Pengertian Aqiqah dan Bagaimana Kedudukannya Sebelum Islam

Pengertian Aqiqah dan Bagaimana Kedudukannya Sebelum Islam

Sunnah Aqiqah – Penjelasan menganai pengertian aqiqah secara terminologis dan etimologis, serta seperti apa kedudukannya sebelum islam datang.

Aqiqah adalah rambut yang sudah tumbuh di kepala bayi ketika lahir. Sebab rambut tersebut membelah kulit. Imru’ul Qais mengatakan dalam syairnya:

Ayaa Hindun laa tankihii buuhatan    ‘alaihi ‘aqiiqatuhu ahsabaa

Hai Hindun, jangan menikah dengan orang tolol itu!

Rambut bayinya belum dicukur dan kulitnya belang.”

Diambil dari kata (ya’aqqu – ya’iqqu – ‘aqqu). Dikatakan (‘aqqu ‘anibnihi), artinya mencukur rambut kepala anaknya atau menyembelih kambing yang juga dinamakan aqiqah. Ibnul Manzhur mengatakan, “Kambing yang disembelih juga dinamakan aqiqah. Sebab, kambing tersebut disembelih dan dibelah tenggorokan serta kedua arterinya, seperti (adz dzabhu) yang artinya membelah, yang juga digunakan sebagai nama hewan sembelihan.” 

Al-Jauhari mengatakan, “Setiap rambut yang sudah tumbuh di kepala bayi ketika dilahirkan, baik bayi manusia atau hewan dinamakan aqiqah. Dari sini kambing yang disembelih pada hari ketujuh kelahiran juga dinamakan aqiqah.”

Imam an-Nawawi mengatakan: Imam Abu Manshur al-Azhari mengatakan: Abu Ubaid berkata bahwa al-Ashma’i dan lain-lain mengatakan. “Arti dasar aqiqah adalah rambut yang sudah tumbuh di kepala bayi ketika baru lahir. Kemudian, menyembelih kambing untuk bayi itu juga namanya aqiqah. Karena, rambut si bayi dicukur ketika menyembelih kambing tersebut .Oleh karena itu, dalam hadis menyebutkan ‘Bersihkanlah kotoran darinya’, maksudnya adalah rambut yang dicukur tersebut.” 

Dia lanjutkan, “Demikianlah, saya jelaskan kepada Anda bahwa para ulama biasa memberi nama sesuatu dengan nama yang lain apabila masih ada sangkut-pautnya dengan sesuatu tersebut. Seperti, kambing dinamakan aqiqah lantaran dicukurnya rambut si bayi.” Abu Ubaid megatakan, “Demikian juga setiap bayi hewan yang baru dilahirkan. Rambut yang ada dinamakan (‘aqiiqatun) aqiqah.

Al-Azhari mengatakan,

Rambut hewan tersebut dinamakan aqiq (‘aqiiqun) tanpa huruf Ta Marbuthah.” Al-Azhari melanjutkan, “Arti dasar kata (Al’aqqu) adalah membelah dan memotong. Rambut yang sudah tumbuh bersama dengan seorang bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya dinamakan aqiqah. Sebab, kalau berada di atas kepala manusia, harus dipangkas dan dicukur. Sedangkan kalau berada pada tubuh hewan, akan rontok dengan sendirinya. Kemudian, hewan yang disembelih juga dinamakan aqiqah, sebab hewan tersebut dibelah dan dipotong tenggorokan serta kedua arterinya. Seperti (adz dzabhu) yang artinya membelah, yang juga digunakan sebegai nama lewan sembelihan.”

Ibnus Sukait mengatakan,”’Seseorang mengaqiqahi anaknya’; artinya dia menyembelih hewan di hari ketujuh kelahiran anaknya”; artinya lanjutkan,“Sedangkan (‘aqqu falaanun walidaihi ya’uqquhumaa ‘uquuqon) artinya seseorang memutuskan tali silaturahim (durhaka) kepada kedua orang tuanya. Bentuk plural dari subjek kata kerja tersebut (al’aqqu) yang berarti durhaka adalah (‘aqaqatun). Bisa juga disebut (rajulun ‘aqqu) yang berarti durhaka.“ Ibnul ‘Arabi mengatakan, “(al’aqqu) artinya orang yang memutuskan tali silaturahmi.”

  • Definisi Aqiqah secara Etimologis

pengertian aqiqah

Beberapa definisi secara etimologis tentang aqiqah oleh para ahli fikih. Imam al-Baghawi mengatakan, “Yaitu nama hewan yang disembelih untuk bayi yang baru dilahirkan.” Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan, “Aqiqah adalah hewan yang disembelih untuk. bayi yang baru dilahirkan.

Ibnu Arafah al-Maliki mengatakan, “Aqiqah adalah kambing jantan atau betina yang disembelih  sebagai sarana ibadah dengan syarat tidak cacat dan disembelih pada hari ketujuh kelahiran anak manusia yang lahir dalam keadaan hidup.”

Definisi ini oleh Ibnu Arafah ini mengandung beberapa syarat yang tidak setuju oleh sekelompok ahli fikih. Nanti akan datang penjelasannya.

Dapat saya simpulkan bahwa aqiqah adalah hewan sembelihan atas nama bayi yang baru lahirb pada hari ketujuh kelahirannya sebagai ungkapan rasa syukur ke hadhirat Allah Subbanahu wa Ta’ala atas anugerah nikmat-Nya berupa anak, baik laki-laki maupun perempuan.

