Beberapa Hak Bersama Suami Istri

Beberapa Hak Bersama Suami Istri

Kebanyakan dari hak istri dan suami, terutama hak untuk menyetubuhi dan hal lain yang menyertainya adalah hak bersama suami istri. Akan tetapi, hak suami yang harus terpenuhi oleh si istri lebih besar daripada hak istri yang harus terpenuhi oleh suami. Berdasarkan firman Allah SWT.

Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (an-Nisaa’: 228)

Juga berdasarkan hadits yang tadi telah disebutkan dari riwayat Abu Dawud,

Jika aku dapat memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang, aku pasti memerintahkan para istri untukbersujud kepada suami-suaminya, karena Allah telah menjadikan hak untuk mereka yang harus dipenuhi oleh para istri.

Sunnah bagi setiap suami-istri untuk memperbaiki akhlaknya kepada pasangannya, berlaku lembut kepadanya, dan menahan aniayanya. Berdasarkan firman Allah SWT,

dan teman sejawat.” (an-Nisaa’: 36)

Maksudnya berlaku baik kepadanya. Juga berdasarkan hadis yang tadi,

Saling memberikan pesanlah kalian untuk memberlakukan dengan baik para wanita.”

Juga hadits,

Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik kepada keluarganya.

Seorang suami harus memiliki rasa kecemburuan yang tidak berlebih-lebihan, agar jangan sampai muncul keburukan akibat rasa cemburu ini. Istri juga seharusnya terus dipertahankan meskipun si suami membencinya, berdasarkan firman Allah SWT,

Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisaa’: 19)

Ibnu Abbas berkata, “Bisa jadi dia mendapatkan anak darinya, maka Allah menjadikan kebaikan yang banyak pada anaknya tersebut.”

Seorang suami tidak mesti memberitahukan si istri jumlah uang yang dia miliki. Dan dia juga tidak berhak membuka rahasia yang dia khawatirkan akan tersebar oleh istrinya karena perempuan suka membuka rahasia. Jangan sampai dia sering memberikan hadiah kepada istrinya, karena jika dia telah terbiasa atas sesuatu, maka dia menjadi tidak sabar untuk selalu mendapatkannya.

Hak Hak Suami

Hak Hak Suami

Sesungguhnya hak hak suami yang paling penting adalah yang berikut ini:

  1. Ketaatan isteri terhadap suaminya dalam persetubuhan dan pergi keluar dari rumah

Jika seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, dan dia adalah orang yang bisa untuk digauli, maka dia harus menyerahkan dirinya dengan akad perkawinan jika dia dituntut untuk melakukan hal itu. Si suami harus menerimanya jika si istri menawarkannya kepadanya karena dengan akad perkawinan si suami berhak menyerahkan ‘iwadh, yaitu dengan menyerahkan mahar yang bersifat cepat kepada si istri.

Imam Ahmad telah menyebutkan bahwa perempuan yang bisa digauli adalah anak perempuan yang berumur sembilan tahun ke atas karena Nabi saw. menggauli Aisyah ketika dia merupakan anak perempuan yang berumur sembilan tahun.

Si istri mendapat tempo waktu yang sesuai dengan adat untuk menyiapkan dirinya, seperti dua hari atau tiga hari karena ini adalah kebutuhannya. fika seorang suami melarang hal ini maka ini merupakan penyulitan. Jadi dia harus memberikan si istri tempo waktu untuk mencari kemudahan. Yang menjadi rujukan mengenai hal ini adalah kebiasaan yang berlaku di kalangan manusia karena hal ini tidak memiliki ketetapan waktu, maka mesti merujuk kepada kebiasaan. Tempo waktu tidak untuk menyiapkan perabotan rumah tangga dan yang sejenisnya.

Seorang istri harus menaati suaminya ketika si suami mengajaknya ke tempat tidur meskipun pada saat itu si istri tengah berada di tempat perapian atau di atas punggung unta. Sebagaimana yang oleh Ahmad dan yang lainnya riwayatkan, selama hal tersebut tidak membuat si istri terlupa kepada kewajiban agama, atau menimbulkan keburukan kepada si istri karena keburukan dan yang sejenisnya bukan merupakan menggauli yang baik.

Kewajiban ketaatan istri kepada suami adalah berdasarkan firman Allah SWT,

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.”

Juga sabda Rasulullah saw,

Jika aku dapat memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang, maka aku pasti memerintahkan seorang perempuan untuk bersujud kepada suaminya.

Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lantas si rstri menolak untuk memenuhinya. Kemudian si suami tidur dengan rasa marah kepadanya, maka malaikat melaknat si istri sampai datang waktu subuh.”

Termasuk di antara perbuatan ketaatan adalah, tinggal di rumah selama dia telah menerima maharnya yang bersifat cepat, yang membuatnya mendedikasikan dirinya untuk memperhatikan berbagai perkara rumah tangga mengurus rumah, dan merawat anak-anak dari kecil sampai besar.

Si istri tidak boleh keluar rumah walaupun untuk melaksanakan ibadah haji kecuali dengan izin suaminya. Si suami berhak melarangnya untuk keluar ke masjid dan yang lainnya. Berdasarkan apa yang oleh lbnu Umar r.a. riwayatkan, ia berkata, “Aku melihat seorang perempuan datang menemui Nabi dan dia berkata, ‘Ya Rasulullah, apakah hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya?

Beliau menjawab,

Haknya yang harus dipenuhi oleh istrinya adalah jangan sampai dia keluar dari rumahnya kecuali dengan izinnya. Jika dia melakukannya, maka Allah, malaikat rahmat, dan malaikat marah melaknatnya sampai dia bertaubat atau kembali.”

Si perempuan tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, meskipun dia adalah seorang yang berlaku zalim kepadanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Meskipun dia adalah seorang yang berlaku zalim kepadanya.”

  1. Amanah

Seorang istri harus menjaga dirinya, rumah, harta, dan anaknya ketika suaminya sedang tidak ada di rumah. Berdasarkan hadis riwayat Ibnu al-Ahwash yang tadi telah tersebutkan,

Sedangkan hak kalian yang harus dipenuhi oleh istri kalian adalah jangan kalian masukkan ke dalam rumah kalian orang yang kalian benci, dan dia tidak izinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian.

Juga sabda beliau saw.,

Perempuan Quraisy adalah perempuan yang paling baik menunggangi unta, yang paling menyayangi anak ketika dia masih kecil, dan yang paling perhatian terhadap suaminya yang ada di dalam kekuasaannya.” 

Dalam satu redaksi yang lain,

Perempuan yang paling baik menunggangi unta adalah perempuan Quraisy yang salih.” 

Hal ini juga tegas oleh hadits yang terkenal,

Kalian semua adalah penggembala, dan kalian semua adalah penanggung jawab terhadap gembalaannya. Seorang raja ada penggembala. Seorang laki-Iaki adalah penanggung jawab keluarganya. Seorang perempuan adalah penanggung jawab bagi rumah suaminya dan anaknya. Kalian semua adalah penggembala dan kalian semua bertanggung jawab atas gembalaannya.

  1. Perlakuan yang baik

Seorang istri harus memperlakukan dengan baik suaminya, dengan cara mencegah berbuat aniaya dan lainnya. Sebagaimana si suami juga harus memperlakukan dengan baik suaminya. Berdasarkan sabda Rasulullah saw.,

Jangan sampai seorang istri menganiaya suaminya di dunia kecuali istrinya yang merupakan bidadari berkata, jangan kamu aniaya dia, Allah akan memerangimu. Sesungguhnya dia adalah seorang pendatang untukmu, yang hampir saja meninggalkanmu untuk mendatangi kami.

