Nikah – Dalam pernikahan ada beberapa syarat terlaksananya pernikahan bagi kedua pihak yang melaksanakan akad (lelaki dan perempuan), dan beberapa syarat dalam shigat (ijab dan qabul).
Daftatr Isi
Syarat-syarat Kedua Belah Pihak yang Melakukan Akad
Kedua belah pihak disyaratkan dua hal:
a) Mampu melaksanakan
Orang yang melaksanakan akad bagi dirinya maupun orang lain harus mampu melakukan akad. Syarat itu cukup dengan adanya sifat tamyiz (mampu membedakan) saja. Jika dia belum tamyiz, seperti anak kecil yang belum berumur 7 tahun dan orang gila, maka pernikahan tidak sah dan menjadi batal. Karena tidak adanya keinginan dan tujuan yang benar dan dianggap oleh syariat.
Untuk melaksanakan akad nikah tidak disyarat orang baligh, karena itu merupakan syarat nafaadz di kalangan ulama Hanafiah.
Para ulama Syafi’iah membolehkan seorang wali; ayah atau kakek untuk menikahkan anak kecil yang sudah tamyiz, sekalipun dengan lebih dari satu perempuan, iika itu dipandang maslahat. Karena menikahkan anak kecil tersebut berdasarkan kemaslahatan, terkadang memang hal itu
dibutuhkan. Para ulama Hanabilah jiuga membolehkan, khususnya seorang ayah untuk menikahkan putranya yang masih kecil atau orang gila sekalipun sudah besar. Al-Atsram meriwayatkan bahwasanya Ibnu Umar menikahkan putranya ketika masih kecil. Lantas orang-orang meminta keputusan hukum kepada Zaid. Kemudian mereka berdua membolehkan hal itu bagi semua orang.
Seorang ayah juga boleh menikahkan puteranya yang masih kecil dengan lebih dari satu perempuan, iika ia melihat hal itu maslahat. Para ulama Malikiah juga membolehkan seorang ayah, orang yang diberi wasiat dan hakim untuk menikahkan orang gila dan anak kecil demi ke-
maslahatan, seperti khawatir terjerumus ke dalam perzinaan atau bahaya. Atau menikahkannya dengan perempuan yang mampu menjaga harta anak kecil tersebut, sedangkan kewajiban membayar maharnya dibebankan kepada sang ayah.
b) Mendengar perkataan orang lain
Masing-masing kedua belah pihak harus mampu mendengar perkataan yang lain, sekalipun secara hukmi saja, seperti tulisan kepada seorang perempuan yang tidak ada di tempat, yang memberikan pemahaman keinginan untuk melakukan pernikahan, demi mewujudkan keridhaan keduanya. Lebih detailnya hal ini hendaknya dimasukkan dalam kategori syarat di dalam shigat akad.
Menurut ulama Hanafiah tidak disyaratkan adanya sebuah keridhaan. OIeh karenanya, akad nikah sah dilakukan dengan paksaan dan gurauan.
Syarat-Syarat Pada Perempuan
Ada dua syarat untuk perempuan yang ingin melakukan akad nikah:
- Harus benar-benar berjenis kelamin perempuan. Seorang lelaki tidak sah menikah dengan sesama lelaki atau orang banci musykil yang tidak jelas status kelaminnya; lelaki atau perempuan. Oleh karenanya tidak sah menikah dengan orang banci.
- Hendaknya Perempuan Tersebut jelas-jelas tidak diharamkan atas lelaki yang mau menikahinya. Oleh karenanya, pernikahan tidak sah dilakukan dengan mahram, seperti putrinya sendiri, saudari, bibi dari ayah dan dari ibu, istri orang lain, perempuan yang masih dalam masa iddah, dan pernikahan seorang Muslimah dengan non-Muslim. Pernikahan dalam kondisi itu semua hukumnya haram.
