Bolehkan Berutang untuk Melaksanakan Aqiqah?

Bolehkan Berutang untuk Melaksanakan Aqiqah?

Sunnah Aqiqah – Bolehkan Berutang untuk Melaksanakan Aqiqah? Berikut penjelasan dari para ulama dan ahli fiqih terkait hukum berhutang untuk ibadah aqiqah.

Aqiqah adalah sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Menghidupkan Sunnah adalah sesuatu yang menjadi tuntutan atas setiap Muslim. Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap Muslim yang mampu melaksanakannya untuk menjaga dan memelihara Sunnah ini. Bagi orang yang ingin melaksanakan aqiqah, yang terbaik adalah orang yang mampu. Apabila beberapa bentuk ibadah wajib seperti ibadah haji mengharuskan adanya kemampuan untuk melaksanakannya, maka terlebih lagi pada bentuk-bentuk ibadah sunnah.

Sebagian ulama mengatakan bahwa aqiqah juga menjadi syariat orang miskin yang tidak memiliki biaya untuk pelaksanaannya. Bahkan, Imam Ahmad memandang sunnah meminjam uang bagi orang yang tidak mampu untuk membeli hewan aqiqah dan menyembelihnya sebagai upaya menghidupkan as-Sunnah. Ada beberapa pernyataan beliau mengenai hal ini, antara lain:

  • Al-Khallal menukilkan dalam riwayat Abul Harits, beliau mendapat pertanyaan tentang seseorang yang meminjam uang untuk pelaksanaan aqiqah. Beliau menjawab, “Semoga Allah memberinya ganti. Dia telah menghidupkan as-Sunnah.”
  • Putra beliau yang bernama Shalih bertanya, “Seseorang memperoleh anak, tapi tidak memiliki uang untuk mengaqiqahinya. Menurut penapat Anda, mana yang lebih disukai: dia meminjam uang supaya dapat melaksanakan aqiqah, atau menunda pelaksanaannya sampai memiliki uang yang cukup?” Beliau menjawab, Yang paling sering terdengar dalam masalah aqiqah adalah hadis al-Hasan dari Samurah dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya.

Aku berharap apabila dia meminjam uang, semoga Allah Subhianahu  wa Ta’ala segera melunasinya. Sebab, dia sedang menghidupkan salah satu Sunnah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan mengikuti petunjuk beliau.

Ibnul Mundzir mengomentari seluruh riwayat ini dengan mengatakan, “Ahmad telah berkata benar. Menghidupkan dan mengikuti Sunnah lebih baik. Tentang aqiqah, banyak hadis yang telah kami riwayatkan dan tidak terdapat dalam riwayat lainnya. Sebab, aqiqah adalah ritual penyembelihan hewan yang menjadi perintah oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Oleh karena itu, lebih patut untuk melaksanakannya seperti walmah dan qurban.”

Ibnul Qayyim mengomentari pernyataan Imam Ahmad dengan mengatakan, “Hal ini karena aqiqah adalah Sunnah dan ritual yang menjadi syariat berkat adanya pembaharuan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kedua orangtua. Pada aqiqah tersimpan hikmah terpendam tentang tebusan Nabi Ismail alayhissalam dengan seekor domba. Hal itu menjadi sunnah yang yang menjadi warisan secara turun-temurun. Setiap orang dari mereka mengeluarkan tebusan untuk anaknya sewaktu lahir. Persis seperti mengucapkan nama Allah ketika meletakkan sperma di dalam rahim sebagai upaya perlindungan dari gangguan setan.”

Imam an-Nawawi berkata, “Pelaksanaan aqiqah menurut kami lebih daripada bersedekah dengan nilai yang sama. Pendapat ini juga oleh Ahmad dan Ibnul Mundzir.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Barang siapa yang tidak memiliki dana untuk melaksanakan qurban atau aqiqah, silakan meminjam uang untuk melaksanakannya dengan catatan memiliki kesanggupan untuk mengembalikan pinjaman tersebut.”