Rasulullah saw. juga bersabda,

setelah kematianku, aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih buruk ketimbang fitnah perempuan terhadap laki-laki.”

  1. Hak untuk memberikan pelajaran

Seorang suami memiliki hak untuk memberikan pelajaran kepada istrinya ketika si istri melanggar perintahnya yang mengandung kebaikan, bukannya yang berupa kemaksiatan karena Allah SWT memerintahkan memberikan pelajaran kepada para istri dengan cara meninggalkan tempat tidurnya, dan dengan cara memberikan pukulan ketika mereka tidak mau taat. Jika mereka telah menaati, maka pemberian pelajaran harus berhenti, berdasarkan firman Allah SWT,

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka.” (an-Nisaa’: 34)

Sedangkan perempuan yang tidak solehah adalah yang melepaskan hak-hak suami istri, dan bermaksiat kepada suaminya, maka dia lah perempuan yang perlu mendapatkan pelajaran. Hak suami untuk memberikan pelajaran kepada istrinya yang tidak mau menaatinya adalah berkisar pada perkara yang si suami harus taat, yaitu jika si istri adalah orang yang nusyuz. Nusyuz maksudnya adalah, pengingkaran istri terhadap perkara yang harus dia laksanakan. Rasa benci di antara masing-masing suami istri. Keluar rumah dengan tanpa izin suami, bukannya keluar ke tempat qadhi untuk menuntut haknya kepada suaminya.

  1. Mandi setelah selesai masa haid, nifas, dan junub 

Mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, suami berhak memaksa istrinya, untuk mandi setelah selesai masa haid dan nifas, meskipun si istri adalah seorang ahli dzimmah karena dengan tanpa mandi terhalang hak suami untuk menggauli istrinya. Oleh karena itu, si suami berhak memaksa istrinya untuk menghilangkan perkarayangmenghalangi haknya. Dia juga berhak memaksa istrinya yang muslimah dan telah baligh untuk mandi junub karena shalat merupakan kewajiban si istri, dan shalat tidak boleh bagi si istri tanpa mandi. Juga karena jiwa merasa jijik untuk menyetubuhi orang yang tengah junub.

Istri yang merupakan ahli dzimmah tidak berhak untuk mandi junub, seperti perempuan yang muslimah yang belum mencapai usia baligh; karena persetubuhan tidak bergantung kepada mandi junub, yang boleh melakukan persetubuhan tanpa terlebih dahulu mandi junub.

Mazhab Hambali menambahkan, sesungguhnya si suami berhak memaksa istrinya untuk mandi dari najis karena mandi najis ini wajib untuk dia lakukan. Dia juga berhak memaksanya untuk menghindari perkara yang haram karena ini adalah kewajiban suami terhadap istri. Dia juga berhak memaksa istrinya untuk memotong rambut dan kuku yang membuat jijik manusia, serta menghilangkan kotoran; karena perkara yang tadi menghalangi kesempurnaan persetubuhan.

Mazhab Syafi’i menyebutkan dua pendapat mengenai pembersihan, pencukuran rambut kemaluan, dan mandi junub: satu pendapat mengatakan, si suami memiliki hak untuk memaksa istrinya melakukannya; karena persetubuhan bergantung kepadanya. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan, si suami tidak berhak memaksa si istri untuk melakukannya; karena persetubuhan tidak bergantung kepadanya.

  1. Melakukan perjalanan bersama istri

Kita telah mengetahui bahwa seorang suami memiliki hak untuk melakukan perjalanan dengan istrinya setelah semua kewajiban mahar yang bersifat segera telah dia penuhi, dan dia dapat menjamin keselamatan istrinya.

Hak Hak Istri

Hak Hak Istri

Nikah – Hak-hak istri; Istri memiliki berbagai hak materil yang berupa mahar dan nafkah, serta hak nonmateril, yaitu; hubungan baik, perlakuan yang baik dan keadilan.

Mengenai mahar tadi kita telah membicarakannya secara mendetail. Dan kita telah mengetahui bahwa itu adalah hak khusus perempuan berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan firman Allah SWT,

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (an-Nisaa’: 4)

Telah ada dalam hadits bahwa perkawinan Nabi saw. tidak pernah terlepas dari mahar. Sedangkan nafkah, kami khususkan pembahasan tersendiri mengenainya. Ini adalah perkara yang juga telah ada di dalam Al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan firman Allah SWT, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.” (al-Baqarah: 233) Juga dari Mu’awiyah al-Qusyairi, “Sesungguhnya Nabi ditanya oleh seorang laki-laki, Apakah hak istri yang harus dipenuhi oleh suami?” Beliau menjawab,

Kami berikan dia makan jika kamu makan, kamu pakaikan dia jika kamu mengenakan pakaian. Dan jangan kamu pukul wajahnya. Dan jangan kamu buat dia menjadi buruli. lDan jangan kamu tinggalkan dia kecuali di dalam rumah.

Maksudnya, jangan kamu katakan kepada istrimu, “Mudah-mudahan Allah membuatnya menjadi jelek.” Dan meninggalkannya adalah di tempat tidur bukannya si suami pergi meninggalkan istrinya pindah ke rumah yang lain, atau dia pindahkan istrinya ke rumah yang lain. Maksudnya hubungan adalah, kebaikan dan kedekatan yang terjadi di antara suami-istri.

Masing-masing setiap pasangan suami istri harus memperlakukan yang lain dengan penuh kebaikan. Dengan cara menemaninya dengan baik dan menahan aniaya. Jangan sampai dia tahan haknya yang sesuai dengan kemampuannya. Juga jangan sampai dia tampakkan ketidaksenangannya terhadap apa yang dia berikan. Bahkan dia perlakukan pasangannya dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Jangan dia balas perlakuan baiknya dengan aniaya karena ini adalah termasuk kebaikan. Berdasarkan firman Allah SWT,

Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisaa’: 19)

Juga firman Allah SWT, “Dan para wanita mempunyai hak Yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (al-Baqarah: 228)

Abu Zaid berkata, “Merasa takutlah kalian kepada Allah mengenai mereka, sebagaimana mereka juga harus merasa takut kepada Allah mengenai kalian.” Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya aku suka berdandan untuk istriku, sebagaimana aku merasa suka iika dia berdandan untuk diriku,” karena Allah swt. berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.

Telah ditetapkan di dalam hadits perintah untuk memperlakukan dengan baik kaum perempuan. Dan di dalamnya tersebut berbagai hak dan kewaiiban masing-masing suami istri. Nabi saw. bersabda,

Sesungguhnya kalian memiliki hak pada istri kalian, dan istri kalian juga memiliki hak yang harus kalian penuhi. Sedangkan hak kalian yang harus dipenuhi oleh istri kalian adalah jangan sampai tempat tidur kalian disentuh oleh orang yang kalian benci. Dan jangan sampai diizinkan masuk orang yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Ingatlah hak mereka yang harus kalian penuhi adalah kalian berlaku baik kepada mereka dalam pakaian mereka dan makanan mereka.”

hak-hak istri

Termasuk di antara hak-hak istri yang paling penting dengan secara ringkas dari apa yang tadi telah dijelaskan mengenai perihal ini:

  1. Menjaga kesucian istri dan menggaulinya

Mazhab Maliki berpendapat, persetubuhan wajib oleh suami kepada istrinya jika tidak ada halangan. Mazhab Syafi’i berpendapat, persetubuhan hanya wajib sekali saja karena ini adalah hak milik suami, maka dia boleh meninggalkannya seperti halnya mendiami rumah sewaan. Sedangkan Mazhab Hambali berpendapat, suami wajib menggauli istrinya dalam setiap empat bulan sekali, jika tidak ada halangan karena seandainya bukan suatu kewaiiban, tidak ditegaskan dengan sumpah (al-iilaa) untuk meninggalkannya secara wajib, seperti halnya semua perkara yang tidak wajib.