Syarat-syarat Shlghat Akad (Ijab dan Qabul)
Menurut kesepakatan para ulama, dalam shighat akad disyaratkan empat hal:
a) Dilakukan dalam satu majelis, jika kedua belah pihak hadir
Jika ijab dan qabul tersebut dilakukan dalam majelis yang berbeda maka akad belum terlaksana. Jika si perempuan berkata, “Aku menikahkanmu dengan diriku,” atau seorang wali berkata, “Aku menikahkanmu dengan putriku,” lantas pihak yang lain berdiri sebelum mengucapkan kata qabul atau menyibukkan diri dengan perbuatan yang menunjukkan berpaling dari majelis, kemudian setelah itu baru mengatakan, “Aku menerima,” maka akad tersebut tidak sah menurut para ulama Hanafiah. Ini menunjukkan bahwa sekadar berdiri saja dapat mengubah majelis. Demikian iuga iika pihak pertama meninggalkan majelis setelah mengucapkan kalimat ijab, lantas pihak kedua mengucapkan kata qabul di dalam majelis di saat pihak pertama tidak ada atau setelah kembalinya, maka itu juga tidak sah.
Menurut para ulama Hanafiah,
majelis bisa berubah dengan berjalan lebih dari dua langkah, baik berjalan kaki maupun kendaraan. Demikian juga tidurnya kedua belah pihak yang melakukan akad dengan berbaring bukan duduk merupakan dalil tidak menerima. Akan tetapi, tidak disyaratkan untuk menyegerakan pengucapan kalimat qabul setelah kalimat ijab. Akad nikah tetap sah sekalipun majelis akad dilangsungkan dalam waktu yang lama. Akad juga sah jika kedua belah pihak melakukannya di atas kapal layar, karena kapal layar dianggap sama dengan satu tempat.
Sebenarnya, patokan utamanya dalam batasan antara satu majelis dengan beda majelis itu adalah adat-istiadat. Tindakan apa pun yang oleh adat dianggap telah berpaling dari akad atau pemisah antara kalimat ijab dan qabul, dapat mengubah status majelis akad. Sedangkan apapun yang tidak dianggap berpaling dari akad atau pemisah antara kalimat ijab dan qabul, maka tidak mengubah status majelis akad.
Sedangkan menurut jumhur disyaratkan untuk menyegerakan pengucapan kalimat qabul, sekiranya tidak ada jeda waktu yang lama antara pengucapan kalimat ijab dan pengucapan kalimat qabul. Para ulama Syafi’iah mengatakan, “Disyaratkan agar jeda waktu antara ijab dan qabul tidak lama. Jika jedanya lama maka dapat merusak akad. Karena jeda yang lama dapat mengeluarkan kalimat qabul dari koridor sebagai jawaban atas kalimat ijab. Ukuran jeda lama itu adalah waktu yang mengindikasikan pihak kedua tidak mau mengucapkan kalimat qabul. Jeda sebentar tidak akan merusak akad, karena tidak mempunyai indikasi untuk tidak mengucapkan kalimat qabul. Perkataan lain yang diucapkan di antara kalimat ijab dan qabul juga dapat merusak akad, sekalipun itu diucapkan dengan sebentar dan kedua belah pihak masih berada di dalam majelis akad. Karena hal itu dipandang berpaling dari pengucapan kalimat qabul.
Adapun ketika dalam kondisi salah satu pihak tidak bisa hadir dalam majelis akad, dan akad dilakukan dengan perantara tulisan atau utusan, maka para ulama Hanafiah berkata, “Maielis akad adalah majelis pembacaan tulisan atau mendengar perkataan seorang utusan di depan para saksi. Oleh karenanya saat itu masih dianggap satu majelis. Itu dikarenakan tulisan sederajat dengan perkataan orang yang menulis dan perkataan seorang utusan sama dengan perkataan orang yang mengutusnya, karena ia menyampaikan perkataan orang yang mengutusnya. Membaca tulisan dan mendengarkan perkataan utusan sama halnya dengan mendengar perkataan orang yang menulis dan orang yang mengutus. Jiika tulisan tersebut tidak dibacakan atau perkataan utusan tidak didengarkan maka akad nikah tidak sah menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Itu karena adanya syarat persaksian di dalam kedua shighat akad; ijab dan qabul.
