Nikah – Terkadang Bentuk fi’il dalam ijab dan qabul berupa maadhi (lampau), mudhari’ (masa sekarang) dan amr (kata perintah), dan para ahli fikih bersepakat akan sahnya akad nikah dengan menggunakan bentuk shigat fi’iI maadhi.
Mereka berselisih mengenai fi’iI maadhi dan amr
a) Akad nikah sah dengan menggunakan fi’iI maadhi: contohnya, wali perempuan berkata kepada mempelai laki-laki:
“Aku nikahkan kamu dengan putriku fulanah dengan mahar sekian,“
Lantas mempelai laki-laki menjawab:
“Aku menerima atau aku ridha.”
Karena maksud pengucapan dengan bentuky”fI ini adalah melangsungkan akad nikah saat itu juga. Dengan demikian akad nikah sah tanpa harus bergantung kepada niat atau qarinah (indikasi) untuk menikah.
b) Adapun akad dengan menggunakan fi’il mudhaari’, seperti mempelai lelaki berkata kepada mempelai perempuan dalam majelis akad,
“Aku menikahimu dengan mahar senilai sekian.“
Lantas si perempuan menjawab,
“Aku menerima atau aku ridha.“
Sah akadnya menurut ulama Hanafiah dan Malikiah, jika terdapat indikasi yang menunjukkan keinginan melangsungkan akad seketika itu, bukan janii untuk masa yang akan datang. Indikasi tersebut seperti keadaan tempat akad (majelis) yang telah siap untuk melangsungkan akad nikah. Keberadaan kesiapan tempat tersebut menghilangkan keinginan untuk sekedar melakukan perjanjian atau tawar-menawar pernikahan. Kesiapan itu juga menunjukkan adanya keinginan untuk melangsungkan prosesi akad nikah. Karena pernikahan kebalikan dari jual-beli, yang memang mendahuluinya dengan khitbah.
Jika tempat akad nikah tidak siap untuk melangsungkan prosesi akad nikah, dan tidak ada indikasi yang menunjukkan keinginan untuk melangsungkan akad nikah pada saat itu maka akad nikahnya tidak sah.
Menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah, akad dengan menggunakan fi’il mudhaari’ tidak sah. Menurut mereka harus menggunakan bentuk fi’il maadhi yang berasal dari kata dasar “nikaahu” atau “zawaaj” Seperti seorang lelaki mengatakan,
“Aku kawini, aku nikahi atau aku terima nikahnya atau kawinnya.”
Tidak boleh akad dengan kata sendirian, seperti, “Aku halalkan putriku.” Karena para saksi tidak dapat mengetahui akan niat orang yang mengucapkan kalimat tersebut. Seandainya wali perempuan mengatakan, ”Aku kawinkan kamui” lantas si lelaki menjawab, “Aku terima,” maka tidak sah menurut para ulama Syafi’iyah, dan sah menurut jumhur ulama selain Syafi’iah.
c) Menurut para ulama Hanafiah dan Malikiah
Akad nikah sah dengan menggunakan fi’il amr. Seperti seorang lelaki mengatakan kepada Seorang perempuan, “Nikahkanlah dirimu denganku!” dengan perkataan itu dia bermaksud untuk melakukan akad nikah bukan khitbah. Kemudian si perempuan menjawab, “Aku nikahkan kamu dengan diriku” maka pernikahan keduanya sah.
Penjelasan mengenai hal itu dari para ulama Hanafiah adalah, sesungguhnya perkataan si lelaki mengandung pemberian hak wakil kepada perempuan untuk menikahkan si lelaki dengannya. Sedangkan jawaban si perempuan, “Aku nikahkan kamu dengan diriku” menempati posisi ijab dan qabul. Sedangkan penjelasan dari para ulama Malikiah, bahwa sesungguhnya bentuk fi’il amr (kata kerja perintah) menganggapnya sebagai ijab dalam akad secara adat. Bukan merupakan kandungan dari pemberian hak wakil, dan pendapat ini lebih jelas. Pernikahan itu sah dengan adanya ijab atau atau istijab (meminta ijab).
d) Adapun akad nikah dengan menggunakan istifham (kata tanya), seperti, “Apakah kamu menikahkanku dengan puterimu?” lantas dijawab, “Aku telah menikahkan” atau “iya,” maka menurut para ulama Hanafiah bukan merupakan pernikahan, selagi orang yang melakukan ijab tadi tidak menjawab lagi setelah itu, “Aku menerima“‘ Karena perkataan “Apakah kamu menikahkanku?” merupakan pertanyaan atau minta kabar, bukan merupakan akad. Lain halnya dengan shighat fi’il amr, “Nikahkan aku” yang mengandung makna pemberian hak wakil, sebagaimana yang telah kita ketahui.
Ringkasan:
Menurut ulama Syafi’iah, akad nikah tidak sah kecuali dengan shighat fi’il maadhi (bentuk lampau) dan berasal dari kata “zawaaj” (kawin) dan “nikah” (nikah). Sedangkan menurut ulama Malikiah dan Hanafiah, akad nikah sah dengan menggunakan fi’il maadhi, mudhaari’ dan amr, jika ada indikasi yang menunjukkan akad dilakukan saat itu juga bukan sekadar janji akad.
Menurut jumhur ulama selain ulama Hanabilah tidak disyaratkan mendahulukan ijab dari pada qabul, akan tetapi hanya dianjurkan, seperti wali perempuan berkata, “Aku kawinkan kamu dengannya atau aku nikahkan kamu dengannya.” Para ulama Hanabilah berkata, “Jika qabul mendahului ijab maka akadnya tidak sah, baik itu diucapkan dengan memakai shighat fi’il maadhi maupun fi’il amr.”