  1. Diharamkan melakukan persetubuhan di bagian anus

Berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya AIIah tidak merasa malu dengan kebaikan, jangan sampai kalian pergauli istri kalian di bagian anus mereka.”

Juga sabda beliau saw., ”Allah tidak mau memandang orang laki-laki yang menggauli istrinya di bagian anusnya.”

  1. ‘azl (mengeluarkan air sperma laki-laki di luar vagina)

Mazhab Syafi’i berpendapat ‘azl makruh. Al-Ghazali berkata,’azl boleh. Ini adalah pendapat yang benar bagi para ulama muta’akhkhirin. Pendapat yang membolehkan ‘azl telah sepakat oleh keempat mazhab, berdasarkan hadits Abu Sa’d al-Khudri secara marfu’ dari Ahmad, “Kami menggauli istri kami dan kami suka menggauli mereka, maka apakah pendapatmu mengenai ‘azl?” Beliau menjawab,

Perbuatlah apa yang menurut kalian baik maka apa yang ditetapkan oleh Allah itulah yang terjadi, dan tidak dari setiap air sperma lahir anak.

  1. Menggauli dengan baik

Seorang suami wajib menggauli istrinya dengan baik berdasarkan firman Allah swt., “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (anNisaa’: 19). Dia wajib mengeluarkan apa yang menjadi hak istrinya yang harus dia penuhi dengan tanpa penangguhan. Berdasarkan ayat yang tadi telah ada.

Termasuk di antara menggauli dengan baik adalah memberikan haknya dengan tanpa menangguhkan, berdasarkan sabda Rasulullah saw.,

Penangguhan orang yang kaya adalah suatu tindakan kezaliman.”

  1. Keadilan di antara istri dalam masalah menginap dan nafkah

Sebagaimana yang tadi telah kami jelaskan. Barangsiapa yang memiliki dua orang istri atau lebih, maka menurut jumhuryang selain Syafi’i dia harus berlaku adil di antara mereka, dan membagi giliran kepada mereka. Setiap satu orang istri digilir dalam waktu satu hari satu malam, tanpa memedulikan apakah si suami adalah orang yang sehat, ataupun sakit, ataupun kebiri. Tanpa memperdulikan apakah si istri sehat, sakit, tengah haid, tengah mengalami masa nifas, tengah melakukan ihram, ataukah perempuan ahli kitab dengan tujuan untuk memberikan hiburan. Juga karena Nabi saw. melakukan giliran kepada para istrinya. Beliau menggilir pada masa sakitnya, meskipun beliau tidak wajib untuk menggilir. Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah menggilir bagi setiap istrinya satu hari satu malam.” Aisyah r.a. juga berkata, “Rasulullah menggilir di antara kami dengan penuh keadilan, Dan beliau berkata

Ya Allah, sesungguhnya ini Adalah bagian yang sanggup aku laksanakan, maka jangan Engkau cela aku pada apa yang tidak sanggup aku Iakukan.”

Kondisi Wajibnya Mahar, Pembagiannya, dan Kegugurannya

Kondisi Wajibnya Mahar, Pembagiannya, dan Kegugurannya

Nikah – Kondisi wajibnya mahar, pembagian, dan kegugurannya menurut pendapat para ahli fiqih.

  • Kewajiban mahar

Para fuqaha telah bersepakat bahwa mahar wajib dengan akad yang sama jika memang sah perkawinannya. Yang wajib adalah mahar musamma jika penentuannya benar dan mahar mitsil jika tidak ada penentuan. Atau penentuannya rusak, atau ada kesepakatan untuk meniadakan mahar.

Jumhur fuqaha yang selain mazhab Hanafi mengungkapkan mengenai hal ini, mereka berkata, si perempuan memiliki mahar musamma dengan akad jika akadnya benar, kecuali mazhab Maliki yang memiliki pendapat bahwa berdasarkan atas mazhab si perempuan memiliki setengah bagian mahar dengan akad.

Jika akad perkawinan fasid, atau terjadi persetubuhan dengan syubhat, seperti dia diberi perempuan yang selain perempuan yang dia kawini, dan para perempuan berkata kepadanya “dia adalah isteri kamu” Maka dia harus mengeluarkan mahar mitsil dengan persetubuhan yang hakiki sebagai sebuah kewajiban yang tegas yang tidak hilang kecuali dengan pelaksanaan ataupun dengan pembebasan. 

  • Penegasan mahar

Para fuqaha telah bersepakat bahwa kewajiban mahar dalam akad yang sahih tegas dengan persetubuhan ataupun kematian, baik dengan mahar musamma, ataupun mahar rnitsil, sehingga setelah itu mahar tidak hilang kecuali dengan pembebasan dari si pemilik hak. Mereka juga telah bersepakat dalam penetapannya di dalam dua perkara; khalwat yang sahih dan tinggalnya istri dalam masa satu tahun sejak dia di antarkan kepada suami tanpa melakukan persetubuhan.

Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat, mahar juga tetap sebab khalwat yang sahih. Pendapat mereka ini bertentangan dengan pendapat mazhab Maliki dan Syafi’i. Mazhab Maliki memiliki pendapat yang bertentangan dengan pendapat iumhur, yaitu: ditetapkan dan diwujudkan mahar dengan tinggalnya seorang istri selama satu tahun setelah dihantarkan dengan tanpa digauli. Mazhab Hambali menambahkan, sesungguhnya mahar juga ditegaskan dengan talak firaar sebelum terjadinya persetubuhan dalam masa penyakit kronis.

Pembicaraan masing-masing dari sebab ini jelas dengan yang berikut ini:

1. Persetubuhan Yang hakiki

Yaitu persetubuhan atau hubungan seks, meskipun perbuatan ini dengan cara yang haram di bagian vagina maupun di bagian anus, dengan masuknya penis atau kadarnya dari bagian yang dikhitan. Atau dilakukan dalam kondisi haid, nifas, ihram, puasa, ataupun i’tikaf. Tindakan ini menegaskan kewajiban mahar.

2. Kematian

Kematian salah satu pasangan suami atau istri sebelum terjadi persetubuhan dalam pernikahan yang sah menurut kesepakatan para fuqaha. Juga sebelum terjadinya khalwat yang sah menurut mazhab Hanafi dan Hambali.

Jika salah seorang pasangan suami atau istri meninggal dunia sebelum terjadinya persetubuhan dalam pernikahan yang sah, si perempuan berhak mendapatkan semua mahar menurut kesepakatan fuqaha jika pernikahan tersebut menyebutkan mahar di dalam akad; karena akad perkawinan tidak bisa batal akibat kematian, hanya saja terhenti dengan adanya kematian. Oleh karena itu, semua hukumnya ditetapkan dengan terhentinya masa akad perkawinan, di antaranya adalah mahar. Dengan adanya ijma’ sahabat dengan penetapan mahar akibat kematian

3. Khalwat yang sahih, untuk mengeluarkannya dari khalwat yang fasid

Khalwat yang sahih adalah, suami-istri berkumpul setelah melakukan akad sahih di sebuah tempat yang membuat keduanya mampu bercumbu secara sempurna. Yaitu sebuah tempat yang tidak bisa oleh seorang pun memasuki ketika keduanya tengah berdua-duaan. Salah satu dari keduanya tidak memiliki halangan yang alami, indrawi, atau yang bersifat syariat yang membuatnya tercegah untuk melakukan persetubuhan.