Jika si perempuan membaca tulisan tersebut atau mendengar perkataan utusan di depan para saksi, kemudian dia berdiri dari majelis untuk menunaikan kepentingan yang lain, atau sibuk berbicara mengenai hal selain akad, lantas dia berkata, “Aku menikahkan diriku dengan si Fulani” maka akad nikahnya tidak sah, karena maielisnya sudah berbeda.
Akan tetapi jika perempuan tersebut mengulangi lagi membaca tulisan tersebut di majelis yang berbeda. Lantas mengucapkan kalimat qabul di depan para saksi, maka akadnya sah, karena tulisannya masih ada. Adapun jika seorang utusan mengulangi lagi mengucapkan kalimat ijab di maielis yang lain, lantas si perempuan menerimanya, maka akadnya tidak sah. Karena masa ia menjadi utusan telah usai, lain halnya dengan tulisan (surat).
b) Kesesuaian dan ketepatan kalimat qabul dengan ijab
Kesesuaian itu dapat terwujud dengan adanya kesesuaian ijab dan qabul dalam tempat akad dan ukuran mahar. Jika ijab dan qabul berbeda; jika perbedaan itu terletak pada tempat akad, misalnya ayah si perempuan berkata, “Aku menikahkanmu dengan Khadijah,” lantas si lelaki menjawab, ‘Aku menerima pernikahan Fatimah,” maka pernikahan tidak sah. Itu dikarenakan isi dari kalimat qabul berbeda dengan apa yang disebutkan dalam kalimat iiab.
Hal ini sama halnya dengan akad dalam jual beli, seandainya ada seorang pembeli menawar sebuah pakaian, lantas si penjual menjawab akad jual belinya dengan barang yang lain tanpa sepengetahuan si pembeli. Jikalau perbedaan itu terletak pada ukuran mahar; misalnya si wali perempuan berkata, “Aku nikahkan kamu dengan putriku dengan mahar 1000 dirham.” Lantas si lelaki menjawab, “Saya terima nikahnya dengan mahar 800 dirham,” maka pernikahannya tidak sah. Kecuali jika perbedaan dalam mahar tersebut demi tujuan baik dengan menambah jumlah maharnya, seperti, “Saya menerima nikahnya dengan mahar 1100 dirham,” maka ini sah menurut para ulama Hanafiah.
Sebab tidak sahnya akad karena ada perbedaan dalam ukuran mahar sekalipun mahar bukan merupakan rukun akad. Bahwa sesungguhnya jika mahar disebutkan di dalam akad maka ia menjadi bagian dari kalimat ijab. Oleh karenanya kalimat qabul harus diucapkan sesuai dengan apa yang terkandung di dalam kalimat ijab, sehingga akad nikah dapat menjadi sah. Jika mahar tidak disebutkan di dalam akad, atau dengan terang-terangan bahwa tidak ada mahar bagi si perempuan, maka mahar bukanlah termasuk bagian dari kalimat ijab. Akan tetapi, dalam kondisi seperti ini harus ada mahar mitsli, karena mahar dalam pernikahan diwajibkan oleh syariat. Oleh karenanya, pernikahan tidak sah tanpa sebuah mahar.
c) Orang yang mengucapkan kalimat ijab tidak boleh menarik kembali ucapannya
Di dalam akad disyaratkan bagi orang yang mengucapkan kalimat ijab untuk tidak menarik kembali ucapannya sebelum pihak yang lain mengucapkan kalimat qabul. Jika dia menarik kembali ucapannya maka ucapan ijabnya tersebut meniadi batal. Dengan demikian, tidak ada kalimat yang sesuai dengan kalimat qabul.
Orang yang mengucapkan kalimat ijab tidak wajib mempertahankan kalimat ijabnya, kecuali jika bersambung dengan kalimat qabul, seperti dalam akad jual-beli. Jika salah satu pihak yang melakukan akad telah mengucapkan kalimat ijab, maka dia boleh menarik lagi ucapannya tersebut sebelum pihak yang lain mengucapkan kalimat qabul. Karena ijab dan qabul merupakan satu rukun. Dengan kata lain, salah satu dari keduanya hanya merupakan setengah rukun saja. Sesuatu yang tersusun dari dua hal tidak dianggap ada dengan keberadaan salah satunya saja.
