Banyak jamu kemasan bermerek yang mengandung paracetamol, CTM, steroid dan kafein dengan takaran yang tidak akurat. Jamu ini biasanya untuk obat kuat, masuk angin, sakit kepala, flu dan sebagainya.  Tentu saja jamu Ini tidak aman bagi bayi anda.

Tahukah Anda?

Ngidam mudah dilupakan

Banyak pendapat mengatakan bahwa ngidam bukan peristiwa metabolis atau biologis. Mereka lebih cenderung setuju bahwa ngidam merupakan peristiwa psikologis yang membuat wanita bersikeras menginginkan makanan yang dihayalkan. 

Dengan demikian, ngidam dengan mudah dilupakan atau bahkan tak akan terjadi bila wanita tidak mempercayainya. Wanita yang sehat pikirannya rasional bisa tidak ngidam sama sekali, bahkan tidak merasa terbebani dengan kehamilannya.

Agenda minggu ini :

  • Minggu ini Anda harus sudah menata kamar untuk memberi suasana yang mendukung kehamilan Anda.
  • Jika di kamar Anda tidak terdapat kamar mandi dalam, pilih kamar yang paling dekat dengan kamar mandi karena Anda akan sering buang air kecil. 
  • Bersihkan tirai jendela sesering mungkin. 
  • Jika daerah Anda banyak nyamuk, kasa pelindung nyamuk lebih baik daripada obat nyamuk (bakar, semprot atau listrik). Kasa yang terjaga kebersihannya lebih baik daripada senyawa obat nyamuk yang bersifat racun.
  • Selain lampu tidur, pasang lampu untuk penerangan dan lampu untuk penghangat ruangan.

[Yazid Subakti]

Lafal Pernikahan, Shigat Fi’il atau Lafal dalam Bentuk Kata Kerja

Lafal Pernikahan, Shigat Fi’il atau Lafal dalam Bentuk Kata Kerja

Nikah – Terkadang Bentuk fi’il dalam ijab dan qabul berupa maadhi (lampau), mudhari’ (masa sekarang) dan amr (kata perintah), dan para ahli fikih bersepakat akan sahnya akad nikah dengan menggunakan bentuk shigat fi’iI maadhi.

Mereka berselisih mengenai fi’iI maadhi dan amr

a) Akad nikah sah dengan menggunakan fi’iI maadhi: contohnya, wali perempuan berkata kepada mempelai laki-laki:

shigat fi'il“Aku nikahkan kamu dengan putriku fulanah dengan mahar sekian,

Lantas mempelai laki-laki menjawab:

shigat fi'il“Aku menerima atau aku ridha.”

Karena maksud pengucapan dengan bentuky”fI ini adalah melangsungkan akad nikah saat itu juga. Dengan demikian akad nikah sah tanpa harus bergantung kepada niat atau qarinah (indikasi) untuk menikah.

b) Adapun akad dengan menggunakan fi’il mudhaari’, seperti mempelai lelaki berkata kepada mempelai perempuan dalam majelis akad,

shigat fi'ilAku menikahimu dengan mahar senilai sekian.

Lantas si perempuan menjawab,

shigat fi'ilAku menerima atau aku ridha.

Sah akadnya menurut ulama Hanafiah dan Malikiah, jika terdapat indikasi yang menunjukkan keinginan melangsungkan akad seketika itu, bukan janii untuk masa yang akan datang. Indikasi tersebut seperti keadaan tempat akad (majelis) yang telah siap untuk melangsungkan akad nikah. Keberadaan kesiapan tempat tersebut menghilangkan keinginan untuk sekedar melakukan perjanjian atau tawar-menawar pernikahan. Kesiapan itu juga menunjukkan adanya keinginan untuk melangsungkan prosesi akad nikah. Karena pernikahan kebalikan dari jual-beli, yang memang mendahuluinya dengan khitbah.

Jika tempat akad nikah tidak siap untuk melangsungkan prosesi akad nikah, dan tidak ada indikasi yang menunjukkan keinginan untuk melangsungkan akad nikah pada saat itu maka akad nikahnya tidak sah.

Menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah, akad dengan menggunakan fi’il mudhaari’ tidak sah. Menurut mereka harus menggunakan bentuk fi’il maadhi yang berasal dari kata dasar “nikaahu” atau “zawaaj” Seperti seorang lelaki mengatakan,

Aku kawini, aku nikahi atau aku terima nikahnya atau kawinnya.”

Tidak boleh akad dengan kata sendirian, seperti, “Aku halalkan putriku.” Karena para saksi tidak dapat mengetahui akan niat orang yang mengucapkan kalimat tersebut. Seandainya wali perempuan mengatakan, ”Aku kawinkan kamui” lantas si lelaki menjawab, “Aku terima,” maka tidak sah menurut para ulama Syafi’iyah, dan sah menurut jumhur ulama selain Syafi’iah.

lafal pernikahanc) Menurut para ulama Hanafiah dan Malikiah

Akad nikah sah dengan menggunakan fi’il amr. Seperti seorang lelaki mengatakan kepada Seorang perempuan, “Nikahkanlah dirimu denganku!” dengan perkataan itu dia bermaksud untuk melakukan akad nikah bukan khitbah. Kemudian si perempuan menjawab, “Aku nikahkan kamu dengan diriku” maka pernikahan keduanya sah. 

Penjelasan mengenai hal itu dari para ulama Hanafiah adalah, sesungguhnya perkataan si lelaki mengandung pemberian hak wakil kepada perempuan untuk menikahkan si lelaki dengannya. Sedangkan jawaban si perempuan, “Aku nikahkan kamu dengan diriku” menempati posisi ijab dan qabul. Sedangkan penjelasan dari para ulama Malikiah, bahwa sesungguhnya bentuk fi’il amr (kata kerja perintah) menganggapnya sebagai ijab dalam akad secara adat. Bukan merupakan kandungan dari pemberian hak wakil, dan pendapat ini lebih jelas. Pernikahan itu sah dengan adanya ijab atau atau istijab (meminta ijab).

d) Adapun akad nikah dengan menggunakan istifham (kata tanya), seperti, “Apakah kamu menikahkanku dengan puterimu?” lantas dijawab, “Aku telah menikahkan” atau “iya,” maka menurut para ulama Hanafiah bukan merupakan pernikahan, selagi orang yang melakukan ijab tadi tidak menjawab lagi setelah itu, “Aku menerima“‘ Karena perkataan “Apakah kamu menikahkanku?” merupakan pertanyaan atau minta kabar, bukan merupakan akad. Lain halnya dengan shighat fi’il amr, “Nikahkan aku” yang mengandung makna pemberian hak wakil, sebagaimana yang telah kita ketahui.

Ringkasan:

Menurut ulama Syafi’iah, akad nikah tidak sah kecuali dengan shighat fi’il maadhi (bentuk lampau) dan berasal dari kata “zawaaj” (kawin) dan “nikah” (nikah). Sedangkan menurut ulama Malikiah dan Hanafiah, akad nikah sah dengan menggunakan fi’il maadhi, mudhaari’ dan amr, jika ada indikasi yang menunjukkan akad dilakukan saat itu juga bukan sekadar janji akad.

Menurut jumhur ulama selain ulama Hanabilah tidak disyaratkan mendahulukan ijab dari pada qabul, akan tetapi hanya dianjurkan, seperti wali perempuan berkata, “Aku kawinkan kamu dengannya atau aku nikahkan kamu dengannya.” Para ulama Hanabilah berkata, “Jika qabul mendahului ijab maka akadnya tidak sah, baik itu diucapkan dengan memakai shighat fi’il maadhi maupun fi’il amr.

Jadilah Pribadi yang Dewasa, Usia Berapapun Baik untuk Memulai

Jadilah Pribadi yang Dewasa, Usia Berapapun Baik untuk Memulai

Pra Nikah – Pada usia berapapun, anda tetap bisa memulai hal apapun. Maka jadilah pribadi yang dewasa tanpa harus tergantung pada usia.

Apakah anda merasa terlambat untuk memulai sesuatu? Usia bukanlah penghalang untuk memulai apapun.

Toyo Shibata, seorang perempuan Jepang berusia 92 tahun memulai menulis buku kumpulan puisi. Di luar dugaan, buku debutan berjudul Don’t Be Frustated tersebut The 10 Best Seller 2010 di Jepang hingga penerbit menggandakan jutaan kopi untuk para pembaca yang antusias.

Kolonel Harland Sanders mendirikan Kentucky Fried Chicken di usianya yang 66. Sanders saat itu tidak memiliki uang sepeser pun kecuali sedikit dari jatah pensiunnya sebagai purnawirawan.

Winston Churchill menjadi Perdana Menteri saat usianya 81 tahun. Clara Barton memimpin palang Merah Internasional pada usia 83 tahun. Robert Frost menulis puisi-puisi termasyurnya pada usia 80 tahun.  Oliver Wendell Holmes menjadi Hakim Agung pada usia 90 th. Connie Mack memimpin tim pemenang baseball pada usia 88 th. Toscanini menjadi seorang Konduktor Orkestra ternama di dunia pada usia 87 th.

Pada umur 47 tahun, Martina Navratilova kembali ke kejuaraan Wimbledon dan mewakili Amerika Serikat pada Olimpiade Athena 2004. Ed Whitlock, 73 tahun, memecahkan rekor dunia marathon dengan menyelesaikan pertandingan dalam waktu di bawah 3 jam. Ed adalah manusia berusia di atas 70 tahun yang pertama dalam sejarah yang meraih hasil ini dan melakukannya dua kali.