4. Tinggalnya istri selama satu tahun di rumah suami setelah dilakukan hantaran tanpa terjadi persetubuhan.

5. Talak firaar pada masa sakit kronis sebelum terjadi persetubuhan

Penetapan mahar juga menurut mazhab Hambali sebab perceraian yang terjadi kepada istri dalam kondisi suami tengah mengalami penyakit kronis. Sebelum dia sempat menggauli istrinya jika dia menceraikannya dengan tujuan untuk menghindarkannya dari hartawarisannya. Kemudian si suami meninggal dunia. Maka penetapannya untuk si istri mahar secara penuh dengan kematian suaminya, akibat adanya kemestian baginya untuk menjalani masa iddah kematian dalam kondisi yang seperti ini, selama dia tidak kawin lagi atau melakukan tindakan kemurtadan.

Menurut mazhab Hanafi, menetapkan mahar karena salah satu dari ketiga sebab ini; persetubuhan, khalwat yang sahih, dan kematian salah satu pasangan suami-istri. Sedangkan menurut mazhab Maliki akibat salah satu dari ketiga sebab ini, yaitu: persetubuhan, maksudnya persetubuhan yang terjadi kepada perempuan dengan secara suka rela. Dan yang melakukan adalah seorang laki-laki yang telah baligh walau pun dengan cara yang haram, kematian salah satu dari kedua pasangan suami-istri. Berdiamnya si istri selama satu tahun di rumah suami dengan tanpa persetubuhan dengan syarat dia telah baligh dan dia melakukannya dengan secara suka rela.

Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, penetapan mahar dengan salah satu dari kedua perkara ini: persetubuhan walaupun dengan cara yang haram, dan kematian salah satu pihak suami-istri, tanpa mengikut sertakan khalwat dalam perkataan yangjadid. Sedangkan menurut mazhab Hambali, penetapan mahar dengan salah satu dari ketiga perkara ini: persetubuhan, kematian ataupun pembunuhan, dan perceraian dalam kondisi kematian suami sebelum melakukan lakukan persetubuhan dengan istri.

Jangan Terbakar Oleh Api Cemburu

Jangan Terbakar Oleh Api Cemburu

Api cemburu (ghairah) sulit didefinisikan, tetapi ia adalah semacam perasaan tidak rela atau tidak menerima terhadap sikap atau perlakuan yang melukai hati seseorang sehubungan dengan cinta yang mendalam.

Ibnul Qayyim membedakan cemburu atas dua macam, yaitu cemburu dari sesuatu dan cemburu terhadap sesuatu. Cemburu dari sesuatu ialah ketika anda menanam kebencian atau ketidakrelaan kepada sesuatu yang bersekutu dalam mencintai kekasih anda. Sedangkan cemburu terhadap sesuatu ialah hasrat anda yang menggebu terhadap kekasih, sehingga anda merasa takut andaikan orang lain beruntung mendapatkannya atau ada orang lain yang bersekutu untuk mendapatkannya.

Rasa cemburu sering bercampur aduk dengan rasa rindu, kebencian, dan hasrat yang terpendam. Kecemburuan yang positif dapat membangkitkan, tetapi kecemburuan yang negative dapat menghancurkan, bahkan menuntut seseorang untuk membunuh atau bunuh diri.

A. Kecemburuan Allah

Cemburu yang paling tinggi tingkatannya adalah kecemburuan Allah terhadap hamba-Nya. Cemburu Allah terhadap hamba-Nya ialah tidak menjadikan manusia sebagai hamba bagi makhluk-Nya, tapi menjadikannya sebagai hamba bagi Diri-Nya sendiri. Untuk itu, Dia tidak menjadikannya sekutu dalam penghambaan ini.  Dia akan murka ketika hamba yang Dia cintai dan mengaku cinta kepada-Nya akhirnya memberikan cinta dalam bentuk penghambaan kepada dzat selain-Nya. Bahkan kemurkaan ini tidak akan diampuni, yaitu syirik, dan orang yang melanggarnya dijuluki sebagai musyrik.

Rasulullah saw bersabda,

Dari Al-Ahwash, dari Abdullah bin Mas’ud ra, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada seseorang yang lebih cemburu selain dari Allah. Di antara cemburu-Nya ialah Dia mengharamkan kekejian yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada seseorang yang lebih mencintai pujian selain dari Allah. Karena itulah Dia memuji Diri-Nya. Tidak ada seseorang yang lebih mencintai alasan selain dari Allah. Karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” [HR. Bukhari dan Muslim]

B. Isteri Rasulullah memendam cemburu

Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita pencemburu. Ia memiliki rasa cinta yang amat besar kepada kekasihnya yaitu Rasulullah saw.

“Aku tidak pernah cemburu terhadap wanita seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, karena Nabi Shalallahu alaihi wassalam seringkali menyebut namanya. Suatu hari beliau juga menyebut namanya, lalu aku berkata, “Apa yang engkau lakukan terhadap wanita tua yang merah kedua sudut mulutnya? Padahal Allah telah memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadamu”. Beliau bersabda, “Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadaku” (HR.  Bukhari).

Dari Aisyah, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang pandai masak seperti halnya Shafiyah. Suatu hari dia membuatkan makanan bagi Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, yang ketika itu beliau di rumahku.Seketika itu badanku gemetar karena rasa cemburu yang menggelegak. Lalu aku memecahkan bejana Shafiyah. Akupun menjadi menyesal sendiri. Aku berkata,”Wahai Rasulullah, apa tebusan atas apa yang aku lakukan ini?” Beliau menjawab, “bejana harus diganti dengan bejana yang sama, makanan harus diganti dengan makanan yang sama” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)

Sedangkan dalam riwayat lain dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dia menceritakan,

Nabi shalallahu alaihi wassalam pernah berada di sisi salah seorang istrinya. Kemudian seorang dari ummul mukminin mengirimkan satu mangkuk makanan. Lalu istri Nabi yang berada di rumahnya memukul tangan Rasulullah sehingga mangkuk itu jatuh dan pecah. Maka Nabi pun mengambil dan mengumpulkan makanan di dalamnya. Beliau berkata:”Ibumu cemburu, makanlah.” Maka merekapun segera memakannya. Sehingga beliau memberikan mangkuk yang masih utuh dari istri dimana beliau berada, dan meninggalkan mangkuk yang telah pecah tersebut di rumah istri yang memecahkannya.(HR.Bukhari, Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits senada di atas dengan beberapa tambahan, yaitu di dalam Ash-Shahih, dari hadits Humaid dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

” Ada di antara istri Nabi shalallahu alaihi wassalam yang menghadiahkan semangkuk roti dicampur kuah kepada beliau, selagi beliau berada di rumah istri beliau yang lain (Aisyah). Aisyah menepis tangan pembantu yang membawa mangkuk, sehingga mangkuk itu pun jatuh dan pecah. Nabi Shalallahu alaihi wassalam langsung memunguti roti itu dan meletakkan kembali diatas mangkuk, seraya berkata, “makanlah. Ibu kalian sedang cemburu.” setelah itu beliau menunggu mangkuk pengganti dan memberikan mangkuk yang pecah itu kepada Aisyah”.(HR. Bukhari, Tirmidzi, Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i).

