Pendapat-Pendapat Ahli Fiqih Mengenal Syarat di dalam Pernikahan – Bagian 2

Pendapat-Pendapat Ahli Fiqih Mengenal Syarat di dalam Pernikahan – Bagian 2

Nikah – Melakukan akad atas pihak lain, dengan tujuan tertentu. Maksud syarat ini adalah syarat-syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul. Maksudnya, ijab akan terjadi, namun harus bersamaan dengan sebuah syarat. Para ulama ahli fikih memberikan penjelasan secara terperinci mengenai hal itu. Kami akan memberikan pendapat setiap madzhab mengenai hal itu satu per satu. Ini berbeda dengan ijab yang tergantung dengan sebuah syarat, maka sesungguhnya ijab tidak akan terjadi sebelum syarat di dalam pernikahan terpenuhi.

3. Madzhab Syaf’i

Syarat itu ada dua; yang benar dan tidak benar.

a) Syarat-syarat yang benar di dalam pernikahan adalah syarat yang sesuai dengan hal-hal yang berkenaan akad nikah, seperti syarat memberi nafkah, membagi jadwal di antara para istri, atau syarat yang tidak sesuai dengan hal-hal yang berkaitan dengan akad nikah, seperti hendaknya si perempuan tidak makan kecuali begini dan begitu. Status syarat semacam ini tidak berpengaruh pada kedua jenis syarat di atas, karena tidak ada manfaatnya. Sedangkan nikah dan maharnya sah, sebagaimana di dalam jual-beli.

b) Sedangkan syarat tidak benar adalah syarat yang menyelisihkan hal-hal yang berkaitan dengan akad nikah, dan tidak menyalahi maksud asli pernikahan yaitu bersenggama. Itu seperti syarat tidak akan berpoligami, atau tidak memberi nafkah, tidak berpergian dengannya, atau tidak membawanya ke luar negeri. Hukum syarat-syarat tersebut adalah: pernikahannya sah karena tidak ada bentuk penyelisihan maksud asli pernikahan yaitu bersenggam dan bersenang-senang (al-istimtaa’). Akan tetapi, syaratnya rusak karena menyalahi tuiuan akad, baik syarat tersebut menguntungkan istri seperti contoh syarat yang pertama, ketiga dan keempat, atau merugikannya seperti contoh kedua. Itu dengan dalil sabda Rasulullah saw. yang berbunyi,

Setiap syarat yang bukan bersumber dari AI Qur’ an adalah batil.” (HR Bukhari-Muslim)

Maharnya juga batal, karena syarat tersebut jika menguntungkan si istri, ia tidak ridha dengan mahar yang hanya itu saja. Jika merugikan si istri, maka si suami tidak ridha mengganti mahar tersebut kecuali ketika apa yang menjadi syarat itu sah.

Jika syarat dapat menyelisihi maksud asli pernikahan, seperti mensyaratkan suami tidak akan bersenggama dengan istri selamanya atau tidak akan bersenggama dengannya melainkan sekali saja dalam setahun. Atau si perempuan mensyaratkan agar si suami tidak bersenggama dengannya kecuali di waktu malam saja atau siang saja, atau mensyaratkan agar si suami menceraikannya sekalipun setelah bersenggama, maka pernikahannya tersebut batal. Karena syarat tersebut bertentangan dengan maksud akad nikah, sehingga dapat membatalkannya.

Akan tetapi jika si suami mensyaratkan untuk tidak bersenggama dengan si istri di waktu malam maka akad nikahnya tidak batal. Karena suami boleh melakukan hubungan suami-istri di waktu malam dan siang, juga boleh tidak melakukannya. Jika dia mensyaratkan untuk tidak bersenggama dengan istrinya maka sejatinya ia telah mensyaratkan sesuatu yang memang boleh ia tinggalkan. Sedangkan perempuan, maka ia boleh digauli oleh suami di waktu malam dan siang. Jika ia mensyaratkan agar suami tidak menggaulinya maka ia telah mensyaratkan melarang suami dari haknya, dan ini bertentangan dengan maksud akad nikah, oleh karenanya ia membatalkan.

Demikian juga seandainya seorang lelaki mensyaratkan agar istrinya tidak mewarisinya, atau dia tidak mewarisi harta istrinya, atau keduanya saling tidak mewarisi, atau mewajibkan nafkah kepada orang selain suami maka pernikahannya batal juga.

4. Madzhab Hambali

Syarat-syarat pernikahan menurut mereka sama dengan pandangan para ulama Syafi’iah;

benar dan salah, yaitu adalah tiga macam:

Pertama: syarat-syarat yang benar, yaitu syarat yang sesuai dengan akad atau tidak sesuai akan tetapi mengandung manfaat bagi salah satu pihak. Syariat tidak melarang hal itu, selagi tidak menyalahi maksud utama dari akad itu sendiri. Hukumnya adalah harus terpenuhi karena mengandung manfaat. Misalnya seorang perempuan mensyaratkan kepada si lelaki agar menafkahi dan berbuat baik kepadanya, agar tidak berpoligami, tidak keluar dari rumah dan negaranya, atau tidak berpergian dengannya. Demikian juga seperti seorang lelaki yang mensyaratkan kriteria perempuan hendaknya perawan, cantik terpelajar atau tidak cacat yang tidak menyebabkan terjadinya khiyar dalam membatalkan pernikahan seperti buta, bisu, pincang dan sejenisnya.