Manusia tidak mampu menemukan jodoh. Ia hanya berikhtiar dan memohon, kemudian Allah mempertemukan apa yang ia pinta dan ikhtiarkan.

Para gadis dan lajang bertanya, “Di usia berapakah saya akan temukan jodohku?”. Maka Allah akan memberikan jawaban lewat istikharah panjang mereka. Kadang Allah mengabulkan permintaan itu saat usia mereka masih belia. Tetapi jika DIa tidak menghendaki, mereka akan mendapatkannya di usia yang tua.

Jangan pusing karena usia. Nabiyullah Ibrahim as  menikah di usia muda, tetapi cita-citanya memiliki keturunan baru terkabul di usia tua. Demikian pula Imran yang soleh, sungguhpun mendapat jodoh di usia muda, ia harus bersabar menunggu kelahiran anak tercinta di usia yang  renta.

Allah SWT berfirman yang artinya,

“Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal sesuatu itu lebih bagimu. Oleh jadi pula engkau menyukai sesuatu, sedangkan sesuatu itu ternyata lebih buruk bagimu…” (QS Al Baqarah : 216)

Jika perintisan karya besar dapat anda mulais pada usia berapapun, maka demikianlah halnya dengan jodoh. Menerima atau merintis jalan jodoh kadang tidak semanis yang Anda kira. Ia harus memulai, kadang dengan pengorbanan.

  • Jika Anda tak pernah memulai

Jika anda tak mulai mencoba, anda tak akan pernah mengalaminya. Dan jika anda tak pernah mengalaminya, anda tak akan mendapat pelajaran darinya.

Jangan berpangku tangan untuk menunggu hasil dari serangkaian doa-doa. Allah berfirman yang artinya,

“Sesunguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah masing-masing diri mereka.” (QS Al Anfal : 53 )

Jangan menunggu mimpi indah datangnya pujaan hati, tanpa pernah menjalin silaturahmi dengan sesame muslim dan menampakkan diri di hadapan ummat. Ia akan didatangkan oleh Allah melalui jalan yang mengharuskan Anda bangkit, dengan perjuangan dan keberanian mencoba. 

Jika anda tak pernah memulai meraihnya, buah ranum di pohon akan didahului oleh kelelawar dan tupai, atau jatuh dan menjadi busuk karenanya. Jika anda tak pernah memulai memberanikan diri dalam peristiwa perkenalan, anda tak akan pernah belajar dan mengambil ibrah darinya. 

pribadi yang dewasa

  • Jadilah Pribadi yang Dewasa

Dewasa itu bukan semata karena usia. Usamah bin Zaid dianggap dewasa meski ia baru berusia 15 tahun. Rasulullah mengangkatnya menjadi panglima seluruh pasukan yang akan ikut dalam perang Khandaq. Ketika pemuda seusianya sedang senang jalan-jalan, kumpul-kumpul dengan teman-teman, dan menghabiskan waktu nuntuk kesenangan.

Dewasa itu bukan usia yang makin merambat, tetapi  benar bahwa tinggnya usia mengharuskan manusia makin dewasa. Jika Usamah bin Zaid telah memimpin perang Khandaq di awal puber,  jadilah diri Anda panglima perang melawan penghalang-penghalang kesuksesan diri. Sebab kini perang Khandaq tak akan ada lagi.

Dewasa adalah kepandaian mengolah pikiran sehingga ia mudah membedakan mana kebenaran dan mana kebatilan. Dewasa adalah kemampuan untuk menolak kemungkaran karena ia tahu itu buruk baginya, dan keterbukaan menerima kebaikan karena tahu itu baik baginya. Kedewasaan terjadi oleh pengalaman sehingga karenannya seseorang bersikap arif setiap kali menghadapi masalah.

Dewasa adalah saat bersemayamnya hikmah pada hati seseorang, sebagaimana Allah telah berfirman yang artinya,

“Dan setelah menjadi dewasa dan cukup umurnya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah dan ilmu pengetahuan. Demikianlah Kami memberi balasan bagi orang-orang yang melakukan kebajikan.“ (QS. Al Qashash : 14)

Pimpin dirimu untuk meraih kemenangan demi kemenangan tiap tahunnya. Satu tahun adalah satu tahap kemenangan,  maka tingginya usia  adalah tingginya  prestasi dan kesuksesan.

  • “Ya Allah, Panjangkanlah Umurku, dan Berkahilah…”

Setiap orang menginginkan dipanjangkan umurnya. Tetapi tidak banyak orang yang memikirkan seberapa bermanfaat umurnya jika Allah benar-benar memberinya umur panjang itu.

Umur panjang tidak berarti jika tanpa karya nyata dan prestasi. Yang terpenting adalah, berapapun usia kita dan akan diperlama lagi berapapun waktunya, kesempatan itu selalu menjadi jam-jam produktif dan menghasilkan sesuatu.

Bertanyalah di dalam hati, “Apa yang saya hasilkan hari ini?” lalu gerakkan tangan dan kaki untuk mulai berbuat. Lalu mohonlah kepada Allah keberkahan umur, karena tiadalah umur itu berarti tanpa limpahan berkah di dalamnya.

  • Sebaik-baik usia  adalah usia yang berkah

Apa itu umur yang barokah? Ia bagaikan segelas air putih yang tidak hanya membuat manusia hilang dari dahaga, tetapi membersihkan racun tubuh, mengalirkan berbagai nutrisi, melancarkan aliran darah, membantu pencernaan, dan memberikan tenaga.

Umur barokah bukan sekedar kesempatan hidup yang lama, tetapi waktu demi waktu dipadati dengan manfaat dan amal kebaikan.

Sebaik-baik usia manusia adalah jika ia dikaruniai umur yang panjang, sedangkan umurnya itu digunakan untuk melakukan amal kebaikan.

Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ada seorang Arab Badui berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?” beliau menjawab : “Siapa yang paling panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR Tirmidzi).

Tetapi bila seseorang menghendaki umur yang panjang, lalu umurnya itu untuk sesuatu yang tidak baik, maka jadilah ia seburuk-buruk manusia.

Rasulullah saw mengingatkan,

 “Dan seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya, tetapi buruk amalnya.” (HR. Ahmad).

  • Jangan seperti mereka yang meminta dikembalikan ke dunia

Orang-orang kafir menyesali hidupnya ketika di akhirat mendapati kenyataan di dalam neraka. Mereka meminta dikembalikan ke dunia untuk beramal baik.

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu “Ya Tuhan kami keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang shaleh berlainan dgn yang telah kami kerjakan.” Dan apakah Kami tidak memanjangkan umur kalian dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir dan datang kepada kalian pemberi peringatan? Maka rasakanlah dan tidak ada bagi orang-orang yang zhalim seorang penolongpun.”( QS Al Fathir : 37 )

Tentu saja Allah tidak akan mengembalikannya ke alam dunia. 

 

[Yazid Subakti]

Berbagai Macam Hikmah Aqiqah yang Bisa Ayah dan Bunda Dapatkan

Berbagai Macam Hikmah Aqiqah yang Bisa Ayah dan Bunda Dapatkan

Sunnah Aqiqah – Menjalankan ibadah aqiqah memiliki bermacam hikmah dan manfaat sebagaimana penjelasan mengenai hikmah aqiqah berikut ini.

Pertama:

Waliyullah ad-Dahlawi mengatakan, Pada aqiqah terdapat berbagai kemaslahatan finansial, psikologis dan sosial. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam membiarkannya, mengerjakannya dan menganjurkan masyarakat untuk ikut melakukannya.

Salah satu manfaat aqiqah adalah berlemah-lembut dalam mengumumkan kabar tentang garis keturunan si bayi. Sebab, hal ini memang harus menyebar kepada khalayak supaya tidak terjadi fitnah di kemudian hari. Di samping itu, juga tidak baik kalau si anak berkeliling di kampung-kampung hanya sekadar untuk memberitahukan garis keturunannya. Oleh karenanya, metode inilah yang paling tepat.

Manfaat yang lain adalah memupuk sikap kedermawanan dan menekan sifat kikir. Hikmah berikutnya adalah bahwa kaum Nasrani apabila memperoleh anak, mereka membaptisnya dengan air berwarna kuning yang biasa mereka namakan ma’mudiyah. Mereka nyatakan bahwa dengan baptis tersebut, si anak resmi menjadi anggota umat Kristiani. Maka, sebagai perimbangan atas hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya,

Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah” (Q.s. al-Baqarah [2]: 138).

Maka, disunnahkan bagi para pemeluk agama tauhid untuk melakukan suatu tindakan yang menjadi tandingan atas perbuatan mereka dan mengisyaratkan bahwa bayi yang baru lahir ini adalah pemeluk ajaran tauhid serta pengikut agama Ibrahim dan Ismail ‘alayhimassalam. Tindakan yang paling menonjol dan telah ada secara turun-temurun pada anak-cucu mereka adalah penyembelihan putra beliau yang kemudian dengan karunia Allah ditebus dengan seekor domba jantan. 

Selain itu, ajaran terkemuka mereka adalah ibadah haji yang di dalamnya terdapat ajaran mencukur rambut dan menyembelih hewan. Sehingga, meniru tindakan dan perbuatan mereka ini menjadi semacam syiar agama tauhid dan pengumuman bahwa telah ada tindakan yang menjadikan bayi tersebut termasuk anggota keluarga besar agama ini.