Rasulullah menanggapi akecemburuan isterinya dengan akhlak yang mulia. Dengan penuh ketenangan Beliau SAW memberi pengertian kepada isterinya yang cemurbu itu.

C. Kendalikan api cemburu

Rasa cemburu adalah tanda telah tumbuhnya rasa cinta. Tidaklah seseorang tersulut api cemburu kecuali telah menyala api cinta sebelumnya.

Oleh karena cemburu adalah bagian dari cinta, maka ia bukanlah sesuatu yang harus dihilangkan. Yang harus anda perlakukan terhadap rasa cemburu adalah mengendalikannya.

Bila rasa cemburu muncul, redamlah ia dengan merasa yakin bahwa kekasih tidak seburuk yang anda sangkakan. Ia adalah seseorang yang dihadirkan oleh Allah menyejukkan hati anda, maka mengapakah anda membuatnya panas dengan api cemburu?

Bila rasa cemburu hadir, kuasailah ia dengan menyadari bahwa sesungguhnya anda sedang mencintainya begitu dalam. Bayangkanlah dia juga akan merasakan hal yang sama suatu saat nanti terhadap anda.

Bila rasa cemburu datang, sadarilah bahwa manusia tercipta untuk berpasangan, tetapi tidak saling memiliki. Semua hamba adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Bila rasa cemburu menghantui pikiran, ingatlah bahwa Allah juga cemburu ketika anda mencintai makhluk-Nya secara berlebihan. Ambillah air wudhu dan menghadaplah kepada-Nya dengan sepenuh cinta.

 

 

[Yazid Subakti]

Syarat Mahar atau Sesuatu yang Cocok/Tidak Dijadikan Mahar

Syarat Mahar atau Sesuatu yang Cocok/Tidak Dijadikan Mahar

Mahar – Ada tiga syarat mahar dalam ketentuannya, yaitu:

Pertama, merupakan suatu barang yang bisa dimiliki dan dijual (emas), barang-barang, dan yang sejenisnya. Tidak boleh memberikan mahar yang berupa khamar, babi, dan yang selain keduanya yang tidak bisa untuk memiliki.

Kedua, harus sesuatu yang diketahui. Karena mahar adalah pengganti pada hak yang mendapat ganti, maka dia menyerupai harga barang jadi tidak boleh dengan sesuatu yang tidak kita tahu, kecuali dalam pernikahan tafwidh, yaitu kedua belah pihak yang melakukan akad diam ketika menetapkan mahar di dalam akad. Penentuan ada pada salah satu dari keduanya atau kepada orang yang selain keduanya. Menurut pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, yang bertentangan dengan pendapat Syafi’i dan Ahmad tidak wajib menyifati barang mahar. Jika memberikan mahar yang tidak sesuai dengan yang tersifati, maka si perempuan memiliki hak untuk menengahi.

Ketiga, terbebas dari tipuan. Mahar tidak boleh berupa budak yang tengah kabur, unta yang tersesat, atau barang yang menyerupai keduanya.

Mazhab Hanafi menambah syarat yang keempat,

yaitu pernikahan tersebut merupakan pernikahan yang sah. Mahar yang tersebutkan di dalam pernikahan yang fasid, tidak menjadi lazim karena nikah fasid bukanlah pernikahan, dan wajib memberikan mahar mitsil dengan terjadinya persetubuhan.

Berdasarkan hal ini, para fuqaha meletakkan aturan untuk membedakan sesuatu yang bisa dijadikan mahar dan yang tidak. Mazhab Hanafi berpendapat, mahar adalah setiap harta yang memiliki harga, yang diketahui yang mampu untuk diserahkan. Maka sah jika mahar berupa emas atau perak, baik yang berupa uang maupun perhiasan, dan yang sejenisnya, baik berupa utang maupun tunai. Dan sah keadaannya sebagai uang atau dokumen keuangan, baik yang berupa takaran ataupun timbangan, baik berupa hewan maupun bangunan, atau barang jualan, seperti pakaian dan yang lainnya.

Sah juga iika dia berbentuk manfaat pribadi atau barang yang bisa bertukar dengan uang seperti tinggal di rumah, bercocok tanam, menaiki kendaraan, dan yang sejenisnya. Sedangkan perkawinan dengan mahar mengajarkan si istri semua isi Al-Qur’an, atau sebagiannya, atau sebagian hukum agama yang berupa perkara yang halal dan yang haram. Maka menurut fuqaha Hanafi yang mutaqddim tidak sah. Berdasarkan firman Allah SWT,

Jika kamu berusaha dengan hartamu.” (an-Nisaa’: 24).

syarat maharJuga karena yang telah tersebutkan sebutkan bukanlah harta karena mengajarkan Al-Qur’an dan perkara lain yang sejenisnya yang berupa ketaatan dan kedekatan kepada Allah SWT tidak sah sebagai upah menurut ketiga imam mazhab Hanafi. Pengajaran dalam bidang ini tidak sah diberikan imbalan harta. Oleh karena itu, tidak sah mahar yang disebutkan ini, dan diwajibkan mahar mitsil; karena itu adalah manfaat yang tidak bisa diganti dengan harta.

Para fuqaha mazhab Hanafi muta’akhkhirin memberikan fatwa pembolehan mengambil upah untuk mengaiarkan Al-Qur’an dan hukum-hukum agama karena kebutuhan akibat perubahan kondisi dan kesibukan manusia dengan perkara kehidupan, maka sang guru tidak bisa mengajartanpaupah. Olehkarena itu, boleh menjadikan pengajaran Al-Qur’an dan hukum-hukum agama sebagai mahar. Dalil yang menjadi pijakan untuk pendapat ini adalah hadits riwayat Sahl bin Sa’ad, yang berisikan bahwa Nabi saw. mengawinkan seorang laki-laki dengan mahar kemampuan membaca Al-Qur’an yang dia miliki. Beliau saw. bersabda,

Aku telah nikahkan kamu dengan hafalan Al-Qur’an yang kamu miliki.

Dalam riwayat yang muttafaq’alaih,

Kamu telah memilikinya dengan hafalan Al-Qur’an yang kamu miliki.”

Tidak sah jika mahar berbentuk sesuatu yang bukan merupakan harta yang memiliki harga. Itu seperti seorang laki-laki muslim menikahi seorang perempuan muslimah dengan mahar yang berupa debu, darah, minuman keras, babi; karena bangkai dan darah bukanlah harta dalam hak seseorang. Demikian pula minuman keras dan babi bukanlah harta yang memiliki harga dalam hak seorang laki-laki muslim. Juga tidak sah perkawinan perempuan dengan syarat menceraikan perempuan lain, atau memaafkan hukuman qisas karena perceraian bukanlah harta, dan begitu pula qisas.

Tidak sah pernikahan syighar yaitu seorang laki-laki mengawinkan saudara perempuannya kepada lelaki yang lain, dengan syarat orang tersebut mengawinkan saudara perempuannya dengannya.

Atau dengan syarat mengawinkannya dengan anak perempuannya. Penyebutan syarat ini merupakan sesuatu yang rusak karena masing-masing dari keduanya menjadikan “alat kelamin” masing-masing dari kedua perempuan tersebut sebagai mahar bagi yang lain’ Karena alat kelamin bukanlah harta, maka menjadi rusaklah penyebutan mahar ini. Bagi masing-masing dari keduanya wajib mendapatkan mahar mitsil, sedangkan pernikahan adalah sah menurut mereka.

