Terlaksananya Pernikahan dengan Akad Satu Orang

Terlaksananya Pernikahan dengan Akad Satu Orang

Nikah – Para ulama Hanafiah berkata mengenai pernikahan dengan akad satu orang,

“Pernikahan sah dengan akad satu orang, jika dia memiliki hak wali dari kedua belah pihak. Baik hak wali tersebut asli, seperti hak wali karena hubungan kerabat, maupun bukan seperti hak wali karena menjadi wakil.”

  1. Orang tersebut adalah wali dari kedua mempelai, seperti kakek jika menikahkan cucu lelakinya dari anak lelakinya yang kecil dengan cucu putrinya dari anak lelakinya yang besar. Juga seorang saudara jika menikahkan putri saudaranya dengan putra saudaranya yang kecil.
  2. Atau orang tersebut sebagai mempelai sekaligus wali, seperti anak lelaki paman jika menikah dengan putri pamannya sendiri. 
  3. Orang tersebut merupakan wakil dari kedua belah pihak.
  4. Orang tersebut merupakan utusan dari kedua belah pihak.
  5. Atau orang tersebut sebagai mempelai dari satu pihak dan wakil dari pihak yang lain, seperti seorang perempuan yang mewakilkan dirinya kepada seorang lelaki untuk menikahkannya dengan dirinya sendiri. Atau seorang lelaki mewakilkan kepada seorang perempuan agar menikahkan dirinya sendiri dengan dirinya.

Imam Syafi’i membolehkan sahnya pernikahan pada kondisi pertama, yaitu ketika orang yang akad tersebut merupakan wali dari kedua belah pihak seperti kakek yang menikahkan putri anaknya dengan putra anaknya yang lain.

Para ulama Malikiah membolehkan anak paman, wakil wali dan hakim untuk menikahkan perempuan dengan dirinya sendiri.

Akad nikah tidak sah jika hanya oleh satu orang fudhuuli, sekalipun dengan dua pengungkapan. Karena berbilangnya jumlah orang yang melakukan akad merupakan syarat dalam semua jenis akad, baik keterbilangan tersebut bersifat hakiki, yaitu dengan adanya dua orang yang melakukan ijab dan qabul, maupun bersifat hukmi, yaitu dengan adanya satu orang saja namun ia memiliki sifat syar’i dan hak wakil dari kedua belah pihak. Akad menjadi sah jika seorang fudhuuli mengatakan, “Aku menikahkan si Fulanah dengan si Fulan.” Pada saat itu kedua mempelai tersebut tidak berada di tempat. Lantas seorang Fudhuuli lainnya menerima pernikahan tersebut.

Dalil sahnya, sebagai pengecualian dari prinsip berbilangnya orang yang akad:

Pertama: atsar oleh imam Bukhari dari Abdurrahman bin Auf bahwasanya dia berkata kepada Ummu Hakim, “Apakah kamu mewakilkan dirimu kepadaku?” Ummu Hakim menjawab, “lya.” Lantas Abdurrahman berkata, ‘Aku telah menikahimu.” Ini adalah dalil bagi keadaan yang pertama, yaitu orang yang melaksanakan akad nikah merupakan mempelai sekaligus wakil.

Kedua: hadits dari oleh Abu Daud dari Uqbah bin Amir bahwasanya Nabi saw bersabda kepada seorang lelaki,

Apakah kamu ridha aku nikahkan dengan si Fulanah?” Lelaki tersebut menjawab, “lya.” Kemudian beliau berkata kepada si perempuan, “Apakah kamu ridha aku nikahkan dengan si fulan?” Ia menjawab, “iya” Lantas mereka berdua menikah.

Ini adalah dalil bagi keadaan kedua, yaitu orang yang mengakadkan menjadi wakil dari kedua belah pihak.

Ketiga: keadaan-keadaan yang lain sesuai kedua dalil di atas, karena mempunyai kesamaan dalam makna, yaitu orang yang melakukan akad dalam semua keadaan tersebut mempunyai sifat syar’i ketika berlangsungnya akad, baik itu sebagai wali orang lain, wakil orang lain atau sebagai mempelai itu sendiri.

Keempat: Terlaksananya akad nikah dengan tulisan (surat) dan isyarat: Akad nikah terkadang terjadi dengan tulisan atau isyarat, sebagaimana terperinci di bawah ini:

  1. Orang yang mampu berbicara dan hadir: jika kedua orang yang melakukan akad hadir semua dalam majelis akad dan mereka berdua mampu untuk berbicara maka para ulama bersepakat bahwa akad nikah keduanya tidak sah dengan tulisan atau isyarat, sekalipun tulisan tersebut sangat jelas dan isyarat tersebut dapat menunjukkan keinginan untuk melakukan akad nikah. Itu karena dalam keadaan seperti itu cukup dengan menggunakan media lisan, juga karena lafal merupakan asal dalam pengungkapan sebuah keinginan. Oleh karenanya, tidak boleh menggunakan media tulisan dan isyarat tersebut kecuali dalam keadaan darurat. Sedangkan dalam keadaan ini tidak ada sesuatu yang darurat. Itu juga karena para saksi akan mengalami kesulitan mendengar perkataan kedua pihak yang melakukan akad ketika menggunakan media tulisan.
  2. Orang yang mampu berbicara dan tidak hadir. Jika salah satu dari kedua belah pihak yang melakukan akad tidak hadir, menurut ulama Hanafiah, akad sah dengan media/tulisan utusan. Jika kedua saksi hadir dalam majelis akad ketika tulisan atau utusan tersebut sampai di majelis. Karena tulisan dari orang yang tidak berada di tempat merupakan ganti dari bicaranya. Para ulama Hanafiah berkata, “Tulisan dari orang yang tidak ada di tempat akad setara dengan bicaranya orang yang hadir.
  3. Orang tuna wicara (bisu): jika salah satu orang yang melakukan akad bisu atau sulit berbicara. Jadi akad nikah orang yang bisu sah dengan tulisan atau isyarat menurut para ahli fikih. Menurut para ulama Hanafiah, akad nikah hanya sah jika menggunakan media tulisan ketika mampu melakukannya.