Hikmah yang lain; bahwa tindakan ini di masa awal kelahiran menunjukkan bahwa seakan-akan orang tua menyerahkan anaknya di jalan Allah seperti Nabi Ibrahim ‘alayhissalam. Hal ini menggerakkan rangkaian kebaikan dan ketaatan sebagaimana yang telah kami sebutkan pada sa’i antara Bukit Shafa dan Marwa.

Kedua:

berterima-kasih dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’’ala atas anugerah kenikmatan berupa anak. Sebab, anak merupakan kenikmatan duniawi terbesar. Anak adalah perhiasan dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia” (Q.s.al-Kahfi [18] : 46).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menanamkan pada diri manusia rasa gembira dan bangga atas kelahiran bayi. Oleh karena itu, setiap orang sudah sepatutnya untuk bersyukur kepada Allah Sang Maha Pencipta dan Maha Pemberi. Ada atsar dari Husain radhiyallahu ‘anhu tentang ucapan selamat atas kelahiran bayi. Yaitu dengan mengucapkan,

“Semoga Allah memberkatimu pada karunia-Nya kepadamu sehingga engkau bersyukur kepada Dzat yang telah memberimu karunia ini, dan semoga anak ini dapat mencapai usia baligh sehingga engkau mendapatkan baktinya.”

Aqiqah adalah salah-satu bentuk ungkapan rasa syukur dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

hikmah aqiqah

Ketiga:

hikmah aqiqah adalah pembebasan dan penebusan anak seperti Allah Subhanahu wa Ta’ala menebus Ismail ‘alayhissalam dengan seekor domba. Masyarakat Jahiliyah juga melakukannya dan menamakannya aqiqah. Mereka melumurkan darah di kepala si bayi. Aqiqah ini diakui dalam Islam, tapi dengan catatan tanpa melumurkan darah di kepala bayi.

Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memberitahukan bahwa hewan yang disembelih untuk bayi sepatutnya dilakukan dengan tujuan ritual; seperti qurban dan hadyi. Beliau bersabda,

Barang siapa dari kalian yang ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya.

Beliau menjadikannya seperti qurban yang Allah jadikan sebagai ritual penebusan Ismail ‘alayhissalam dan sarana mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dapat diperkirakan bahwa hikmah Allah dalam syariat dan ketentuan-Nya dapat menjadi faktor penentu ketetapan hati si anak dan keselamatannya sepanjang hidup di bawah perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari bahaya godaan setan. Setiap organ tubuh hewan aqiqah menjadi tebusan bagi setiap organ tubuhnya. 

Keempat:

pengumuman dan pemberitahuan bahwa seseorang baru mendapatkan anak dan dia beri nama. Kemudian, berita tersebut diketahui oleh masyarakat yang terdiri dari karib-kerabat, tetangga dan handai-taulan, lalu mereka datang untuk memberi selamat dan menghadiri aqiqahnya. Semua itu dapat menambah erat ikatan cinta dan persaudaraan dalam tubuh kaum Muslimin.

Kelima:

pada aqiqah teraplikasikan salah-satu bentuk solidaritas sosial dalam Islam. Orang yang melaksanakan aqiqah anaknya, akan menyembelih hewan dan membagi-bagikan dagingnya untuk fakir-miskin, karib-kerabat dan tetangga. Atau dia akan mengundang mereka untuk makan bersama. Hal ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam upaya meringankan  beban penderitaan kaum fakir-miskin.

Ibnul Haj mengatakan, “Banyak sekali hikmah aqiqah, antara lain: mengerjakan sunnah dan memadamkan bid’ah. Seandainya tidak ada keberkahan yang terdapat pada aqiqah selain menjaga jabang bayi dari sumber penyakit seperti yang tercantum dalam hadis, maka sunnah apa pun yang dilakukan akan menjadi penyebab timbulnya seluruh bentuk kebaikan dan keberkahan. Sementara, bid’ah adalah kebalikannya.”

Ada satu hikayat; seseorang didatangi oleh beberapa orang temannya sebagai tamu. Di dalam rumahnya, mereka melihat emas dan perak berserakan, sementara anak-anaknya keluar-masuk. Mereka bertanya kepadanya “Tuan, bukankah ini sama artinya dengan menyia-nyiakan harta?” Dia menjawab, “Tapi harta ini aman terlindungi.” Mereka bertanya lagi, “pengamannya?” Dia menjawab, “Harta ini sudah dizakati. Itulah pengamannya.”

Maka, demikian halnya dengan masalah yang sedang kita bicarakan ini. Orang yang sudah diaqiqahi, berarti dia sudah aman dari bencana. Bencana terkecil yang menimpa bayi memerlukan upaya orang tuanya untuk mengeluarkan biaya setinggi biaya aqiqah atau bahkan lebih. Orang yang memiliki akal sehat, akan segera mengeluarkan segala daya-upaya untuk melaksanakannya.

Sebab, aqiqah menghimpun antara keamanan harta dan tubuh sekaligus. Keamanan tubuh adalah keselamatan si bayi dari bencana seperti yang sudah dijelaskan di atas. Sedangkan tentang keamanan harta; biaya aqiqah bisa menjadi cukup ringan dan tidak sebanding dengan biaya yang harus untuk mengatasi bencana yang tersebut di atas atau biaya yang atas bencana yang mungkin akan terjadi pada si bayi.

Aqiqah juga menarik banyak pahala jika mengikuti as-Sunnah dalam melaksanakannya. Terutama di zaman sekarang yang banyaknya pahala ini juga karena minimnya orang yang mau melakukannya.

Makna Hadis “Setiap Anak Tergadaikan pada Aqiqahnya”

Makna Hadis “Setiap Anak Tergadaikan pada Aqiqahnya”

Makna Hadis – Disebutkan dalam hadis dari Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh kelahirannya, diberi nama dan dicukur rambut kepalanya.

Dalam riwayat Abmad dan an-Nasa’i disebutkan dengan lafal;

Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya.

Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah disebutkan dengan lafal;

Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya.”

Al-Khaththabi mengatakan: Ahmad mengatakan, “Ini berkaitan dengan masalah syafaat. Maksudnya, apabila orang tua tidak melaksanakan h anaknya, kemudian si anak meninggal dunia di waktu kecil, dia tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. Lafal (rahiinatun) dengan Ta Marbutah artinya tergadaikan. Huruf Ta Marbutah di sini adalah hiperbolis. Contohnya seperti (fulanun kariimatun qoumuhu) ‘Fulan sangat dihormati di kalangan kaumnya’.”

Pendapat Imam Ahmad ini sama seperti pendapat Atha’ al-Khurasani yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya dari Yahya bin Hamzah berkata, “Aku bertanya kepada Atha’; Apa arti (murtahinun bi aqiiqatihi)?” Dia menjawab, “Tidak mendapatkan syafaat anaknya.”

Mulla Ali al-Qari mengatakan, “(biaqiiqatihi) artinya; keselamatannya dari bencana tergantung pada aqiqahnya. Atau seperti sesuatu yang digadaikan, sehingga tidak bisa dinikmati selain dengan ditebus terlebih dahulu. Sebab, anak merupakan anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada kedua orangtua. Oleh karena itu, kedua orangtua harus bersyukur karenanya. Pendapat lain menyatakan bahwa artinya adalah bahwa syafaat si anak terkait erat pada aqiqahnya. Selama belum dilaksanakan aqiqahnya dan si anak meninggal dunia sewaktu masih kecil, dia tidak dapat memberi syafaat kepada kedua orangtuanya.”

At-Taurabusyti mengatakan,

“Lafal (murtahiinun) perlu ditinjau kembali. Sebab, secara terminologis artinya adalah orang yang mengambil gadai sebagai jaminan pinjaman. Sedangkan objek gadainya sendiri disebut (marhuunun) atau (rahiinun). Belum pernah kami menemukan bentuk maf’ul dari lafal (irtihaanun) dalam pernyataan para ahli bahasa Arab. Kemungkinan, perawi memakai ungkapan tersebut dengan metode analogi (qiyas).”

Ath-Thayyibi mengatakan, “Metode metafora (majas) tidak ada batasnya dan tidak tergantung pada arti terminologis. Sehingga, tidak perlu diragukan bahwa lafal (irtihaanun) di sini tidak diartikan secara terminologis. Buktinya adalah pernyataan az-Zamakhsyari dalam kitab Asasul Balaghah pada pembahasan tentang retorika metafora: (fulaanun rahinun bikadzaa) ‘Si Fulan di gadaikan sekian’ artinya sama dengan (rahiinun) atau (murtahinun), Sedangkan (murtahinun bihi) adalah metafora dari lafal tersebut.”

Penulis kitab Al-Hidayah mengatakan, “Lafal (rahiinatun biaqiiqatihi) artinya bahwa aqiqah harus dilakukan pada si bayi. Kondisinya yang harus dilakukan dan tidak bisa terlepas, sama dengan kondisi barang yang digadaikan dan bisa terlepas dari tangan orang yang memberi pinjaman sampai Huruf Ta Marbuthah pada lafal (rahiinatun) bersifat hiperbolis dan bukan untuk menunjukkan jenis feminis. Sama seperti (asy syatum) dan (asy syatiimatu) ‘dicaci.”

