Bagi orang yang belum aqiqah ketika masih bayi; bolehkah mengaqiqahi diri sendiri setelah dewasa? Ada dua pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini.
Pendapat pertama: Sunnah bagi orang yang belum aqiqah sewaktu kecil untuk mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa. Pendapat ini datang dari oleh Atha’, al-Hasan dan Muhammad bin Sirin. Al-Hafizh al-Iraqi menyebutkan bahwa Imam asy-Syaft’i memandang bahwa dia boleh memilih antara mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. Al-Qaffal asy-Syasyi dari kalangan ulama penganut mazhab Syafl’i lebih condong pada anjuran untuk mengaqiqahi diri sendiri setelah dewasa. Pendapat ini juga merupakan salah-satu riwayat pendapat Imam Ahmad. Asy-Syaukani juga berpendapat demikian berdasarkan kesahihan hadis yang akan tersebutkan nanti.
Dalil-dalil pendapat pertama
Mereka mendasari pendapat yang mereka kemukakan dengan hadis, “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi diri beliau sendiri setelah kenabian.”
Hadis ini banyak yang membicarakan secara panjang-lebar oleh para ahli hadis. Di sini akan saya paparkan secara ringkas. Hadis ini diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Abdullah bin Muhar dari Qatadah, dari Anas radhiyallahu ‘anhu.
Ada juga riwayat oleh al-Baihaqi dengan sanadnya dari Abdullah bin Muhartir, dari Qatadah dari Anas radhiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi diri beliau sendiri setelah kenabian.”
‘Abdurrazzaq mengatakan, “Mereka meninggalkan Abdullah bin Muharrir lantaran hadisnya ini.” Kemudian dia lanjutkan, “Hadis ini juga ada riwayat dari jalur yang lain dari Qatadah dan jalur yang lain lagi dari Anas. Tapi, kedua jalur ini bukan apa-apa.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Sepertinya dengan perkataannya ini dia ingin menunjukkan bahwa hadis yang ditiwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi diri beliau sendiri setelah kenabian tidak shahth, dan memaing demikian adanya”. Riwayatoleh al-Bazzar dari riwayat Abdullah bin Muharrir, dari Qatadah, dari Anas. Al-Bazar mengatakan, “Ada riwayat secara eksklusif oleh Abdullah dan dia dhaif“.
Ada juga riwayat oleh Abusy Syaikh dari dua jalur yang lain. Yang pertama dari jalur riwayat Ismail bin Muslim dari Qatadah. Ismail ini juga dhaif. ‘Abdurrazzaq mengatakan, “Mereka meninggalkan Abdullah bin Muharrir lantaran hadisnya ini.” Mungkin, Ismail mencuri riwayat hadis ini darinya. Kedua; dari jalur riwayat Abu Bakar al-Mustamli dari al-Haitsam bin Jumail dan Dawud Ibnul Mihbar berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnul Mutsanna dari Tsumamah dari Anas. Dawud ini dhaif. Tetapi, al-Haitsam tsiqah dan Abdullah termasuk salah-satu perawi Bukhar. Sehingga, dengan demikian hadis ini sanadnya kuat.
Datang juga riwayat oleh Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman dari Ibrahim bin Ishaq as-Sarraj dari ‘Amr an-Naqid.
Oleh ath-Thabrani meriwayatkan dalam kitab Al-Mujam al-Ausath dari Ahmad bin Mas’ud, keduanya dari al-Haitsam bin Jumail secara eksklusif. Seandainya pada diri Abdullah Ibnul Mutsanna tidak ada kritik seputar keterpercayaannya, tentu hadis ini shahih. Akan tetapi, Ibnu Ma’in mengatakan tentangnya, “Bukan siapa-siapa.” An-Nasa’i mengatakan, “Tidak kuat.” Abu Dawud mengatakan, “Aku tidak mau meriwayatkan hadisnya.” As-Saji mengatakan, “Ada kelemahan padanya, bukan termasuk ahli hadis dan sering membawakan riwayat munkar.” Al-Uqaili mengatakan, “Mayoritas hadisnya tidak layak mendapatkan mutaba’ah.” Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsigat mengatakan, “Mungkin dia keliru.” Namun, dia dianggap tsiqah oleh al-‘Ajali, at-Tirmidzi dan lain-lain. Perawi ini termasuk dalam kategori perawi yang apabila membawakan riwayat secara eksklusif, riwayatnya tersebut tidak dapat diterima.
