Sesungguhnya hak hak suami yang paling penting adalah yang berikut ini:
Ketaatan isteri terhadap suaminya dalam persetubuhan dan pergi keluar dari rumah
Jika seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, dan dia adalah orang yang bisa untuk digauli, maka dia harus menyerahkan dirinya dengan akad perkawinan jika dia dituntut untuk melakukan hal itu. Si suami harus menerimanya jika si istri menawarkannya kepadanya karena dengan akad perkawinan si suami berhak menyerahkan ‘iwadh, yaitu dengan menyerahkan mahar yang bersifat cepat kepada si istri.
Imam Ahmad telah menyebutkan bahwa perempuan yang bisa digauli adalah anak perempuan yang berumur sembilan tahun ke atas karena Nabi saw. menggauli Aisyah ketika dia merupakan anak perempuan yang berumur sembilan tahun.
Si istri mendapat tempo waktu yang sesuai dengan adat untuk menyiapkan dirinya, seperti dua hari atau tiga hari karena ini adalah kebutuhannya. fika seorang suami melarang hal ini maka ini merupakan penyulitan. Jadi dia harus memberikan si istri tempo waktu untuk mencari kemudahan. Yang menjadi rujukan mengenai hal ini adalah kebiasaan yang berlaku di kalangan manusia karena hal ini tidak memiliki ketetapan waktu, maka mesti merujuk kepada kebiasaan. Tempo waktu tidak untuk menyiapkan perabotan rumah tangga dan yang sejenisnya.
Seorang istri harus menaati suaminya ketika si suami mengajaknya ke tempat tidur meskipun pada saat itu si istri tengah berada di tempat perapian atau di atas punggung unta. Sebagaimana yang oleh Ahmad dan yang lainnya riwayatkan, selama hal tersebut tidak membuat si istri terlupa kepada kewajiban agama, atau menimbulkan keburukan kepada si istri karena keburukan dan yang sejenisnya bukan merupakan menggauli yang baik.
Kewajiban ketaatan istri kepada suami adalah berdasarkan firman Allah SWT,
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.”
Juga sabda Rasulullah saw,
“Jika aku dapat memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang, maka aku pasti memerintahkan seorang perempuan untuk bersujud kepada suaminya.“
“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lantas si rstri menolak untuk memenuhinya. Kemudian si suami tidur dengan rasa marah kepadanya, maka malaikat melaknat si istri sampai datang waktu subuh.”
Termasuk di antara perbuatan ketaatan adalah, tinggal di rumah selama dia telah menerima maharnya yang bersifat cepat, yang membuatnya mendedikasikan dirinya untuk memperhatikan berbagai perkara rumah tangga mengurus rumah, dan merawat anak-anak dari kecil sampai besar.
Si istri tidak boleh keluar rumah walaupun untuk melaksanakan ibadah haji kecuali dengan izin suaminya. Si suami berhak melarangnya untuk keluar ke masjid dan yang lainnya. Berdasarkan apa yang oleh lbnu Umar r.a. riwayatkan, ia berkata, “Aku melihat seorang perempuan datang menemui Nabi dan dia berkata, ‘Ya Rasulullah, apakah hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya?”
Beliau menjawab,
“Haknya yang harus dipenuhi oleh istrinya adalah jangan sampai dia keluar dari rumahnya kecuali dengan izinnya. Jika dia melakukannya, maka Allah, malaikat rahmat, dan malaikat marah melaknatnya sampai dia bertaubat atau kembali.”
Si perempuan tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, meskipun dia adalah seorang yang berlaku zalim kepadanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Meskipun dia adalah seorang yang berlaku zalim kepadanya.”
Amanah
Seorang istri harus menjaga dirinya, rumah, harta, dan anaknya ketika suaminya sedang tidak ada di rumah. Berdasarkan hadis riwayat Ibnu al-Ahwash yang tadi telah tersebutkan,
“Sedangkan hak kalian yang harus dipenuhi oleh istri kalian adalah jangan kalian masukkan ke dalam rumah kalian orang yang kalian benci, dan dia tidak izinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian.“
Juga sabda beliau saw.,
“Perempuan Quraisy adalah perempuan yang paling baik menunggangi unta, yang paling menyayangi anak ketika dia masih kecil, dan yang paling perhatian terhadap suaminya yang ada di dalam kekuasaannya.”
Dalam satu redaksi yang lain,
“Perempuan yang paling baik menunggangi unta adalah perempuan Quraisy yang salih.”