Sungguh, ini adalah desktipsi yang cukup mengherankan. Pernyataan at-Taurabusyti bahwa lafal (murtahinun) dalam bentuk maf’til tidak pernah ada dalam konteks bahasa Arab dan bahwa perawi menyangka lafal tersebut sama artinya dengan lafal (rahiinatun) yang terdapat dalam teks hadis, lalu dia mengonjungsikan maknanya saja menurut perkiraannya. Kemudian, lafal gadai’ di sini tidak diartikan secara faktual, tapi diartikan secara metafora. Maka, hal ini dapat langsung dipahami kesalahannya oleh orang yang berdaya pikit lemah sekalipun. Dalam pemaparannya akan datang penjelasan tentang masalah ini secara mendetail.

Dalam kitab Syarhus Sunnah disebutkan,

“Para ulama banyak berbicara tentang masalah ini. Penjelasan terbaik dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal bahwa jika seorang anak meninggal dunia dan belum pernah diaqiqahi, si anak tersebut tidak dapat memberi syafaat kepada kedua orang tuanya. Diriwayatkan dari Qatadah bahwa dia terhalang dari memberi syafaat kepada mereka.”

Asy-Syaikh at-Taurabusyti mengatakan, Saya tidak tahu apa yang menjadi dasar pemaparannya. Padahal, Iafal hadis sama sekali tidak mendukung penafsiran yang diungkapkannya. Bahkan, antara lafal dengan penafsirannya memiliki perbedaan besar yang dapat langsung diketahui dengan mudah oleh masyarakat awam, terlebih lagi para ulama. Sebuah hadis apabila maknanya meragukan, maka metode terbaik dalam menjelaskannya adalah dengan menghimpun seluruh jalur periwayatannya. Sebab, dalam himpunan seiuruh jalur periwayatan jarang sekali ada penambahan, pengurangan atau isyarat pada lafal-lafal yang saling bertentangan. Sehingga, lafal yang meragukan tersebut dapat dengan mudah dipahami.

Pada sebagian jalur periwayatan hadis ini disebutkan dengan lafal (kullu ghulaamin rahiinatun bi’aqiiqatihi) ‘setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya’ Secara tekstual artinya digadaikan. Maknanya, seperti objek gadai yang tidak dinikmati dan dimanfaatkan sebelum ditebus terlebih dahulu. Suatu kenikmatan hanya dapat dinikmati oleh orang yang mendapatkannya dengan bersyukur. Sementara, aplikasi rasa syukur pada kenikmatan memperoleh anak adalah dengan apa yang disunnahkan oleh Nabi Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam yang dalam hal ini adalah melaksanakan aqiqah untuk bayi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan permohonan untuk keselamatan si jabang bayi. Atau bisa juga diartikan bahwa keselamatan si jabang bayi dan pertumbuhannya yang sesuai dengan harapan tergantung pada aqiqahnya.

Inilah arti yang benar. Kecuali, apabila penafsiran sebelumnya didapatkan dari shahabat yang memahaminya secara langsung dari wacana yang sedang berlangsung atau kondisi yang sedang terjadi. Sehingga, artinya adalah bahwa syafaat si anak tergantung pada aqiqahnya.”

Ath-Thayyibi mengatakan,

“Dapat dipastikan bahwa Imam Ahmad bin hanbal tidaklah berpendapat demikian kecuali setelah mendapatkannya dari para sahabat dan tabiin. Karena, beliau adalah salah-satu Imam agung yang ingin pendapatnya dikuti dan mendapatkan prasangka yang positif.”

Penafsiran yang lain menyatakan bahwa artinya adalah seorang anak tergadaikan pada kotoran atau rambut yang ada di kepalanya. Buktinya adalah lafal hadis setelahnya (faamiituu ‘anhul adza) ‘Hilangkanlah kotoran darinya.’

Penafsiran yang lain menyatakan artinya adalah bahwa si bayi tidak diberi nama dan dicukur rambut kepalanya kecuali setelah disembelihkan hewan aqiqah.

Asy-Syaikh Ibnul Qayyim rahimahullah tidak menerima semua penafsiran ini. Beliau mengungkapkan sanggahannya dengan mengatakan, Penafsiran ini perlu ditinjau kembali. Diketahui bersama bahwa syafaat seorang anak untuk orangtuanya tidak lebih penting dari syafaat orangtua untuk anaknya. Seseorang menjadi orangtua, bukan hanya sekadar untuk memberi atau mendapatkan syafaat.

Demikian juga dengan seluruh bentuk ibadah dan hubungan silaturrahmi lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun.” (Q.s. Luqman [311: 33).

makna hadits

Dan jagalah dirimu dasi (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak dicerima syafaat.” (Q.s. al-Baqarah [2]: 48).

makna haditsSebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual-beli dan tidak ada lagi persahabaran yang akrab dan tidak ada lagi syafaat.” (Q.s. al-Baqarah [2]: 254).

Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan syafaat kepada orang lain di hari kiamat selain setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi izin bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Izin untuk memberikan syafaat tergantung pada amalan orang yang diberi izin berupa tauhid dan keikhlasan. Bahkan, ada orang yang mendapatkan izin untuk memberi syafaat kepada orang lain namun ia justru tidak memiliki hubungan darah sama-sekali; tidak sebagai bapak maupun sebagai anak.

Pemimpin para pemberi syafaat dan orang yang paling berhak untuk memberi syafaat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada paman, bibi dan putrinya, “Aku tidak sanggup menjamin kalian di sisi Allah sedikit pun.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Aku tidak memiliki apa pun untuk kalian di sisi Allah.

Pada syafaat beliau yang agung, ketika beliau sujud di hadapan Allah dan memberi syafaat, beliau bersabda, “Allah memberiku batasan dari memasukkan mereka ke dalam surga.

Syafaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terbatas pada batasan yang telali Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan. Tidak akan melebihinya. 

Oleh karena itu, dari mana bisa dikatakan bahwa seorang anak dipastikan berhak memberi syafaat kepada kedua orang tuanya, kemudian apabila si anak tidak diaqiqahi, dia terhalang dari memberi syafaat kepada orang tuanya? Juga tidak dikatakan bagi orang yang dapat memberi syafaat kepada orang lain bahwa dia tergadaikan pada syafaat itu. Pada lafal hadisnya juga tidak ada yang menjadi bukti atas hal tersebut.

Kedudukan dan Hukum Aqiqah di Dalam Islam

Kedudukan dan Hukum Aqiqah di Dalam Islam

Sunnah Aqiqah – Legitimasi kedudukan dan hukum aqiqah ditetapkan dalam as-Sunnah dalam pernyataan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Berikut ini adalah beberapa hadis tersebut.

Banyak sekali hadis-hadis tentang masalah ini.

1. Diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad dari Salman bin Amir adh Dhabbi radhiyallahu ‘anhu berkata. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya dan singkirkanlah kotoran darinya.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi dan al-Baihaqi.

2. Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya; disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur rambutnya dan diberi nama.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan lafal ini. Diriwayatkan juga oleh at Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Baihaqi, Ahmad, al-Hakim dan disahihkan serta disepakati oleh adz-Dzahabi. At-Timidzi berkomentar, “Hasan Shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan, “Shahih.”

3. Dari Ummu Kurz al-Ka’biyyah radhiyallahu ‘anha berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,”Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan lafal ini. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan al-Baihaqi.

4. Dalam riwayat yang lain hadis Ummu Kurz ini disebutkan bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang aqiqah. Beliau bersabda, “Benar, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor. Tidak peduli kambing-kambing tersebut jantan atau betina.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at- Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim dan Ahmad. Komentar at- Tirmidzi, “Hadis ini hasan shahih.” Disahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Disahihkan juga oleh an-Nawawi. Al-Albani berkomentar, “Shahih.” Asy Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkomentar, “Hadis shahih.”

5. Dari Yusuf bin Mahik berkata, Kami menemui Hafshah binti Abdurrahman dan bertanya kepadanya tentang aqiqah. Dia menjawab bahwa Aisyah memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,”Untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dengan lafal ini. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkomentar, “Sanadnya shahih.”

6. Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Bahwasanya Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitahu mereka bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan mereka untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan komentar, “Hasan shahih.”Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi. Al-Albani berkomentar, “Shahih.”

kedudukan dan hukum aqiqah

7. Dari Asma binti Yazid radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam bersabda, “Aqiqah adalah benar. Untuk anak-laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani. Al-Haitsami mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam al-Kabir. Para perawinya bisa dijadikan sebagai hujjah.”

8. Dari Aba Hurairah adhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak terkait dengan aqiqahnya. Tumpahkanlah darah untuknya dan hilangkanlah kotoran darinya.”

Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar. Para perawinya adalah para perawi kitab Ash- Shahih.”

9. Dari Yazid bin ‘Abd al-Muzani dari bapaknya bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak boleh diaqiqahi, tapi kepalanya jangan diolesi darah (hewan sembelihannya).”

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, ath-Thahawi dan ath-Thabrani dalan Kitab Al-Mu’jam al-Ausath dan Al-Mu’jam al-Kabir. Al-Haitsami mengatakan Para perawinya tsiqah. Al-Bushiri dalam kitab az-Zawa’id mengatakan “Sanadnya hasan.” Disahihkan oleh al-Albani.

10. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu “Bahwasanya Nabi Shallallalu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan untuk memberi nama bayi pada hari ketujuh kelahirannya, membersihkan kotoran darinya dan menyembelih hewan.”