Sedangkan menurut jumhur pernikahan ini fasid (rusak) atau batil berdasarkan sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Nabi saw. melarang pernikahan syighar. Pelarangan menyebabkan rusaknya sesuatu yang terlarang.

Dalil mazhab Hanafi menyebutkan bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang bersifat abadi dan masuk ke dalamnya syarat fasid. Karena di dalamnya ada syarat alat kelamin dari keduanya menjadi mahar bagi yang lain dan kelamin tidak bisa menjadi mahar. Pernikahan tidak menuntut syarat yang fasid. Sebagaimana halnya jika seorang perempuan nikah dengan syarat untuk menceraikannya, serta untuk memindahkannya dari rumahnya, dan syarat lain yang seienisnya. Sedangkan pelarangan dari pernikahan syighar adalah terbebas dari ganti. Dan menurut mereka pernikahan dengan ganti yang berupa mahar mitsil, maka tidak menjadi pernikahan syighar.

Ukuran Mahar

Ukuran Mahar

Nikah – Para fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk ukuran mahar; karena tidak tersebut di dalam syariat yang menunjukkan batasannya yang paling tinggi, berdasarkan firman Allah SWT,

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya.” (an-Nisaa’: 20)

Perempuan telah diingatkan dengan ayat ini. Manakala Umar Ibnul Khaththab r.a. ingin menetapkan batasan mahar, maka dia melarang mahar lebih dari empat ratus ribu dirham. Dia sampaikan khutbah kepada manusia mengenai hal ini, dia berkata, “Jangan kalian berikan standar yang tinggi pada mahar perempuan. Maka sesungguhnya jika dia dimuliakan di dunia atau ditakwakan di akhirat. Maka orang yang paling berhak untuk mendapatkannya daripada kalian adalah Rasulullah. Beliau sama sekali tidak pernah menetapkan mahar untuk para istrinya maupun anak-anak perempuannya yang melebihi dua belas uqiyyah- maksudnya dari perak – maka barang siapa yang mendapatkan mahar lebih dari empat ratus, hendaknya dia berikan kelebihannya kepada baitul maal.”

ukuran maharKemudian seorang perempuan Quraisy berkata kepadanya, setelah dia turun dari atas mimbar,

Kamu tidak berhak untuk menetapkan hal itu wahai Umar.” Umar bertanya kepadanya, “Mengapa?” Perempuan tersebut menjawab, “Karena Allah berfirman,’Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya.” (an-Nisaa’: 20). Umar berkata, “Perempuan ini benar dan laki-laki ini salah.”

Oleh Abu Ya’la meriwayatkan dalam al-Kabiir, “Ya Allah, ampunilah, semua manusia lebih paham daripada Umar.” Kemudian dia kembali dan naik ke atas mimbar dan berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah melarang kalian untuk melebihkan mahar perempuan dari batasan empat ratus dirham, maka barang siapa yang menghendaki dapat memberikan dari hartanya apa yang dia sukai

Akan tetapi, sunnah untuk meringankan mahar dan tidak terlalu tinggi dalam menetapkan mahar. Berdasarkan sabda Rasulullah saw.,  Sesungguhnya keberkahan pernikahan yang paling besar adalah orang yang maharnya paling rendah.”

Dalam satu riwayat, Sesungguhnya perempuan yang paling besar keberkahannya adalah orang yang maharnya paling mudah.

Oleh Abu Dawud meriwayatkan dan sahih oleh al-Hakim dari Uqbah bin Aamir hadits, “Mahar yang paling baik adalah yang paling mudah.”

Hikmah dari pencegahan menetapkan mahar yang tinggi adalah Jelas. Yaitu untuk memudahkan anak muda untuk kawin sehingga mereka tidak menghindari perkawinan, yang membuat timbulnya berbagai kerusakan moral dan sosial. Telah ada dalam khutbah Umar yang menyebutkan, “Sesungguhnya laki-laki membuat tinggi mahar istrinya sampai hatinya menyimpan rasa permusuhan kepada istrinya tersebut.”

Mahar dan Hukum-Hukumnya

Mahar dan Hukum-Hukumnya

Nikah – Bagaimana pendapat para ulama dan ahli fiqih mengenai mahar dan hukum-hukumnya dalam pernikahan? Berikut penjelasan sederhananya.

A. Pendahuluan

Akad perkawinan sebagaimana akad-akad yang lainnya, tumbuh darinya berbagai hak dan kewajiban yang saling memberikan respons, yang harus oleh masing-masing suami dan istri. Al-Qur’an yang mulia telah memaparkan prinsip ini. Allah SWT berfirman,

Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228)

Maksudnya, perempuan memiliki berbagai hak yang harus terpenuhi oleh orang laki-laki, sebagaimana orang laki-laki juga memiliki hak yang harus terpenuhi oleh orang perempuan. Dasar hak-hak dan kewajiban ini adalah tradisi yang bersandarkan kepada fitrah masing-masing orang laki-laki dan perempuan.

Undang-undang ahwalu asysyakhshiyyah Syiria telah menyebutkan semua hak-hak keuangan yang harus terpenuhi oleh seorang suami kepada istrinya, yaitu mahar, nafkah, dan tempat tinggal. Sedangkan hak-hak yang nonmateri atau kejiwaan adalah keadilan, kebaikan dalam perlakuan, pergaulan yang baik, taat seorang istri kepada suaminya dalam kebaikan, dan perlindungan istri dari berbagai jenis aniaya dan hinaan. Bagian yang ini tidak tersentuh oleh undang-undang; karena ini adalah prinsip moral. Sesungguhnya Al-Qur’an hanya menyebutkan yang sebagiannya, dan sebagian yang lain disebutkan oleh hadits Nabi SAW.

Di sini kita berbicara mengenai mahar. Definisi, hukum, hikmah, sebab wajibnya bagi laki-laki untuk mengeluarkan, ukuran, syarat syarat, atau apa yang pantas untuk jadi mahar dan apa yang tidak pantas, jenis-jenisnya, dan kondisi kewajiban setiap jenis, pemilik hak dalam mahar, penerimaannya, dan konsekuensi yang timbul akibat penerimaan, mempercepatnya atau memperlambatnya, tambahan dan pengurangan dari mahar kapan mahar yang wajib, dan kapan tegas untukkewajibannya, kapan mahar berubah menjadi setengah, kapan mahar menjadi hilang sisipan tanggungan maha4, hukum kehilangannya, penggunaannya pencelaannya, dan kelebihannya, perselisihan mengenai mahar yang perabotan yang wajib dan perselisihan mengenainya, warisan mahar dan penghadiahannya.

B. Pengertian Mahar, Hukumnya, Hikmahnya, dan Sebab Diwajibkannya Lakl-laki untuk Mengeluarkannya 

mahar dan hukum-hukumnyaMahar adalah harta yang berhak bagi seorang istri yang harus oleh sang suami berikan; baik karena akad maupun persetubuhan hakiki.

Pengarang kitab aI-’Inaayah’Alaa Haamisyi al-Fathi mendefinisikan mahar sebagai harta yang harus keluar oleh suami dalam akad pernikahan sebagai imbalan persetubuhan, baik dengan penentuan maupun dengan akad. Sedangkan sebagian mazhab Hanafi mendefinisikannya sebagai sesuatu yang didapatkan seorang perempuan akibat akad pernikahan ataupun persetubuhan.

Mazhab Maliki mendefiniskannya sebagai sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya. Mazhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai sesuatu yang wajib sebab pernikahan atau persetubuhan, atau lewatnya kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi.