Hal ini juga tegas oleh hadits yang terkenal,
“Kalian semua adalah penggembala, dan kalian semua adalah penanggung jawab terhadap gembalaannya. Seorang raja ada penggembala. Seorang laki-Iaki adalah penanggung jawab keluarganya. Seorang perempuan adalah penanggung jawab bagi rumah suaminya dan anaknya. Kalian semua adalah penggembala dan kalian semua bertanggung jawab atas gembalaannya.”
Perlakuan yang baik
Seorang istri harus memperlakukan dengan baik suaminya, dengan cara mencegah berbuat aniaya dan lainnya. Sebagaimana si suami juga harus memperlakukan dengan baik suaminya. Berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
“Jangan sampai seorang istri menganiaya suaminya di dunia kecuali istrinya yang merupakan bidadari berkata, jangan kamu aniaya dia, Allah akan memerangimu. Sesungguhnya dia adalah seorang pendatang untukmu, yang hampir saja meninggalkanmu untuk mendatangi kami.”
Rasulullah saw. juga bersabda,
“setelah kematianku, aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih buruk ketimbang fitnah perempuan terhadap laki-laki.”
Hak untuk memberikan pelajaran
Seorang suami memiliki hak untuk memberikan pelajaran kepada istrinya ketika si istri melanggar perintahnya yang mengandung kebaikan, bukannya yang berupa kemaksiatan karena Allah SWT memerintahkan memberikan pelajaran kepada para istri dengan cara meninggalkan tempat tidurnya, dan dengan cara memberikan pukulan ketika mereka tidak mau taat. Jika mereka telah menaati, maka pemberian pelajaran harus berhenti, berdasarkan firman Allah SWT,
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka.” (an-Nisaa’: 34)
Sedangkan perempuan yang tidak solehah adalah yang melepaskan hak-hak suami istri, dan bermaksiat kepada suaminya, maka dia lah perempuan yang perlu mendapatkan pelajaran. Hak suami untuk memberikan pelajaran kepada istrinya yang tidak mau menaatinya adalah berkisar pada perkara yang si suami harus taat, yaitu jika si istri adalah orang yang nusyuz. Nusyuz maksudnya adalah, pengingkaran istri terhadap perkara yang harus dia laksanakan. Rasa benci di antara masing-masing suami istri. Keluar rumah dengan tanpa izin suami, bukannya keluar ke tempat qadhi untuk menuntut haknya kepada suaminya.
Mandi setelah selesai masa haid, nifas, dan junub
Mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, suami berhak memaksa istrinya, untuk mandi setelah selesai masa haid dan nifas, meskipun si istri adalah seorang ahli dzimmah karena dengan tanpa mandi terhalang hak suami untuk menggauli istrinya. Oleh karena itu, si suami berhak memaksa istrinya untuk menghilangkan perkarayangmenghalangi haknya. Dia juga berhak memaksa istrinya yang muslimah dan telah baligh untuk mandi junub karena shalat merupakan kewajiban si istri, dan shalat tidak boleh bagi si istri tanpa mandi. Juga karena jiwa merasa jijik untuk menyetubuhi orang yang tengah junub.
Istri yang merupakan ahli dzimmah tidak berhak untuk mandi junub, seperti perempuan yang muslimah yang belum mencapai usia baligh; karena persetubuhan tidak bergantung kepada mandi junub, yang boleh melakukan persetubuhan tanpa terlebih dahulu mandi junub.
Mazhab Hambali menambahkan, sesungguhnya si suami berhak memaksa istrinya untuk mandi dari najis karena mandi najis ini wajib untuk dia lakukan. Dia juga berhak memaksanya untuk menghindari perkara yang haram karena ini adalah kewajiban suami terhadap istri. Dia juga berhak memaksa istrinya untuk memotong rambut dan kuku yang membuat jijik manusia, serta menghilangkan kotoran; karena perkara yang tadi menghalangi kesempurnaan persetubuhan.
Mazhab Syafi’i menyebutkan dua pendapat mengenai pembersihan, pencukuran rambut kemaluan, dan mandi junub: satu pendapat mengatakan, si suami memiliki hak untuk memaksa istrinya melakukannya; karena persetubuhan bergantung kepadanya. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan, si suami tidak berhak memaksa si istri untuk melakukannya; karena persetubuhan tidak bergantung kepadanya.
Melakukan perjalanan bersama istri
Kita telah mengetahui bahwa seorang suami memiliki hak untuk melakukan perjalanan dengan istrinya setelah semua kewajiban mahar yang bersifat segera telah dia penuhi, dan dia dapat menjamin keselamatan istrinya.