Diriwayatkan oleh at-tirmidzi dergan komentar, “Hasan gharib”. al-Albani berkomentar, “Hasan”.

11. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallaillahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Pada hari ketujuh kelahirannya, tumpahkanlah darah untuknya, bersihkanlah kotoran darinya dan berilah dia nama.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab Al-Mujam al-Ausath dan Al-Mu’jam al- Kabir dengan para perawi yang tsiqah seperti yang dikatakan oleh al-Haitsami.

12. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Untuk anak laki-laki dua ekor hewan sembelihan dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Al-Haitsami mengatakan, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Imran bin Uyainah yang dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban, padahal ada unsur dhaif padanya.”

Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dengan sanad yang baik untuk syahid, dan disebutkan bahwa jalur periwayatan ath-Thahawi ini aman dari faktor dhaif.”

13. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata pada hadis tentang aqiqah, “Masyarakat Jahillyah biasa mnencelupkan kapas pada darah hewan sembelihan Ialu mengoleskannya pada kepala bayi. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan agar darah tersebut diganti dengan minyak wangi.”

14. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallah ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Orang-orang Yahudi biasa mengaqiqahi anak laki-laki, tapi tidak mengaqiqahi anak perempuan. Aqiqahilah anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu ekor.”

15. Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya bahwasanya Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam bersabda, “Hewan aqiqah disembelih pada hari Ketujuh kelahiran, atau hari keempat belas, atau hari kedua puluh satu.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dengan komentar, “Tidak ada yang Meriwayatkan hadis ini dari Qatadah selain Ismail. Di samping al-Khaffaf meriwayatkannya secara eksklusif.”

16. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam bersabda tentang aqiqah, “’Barang siapa yang mendapatkan anak, lalu ingin menyembelihkan hewan untuknya, silakan dilakukan.

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dengan komentar, “Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari az-Zuhri selain Ismail. Sementara, Ismail dhaif.”

17. Dari al-Qasim bin Abdurrahman, dari Muhammad bin Ali, dari bapak nya berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayli wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain; masing-masing dengan satu ekor domba dan uang sebesar satu dinar. Ketika acara aqiqah salah-satunya diselenggarakan, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam masuk menemui Fatimah dan bertanya, “Hai Fatimah, bagaimana kabar daging aqiqahnya?” Dia jawab, “Wahai Rasulullah, sudah kami makan, kami bagi-bagikan dan kami sedekahkan. Tapi, masih ada sisanya.

Dia (Fatimah) katakan, “Lalu aku mengambilkan paha belakang sementara beliau masih berdiri. Beliau memakannya tanpa roti. Kemudian, beliau shalat tanpa menyentuh air (berwudhu).”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya. Hadis ini adalah hadis mursal. 

Disamping itu, dalam sanadnya terdapat perawi bernama al-Qasim bin Abdurrahman, yang sangat lemah.

18. Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘Anhu berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah. Beliau menjawab, “Aku tidak suka ‘uqug (kedurhakaan).” Sepertinya beliau tidak suka istilah ini. Mereka katakan, “Wahai Rasulullah, yang kami tanyakan adalah tentang salah seorang dari kami yang baru mendapat anak.” Beliau bersabda, “Barang siapa dari kalian yang ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, Silahkan melakukannya; untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, al-Hakim dan al-Baihaqi. Al-Hakim berkumentar, “Sanadnya shahih.”

Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkomentar “Hasan shahih.” Sedangkan asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkomentar, “Sanad ini hasan.”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari dua jalur. Pertama, Jalur ‘Amr bin Syu’aib di atas. Kedua, jalur Zaid bin Aslam tentang seseorang dari Bani Dhamrah dari bapaknya. Kemudian, dia berkomentar, “Hadis ini apabila digabungkan dengan hadis pertama, akan menjadi kuat.”

Pengertian Aqiqah dan Bagaimana Kedudukannya Sebelum Islam

Pengertian Aqiqah dan Bagaimana Kedudukannya Sebelum Islam

Sunnah Aqiqah – Penjelasan menganai pengertian aqiqah secara terminologis dan etimologis, serta seperti apa kedudukannya sebelum islam datang.

Aqiqah adalah rambut yang sudah tumbuh di kepala bayi ketika lahir. Sebab rambut tersebut membelah kulit. Imru’ul Qais mengatakan dalam syairnya:

Ayaa Hindun laa tankihii buuhatan    ‘alaihi ‘aqiiqatuhu ahsabaa

Hai Hindun, jangan menikah dengan orang tolol itu!

Rambut bayinya belum dicukur dan kulitnya belang.”

Diambil dari kata (ya’aqqu – ya’iqqu – ‘aqqu). Dikatakan (‘aqqu ‘anibnihi), artinya mencukur rambut kepala anaknya atau menyembelih kambing yang juga dinamakan aqiqah. Ibnul Manzhur mengatakan, “Kambing yang disembelih juga dinamakan aqiqah. Sebab, kambing tersebut disembelih dan dibelah tenggorokan serta kedua arterinya, seperti (adz dzabhu) yang artinya membelah, yang juga digunakan sebagai nama hewan sembelihan.” 

Al-Jauhari mengatakan, “Setiap rambut yang sudah tumbuh di kepala bayi ketika dilahirkan, baik bayi manusia atau hewan dinamakan aqiqah. Dari sini kambing yang disembelih pada hari ketujuh kelahiran juga dinamakan aqiqah.”

Imam an-Nawawi mengatakan: Imam Abu Manshur al-Azhari mengatakan: Abu Ubaid berkata bahwa al-Ashma’i dan lain-lain mengatakan. “Arti dasar aqiqah adalah rambut yang sudah tumbuh di kepala bayi ketika baru lahir. Kemudian, menyembelih kambing untuk bayi itu juga namanya aqiqah. Karena, rambut si bayi dicukur ketika menyembelih kambing tersebut .Oleh karena itu, dalam hadis menyebutkan ‘Bersihkanlah kotoran darinya’, maksudnya adalah rambut yang dicukur tersebut.” 

Dia lanjutkan, “Demikianlah, saya jelaskan kepada Anda bahwa para ulama biasa memberi nama sesuatu dengan nama yang lain apabila masih ada sangkut-pautnya dengan sesuatu tersebut. Seperti, kambing dinamakan aqiqah lantaran dicukurnya rambut si bayi.” Abu Ubaid megatakan, “Demikian juga setiap bayi hewan yang baru dilahirkan. Rambut yang ada dinamakan (‘aqiiqatun) aqiqah.

Al-Azhari mengatakan,

Rambut hewan tersebut dinamakan aqiq (‘aqiiqun) tanpa huruf Ta Marbuthah.” Al-Azhari melanjutkan, “Arti dasar kata (Al’aqqu) adalah membelah dan memotong. Rambut yang sudah tumbuh bersama dengan seorang bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya dinamakan aqiqah. Sebab, kalau berada di atas kepala manusia, harus dipangkas dan dicukur. Sedangkan kalau berada pada tubuh hewan, akan rontok dengan sendirinya. Kemudian, hewan yang disembelih juga dinamakan aqiqah, sebab hewan tersebut dibelah dan dipotong tenggorokan serta kedua arterinya. Seperti (adz dzabhu) yang artinya membelah, yang juga digunakan sebegai nama lewan sembelihan.”

Ibnus Sukait mengatakan,”’Seseorang mengaqiqahi anaknya’; artinya dia menyembelih hewan di hari ketujuh kelahiran anaknya”; artinya lanjutkan,“Sedangkan (‘aqqu falaanun walidaihi ya’uqquhumaa ‘uquuqon) artinya seseorang memutuskan tali silaturahim (durhaka) kepada kedua orang tuanya. Bentuk plural dari subjek kata kerja tersebut (al’aqqu) yang berarti durhaka adalah (‘aqaqatun). Bisa juga disebut (rajulun ‘aqqu) yang berarti durhaka.“ Ibnul ‘Arabi mengatakan, “(al’aqqu) artinya orang yang memutuskan tali silaturahmi.”

  • Definisi Aqiqah secara Etimologis

pengertian aqiqah

Beberapa definisi secara etimologis tentang aqiqah oleh para ahli fikih. Imam al-Baghawi mengatakan, “Yaitu nama hewan yang disembelih untuk bayi yang baru dilahirkan.” Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan, “Aqiqah adalah hewan yang disembelih untuk. bayi yang baru dilahirkan.

Ibnu Arafah al-Maliki mengatakan, “Aqiqah adalah kambing jantan atau betina yang disembelih  sebagai sarana ibadah dengan syarat tidak cacat dan disembelih pada hari ketujuh kelahiran anak manusia yang lahir dalam keadaan hidup.”

Definisi ini oleh Ibnu Arafah ini mengandung beberapa syarat yang tidak setuju oleh sekelompok ahli fikih. Nanti akan datang penjelasannya.

Dapat saya simpulkan bahwa aqiqah adalah hewan sembelihan atas nama bayi yang baru lahirb pada hari ketujuh kelahirannya sebagai ungkapan rasa syukur ke hadhirat Allah Subbanahu wa Ta’ala atas anugerah nikmat-Nya berupa anak, baik laki-laki maupun perempuan.

Dr. Muhammad Abu Faris mendefinisikannya sebagai “Kambing yang disembelih atas nama bayi yang baru lahir.”