Dr. Muhammad Abu Faris mendefinisikannya sebagai “Kambing yang disembelih atas nama bayi yang baru lahir.”

Definisi ini tidak lengkap. Sebab, terbatas hanya pada kambing saja. Hal ini berdasarkan pendapat sebagian ahli fikih yang tidak memperbolehkan aqiqah dengan unta dan sapi. Pendapat ini sama-sekali tidak kuat. Nanti akan datang penjelasannya.

Akan lebih baik apabila kita ungkapkan dengan lafal (Adz dzabiihatu) hewan sembelihan. Sebab, lafal ini sifatnya umum. Mencakup kambing, sapi dan unta yang merupakan jenis hewan yang boleh sebagai objek aqiqah. Akan datang penjelasannya.

Lafal (Adz dzabiihatu) ‘hewan sembelihan’ untuk kambing, sapi dan unta. Ibnul Manzhur mengatakan,  “(Adz dzabiihatu) ‘hewan sembelihan’ adalah kambing yang disembelih…. Demikian juga unta…” Al-Azhari mengatakan, “(Adz dzabiihatu) ‘hewan sembelihan’ adalah nama untuk hewan yang disembelih.”

  • Aqiqah Sebelum Islam

Aqiqah sudah ada di kalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Al-Mawardi mengatakan, “Aqiqah adalah menyembelih kambing pada hari kelahiran anak yang bangsa Arab sudah melakukannya sebelum datangnya Islam.”

Waliyyullah ad-Dahlawi mengatakan, “Bahwa bangsa Arab biasa melakukan aqiqah untuk anak-anak mereka. Aqiqah adalah perkara yang biasa dan merupakan sunnah yang menganjurkan untuk pelaksanaanya (sunnah muakkadah). Pada aqiqah terdapat berbagai kemaslahatan finansial, psikologis dan sosial. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam membiarkannya, mengerjakannya dan menganjurkan masyarakat untuk ikut melakukannya.”

Hal ini ada dalam hadis dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya berkata: Aku mendengar bapakku (Buraidah al-Aslami tadhiyallahuanhu) berkata,

Di zaman Jahiliyah, apabila salah seorang dari kami memperoleh anak, dia menyembelih seekor  kambing lalu melumuri kepala anaknya dengan darah kambing tersebut. Setelah datangnya Islam,kami menyembelih kambing dan mencukur rambut si anak, lalu mengolesi kepalanya dengan minyak za’faran.”

Abu Dawud, Ahmad, an-Nasa’I dan al-Baihaqi meriwayatkan. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Talkhish al-Habir mengatakan, ”sanadnya shahih.” Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hasan shahih.” Juga oleh al-Hakim dengan komentar, “Sesuai dengan syarat periwayatan Bukhari dan Muslim.” Komentarnya ini sudah sepakat oleh adz-Dzahabi. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hanya sesuai dengan syarat periwayatan Muslim saja.”

Dalil yang lain adalah hadis Aisyah radhiyallahu’anha tentang aqiqah. Dia katakan:

Masyarakat Jahiliyah biasa mengambil darah hewan aqiqah dengan kapas lahi mengoleskannya ke kepala bayi. Rasulullah Shallallihu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan untuk mengganti darah itu dengan minyak wangi.

al-Baihaqi meriwayatkan. An-Nawawi berkomentar, “Sanadnya shahih.

As-Suyuthi menyebutkan bahwa Abdul Muththalib (kakek Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam) mengaqiqahi beliau di hari ketujuh kelahiran beliau. Dia katakan, Ibnu Asakir mwriwayatkan dari Ibnu Abbairadhiyallahu ‘anhuma berkata,

“Ketika Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam lahir, Abdul Muththalib mengaqiqahi beliau dengan seekor domba dan memberi nama beliau Muhammad. Kemudian mengatakan, “Wahai Abul Harits, mengapa engkau beri nama Muhammad (yang terpuji) dan tidak engkau beri nama yang sama dengan nama-nama leluhurya?” Dia menjawab, “Aku ingin agar Allah memujinya di langit dan seluruh manusia memujinya di bumi.

Aqiqah juga ada dalam syariat Nabi Musa ‘alayhissalarn. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam bersabda,

Orang-orang Yahudi mengaqiqahi anak laki-laki, tapi tidak mengaqiqahi anak perempuan. Aqiqahilah anak laki-laki dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor kambing.”

al-Baihaqi meriwayatkan. juga oleh Ibnu Abid Dunya dengan komentar pentahqiqnya, “Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Aba Hafsh asy-Sya’ir dan bapaknya. Kedua orang ini tidak dikenal.

al Bazzar meriwayatkan. Juga oleh al Hafizh Ibnu Hajar Tanpa komentar. Al-Albani mengatakan, “Hadis ini memiliki riwayat dengan sanad yang seluruh perawinya tsiqah. Tetapi, di dalamnya terdapat ‘an’anah.”

Ibnu Juraij. Namun,dalam riwayat Ibnu Hibban dia menegaskan riwayatnya ini dengan lafal tahdits. Sehingga, dapat dipastikan bahwa hadis ini shahih, Walhamdulillah. Ibnu Hibban juga meriwayatkan dengan komentar dari Syu’aib al-Arnauth, “Sanadnya shahih.