Dalil keharusan memenuhi syarat-syarat ini adalah sabda Nabi saw.,

Sesungguhnya syarat yang paling berhak kalian penuhi adalah syarat yang kalian guna’

kan untuk menghalalkan kemaluan.

Juga hadits yang berbunyi,

Kaum Muslimin memenuhi syarat-syarat mereka.

Al-Atsram meriwayatkan dengan sanadnya bahwasanya ada seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan. Perempuan tersebut mensyaratkan agar tetap berada di rumahnya. Kemudian si lelaki tersebut hendak mengajak pindah istrinya tersebut. Lantas orang-orang mempermasalahkan hal ini kepada Umar ibnul Khaththab. Akhirnya Umar berkata, “Perempuan tersebut berhak mendapatkan apa yang ia syaratkan.” Lelaki tersebut berkata, “Kalau begitu kamu menceraikan kami.” Umar berkata, “Jurang pemutus hak-hak adalah syarat-syarat.”

Karena syarat itu mempunyai manfaat bagi si perempuan dan tidak menyalahi maksud dari pernikahan. Oleh karenanya, syarat itu harus dipenuhi. Sebagaimana seandainya di syaratkan penambahan mahar atau mata asing. Sedangkan sabda Rasulullah saw.,

Setiap syarat yang bukan bersumber dari Al-Quran adalah batil.” (HR Bukhari- Muslim)

Maksudnya adalah syarat yang bukan dalam hukum dan syariat Allah. Akan tetapi hal ini menjadi syariat. Adapun syarat-syarat yang tidak benar adalah syarat yang terlarang oleh syariat atau yang bertentangan dengan tujuan akad nikah, ini mencakup macam yang kedua dan ketiga.

Kedua: macam syaratnya batal dan akadnya sah, seperti seorang lelaki mensyaratkan tidak memberi mahar kepada si perempuan, tidak memberi nafkah atau jika telah memberi mahar kepadanya maka ia memintanya kembali. Atau si perempuan mensyaratkan kepada si lelaki agar tidak berhubungan intim dengannya, melakukan azl ketika berhubungan intim, memberinya giliran bermalam lebih sedikit atau lebih banyak dibandingkan istri-istri yang lain, atau tidak berada bersamanya pada hari Jumat melainkan di malam hari.

Demikian juga semisal perempuan mensyaratkan si lelaki berada bersamanya di siang hari, tidak di malam hari. Atau si lelaki mensyaratkan agar si perempuan menafkahi atau memberinya sesuatu. Substansi semua syarat ini batil karena bertentangan dengan tujuan akad dan mengandung pengguguran hak-hak yang wajib ditunaikan karena akad sebelum terlaksananya. Oleh karenanya akad dengan syarat-syarat tersebut tidak sah.

Termasuk dalam macam ini: jika si perempuan mensyaratkan kepada si lelaki agar menceraikan istri-istrinya yang lain. Syarat ini tidak sah karena syariat melarang hal itu. Sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.,

Nabi melarang perempuan memberi syarat agar menceraikan saudarinya (seiman).

Dalam redaksi yang lain,

Janganlah perempuan itu meminta agar dinikahi….

Agar dapat mengambil alih jatah makannya. Karena sesungguhnya rezekinya ada dalam tanggungan Allah.

Larangan tersebut menunjukkan akan kerusakan hal yang terlarang tersebut. Karena si perempuan tersebut telah mensyaratkan pembatalan akad si lelaki tersebut, serta hak istrinya. Oleh karenanya, syarat tersebut tidak sah, sebagaimana seandainya si perempuan tersebut mensyaratkan pembatalan transaksi jual-belinya.

Ketiga: apa yang membatalkan pernikahan dari asalnya: seperti pensyaratan dengan batas waktu tertentu dalam pernikahan, yaitu nikah mut’ah, atau menceraikan si perempuan di waktu itu iuga. fuga jika diberikan sebuah syarat, seperti perkataan wali si perempuan, “’Aku akan menikahkanmu jika ibumu atau si fulan ridha. Atau juga mensyaratkan adanya khiyar di dalam akad nikah, bagi keduanya maupun salah satunya.

Semua syarat tersebut batil, dan akad nikah  dengan syarat tersebut menjadi batal. Di antara syarat yang batil juga adalah menjadikan mahar si perempuan tersebut untuk menikahi perempuan lain, yang biasa disebut dengan nikah syighar.Adapun jika disyaratkan khiyar di dalam masalah mahar saja maka pernikahan tidak batal. Karena pernikahan berdiri sendiri dari penyebutan mahar.