Definisi ini tidak lengkap. Sebab, terbatas hanya pada kambing saja. Hal ini berdasarkan pendapat sebagian ahli fikih yang tidak memperbolehkan aqiqah dengan unta dan sapi. Pendapat ini sama-sekali tidak kuat. Nanti akan datang penjelasannya.

Akan lebih baik apabila kita ungkapkan dengan lafal (Adz dzabiihatu) hewan sembelihan. Sebab, lafal ini sifatnya umum. Mencakup kambing, sapi dan unta yang merupakan jenis hewan yang boleh sebagai objek aqiqah. Akan datang penjelasannya.

Lafal (Adz dzabiihatu) ‘hewan sembelihan’ untuk kambing, sapi dan unta. Ibnul Manzhur mengatakan,  “(Adz dzabiihatu) ‘hewan sembelihan’ adalah kambing yang disembelih…. Demikian juga unta…” Al-Azhari mengatakan, “(Adz dzabiihatu) ‘hewan sembelihan’ adalah nama untuk hewan yang disembelih.”

  • Aqiqah Sebelum Islam

Aqiqah sudah ada di kalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Al-Mawardi mengatakan, “Aqiqah adalah menyembelih kambing pada hari kelahiran anak yang bangsa Arab sudah melakukannya sebelum datangnya Islam.”

Waliyyullah ad-Dahlawi mengatakan, “Bahwa bangsa Arab biasa melakukan aqiqah untuk anak-anak mereka. Aqiqah adalah perkara yang biasa dan merupakan sunnah yang menganjurkan untuk pelaksanaanya (sunnah muakkadah). Pada aqiqah terdapat berbagai kemaslahatan finansial, psikologis dan sosial. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam membiarkannya, mengerjakannya dan menganjurkan masyarakat untuk ikut melakukannya.”

Hal ini ada dalam hadis dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya berkata: Aku mendengar bapakku (Buraidah al-Aslami tadhiyallahuanhu) berkata,

Di zaman Jahiliyah, apabila salah seorang dari kami memperoleh anak, dia menyembelih seekor  kambing lalu melumuri kepala anaknya dengan darah kambing tersebut. Setelah datangnya Islam,kami menyembelih kambing dan mencukur rambut si anak, lalu mengolesi kepalanya dengan minyak za’faran.”

Abu Dawud, Ahmad, an-Nasa’I dan al-Baihaqi meriwayatkan. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Talkhish al-Habir mengatakan, ”sanadnya shahih.” Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hasan shahih.” Juga oleh al-Hakim dengan komentar, “Sesuai dengan syarat periwayatan Bukhari dan Muslim.” Komentarnya ini sudah sepakat oleh adz-Dzahabi. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hanya sesuai dengan syarat periwayatan Muslim saja.”

Dalil yang lain adalah hadis Aisyah radhiyallahu’anha tentang aqiqah. Dia katakan:

Masyarakat Jahiliyah biasa mengambil darah hewan aqiqah dengan kapas lahi mengoleskannya ke kepala bayi. Rasulullah Shallallihu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan untuk mengganti darah itu dengan minyak wangi.

al-Baihaqi meriwayatkan. An-Nawawi berkomentar, “Sanadnya shahih.

As-Suyuthi menyebutkan bahwa Abdul Muththalib (kakek Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam) mengaqiqahi beliau di hari ketujuh kelahiran beliau. Dia katakan, Ibnu Asakir mwriwayatkan dari Ibnu Abbairadhiyallahu ‘anhuma berkata,

“Ketika Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam lahir, Abdul Muththalib mengaqiqahi beliau dengan seekor domba dan memberi nama beliau Muhammad. Kemudian mengatakan, “Wahai Abul Harits, mengapa engkau beri nama Muhammad (yang terpuji) dan tidak engkau beri nama yang sama dengan nama-nama leluhurya?” Dia menjawab, “Aku ingin agar Allah memujinya di langit dan seluruh manusia memujinya di bumi.

Aqiqah juga ada dalam syariat Nabi Musa ‘alayhissalarn. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam bersabda,

Orang-orang Yahudi mengaqiqahi anak laki-laki, tapi tidak mengaqiqahi anak perempuan. Aqiqahilah anak laki-laki dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor kambing.”

al-Baihaqi meriwayatkan. juga oleh Ibnu Abid Dunya dengan komentar pentahqiqnya, “Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Aba Hafsh asy-Sya’ir dan bapaknya. Kedua orang ini tidak dikenal.

al Bazzar meriwayatkan. Juga oleh al Hafizh Ibnu Hajar Tanpa komentar. Al-Albani mengatakan, “Hadis ini memiliki riwayat dengan sanad yang seluruh perawinya tsiqah. Tetapi, di dalamnya terdapat ‘an’anah.”

Ibnu Juraij. Namun,dalam riwayat Ibnu Hibban dia menegaskan riwayatnya ini dengan lafal tahdits. Sehingga, dapat dipastikan bahwa hadis ini shahih, Walhamdulillah. Ibnu Hibban juga meriwayatkan dengan komentar dari Syu’aib al-Arnauth, “Sanadnya shahih.

Shigat Pernikahan, Lafal-Lafal Pernikahan – Bagian 2

Shigat Pernikahan, Lafal-Lafal Pernikahan – Bagian 2

Lanjutan dari materi lafal pernikahan bagian 1

Al-Mu’aatha (saling memberi)

Para ahli fikih bersepakat bahwa akad nikah tidak sah dengan menggunakan al-mu’aatha. Itu demi menghormati alat vital, urgensi, dan kemuliaannya. Akad nikah tidak sah kecuali dengan menggunakan lafal yang sharih (jelas) atau kinayah (sindiran) menurut pendapat ulama Hanafiah dan Malikiah, dan dengan lafal sharih menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah, sebagaimana yang telah dijelaskan.

Menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Hanafi, akad nikah tidak sah dengan menggunakan lafal iqrar (pengakuan), maksudnya, lafal iqrar bukan termasuk shighat akad. Seandainya seorang perempuan berkata, “Aku mengakui bahwa kamu adalah suamiku”, dan sebelumnya tidak pernah terjadi ikatan pernikahan antara dia dan si lelaki tersebut, maka hal itu tidak sah. Karena pengakuan itu dilakukan atas sesuatu yang sudah ada, bukan sekadar mengarang cerita.

Lafal-lafal yang diubah

Menurut para ulama Hanafiah, akad nikah tidak sah dengan menggunakan lafal-lafal yang diubah, seperti tajaw waj tu, djauw wajtu, djaw wajtu sebagai pengganti dari lafal tadjaw waztu karena tidak benar maksudnya.

Akan tetapi jika suatu kaum telah bersepakat untuk mengucapkan lafal tersebut dengan pelafalan yang salah ini, sekiranya dengan lafal salah tersebut mereka bermaksud untuk penghalalan bersenang-senang dengan perempuan, dan itu timbul dari maksud dan kehendak mereka, maka akad nikahnya sah. Karena lafal tersebut dalam keadaan semacam ini menjadi kosakata baru dari mereka. Maksudnya, lafal tersebut telah menunjukkan makna pernikahan menurut adat mereka.

Oleh karena itu, pernikahan sah dengan menggunakan lafal tersebut. Begitu juga dengan kedua belah pihak yang melakukan akad nikah hanya memahami lafal tersebut merupakan bentuk pengungkapan dari pernikahan. Juga tidak bermaksud selain makna pernikahan tersebut, menurut adat mereka.

Para ulama Syafi’iah berkata bahwa akad nikah sah dilakukan dengan lafal-lafal yang diubah, seperti jaw wadj tu. 

Lafal-lafal bukan bahasa Arab

lafal pernikahan

Kebanyakan para ahli fikih bersepakat bahwa orang asing (bukan Arab) yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab, sah melakukan akad nikah dengan menggunakan bahasanya sendiri. Bahasa yang ia pahami dan pakai setiap harinya. Karena yang dipandang dalam akad itu adalah maknanya. Karena ia tidak mampu berbahasa Arab maka gugurlah kewajiban untuk mengucapkan bahasa Arab, sebagaimana layaknya orang bisu. Orang tersebut harus mengucapkan kata yang bermakna “tazwij” (mengawinkan) atau “inkah” (mengawinkan), sekarang kata tersebut mencakup makna kata yang terkandung di dalam bahasa Arab-nya.

Akan tetapi, jika yang melakukan akad pandai berbahasa arab maka menurut jumhur ulama dan pendapat paling benar dalam madzhab Syafii. Untuk mengucapkan dengan semua bahasa yang memungkinkan untuk bisa saling memahami. Karena tujuannya adalah mengungkapkan keinginan, dan itu bisa terjadi di dalam setiap bahasa. Karena dia menggunakan lafalnya yang khusus maka akad nikahnya sah, sebagaimana ketika melakukannya dengan menggunakan lafal bahasa Arab.

Para ulama Hanabilah berkata, “Akad nikah tidak boleh kecuali dengan menggunakan bahasa Arab bagi orang yang mampu berbahasa Arab. Barangsiapa yang mampu mengucapkan lafal nikah dengan bahasa Arab maka akad nikahnya tidak sah jika melakukannya dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Karena ia telah berpindah dari lafal “tazwiij” dan “inkahi’ padahal dia mampu mengucapkannya. Oleh sebab itu, pernikahannya tidak sah sebagaimana tidak sahnya ketika menggunakan Iafal hibah (hadiah), meniual dan menghalalkan.