Kemudian Mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan di dalam akad, atau ditetapkan setelahnya dengan keridhaan kedua belah pihak atau hakim. Atau pengganti dalam kondisi pernikahan, seperti persetubuhan yang memiliki syubhat, dan persetubuhan secara paksa.

Mahar ini memiliki sepuluh nama, yaitu: maha, shidaaq, atau shadaqah, nihlah, air, faridhah, hibaa’, ‘uqr, ‘alaa’iq, thaul, dan nikah’ Berdasarkan firman Allah SWT, Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman” (an-Nisaa’: 25)

Juga firman-NYa,

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah meniaga kesucian (diri)nya” (an-Nuur: 33)

Sebagian ulama menyusun delapan di antaranya di dalam bait syair ini:

Shadaaq, dan mahal nihlah, dan faridhah Hibaa’, dan ajr, kemudian ‘uqr, ‘alaa’iq 

Hukumnya adalah wajib atas orang laki-laki bukannya perempuan. Dan wajib sebagaimana yang oleh beberapa definisi dengan salah satu dari dua perkara ini karena persetubuhan di negara Islam tidak terlepas dari ‘uqr (hukuman hadd), atau ‘uqr (mahar), untuk menghormati kemanusiaan perempuan.

Pertama, sekadar akad yang sahih bisa jadi hilang keseluruhannya atau setengahnya, selama menegaskan dengan hubungan badan atau kematian, atau dengan khalwat menurut mazhab Hanafi dan Hambali. Kedua persetubuhan itu yang bersifat hakiki sebagaimana halnya kondisi persetubuhan yang melakukannya dengan syubhat, atau dalam perkawinan yang fasid. Dalam kondisi yang seperti ini mahar tidak jatuh kecuali dengan pelunasan atau dengan pembebasan.

C. Dalil-dalil wajibnya mahar adalah sebagai berikut ini

  1. Al-Qur’an, Yaitu firman Allah SWT

Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan” (an-Nisaa’: 4)

Maksudnya pemberian dari Allah sebagai permulaan ataupun hadiah’ Ayat ini tertuju kepada para suami menurut kebanyakan fuqaha. Ada juga yang berpendapat, tertuju kepada para wali karena pada masa jahiliah mereka mengambilnya. Hal ini merupakan dalil bahwa mahar merupakan simbol bagi kemuliaan seorang perempuan, dan keinginan untuk berpasangan. Allah SWT berfirman,

“Maka istri-isti yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban” (an’-Nisaa’: 24)

Allah SWT juga berfirman, “Dan berilah mereka maskawin yang pantas” (an-Nisaa’: 25)

Juga firman -Nya, “Dan halal bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina.” (an-Nisaa’:24)

  1. Hadits

Nabi saw berkata bagi orang yang ingin menikah, “Carilah, walaupun hanya sekedar cincin yang terbuat dari besi.

Juga ada ketetapan dari Nabi saw. bahwa perkawinan beliau tidak pernah terlepas dari mahar. Sunnah menentukan mahar di dalam akad karena pernikahan Rasulullah saw tidak pernah terlepas dari penentuan mahar. Dan karena penentuan ini dapat mencegah permusuhan. Juga agar jangan sampai menyerupai pernikahan perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Nabi saw.

  1. Kaum muslimin telah sepakat bagi ditetapkannya mahar dalam pernikahan.
Tidak Adanya Wali, Ditahan atau Hilang

Tidak Adanya Wali, Ditahan atau Hilang

Nikah – Para fuqaha memiliki tiga pendapat mengenai ketidakberadaan wali yaitu pendapat mazhab Hanafi dan Hambali, pendapat mazhab Maliki, dan pendapat mazhab Syafi’i. Pendapat mazhab Hanafi dan Hambali adalah, jika wali tidak ada secara terputus-putus, dan dia tidak wakilkan orang yang dapat mengawinkan, maka hak perwalian berpindah kepada kerabat ‘ashabah yang memiliki hubungan lebih jauh darinya. Jika bapak sudah tiada, kakek berhak mengawinkan seorang perempuan bukan hakim. Berdasarkan hadits yang tadi telah sebelumnya,

Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”

Orang perempuan ini memiliki wali karena hak perwalian. Membutuhkan penyelidikan dan penilaian maslahat, maka alangkah tidak bijaksananya menyerahkan hal ini kepada orang yang pendapatnya tidak memiliki manfaat. Maka dia serahkan penyelidikan kepada orang yang memiliki hubungan yang lebih jauh darinya. Dia lebih dahulu daripada penguasa, sebagaimana halnya iika orang yang hubungan kerabatnya lebih dekat meninggal dunia.

Undang-undang negara Syiria Pasal 23 mengadopsi pendapat ini. Di sana terurai bahwa jika wali yang lebih dekat tidak ada, dan qadhi menilai bahwa dalam menunggu pendapatnya akan hilang maslahat dalam pernikahan, maka hak perwalian berpindah kepada wali yang selanjutnya.

  • Menurut mazhab Hanafi, Hambali dan Syafi’i

Orang yang ketidakberadaannya tidak bersifat berkepanjangan adalah orang yang berada di suatu negara. Yang hanya dapat tercapai oleh kafilah dalam jangka waktu setahun sekali saja. Pendapat ini terpilih oleh al-Qudwari. Ada juga yang mengatakan, yaitu jarak perjalanan yang paling minimal, maksudnya jarak untuk mengqashar shalat, yaitu berjarak 89 km. Karena tidak ada batasan bagi jarak yang paling maksimal. Ini adalah pilihan sebagian fuqaha muta’ akhkhirin.

Mazhab Hambali sepakat dengan pendapat yang kedua. Maka ketidakberadaan tidak bersifat abadi di atas jarak pengqasharan shalat, maksudnya ganti, karena jarak yang kurang dari jarak ini berada pada hukum tidak melakukan perjalanan. Sedangkan pendapat mazhab Syafi’i adalah jika wali yang lebih dekat secara nasab tidak ada sampai masa dua periode, maksudnya jarak pengqasharan shalat, dan juga tidak ada wakilnya yang ada di negara tersebut, maka yang mengawinkannya adalah penguasa atau wakilnya. Maksudnya penguasa negaranya, bukan penguasa yang selain negaranya. Bukannya wali yang hubungannya lebih jauh dalam pendapat yang paling sahih; karena yang tidak ada adalah wali dan mengawinkan adalah hak milik si wali. Maka iika dia tidak dapat memenuhinya, dia diwakili oleh hakim.

Jika perempuan tersebut berada dalam jarak kurang dari jarak pengqasharan shalat maka dia tidak menikah kecuali dengan izinnya dalam pendapat yang paling sahih, karena jaraknya kurang dari jarak qashar’ Oleh karena itu, perkawinan harus dengan cara memberitahunya agar datang atau dia mendapat perwakilan oleh orang lain sebagaimana halnya dia berada di tempat tersebut.

  • Sedangkan pendapat mazhab Maliki mengandung rincian berikut ini:

(a) Jika yang tidak ada adalah wali mujbir (bapak dan orang diberikan wasiat) bisa jadi kepergiannya berada di tempat dekat maupun jauh. Jika kepergiannya berada di tempat yang dekat, seperti tempat yang dapat tertempuh dalam waktu sepuluh hari. Maka Perempuan tersebut yang berada dalam perwaliannya tidak kawin sampai dia kembali. Jika nafkahnya mencukupi, dan tidak takut keburukan dapat menimpanya, dan Jalan yang ia tempuh aman, kalau tidak, yang mengawinkannya adalah qadhi.

