Nikah – Para fuqaha telah bersepakat syarat bagi sahnya perkawinan adalah pelaksanaan oleh wali yang memegang hak memeliharanya, baik dia lakukan sendiri maupun dilakukan oleh orang lain. Jika terdapat perwalian yang seperti ini, maka sah dan terlaksana akad perkawinan. Jika tidak ada akadnya batal menurut pendapat iumhun dan menurut mazhab Hanafi adalah mauquf (terkatung). Apabila akad berlangsung dari seorang laki-laki dengan pelaksanaan dari dirinya sendiri, maka sah akadnya menurut kesepakatan fuqaha. Dan apabila berlangsung dengan perwakilan dari syariat maka sah juga dengan bentuk perwalian akad nikah. Jika akad perkawinan ini berlangsung dengan perwakilan dari seseorang, maka sah dengan bentuk perwakilan.
Dalam persoalan perwalian ini kita bicarakan mengenai maknanya, jenis-jenisnya, pensyaratannya dalam perkawinan seorang perempuan, syarat-syarat wali, orang yang memiliki hak perwalian, orang yang mewalikan, urutan wali, bagaimana cara meminta izin seorangperempuan untuk menikah, penolakan wali, ketiadaan wali serta keluarganya, atau hilangnya walinya.
-
Daftatr Isi
Makna perwalian dan sebabnya
Makna pertalian menurut bahasa adalah, rasa cinta dan pertolongan, sebagaimana yang firman Allah SWT, “Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maa’idah: 56)
Juga firman-Nya, “Orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” (at-Iaubah: 71). Bisa juga bermakna kekuasaan dan kemampuan. Dikatakan “al-Waali” yang berarti pemilik kekuasaan.
Dalam istilah, fuqaha memiliki makna kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin seseorang. Orang yang melaksanakan akad ini namanya adalah wali. Termasuk di antaranya adalah firman-Nya, “Hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.” (al-Baqarah: 282)
Sebab yang menjadi syariat perwalian dalam menikahkan anak kecil dan orang-orang gila adalah perwalian yang bersifat harus. Yang berupa perlindungan terhadap kepentingan mereka itu, serta penjagaan hak-hak mereka akibat ketidakmampuan dan kelemahan mereka agar jangan sampai hak mereka ini hilang dan tersia-siakan.
-
Pembagian perwalian
Mazhab Hanafi membagi perwalian kepada tiga bagian; perwalian terhadap diri, perwalian terhadap harta, dan perwalian terhadap diri serta harta secara bersama-sama. Perwalian terhadap diri adalah, mengawasi berbagai perkara pribadi anak yang belum mencapai usia baligh. Seperti perkawinan, pendidikan, pengobatan, dan pekerjaan, yang seharusnya dilakukan oleh bapak dan kakek serta semua walinya. Perwalian terhadap harta, yang mengurus berbagai perkara keuangan anak kecil, yang berupa investasi, perputaran, penjagaan, dan pembelanjaan. Hak ini berada pada bapak, kakek dan orang yang mendapat wasiatkan dari keduanya, serta qadhi yang mendapatkan kuasa.
Perwalian terhadap iiwa dan harta, mencakup berbagai persoalan dan keuangan pribadi, yang hanya oleh bapak dan kakek saja. Sedangkan yang menjadi inti pembahasan kita dalam perkawinan adalah perwalian terhadap diri.
Jenis perwalian terhadap diri terbagi kepada dua bagian, perwalian ijbar (yang bersifat harus), dan perwalian ikhtiar (sukarela). Atau perwalian pasti dan wajib, serta perwalian sunat dan sukarela.
- Perwalian ijbar, yaitu mengucapkan perkataan harus oleh orang lain yang mengatakannya. Dengan makna umum ini, perwalian tetap dengan empat sebab kekerabatan, kepemilikan, perwalian, dan imam.