Perundangan Syiria (Pasal 6) mengambil pendapat jumhur ulama. Pasal tersebut berbunyi, “ijab dan qabul dalam akad nikah bisa dengan lafal-lafal yang menunjukkan atas makna nikah. Baik secara bahasa maupun adat istiadat.”

Shigat Pernikahan, Lafal-Lafal Pernikahan – Bagian 1

Shigat Pernikahan, Lafal-Lafal Pernikahan – Bagian 1

Lafal Pernikahan – Rukun menurut para ulama Hanafiah adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu, dan menjadi bagian di dalam esensinya. Sedangkan syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu, dan bukan merupakan bagian di dalam esensinya. Rukun menurut jumhur ulama adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu.

Sesuatu tersebut tidak akan terwujud melainkan dengannya. Atau dengan kata lain merupakan hal yang harus ada. Dalam perkataan mereka yang masyur: rukun adalah hal yang hukum syar’i tidak mungkin ada melainkan dengannya. Atau hal yang menentukan esensi sesuatu, baik merupakan bagian darinya maupun bukan. Sedangkan syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu dan bukan merupakan bagian darinya.

Para ulama bersepakat bahwa ijab dan qabul adalah rukun. Karena dengan keduanya salah satu dari kedua mempelai mengikat diri dengan yang lain, sedangkan keridhaan adalah syarat.

Rukun pernikahan menurut para ulama Hanafiah hanya ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut jumhur ulama ada empat yaitu sighat ijab dan qabul), istri, suami, dan wali. Suami dan wali adalah dua orang yang mengucapkan akad. Sedangkan hal yang dijadikan akad adalah al-istimaa‘ (bersenang-senang) yang merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan. Sedangkan mahar bukan merupakan sesuatu yang sangat menentukan dalam akad. Mahar hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil bolehnya menikah dengan cara mewakilkan. Sedangkan saksi adalah merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar menjadi rukun menurut istilah yang beredar di kalangan sebagian ahli fiqih.

Menurut para ulama Hanafiah, ijab adalah perkataan yang pertama kali keluar dari salah satu kedua pihak yang berakad, baik dari pihak suami maupun istri. Sedangkan qabul menurut mereka adalah perkataan yang kedua dari salah satu pihak yang berakad. Adapun ijab menurut jumhur ulama adalah perkataan yang keluar dari wali istri atau orang yang menggantikannya sebagai wakil. Karena qabul hanya merupakan reaksi dari adanya iiab. Jika mengucapkan qabul sebelum ijab maka bukan namanya qabul karena sudah tidak bermakna Iagi. Qabul adalah perkataan yang menunjukkan akan keridhaan untuk menikah, dan yang mengucapkan adalah pihak suami.

Jika seorang lelaki berkata kepada seorang perempuan, “Nikahkanlah dirimu kepadaku. Kemudian si perempuan menjawab, “Aku terima.” Menurut para ulama Hanafiah, ucapan yang pertama merupakan ijab, sedangkan yang kedua merupakan qabul. Adapun menurut jumhur ulama justru sebaliknya. Karena wali perempuanlah yang memberikan hak milik kepada suami untuk bersenang-senang, maka perkataannya merupakan ijab. Sedangkan si suami yang menginginkan memiliki hak tersebut, oleh karenanya disebut qabul. Perundangan Syiria (Pasal 5) telah mencantumkan bahwasanya pernikahan dapat terlaksana dengan ijab dari salah satu pihak yang melakukan akad dan qabul dari pihak yang lain.

  • Lafal-Lafal Pernikahan

lafal pernikahanPernikahan adalah akad peradaban yang tidak ada formalisasi di dalamnya. Sedangkan akad merupakan pengikat bagian-bagian perilaku, yaitu ijab dan qabul secara syar’i. Yang dimaksud dengan akad di sini adalah makna masdharnya, yaitu al-irtibaath (keterikatan). Syariat menghukumi bahwa ijab dan qabul ada lahir, dan saling mengikat secara legal.

Masing-masing dari ijab dan qabul terkadang berbentuk ucapan, terkadang juga berupa tulisan atau isyarat. Lafal-lafal ijab dan qabul, di antaranya ada yang disepakati sah untukmenikah, ada yang disepakati tidak sah, dan ada juga yang masih diperselisihkan.

Adapun lafal-lafal yang telah disepakati oleh para ahli fikih akan keabsahannya dalam menikah, seperti lafal aku nikahkan dan aku kawinkan. Itu karena keduanya telah termaktub di dalam teks Al-Qur’an dalam firman Allah SWT yang artinya, “Dan Kami telah mengawinkan dia” (al-Ahzaab: 37). Dan firman-Nya yang artinya, “Dan janganlah kalian nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kali an”.(an-Nisaa’:22).

Sedangkan lafal-lafal yang telah sepakat akan ketidakabsahannya oleh para ahli fikih adalah lafal-lafal yang tidak menunjukkan akan pemberian hak milik sesuatu dalam masa sekarang juga tidak menunjukkan akan langgengnya hak milik sepanjang hidup, seperti membolehkan, meminjamkan, menyewakan, bersenang-senang sementara, wasiat, menggadaikan, menitipkan, dan semisalnya.

Adapun lafal-lafal yang masih mereka perselisihkan adalah seperti lafal, menjual, menghadiahkan, sedekah, memberi atau sejenisnya, yang menunjukkan akan pemberian hak milik di waktu sekarang dan kelanggengan hak milik seumur hidup.

Para ulama Hanafiah dan Malikiah

Menurut pendapat paling kuat berkata, “Pernikahan sah dilakukan dengan lafal-lafal yang masih dalam perdebatan tersebut dengan syarat adanya niat atau indikasi yang menunjukkan akan pernikahan, seperti adanya mahar, mengundang masyarakat dan saksi.” Karena permintaannya adalah pengenalan akan keinginan kedua pihak mempelai, dan kedudukan lafal tidak penting. Dalam teks agama ada lafal yang menunjukkan pernikahan dengan lafal menghadiahkan dan memberi hak milik.

Pertama: firman Allah SWT, “Dan perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (al-Ahzaab: 50) Kekhususan bagi Nabi saw. adalah menikah tanpa mahar bukan dengan menggunakan lafal menghadiahkan (menyerahkan diri).

Kedua: sabda Rasulullah saw. Kepada seorang lelaki yang tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar,

Sungguh aku telah memberimu hal milik akan dia dengan hafalan Al-Qur’anmu.(HR Bukhari-Muslim)

Menurut saya, pendapat inilah yang kuat Karena dalam sebuah akan dipandang adalah maknanya bukan lafalnya.

Para ulama Syafi’iah dan Hanabilah

Berkata, “Tidak sah pernikahan dengan mengunakan lafal-lafal tersebut. Dan tidak sah kecuali dengan lafal nikah dan kawin, karena keduanya telah termaktub di dalam teks Al-Qur’an sebagaimana yang sudah ada penjelasannya sebelumnya. Oleh karenanya, harus mencukupkan shighat dengan kedua kata tersebut. Pernikahan tidak akan sah jika menggunakan lafal selain dua kata tersebut. Itu karena pernikahan merupakan sebuah akad yang mempertimbangkan niat dan lafal khusus baginya.

Sedangkan mengenai ayat ke-50 dalam surah al-Ahzaab yang berisi mengenai seorang wanita yang menyerahkan diri kepada Nabi saw. merupakan kekhususan beliau. Sedangkan dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim yang memakai kata “mallaktu” (aku berikan hal milik), boleh jadi merupakan “wahm” [ilusi) dari perawi hadits, atau bisa juga perawi meriwayatkan dengan makna karena menyangka bahwa lafal “al-milku” sama dengan lafal “az-za-waaj“. Sekalipun riwayat tersebut shahih, akan tetapi itu bertentangan dengan riwayat jumhur ulama yang memakai kata “zaw-wajtu“.

Ringkasan pendapat madzhab-madzhab tersebut sebagai berikut:

Menurut para ulama Hanafiah, pernikahan sah dengan semua lafal (kata) yang menunjukkan akan pemberian hak milik sesuatu seketika itu, seperti lafal hibah (memberi hadiah), tamliik (memberi hak milik), sedekah, pemberian, pinjaman, jaminan, al-isti’ jaar, perdamaian, pertukaran, al-ju’lu, menjual dan membeli, dengan syarat adanya niat atau indikasi untuk menikah dan dipahami oleh para saksi. Menurut pendapat yang paling benar tidak sah menikah dengan mengucapkan, “Aku menikahi separuh dirimu”, demi lebih hati-hati dalam masalah tersebut. Bahkan harus mengiringi dengan lafal yang menunjukkan akan keseluruhan jiwa dan raga si perempuan, seperti lafal adz-dzahr (punggung) dan al-bathn (perut).

Sedangkan menurut para ulama Malikiah, pernikahan sah dengan lafal “at-tazwiij” (mengawinkan) dan “at-tamliik’ (memberi hak milik), dan lafal-lafal yang senada dengan kedua lafal tersebut seperti, hibah, sedekah dan pemberian. Untuk melakukan akad tidak perlu penyebutan mahar, sekalipun mahar adalah sesuatu yang harus ada. Dengan demikian, mahar tersebut menjadi syarat akad nikah agar sah, seperti halnya saksi, kecuali jika memakai lafal hibah.

