Lafal Pernikahan – Rukun menurut para ulama Hanafiah adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu, dan menjadi bagian di dalam esensinya. Sedangkan syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu, dan bukan merupakan bagian di dalam esensinya. Rukun menurut jumhur ulama adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu.
Sesuatu tersebut tidak akan terwujud melainkan dengannya. Atau dengan kata lain merupakan hal yang harus ada. Dalam perkataan mereka yang masyur: rukun adalah hal yang hukum syar’i tidak mungkin ada melainkan dengannya. Atau hal yang menentukan esensi sesuatu, baik merupakan bagian darinya maupun bukan. Sedangkan syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu dan bukan merupakan bagian darinya.
Daftatr Isi
Para ulama bersepakat bahwa ijab dan qabul adalah rukun. Karena dengan keduanya salah satu dari kedua mempelai mengikat diri dengan yang lain, sedangkan keridhaan adalah syarat.
Rukun pernikahan menurut para ulama Hanafiah hanya ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut jumhur ulama ada empat yaitu sighat ijab dan qabul), istri, suami, dan wali. Suami dan wali adalah dua orang yang mengucapkan akad. Sedangkan hal yang dijadikan akad adalah al-istimaa‘ (bersenang-senang) yang merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan. Sedangkan mahar bukan merupakan sesuatu yang sangat menentukan dalam akad. Mahar hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil bolehnya menikah dengan cara mewakilkan. Sedangkan saksi adalah merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar menjadi rukun menurut istilah yang beredar di kalangan sebagian ahli fiqih.
Menurut para ulama Hanafiah, ijab adalah perkataan yang pertama kali keluar dari salah satu kedua pihak yang berakad, baik dari pihak suami maupun istri. Sedangkan qabul menurut mereka adalah perkataan yang kedua dari salah satu pihak yang berakad. Adapun ijab menurut jumhur ulama adalah perkataan yang keluar dari wali istri atau orang yang menggantikannya sebagai wakil. Karena qabul hanya merupakan reaksi dari adanya iiab. Jika mengucapkan qabul sebelum ijab maka bukan namanya qabul karena sudah tidak bermakna Iagi. Qabul adalah perkataan yang menunjukkan akan keridhaan untuk menikah, dan yang mengucapkan adalah pihak suami.
Jika seorang lelaki berkata kepada seorang perempuan, “Nikahkanlah dirimu kepadaku. Kemudian si perempuan menjawab, “Aku terima.” Menurut para ulama Hanafiah, ucapan yang pertama merupakan ijab, sedangkan yang kedua merupakan qabul. Adapun menurut jumhur ulama justru sebaliknya. Karena wali perempuanlah yang memberikan hak milik kepada suami untuk bersenang-senang, maka perkataannya merupakan ijab. Sedangkan si suami yang menginginkan memiliki hak tersebut, oleh karenanya disebut qabul. Perundangan Syiria (Pasal 5) telah mencantumkan bahwasanya pernikahan dapat terlaksana dengan ijab dari salah satu pihak yang melakukan akad dan qabul dari pihak yang lain.
Lafal-Lafal Pernikahan
Pernikahan adalah akad peradaban yang tidak ada formalisasi di dalamnya. Sedangkan akad merupakan pengikat bagian-bagian perilaku, yaitu ijab dan qabul secara syar’i. Yang dimaksud dengan akad di sini adalah makna masdharnya, yaitu al-irtibaath (keterikatan). Syariat menghukumi bahwa ijab dan qabul ada lahir, dan saling mengikat secara legal.
Masing-masing dari ijab dan qabul terkadang berbentuk ucapan, terkadang juga berupa tulisan atau isyarat. Lafal-lafal ijab dan qabul, di antaranya ada yang disepakati sah untukmenikah, ada yang disepakati tidak sah, dan ada juga yang masih diperselisihkan.
Adapun lafal-lafal yang telah disepakati oleh para ahli fikih akan keabsahannya dalam menikah, seperti lafal aku nikahkan dan aku kawinkan. Itu karena keduanya telah termaktub di dalam teks Al-Qur’an dalam firman Allah SWT yang artinya, “Dan Kami telah mengawinkan dia” (al-Ahzaab: 37). Dan firman-Nya yang artinya, “Dan janganlah kalian nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kali an”.(an-Nisaa’:22).
Sedangkan lafal-lafal yang telah sepakat akan ketidakabsahannya oleh para ahli fikih adalah lafal-lafal yang tidak menunjukkan akan pemberian hak milik sesuatu dalam masa sekarang juga tidak menunjukkan akan langgengnya hak milik sepanjang hidup, seperti membolehkan, meminjamkan, menyewakan, bersenang-senang sementara, wasiat, menggadaikan, menitipkan, dan semisalnya.
Adapun lafal-lafal yang masih mereka perselisihkan adalah seperti lafal, menjual, menghadiahkan, sedekah, memberi atau sejenisnya, yang menunjukkan akan pemberian hak milik di waktu sekarang dan kelanggengan hak milik seumur hidup.
