Bagaimana Sifat dan Hukum Pernikahan yang Sesuai Syariat

Bagaimana Sifat dan Hukum Pernikahan yang Sesuai Syariat

hukum pernikahanNikah – Seperti apa hukum pernikahan menurut para ahli? berikut penjelasannya:

  1. Hukum Pemikahan dan Hikmah

Pernikahan disyariatkan dengan dalil dari Al-Qur’an, sunah, dan ijma’. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman yang artinya, “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.” (an Nisaa’: 3) Juga firman-Nya yang artinya, “Dan kawinkanIah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (an Nuur:32)

Sedangkan di dalam sunah, Nabi saw. bersabda, 

Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mampu kebutuhan pernikahan maka menikahlah. Karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga alat vital. Barangsiapa yang belum mampu menikah maka hendaknya dia berpuasa, karena itu merupakan obat baginya.” (HR Bukhari-Muslim)

Kaum Muslimin juga telah berijma (bersepakat) bahwa pernikahan merupakan sebuah syariat.

  1. Sifat Pernikahan yang Sesuai Syariat

Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang haram. Juga berfungsi untuk menjaga komunitas manusia dari kepunahan, dengan terus melahirkan dan mempunyai keturunan.

Demikian juga, pernikahan berguna untuk menjaga kesinambungan garis keturunan, menciptakan keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat, dan menciptakan sikap bahu-membahu di antara sesama. Sebagaimana semestinya bahwasanya pernikahan merupakan bentuk bahu-membahu antara suami-istri untuk mengemban beban kehidupan. Juga merupakan sebuah akad kasih sayang dan tolong-menolong di antara golongan, dan penguat hubungan antar keluarga. Dengan pernikahan itulah berbagai kemaslahatan masyarakat dapat meraihnya dengan sempurna. Adapun mengenai jenis atau sifat pernikahan syar’i maka menurut para ahli fiqih bergantung pada keadaan masing-masing orang:

  • Fardhu:

menurut kebanyakan para ulama fiqih, hukum pernikahan adalah wajib, jika seseorang yakin akan jatuh ke dalam perzinahan seandainya tidak menikah, sedangkan ia mampu untuk memberikan nafkah kepada istrinya berupa mahar dan nafkah batin serta hak-hak pernikahan lainnya. Ia juga tidak mampu menjaga dirinya untuk terjatuh ke dalam perbuatan hina dengan cara berpuasa dan lainnya. Itu karena ia diwajibkan untuk menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan haram. Segala sesuatu yang merupakan sarana untuk kesempurnaan sebuah kewajiban maka ia hukumnya wajib pula. Caranya dengan menikah. Menurut jumhur ulama antara wajib dan fardhu tidak ada perbedaan.

  • Haram:

Menikah menjadi jika seseorang yakin akan menzalimi dan membahayakan istrinya jika menikahinya, seperti dalam keadaan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pernikahan, atau tidak bisa berbuat adil di antara istri-istrinya. Karena segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalam keharaman maka ia hukumnya juga haram.

Jika terjadi benturan antara hal yang mewajibkan seseorang untuk menikah dan yang mengharamkan untuk melakukannya. Itu seperti ia yakin akan terjerumus ke dalam perzinaan seandainya tidak menikah dan sekaligus yakin bahwa ia akan menzalimi istrinya, maka pernikahannya adalah haram. Karena jika ada sesuatu yang halal dan haram bercampur maka haram lah yang menang. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (an Nuur: 33)

Juga hadits Nabi saw sebelumnya yang menganjurkan agar berpuasa untuk menjaga diri dari timbulnya syahwat. Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa dalam keadaan tersebut utamanya harus menikah, karena tabiat seorang lelaki akan lentur setelah menikah, pola interaksinya akan meningkat, serta akan terkikis sikap kerasnya dan hilang sifat yang kacau. Demikian juga, tidak menikah dalam keadaan seperti itu kemungkinan besar akan menyebabkan terjatuh ke lembah perzinaan.