Lafal-lafal dalam akad nikah itu ada empat macam:

  1. Lafal yang secara mutlak akad menjadi sah, baik orang yang akad tersebut menyebutkan mahar maupun tidah lafal tersebut adalah “ankahtu” (aku nikahkan) dan “zaw-wajtu” (aku kawinkan).
  2. Lafal yang akan menjadi sahnya akad jika menyebutkan mahar jika tidak maka akad tidak sah, yaitu lafal “wahabtu” (aku hadiahkan) saja.
  3. lLafal yang masih mengandung keraguan, yaitu setiap lafal yang mengandung arti langgeng seumur hidup, seperti perkataan, “Aku menjual putriku kepadamu dengan mahar sekian”, atau perkataan, “Aku memberimu hal milik atasnya” , atau aku halalkan, aku berikan dia kepadamu. Ada yang mengatakan bahwa akad nikah tersebut sah jika menyebutkan mahar. Pendapat lain berkata bahwa akad tersebut secara mutlak tidak sah.
  1. Lafal yang telah disepakati tidak sah untuk melakukan akad, yaitu semua lafal yang tidak mengandung pengertian langgeng seumur hidup, seperti menahan, menghentikan, menyewakan, meminjamkan dan ‘ummra. Dan pendapat itu yang kuat.

Menurut Para Ulama Syafi’iah dan Hanabilah akad nikah sah dengan lafal “tazwiij” (mengawinkan” dan “inkaah” (menikahkan” saja, tidak dengan selain kedua lafal tersebut seperti hibah, tamlik dan ijarah. Itu dengan hanya mencukupkan lafal yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

Bagaimana Sifat dan Hukum Pernikahan yang Sesuai Syariat

Bagaimana Sifat dan Hukum Pernikahan yang Sesuai Syariat

hukum pernikahanNikah – Seperti apa hukum pernikahan menurut para ahli? berikut penjelasannya:

  1. Hukum Pemikahan dan Hikmah

Pernikahan disyariatkan dengan dalil dari Al-Qur’an, sunah, dan ijma’. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman yang artinya, “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.” (an Nisaa’: 3) Juga firman-Nya yang artinya, “Dan kawinkanIah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (an Nuur:32)

Sedangkan di dalam sunah, Nabi saw. bersabda, 

Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mampu kebutuhan pernikahan maka menikahlah. Karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga alat vital. Barangsiapa yang belum mampu menikah maka hendaknya dia berpuasa, karena itu merupakan obat baginya.” (HR Bukhari-Muslim)

Kaum Muslimin juga telah berijma (bersepakat) bahwa pernikahan merupakan sebuah syariat.

  1. Sifat Pernikahan yang Sesuai Syariat

Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang haram. Juga berfungsi untuk menjaga komunitas manusia dari kepunahan, dengan terus melahirkan dan mempunyai keturunan.

Demikian juga, pernikahan berguna untuk menjaga kesinambungan garis keturunan, menciptakan keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat, dan menciptakan sikap bahu-membahu di antara sesama. Sebagaimana semestinya bahwasanya pernikahan merupakan bentuk bahu-membahu antara suami-istri untuk mengemban beban kehidupan. Juga merupakan sebuah akad kasih sayang dan tolong-menolong di antara golongan, dan penguat hubungan antar keluarga. Dengan pernikahan itulah berbagai kemaslahatan masyarakat dapat meraihnya dengan sempurna. Adapun mengenai jenis atau sifat pernikahan syar’i maka menurut para ahli fiqih bergantung pada keadaan masing-masing orang:

  • Fardhu:

menurut kebanyakan para ulama fiqih, hukum pernikahan adalah wajib, jika seseorang yakin akan jatuh ke dalam perzinahan seandainya tidak menikah, sedangkan ia mampu untuk memberikan nafkah kepada istrinya berupa mahar dan nafkah batin serta hak-hak pernikahan lainnya. Ia juga tidak mampu menjaga dirinya untuk terjatuh ke dalam perbuatan hina dengan cara berpuasa dan lainnya. Itu karena ia diwajibkan untuk menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan haram. Segala sesuatu yang merupakan sarana untuk kesempurnaan sebuah kewajiban maka ia hukumnya wajib pula. Caranya dengan menikah. Menurut jumhur ulama antara wajib dan fardhu tidak ada perbedaan.

  • Haram:

Menikah menjadi jika seseorang yakin akan menzalimi dan membahayakan istrinya jika menikahinya, seperti dalam keadaan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pernikahan, atau tidak bisa berbuat adil di antara istri-istrinya. Karena segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalam keharaman maka ia hukumnya juga haram.

Jika terjadi benturan antara hal yang mewajibkan seseorang untuk menikah dan yang mengharamkan untuk melakukannya. Itu seperti ia yakin akan terjerumus ke dalam perzinaan seandainya tidak menikah dan sekaligus yakin bahwa ia akan menzalimi istrinya, maka pernikahannya adalah haram. Karena jika ada sesuatu yang halal dan haram bercampur maka haram lah yang menang. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (an Nuur: 33)

Juga hadits Nabi saw sebelumnya yang menganjurkan agar berpuasa untuk menjaga diri dari timbulnya syahwat. Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa dalam keadaan tersebut utamanya harus menikah, karena tabiat seorang lelaki akan lentur setelah menikah, pola interaksinya akan meningkat, serta akan terkikis sikap kerasnya dan hilang sifat yang kacau. Demikian juga, tidak menikah dalam keadaan seperti itu kemungkinan besar akan menyebabkan terjatuh ke lembah perzinaan.

  • Makruh:

pernikahan dimalauhkan jika seseorang khawatir terjatuh pada dosa dan mara bahaya. Kekhawatiran ini belum sampai deraiat keyakinan jika ia menikah. Ia khawatir tidak mampu memberi nafkah, berbuat jelek kepada keluarga atau kehilangan keinginan kepada perempuan. Dalam madzhab Hanafi. Makruh ada dua macam; makruh tahrimi (mendekati haram) dan tanzihi (mendekati halal) sesuai dengan kuat dan lemahnya kekhawatirannya. Sedangkan menurut para ulama syafi’i, menikah makruh hukumnya bagi orang yang memiliki kelemahan, seperti tua renta, penyakit abadi, kesusahan yang berkepanjangan, atau terkena gangguan jin. Menurut mereka juga dimakruhkan menikahi perempuan yang telah dikhitbah orang lain dan diterima. Juga pernikahan muhallil, jika tidak mensyaratkan di dalam akad sesuatu yang dapat membatalkan maksudnya, pernikahan penipuan, seperti seorang suami menipu akan keislaman seorang perempuan, atau kemerdekaannya, atau dengan nasab tertentu.

hukum pernikahan

  • Dianjurkan dalam kondisi stabil:

Menurut jumhur ulama selain Imam Syafi’i, menganjurkan pernikahan jika seseorang berada dalam kondisi stabil, sekiranya ia tidak khawatir terjerumus ke dalam perzinaan jika tidak menikah. Juga tidak khawatir akan berbuat zalim kepada istrinya jika menikah. Keadaan stabil ini merupakan fenomena umum di kalangan manusia.

Dalil yang menunjukkan bahwa nikah hukumnya sunah adalah sabda Nabi saw. tentang seruan kepada pemuda sebelumnya. Juga hadis tentang kisah tiga orang yang bertekad melakukan beberapa hal. Orang pertama bertekad untuk selamanya shalat malam, orang kedua bertekad berpuasa setahun penuh, sedangkan orang ketiga bertekad untuk tidak menikah selamanya. Melihat hal itu,lantas Nabi saw. bersabda,

Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang paling takut dan tahttta kepada Allah di antara kalian. Akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur dan menikahi perempuan. Barangsiapa yang berpaling dari sunahku maka bukan termasuk golongan dariku.”

Hal itu terbukti dengan fakta bahwasanya Rasulullah saw. menikah dan menjaga hal itu, demikian juga dengan para sahabat beliau. Tradisi menikah ini diikuti oleh kaum Muslimin. Kontinuitas tersebut merupakan dalil sunnahnya menikah.

Imam Syafi’i berkata, sesungguhnya pernikahan dalam keadaan ini (stabil) hukumnya adalah mubah; boleh menikah dan boleh juga tidak. Sesungguhnya berkonsentrasi untuk ibadah dan mencari ilmu lebih utama dari pada menikah. Karena Allah SWT memuji Nabi Yahya a.s. dengan firman-Nya yang artinya, “menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu).” (Ali Imlaan: 39) Seandainya menikah itu lebih utama maka Allah SWT tidak akan memujinya karena ia meninggal untuk bersenang-senang dengan perempuan (menikah). Akan tetapi pendapat ini terbantah, bahwa itu adalah syariat kaum sebelum kita dan syariat kita kebalikannya.

Allah SWT berfirman yang artinya,

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak…” (Ali Imraan : 14) Ayat ini dalam konteks penghinaan. Pernikahan tidak wajib dilakukan karena berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budakyang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-Nisaa’: 3)

Karena kewajiban itu tidak berkaitan dengan rasa senang, dan menurut ijma’, tidak wajib hukumnya berpoligami. Imam Subki menolak alasan pertama yang mengatakan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah wanita-wanita yang disenangi. Dia mengatakan bahwa maksud dalam ayat tersebut adalah wanita-wanita yang halal, karena di sana ada wanita-wanita yang haram untuk dinikahi. Sebagaimana dalam firman Allah SWT yang artinya,

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-sauddramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisaa’:23)