Para ulama Hanafiah dan Malikiah
Menurut pendapat paling kuat berkata, “Pernikahan sah dilakukan dengan lafal-lafal yang masih dalam perdebatan tersebut dengan syarat adanya niat atau indikasi yang menunjukkan akan pernikahan, seperti adanya mahar, mengundang masyarakat dan saksi.” Karena permintaannya adalah pengenalan akan keinginan kedua pihak mempelai, dan kedudukan lafal tidak penting. Dalam teks agama ada lafal yang menunjukkan pernikahan dengan lafal menghadiahkan dan memberi hak milik.
Pertama: firman Allah SWT, “Dan perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (al-Ahzaab: 50) Kekhususan bagi Nabi saw. adalah menikah tanpa mahar bukan dengan menggunakan lafal menghadiahkan (menyerahkan diri).
Kedua: sabda Rasulullah saw. Kepada seorang lelaki yang tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar,
“Sungguh aku telah memberimu hal milik akan dia dengan hafalan Al-Qur’anmu.” (HR Bukhari-Muslim)
Menurut saya, pendapat inilah yang kuat Karena dalam sebuah akan dipandang adalah maknanya bukan lafalnya.
Para ulama Syafi’iah dan Hanabilah
Berkata, “Tidak sah pernikahan dengan mengunakan lafal-lafal tersebut. Dan tidak sah kecuali dengan lafal nikah dan kawin, karena keduanya telah termaktub di dalam teks Al-Qur’an sebagaimana yang sudah ada penjelasannya sebelumnya. Oleh karenanya, harus mencukupkan shighat dengan kedua kata tersebut. Pernikahan tidak akan sah jika menggunakan lafal selain dua kata tersebut. Itu karena pernikahan merupakan sebuah akad yang mempertimbangkan niat dan lafal khusus baginya.
Sedangkan mengenai ayat ke-50 dalam surah al-Ahzaab yang berisi mengenai seorang wanita yang menyerahkan diri kepada Nabi saw. merupakan kekhususan beliau. Sedangkan dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim yang memakai kata “mallaktu” (aku berikan hal milik), boleh jadi merupakan “wahm” [ilusi) dari perawi hadits, atau bisa juga perawi meriwayatkan dengan makna karena menyangka bahwa lafal “al-milku” sama dengan lafal “az-za-waaj“. Sekalipun riwayat tersebut shahih, akan tetapi itu bertentangan dengan riwayat jumhur ulama yang memakai kata “zaw-wajtu“.
Ringkasan pendapat madzhab-madzhab tersebut sebagai berikut:
Menurut para ulama Hanafiah, pernikahan sah dengan semua lafal (kata) yang menunjukkan akan pemberian hak milik sesuatu seketika itu, seperti lafal hibah (memberi hadiah), tamliik (memberi hak milik), sedekah, pemberian, pinjaman, jaminan, al-isti’ jaar, perdamaian, pertukaran, al-ju’lu, menjual dan membeli, dengan syarat adanya niat atau indikasi untuk menikah dan dipahami oleh para saksi. Menurut pendapat yang paling benar tidak sah menikah dengan mengucapkan, “Aku menikahi separuh dirimu”, demi lebih hati-hati dalam masalah tersebut. Bahkan harus mengiringi dengan lafal yang menunjukkan akan keseluruhan jiwa dan raga si perempuan, seperti lafal adz-dzahr (punggung) dan al-bathn (perut).
Sedangkan menurut para ulama Malikiah, pernikahan sah dengan lafal “at-tazwiij” (mengawinkan) dan “at-tamliik’ (memberi hak milik), dan lafal-lafal yang senada dengan kedua lafal tersebut seperti, hibah, sedekah dan pemberian. Untuk melakukan akad tidak perlu penyebutan mahar, sekalipun mahar adalah sesuatu yang harus ada. Dengan demikian, mahar tersebut menjadi syarat akad nikah agar sah, seperti halnya saksi, kecuali jika memakai lafal hibah.
Lafal-lafal dalam akad nikah itu ada empat macam:
- Lafal yang secara mutlak akad menjadi sah, baik orang yang akad tersebut menyebutkan mahar maupun tidah lafal tersebut adalah “ankahtu” (aku nikahkan) dan “zaw-wajtu” (aku kawinkan).
- Lafal yang akan menjadi sahnya akad jika menyebutkan mahar jika tidak maka akad tidak sah, yaitu lafal “wahabtu” (aku hadiahkan) saja.
- lLafal yang masih mengandung keraguan, yaitu setiap lafal yang mengandung arti langgeng seumur hidup, seperti perkataan, “Aku menjual putriku kepadamu dengan mahar sekian”, atau perkataan, “Aku memberimu hal milik atasnya” , atau aku halalkan, aku berikan dia kepadamu. Ada yang mengatakan bahwa akad nikah tersebut sah jika menyebutkan mahar. Pendapat lain berkata bahwa akad tersebut secara mutlak tidak sah.
- Lafal yang telah disepakati tidak sah untuk melakukan akad, yaitu semua lafal yang tidak mengandung pengertian langgeng seumur hidup, seperti menahan, menghentikan, menyewakan, meminjamkan dan ‘ummra. Dan pendapat itu yang kuat.
Menurut Para Ulama Syafi’iah dan Hanabilah akad nikah sah dengan lafal “tazwiij” (mengawinkan” dan “inkaah” (menikahkan” saja, tidak dengan selain kedua lafal tersebut seperti hibah, tamlik dan ijarah. Itu dengan hanya mencukupkan lafal yang terdapat di dalam Al-Qur’an.