Al-Hafizh adh-Dhiya’ hanya memandang pada eksplisitas sanadnya dan memasukkan hadis ini dalam kategori hadis-hadis pilihan yang tidak terdapat dalam Ash-Shahihain dalam kitabnya Al-Ahadits al-Mukhtarah mimma Laisa fish Shahthain. Dengan demikian, bisa bahwa apabila hadis ini memang shahih, berarti termasuk dalam kategori kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sebagaimana yang mereka kemukakan tentang penyembelihan hewan qurban yang beliau lakukan untuk orang-orang dari kalangan umat beliau yang tidak mampu menyembelih qurban. Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Abdullah bin Muharrir, hadisnya bukan hujjah.” An-Nawawi mengatakan, “Hadis ini batil. Al-Baihaqt mengatakan, ‘Hadis ini munkar… Ini adalah hadis yang batil. Abdullah bin Muharrir dhaif dan disepakati kedhaifannya.’ Para ahli hadis mengatakan bahwa dia matruk.“
Al-Hafizh Abu Zur’ah al-Iraqi mengatakan,
“Hadis ini memiliki jalur lain yang cukup baik. Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu Hazm dari riwayat al-Haitsam bin Jumail, dari Abdullah Ibnul Mutsanna, dari Tsumamah, dari Anas.”
Pada biografi Abdullah bin Muharrir, adz-Dzahabi menyebutkan bahwa dia itu matruk. Salah satu kekeliruannya yang fatal adalah dia meriwayatkan dari Qatadah, dari Anas bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi diri beliau sendiri setelah menjadi Nabi.
Al-Haitsami mengatakan, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam kitab Al-Mujam al-Ausath. Para perawi ath-Thabrani adalah para perawi kitab Ash-Shahth selain al-Haitsam bin Jumail. Tapi, dia tsiqah. Biografi syaikhnya ath-Thabrani, yaitu Abmad bin Mas’ud al-Khayyath al-Maqdisi tidak terdapat dalam kitab Al-Mizan.”
Asy-Syaikh al-Albani mensahinkan hadis ini dalam kitab Silsilah al-Ahadits ash-Shabthah nomor 2726 setelah membicarakannya secara panjang lebar. Beliau menyebutkan bahwa hadis ini memiliki dua buah jalur periwayatan dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Pertama: dari Abdullah bin Muliarrit, dari Qatadah, dari Anas. Kemudian beliau menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan hadis tersebut dari jalur ini serta pendhaifan Mereka terhadapnya. Setelah itu, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Jalur yang lain dari al-Haitsam bin Jumail; Telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnul Mutsanna bin Anas dari Tsumamah bin Anas, dari Anas. Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar 1/461, ath-Thabarani dalam kitab Al-Mujam al-Ausath 1/55/2 nomor 976, Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla 8/321 dan adh-Dhiya’ al-Magdisi dalam kitab Al-Mukhtarah Q 71/1.”
Saya (al-Albani) katakan: Sanad ini hasan.
Para perawinya sebagai hujjah oleh Bukhari dalam kitab Shahilnya selain al-Haitsam bin Jumail. Tetapi, dia tsiqah, hafizh, termasuk guru Imam Ahmad yang juga meriwayatkan hadis ini darinya sebagaimana oleh al-Khallal dari Abu Dawud berkata, “Aku mendengar Abmad meriwayatkan hadis ini.” Sebagaimana yang ada dalam kitab Ahkamul Maulad karya Ibnul Qayyim, halaman 88 (edisi cetakan) Damaskus. Anehnya, dalam kitab tersebut jalur periwayatan yang ini ada mutaba’ah dengan jalur pertama dan mengatakan: Ahmad berkomentar, “Munkar” dan mendhaifkan Abdullah bin Muharrir tanpa mendhaifkan jalur ini sama sekali.