- Perwalian akibat hubungan kekerabatan, bagi pemilik perwalian ini akibat adanya hubungan kekerabatan dengan orang yang dia walikan, baik akibat hubungan kekerabatan yang dekat, seperti bapak kakek dan anak atau akibat hubungan kekerabatan yang jauh, seperti anak laki-laki paman dari pihak ibu dan anak laki-laki paman dari pihak bapak.
Perwalian kepemilikan adalah perwalian yang ada bagi seorang tuan terhadap budaknya. Dia berhak untuk mengawinkan budak laki-lakinya atau budak perempuannya secara paksa. Terlaksananya perkawinan keduanya bergantung kepada izinya. Syarat adanya perwalian ini untuk seorang tuan adalah memiliki akal yang sempurna dan mencapai usia baligh. Oleh karena itu, tidak ada hak perwalian bagi orang gila, orang idiot, dan anak kecil yang belum mencapai usia baligh untuk mengawinkan budak laki-lakinya atau budak perempuannya.
Ada dua jenis perwalian al-walaa’ yakni perwalian akibat pemerdekaan dan perwalian muwalah. Perwalian akibat pemerdekaan adalah hak legal yang bagi orang yang memerdekakan terhadap orang yang dia merdekakan. Bahkan dia mewariskan hartanya kepadanya. Dia juga berhak untuk mengawinkannya jika orang yang dia merdekakan adalah anak kecil, atau orang dewasa, atau orang gila, atau orang idlot. Syarat kepemilikan perwalian ini adalah orang yang memerdekakan merupakan orang yang berakal, dan telah mencapai usia baligh.
Perwalian muwalah
adalah yang memiliki berdasarkan akad antara dua orang untuk menolongnya dan membayarkan dendanya jika dia melakukan tindakan kriminal, serta mewarisinnya iika dia meninggal dunia. Berdasarkan akad ini maka menetapkan perwalian untuk mengawinkannya. Untuk menetapkan perwalian ini yang menjadi syarat orang yang menjadi wali adalah orang yang berakal, baligh, dan merdeka. Bagi orang yang menjadi wali, jangan sampai ada seseorang yang berhak untuk mewarisiannya akibat hubungan nasab atan’ ashabah.
Perwalian imam adalah perwalian seorang imam yang adil beserta wakilnya. Seperti seorang penguasa dan qadhi. Masing-masing dari keduanya memiliki wewenang untuk mengawinkan orang yang tidak memiliki kemampuan atau kurang kemampuannya untuk menikah, dengan syarat orang tersebut tidak memiliki wali yang dekat. Berdasarkan hadits yang tadi telah disebutkan,
“Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
Perwalian ijbar
berdasarkan maknanya yang khusus adalah hak wali untuk mengawinkan orang lain dengan orang yang dia kehendaki. Perwalian ijbar dengan pengertian ini menurut mazhab Hanafi ditetapkan kepada anak kecil perempuan meskipun dia adalah seorang janda. Serta kepada orang perempuan idiot, perempuan gila, dan budak perempuan yang telah merdeka. Orang yang memiliki perwalian disebut wali mujbir.
Perwalian ikhtiar adalah hak wali untuk mengawinkan orang yang dia walikan berdasarkan pilihan dan kerelaannya. Dan orang yang memiliki perwalian ini disebut sebagai wali mukhayyir.
Menurut Abu Hanifah dan Zufar, perwalian ini kedudukannya sunah dalam mengawinkan perempuan yang merdeka, berakal, dan telah baligh, baik perawan atau janda untuk menjaga kebaikan adat dan etika yang terlidungi oleh Islam. Karena seorang perempuan dalam pandangan mereka harus melaksanakan sendiri akad pernikahan dirinya dengan pilihan dan kerelaaannya. Akan tetapi, menjadi sunnah juga baginya untuk menyerahkan pelaksanaan akad nikahnya kepada walinya. Syarat bagi tetapnya perwalian ini adalah kerelaan orang yang dia walikan, bukan orang lain.