Jika kepergiannya dalam jarak yang jauh seperti yang memakan perjalanan selama tiga bulan lebih, seperti perialanan yang pada masa lalu ke negara afrika. Maka jika dia dapat diharapkan kedatangannya, seperti orang yang melakukan perjalanan untuk berniaga atau karena suatu kebutuhan, maka perempuan tersebut tidak boleh kawin Sampai dia kembali.

Jika dia adalah orang yang tidak dapat mengharapkan

kedatangannya, maka yang dapat mengawinknnya adalah qadhi bukan wali yang lain jika dia adalah perempuan yang sudah baligh, meskipun nafkahnya terus berlaniut dalam pendapat yang rajih. Izinnya adalah diamnya menurut pendapat yang benar. Jika dia belum mencapai usia baligh maka dia tidak kawin selama tidak takut ada kerusakan untuknya. Jika takut adanya kerusakannya, dia tetap kawin walaupun terpaksa menurut pendapat yang ada, tanpa mempedulikan dia telah baligh ataupun belum mencapai baligh. Meskipun kepergian wali dalam jarak yang dekat.

(b) Jika yang tidak ada adalah wali yang selain mujbir seperti saudara laki-laki dan kakek.

  • Ketidakberadaan akibat tertawan atau hilang

Yang masyhur dari mazhab Maliki adalah, jika ketidakberadaan akibat tertawannya wali yang paling dekat. Atau hilangnya dia, dan dia tidak tahu tempatnya, serta tidak tahu kabarnya, maka yang mengawinkannya adalah wali yang lebih jauh. Hak perwalian tidak berpindah kepada qadhi, tanpa membedakan wali mujbir dengan selain mujbir karena tertawan atau hilang dalam posisi mati. Mazhab Hambali juga berpendapat seperti itu, jika wali yang dekat tertahan atau tertawan dalam jarak yang dekat yang tidak mungkin mendatanginya . Maka dia bagaikan orang yang berada dalam jarak yang jauh, maka hak perwalian berpindah kepada wali yang lebih jauh. 

Syarat Adanya Wali dalam Pernikahan Seorang Perempuan

Syarat Adanya Wali dalam Pernikahan Seorang Perempuan

Nikah – Syarat adanya wali dalam akad pernikahan seorang Perempuan Para fuqaha sebagaimana yang telah kita ketahui memiliki dua pendapat dalam terlaksananya perkawinan dengan pelaksanaan dari perempuan itu sendiri tanpa wali. Menurut mazhab Hanafi, sah akad perkawinan yang oleh perempuan itu sendiri, tanpa ada wali. Sedangkan jumhur berpendapat batal akad perkawinan tanpa wali.

Pendapat pertama,

Abu Hanifah dan Abu Yusuf dalam sebuah riwayat berpendapat bahwa akad pernikahan seorang perempuan yang merdeka dan telah baligh tanpa kerelaan walinya dapat terlaksana. Oleh sebab itu, seorang perempuan yang telah baligh dapat melaksanakan sendiri akad perkawinannya, serta akad perkawinan perempuan yang lainnya’ Akan tetapi, jika dia melaksanakan sendiri akad perkawinannya, sedangkan dia memiliki wali’ashabah, maka syarat bagi sah dan kelaziman akad perkawinannya agar si suami merupakan orang yang setara dengannya. fangan sampai maharnya kurang dari standar mahar mitli

Jika dia menikah dengan seorangyangtidak setara dengannya, walinya memiliki hak untuk menolak perkawinanan ini, dan qadhi membatalkan perkawinan ini. Kecuali jika walinya diam sampai dia melahirkan anak atau hamil yang kelihatan dengan jelas, maka wali tidak lagi memiliki hakuntukmenolakdan menuntut perceraian, untuk menjaga perawatan anak yang lahir atau sedang dalam kandung. Demikian juga agar jangan sampai si anak menjadi terlunta-lunta dengan perpisahan yang terjadi di antara kedua orang tuanya. Sesungguhnya keberadaan kedua orang tuanya secara bersamasama untuk merawatnya lebih dapat membuat dia aman, tanpa ada syubhat. 

Sedangkan ada fatwa bahwa seorang perempuan jika kawin dengan seorang laki-laki yang tidak setara dengannya, maka akadnya menjadi/asid, walaupun wali merasa ridha setelah akad, maka hal ini tidak mengubahnya menjadi sah. Dalil mereka adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan,

Pertama: berdasarkan sebuah hadits,

Seorang perempuan Iebih berhak terhadap dirinya sendiri dibandingkan walinya. Seorang perawan dimintakan persetujuannya, dan diamnya adalah tanda persetujuannya.

Al-Ayyim adalah seorang perempuan yang tidak memiliki suami, baik masih perawan maupun sudah janda. Oleh karenanya hadits ini menunjukkan bahwa seorang perempuan memiliki hak untuk melaksanakan sendiri akad perkawinannya.

Kedua: seorang perempuan memiliki kemampuan yang penuh untuk melaksanakan semua transaksi material yang berupa jual-beli, menyewa, menggadaikan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dia memiliki kemampuan untuk melaksanakan sendiri akad perkawinannya karena tindakan ini adalah hak murni miliknya.

Sedangkan pendapat kedua

Pendapat jumhur menyatakan bahwa sesungguhnya akad pernikahan hanya sah bila pelaksanaannya ada wali. Dan seorang perempuan tidak memiliki hak untuk melaksanakan sendiri akad pernikahan dirinya atau orang lain. Dia tidak memiliki hak untuk mewakilkan orang lain selain bapaknya untuk melaksanakan akad pernikahannya. Jika dia lakukan pernikahan sendiri meskipun dia adalah seorang perempuan yangakil baligh dan dewasa, maka tidak sah pernikahannya. Ini adalah pendapat mayoritas sahabat, seperti Ibnu Umar; Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Aisyah r.a..

Pendapat ini juga mendapat dukungan oleh Sa’id Ibnul Musayyab, Hasan, Umar bin Ab dul Aziz,f abir bin Zaid, ats-Tsauri, IbnuAbi Laila, Ibnu Syubramah, Ibnul Mubarah Ubaidillah al-Anbari, Ishah dan Abu’Ubaidah. Dalil mereka adalah,

Pertama, hadits riwayat Aisyah, Abu Musa, dan Ibnu Abbas, “Tidaklah sah pernikahan melainkan dengan izin seorang wali,

Perempuan yang mana saja yang menikah dengan tqnpa izin walinya, maka pernikahannya batil, batil, dan batil. Jika dia digauli, maka dia berhak mendapatkan mahar akibot persetubuhan yang dilakukan kepadanya. Jika mereka berselisih, maka penguosa adalah wali bagi orang yqng tidak memiliki wali.”

Juga hadits riwayat Abu Hurairah,

seorang perempuan tidak boleh menga’ winkan dirinya sendiri. Sesungguhnya perempuan yang mengawinkan dirinya sendiri adalah seorang pezina.”

Kedua, sesungguhnya perkawinan adalah sebuah akad yang krusial dan bersifat abadi, yang memiliki maksud yang banyak dalam membentuk keluarga, serta mewujudkan kestabilan dan perkara yang lainnya. Seorang laki-laki dengan pengalaman luas dalam perkara kehidupan yang dia miliki lebih memiliki kemampuan untuk menjaga maksud yang seperti ini. Sedangkan orang perempuan dengan pengalamannya yang terbatas, serta terpengaruh dengan kondisi yang bersifat temporal, maka demi kebaikannya, dia serahkan akad ini kepada walinya bukan dia laksanakan sendiri.