Demikian juga oleh ath-Thahawi dan Ibnu Hazm. Maka, diamnya mereka dapat menjadi penerimaan mereka terhadap hadis ini, dan memang demikianlah adanya. Sebab, para perawi hadis ini sepakat seluruhnya tsiqah selain Abdullah Ibnul Mutsanna, yaitu Ibnu Abdillah bin Anas bin Malik. Karena, walaupun Bukhari berhujjah dengannya, namun banyak terjadi perbedaan pendapat tentang keterpercayaannya seperti yang ada dalam kitab Ac-Tahdzib dan lain-lain. Adz-Dzahabi menyebutkan namanya dalam kitab Al-Mutakallam fhim bima La Yajibu ar-Radd, halaman 129-190. Sehingga, kesimpulannya bahwa tingkatan perawi ini adalah moderat.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam Mukadimah kitab Fathul Bari halaman 416, bahwa Bukhari tidak berhujjah dengannya kecuali pada riwayatnya dari pamannya Tsumamah. Kalau meriwayatkan dari perawi lain, hanya sebagai mutaba’ah. Saya katakan: Mungkin karena dekatnya hubungan Abdullah dengan pamannya dan pengetahuannya terhadap hadis-hadisnya, sehingga bisa jadi bahwa dia adalah orang yang paling tahu tentang riwayat pamannya itu. Oleh karena itu, Bukhari-seperti yang oleh al-Hafizh–berusaha untuk menyelaraskan antara perkataan para ahli hadis yang menganggap Abdullah tsiqah dengan para ahli hadis yang menganggapnya dhaif. Dalam riwayatnya dari pamannya, dia adalah hujjah. Sementara, dalam riwayatnya dari perawi lain, dia dhaif. Mungkin, inilah yang menyebabkan adh-Dhiya’ al-Maqdisi meriwayatkan hadis ini dalam kitab Al-Mukhtarah dan diamnya sebagian ahli hadis seperti yang telah saya jelaskan di atas.
Terjadi kontradiksi yang cukup mengherankan dalam pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar tentang hadis ini.
Sekali waktu dia menganggapnya kuat. Sementara, di waktu yang lain dia menganggapnya dhaif. Dalam kitab Fathul Bari 9/594-595 dia menukilkan dari Imam ar-Rafi’i bahwa pendapat terpilih dalam aqiqah adalah tidak menundanya hingga mencapai usia baligh. Kalau tidak, sunnah aqiqah tersebut gugur dari orang yang ingin melaksanakannya. Tetapi kalau dia ingin mengaqiqahi dirinya sendiri, itu boleh dilakukan. Setelah itu al-Hafizh mengatakan, “Sepertinya dengan perkataannya ini dia ingin menunjukkan bahwa hadis yang diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi diri beliau sendiri setelah kenabian tidak shakih, dan memang demikian adanya.”
Kemudian, dia membawakannya dari riwayat al-Bazzar yang dhaif lalu mengatakan, ‘Oleh Abusy Syaikh meriwayatkan dari dua jalur yang lain. Yang pertama dari jalur riwayat Ismail bin Muslim dari Qatadah. Ismail ini juga dhaif. Mungkin Ismail mencuri riwayat hadis ini darinya. Kedua; dari jalur riwayat Abu Bakar al-Mustamli dari al-Haitsam bin Jumail… Al-Haitsam tsiqah dan Abdullah termasuk salah-satu perawi Bukhari. Sehingga, dengan demikian hadis ini sanadnya kuat. Ada juga riwayat oleh Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman… Ath-Thabrant dalam kitab Al-Mu’jam al-Ausath… Seandainya pada diri Abdullah Ibnul Mutsanna tidak ada kritik seputar keterpercayaannya, tentu hadis ini shahih.”