  • Makruh:

pernikahan dimalauhkan jika seseorang khawatir terjatuh pada dosa dan mara bahaya. Kekhawatiran ini belum sampai deraiat keyakinan jika ia menikah. Ia khawatir tidak mampu memberi nafkah, berbuat jelek kepada keluarga atau kehilangan keinginan kepada perempuan. Dalam madzhab Hanafi. Makruh ada dua macam; makruh tahrimi (mendekati haram) dan tanzihi (mendekati halal) sesuai dengan kuat dan lemahnya kekhawatirannya. Sedangkan menurut para ulama syafi’i, menikah makruh hukumnya bagi orang yang memiliki kelemahan, seperti tua renta, penyakit abadi, kesusahan yang berkepanjangan, atau terkena gangguan jin. Menurut mereka juga dimakruhkan menikahi perempuan yang telah dikhitbah orang lain dan diterima. Juga pernikahan muhallil, jika tidak mensyaratkan di dalam akad sesuatu yang dapat membatalkan maksudnya, pernikahan penipuan, seperti seorang suami menipu akan keislaman seorang perempuan, atau kemerdekaannya, atau dengan nasab tertentu.

hukum pernikahan

  • Dianjurkan dalam kondisi stabil:

Menurut jumhur ulama selain Imam Syafi’i, menganjurkan pernikahan jika seseorang berada dalam kondisi stabil, sekiranya ia tidak khawatir terjerumus ke dalam perzinaan jika tidak menikah. Juga tidak khawatir akan berbuat zalim kepada istrinya jika menikah. Keadaan stabil ini merupakan fenomena umum di kalangan manusia.

Dalil yang menunjukkan bahwa nikah hukumnya sunah adalah sabda Nabi saw. tentang seruan kepada pemuda sebelumnya. Juga hadis tentang kisah tiga orang yang bertekad melakukan beberapa hal. Orang pertama bertekad untuk selamanya shalat malam, orang kedua bertekad berpuasa setahun penuh, sedangkan orang ketiga bertekad untuk tidak menikah selamanya. Melihat hal itu,lantas Nabi saw. bersabda,

Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang paling takut dan tahttta kepada Allah di antara kalian. Akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur dan menikahi perempuan. Barangsiapa yang berpaling dari sunahku maka bukan termasuk golongan dariku.”

Hal itu terbukti dengan fakta bahwasanya Rasulullah saw. menikah dan menjaga hal itu, demikian juga dengan para sahabat beliau. Tradisi menikah ini diikuti oleh kaum Muslimin. Kontinuitas tersebut merupakan dalil sunnahnya menikah.

Imam Syafi’i berkata, sesungguhnya pernikahan dalam keadaan ini (stabil) hukumnya adalah mubah; boleh menikah dan boleh juga tidak. Sesungguhnya berkonsentrasi untuk ibadah dan mencari ilmu lebih utama dari pada menikah. Karena Allah SWT memuji Nabi Yahya a.s. dengan firman-Nya yang artinya, “menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu).” (Ali Imlaan: 39) Seandainya menikah itu lebih utama maka Allah SWT tidak akan memujinya karena ia meninggal untuk bersenang-senang dengan perempuan (menikah). Akan tetapi pendapat ini terbantah, bahwa itu adalah syariat kaum sebelum kita dan syariat kita kebalikannya.

Allah SWT berfirman yang artinya,

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak…” (Ali Imraan : 14) Ayat ini dalam konteks penghinaan. Pernikahan tidak wajib dilakukan karena berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budakyang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-Nisaa’: 3)

Karena kewajiban itu tidak berkaitan dengan rasa senang, dan menurut ijma’, tidak wajib hukumnya berpoligami. Imam Subki menolak alasan pertama yang mengatakan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah wanita-wanita yang disenangi. Dia mengatakan bahwa maksud dalam ayat tersebut adalah wanita-wanita yang halal, karena di sana ada wanita-wanita yang haram untuk dinikahi. Sebagaimana dalam firman Allah SWT yang artinya,

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-sauddramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisaa’:23)