Hari Ketujuh Kelahiran dan Hukum Aqiqah Sebelum Hari Ketujuh

Hari Ketujuh Kelahiran dan Hukum Aqiqah Sebelum Hari Ketujuh

Terdapat beberapa hadis Nabi yang menentukan bahwa waktu pelaksanaan aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran bayi. Hadis-hadis tersebut antara lain:

Hadis Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alayhiwa Sallam bersabda,

Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya; disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur rambutnya dan diberi nama.

Hadis ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya,

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan untuk memberi nama bayi pada hari ketujuh kelahirannya, membersihkan kotoran darinya dan menyembelih hewan.

Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha,

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain pada hari ketujuh kelahiran mereka, memberi nama dan memerintahkan agar kotoran di kepala mereka dihilangkan (rambutnya dicukur).”

Dari hadis-hadis ini dapat diambil kesimpulan bahwa waktu yang menjadi anjuran untuk pelaksanaan aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran. Hal ini menjadi kesepakatan seluruh ulama berdasarkan hadis-hadis yang menjelaskannya.

Setelah membawakan hadis Samurah di atas, Imam at Tirmidzi mengatakan, “Hadis ini menjadi dasar amalan menurut seluruh ulama. Mereka menganjurkan penyembelihan hewan aqiqah untuk bayi dilakukan pada hari ketujuh kelahirannya…

hari ketujuh kelahiranAl-‘Allamah Ibnul Qayyim menjelaskan hikmah di balik pelaksanaan aqiqah pada hari ketujuh kelahiran. Beliau katakan, “Hikmahnya –Wallahu alam– seorang bayi ketika lahir akan berada pada kondisi antara selamat atau tidak. Tidak tahu apakah dia akan hidup atau mati. Hal ini terus berlangsung sampai batas waktu tertentu yang menunjukkan bahwa keadaannya selamat dan struktur tubuhnya terbangun sempurna serta layak hidup. Batas waktu tersebut adalah satu minggu dari semenjak lahir. Karena, satu minggu adalah masa edar hari, sebagaimana satu tahu merupakan masa edar bulan.

Maksudnya, hari-hati ini adalah tingkatan pertama usianya.

Apabila seorang bayi sudah melewatinya, berarti dia akan pindah pada tingkatan berikutnya, yaitu bulan. Apabila si bayi juga sudah melewatinya, berarti dia akan pindah ke tingkatan berikutnya, yaitu tahun. Jika jumlah hari-hari ini kurang, tentu struktur tubuhnya belum tumbuh dengan sempurna. Kalau lebih, maka pelaksanaannya harus mengulangnya sesuai dengan jumlah hari-hari tersebut. Oleh karena itu, pada puncak kesempurnaan struktur tubuhnya yang berakhir pada hari keenam, sunnah hukumnya untuk segera memberinya nama, membersihkan kotorannya, menebus dan membebaskannya dari tanggungan pada keesokan harinya, yaitu hari ketujuh.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Ritual penyembelihan hewan aqiqah sunnah untuk melaksanakannya pada hari ketujuh kelahiran. Apabila lahir hari Sabtu, maka aqiqahnya adalah pada hari Jumat. Yaitu satu hari sebelum hari kelahiran. Inilah kaidahnya. Apabila lahir pada hari Kamis, maka aqiqahnya adalah pada hari Rabu. Dan demikian seterusnya. Hikmah di balik pelaksanaan aqiqah pada hari ketujuh kelahiran, karena hari ketujuh merupakan penutup hari-hari dalam satu tahun. Apabila lahir pada hari Kamis, si bayi akan melewati hari Kamis, Jumat, Sabtu, Ahad, Senin, Selasa dan Rabu. Dengan berlalunya seluruh nama hari dalam satu tahun, mengharapkan bayi ini kelak panjang umur”

Setelah kesepakatan di kalangan para ulama bahwa pelaksanaan aqiqah pada hari ketujuh adalah sunnah untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang mengaqiqahi Hasan dan Husain pada hari ketujuh kelahiran, mereka berbeda pendapat pada cabang-cabang masalah ini.

  • Hukum Aqiqah Sebelum Hari Ketujuh

Ada dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama: para ulama penganut mazhab Syafi’i dan Hanbali memperbolehkan menyembelih hewan aqiqah sebelum hari ketujuh kelahiran. Pendapat ini juga oleh Ibnu Hazm dari Muhammad bin Sirin yang termasuk kalangan tabi’in.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Tampaknya, pembatasan waktu tujuh hari adalah sunnah. Seandainya aqiqah terjadi pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh atau setelahnya, tidak apa-apa.

Pendapat kedua: para ulama penganut mazhab Maliki mengatakan, “Tidak boleh melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh.” Pendapat senada juga datang dari oleh Ibnu Hazm azh-Zhahiri dan Amir Ash-Shan’ani. Sebab, itu bertentangan dengan teks hadis. Juga karena sabda Nabi Shalla laha ‘alayhi wa Sallam ‘disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh‘ membatasi waktunya. Sehingga, tidak menjadi syariat untuk melakukan sebelumnya.