d) Diselesaikan pada waktu akad
pernikahan seperti jual-beli yang memberikan syarat agar akadnya diselesaikan pada waktu akad itu terjadi. Di dalam fikih empat madzhab tidak dibolehkan melakukan akad nikah untuk pernikahan di waktu yang akan datang. Misalnya dengan berkata, “Aku akan menikahimu besok atau lusa.” Juga tidak membolehkan akad dengan dibarengi syarat yang tidak ada. Seperti berkata, “Aku akan menikahimu jika Zaid datang, atau jika ayahku meridhai,” atau berkata, “Aku akan menikahkanmu dengan putriku jika
matahari telah terbit” Itu dikarenakan akad nikah termasuk akad pemberian hak kepemilikan atau penggantian. Dengan demikian, akad tersebut tidak dapat diberi syarat yang belum ada, juga disandarkan kepada waktu yang akan datang. Karena Allah SWT mensyariatkan akad nikah agar dapat memberikan sebuah manfaat di saat itu juga. Sedangkan pemberian syarat yang tidak ada saat akad dan waktu yang akan datang bertentangan dengan hakekat syariat itu sendiri. Akan tetapi mensyaratkan dengan sesuatu yang ada di masa lampau hukumnya boleh, dan akadnya sah di waktu sekarang. Hal itu semisal ada orang yang ingin mengkhitbah seorang perempuan untuk puteranya.
Lantas ayah si perempuan berbohong seraya berkata,
“Aku telah menikahkan putriku dengan orang lain sebelum kamu, andai saja aku belum menikahkannya dengannya pastilah aku akan menikahkannya dengan putramu.” Kemudian orang tersebut menerima syarat tersebut. Ternyata di kemudian hari kebohongan ayah si perempuan ketahuan, maka akad nikah tersebut sah, karena disyaratkan pada sesuatu yang sudah ada. Demikian juga jika sesuatu yang dibuat syarat ada di dalam majelis akad, misalnya berkata, “Aku menikahimu jika umurmu dua puluh tahun.” Ternyata umur si perempuan memang dua puluh tahun, atau berkata, “Aku menikahimu jika ayahku meridhai,” ternyata pada saat itu ayahnya ada di dalam majelis dan meridhainya, maka sahlah akadnya.
Para ulama Syafi’iah menyebutkan seandainya si wali berkata, “lnsyaAllah aku menikahkanmu,” dengan bermaksud mensyaratkan/tidak maka akadnya tidak sah. Akan tetapi jika dia hanya bermaksud untuk bertabarruk dengan mengucapkan kalimat itu, atau hanya sekadar berkata bahwa memang segala sesuatu itu bergantung kehendak Allah, maka akadnya sah. Jikalau si wali itu berkata, “Jika aku kelak mempunyai anak perempuan maka aku telah menikahkannya.” Atau berkata, “Jika putri diceraikan dan selesai masa iddahnya maka aku telah menikahkannya.” Bentuk-bentuk akad nikah dengan syarat-syarat tersebut tidak sah menurut madzhab Syafi’i, karena adanya syarat.
Kesimpulannya, menurut kesepakatan semua madzhab, akad nikah dengan syarat tidak boleh. Akan tetapi Ibnu Qayyim berkata, “lmam Ahmad telah menulis bahwa akad nikah boleh dengan syarat.” Dengan demikian, akad jual-belijustru boleh. Akan tetapi Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa memberikan syarat pada akad nikah dapat membatalkannya.
Apakah Ada Khiyar (Memilih) dalam Akad Nikah?
Kebanyakan para ahli fikih mengatakan dalam pernikahan tidak ada khiyar baik itu khiyar majelis maupun khiyar syarat, sebab tidak perlu. Karena sesungguhnya pada umumnya akad nikah itu tidak terjadi melainkan setelah proses pengetahuan dan pemikiran yang mantap. Demikian juga karena pernikahan bukan merupakan murni mu’awadhah (saling mengganti). Juga karena adanya khiyar dapat menyebabkan rusaknya pernikahan. Pernikahan yang rusak setelah akad dapat merugikan pihak perempuan. Namun, para ulama Malikiah menetapkan khiyar majelis dalam akad pernikahan jikalau memang menjadi syarat.