Bolehkan Berutang untuk Melaksanakan Aqiqah?

Ibnul Haj al-Maliki mengatakan, “Para Ulama kami rahimahullah mengatakan tentang orang yang hanya memiliki satu perangkat baju untuk shalat Jumat dan tidak ada yang lain, ‘Hendaknya menjual baju tersebut untuk melaksanakan qurban.’ Demikian juga dia boleh menjualnya untuk melaksanakan aqiqah anaknya.” Mereka juga mengatakan, “Boleh meminjam uang untuk melaksanakan qurban. Demikian juga boleh meminjam uang untuk melaksanakan aqiqah. Hukumnya sama.”

Perlu memahami bahwa banyak orang yang menghabiskan biaya besar untuk menyambut kelahiran bayi dengan membeli pakaian, penganan dan lain sebagainya. Mereka juga melakukan berbagai pesta ulang-tahun yang secara syariat dilarang. Sebaliknya, mereka justru pelit untuk melaksanakan aqiqah bagi anak-anak yang mereka miliki. Ternyata, sikap pelit untuk melaksanakan aqiqah ini sudah ada semenjak dahulu.

Ibnul Haj al-Maliki mengatakan, Sungguh mengherankan orang yang mengaku dirinya tidak mampu dan menjadikannya sebagai alasan untuk tidak melaksanakan aqiqah, padahal untuk berbagai pesta yang mereka adakan memerlukan biaya yang jauh lebih tinggi dari pada biaya aqiqah. Salah satu bentuk pesta tersebut adalah dengan membuat kue tart pada hari ketujuh kelahiran atau membelinya dan membeli berbagai penganan yang membutuhkan biaya berkali-kali lipat dari harga seekor hewan aqiqah.

Ini mereka lakukan pada hari ketujuh kelahiran walaupun membutuhkan biaya yang cukup besar untuk sesuatu yang tidak memiliki alasan syari. Bahkan, substansinya tidak lain adalah bid’ah, pamer kekayaan dan gosip. Sebagian dari mereka juga melakukannya pada hari kedua kelahiran. Sebagian yang Iain melakukannya pada hari ketujuh, kedua dan ketiga kelahiran. Dan sebagian yang lain melakukannya hanya pada salah satu dari hari-hari tersebut.

Ini mereka lakukan dengan alasan tidak memiliki biaya untuk melaksanakan aqiqah. Padahal, biaya untuk pelaksanaan aqiqah jauh lebih ringan dan murah dari pada dengan biaya pesta-pesta tersebut. Bahkan, kalau mereka mau meninggalkan bid’ah yang mereka lakukan dengan membuat kue pesta tersebut, tentu mereka akan memiliki biaya yang cukup untuk aqiqah, bahkan lebih. Sebab, kue tart membutuhkan biaya yang cukup besar.

Satu potong keju atau kurang dari itu semestinya cukup untuk membuat satu kue tart. Mereka membuat kue ini dan membagi-bagikannya kepada sanak-famili, tetangga dan kenalan. Padahal, hal ini tidak harus mereka lakukan dan syariat juga tidak menganjurkan mereka untuk melakukannya, walaupun pada dasarnya memberi makan orang lain dianjurkan oleh syariat. Tetapi, hal itu hanya berlaku apabila tidak meninggalkan Sunnah. Seandainya biaya untuk membeli kue tart dan berbagai macam penganan tersebut mereka gunakan untuk membiayai pelaksanaan aqiqah, tentu itu cukup atau bahkan lebih. 

Kemudian, masih mereka tambahkan dengan hidangan pencuci mulut pada malam ketujuh kelahiran yang mereka bagi-bagikan untuk keesokan harinya. Ini justru oleh orang miskin di kalangan mereka. Sebagian dari mereka mengganti hidangan pencuci mulut dengan beragam gula-gula yang menyerupai hidangan pencuci mulut. Mereka sebut dengan istilah Mughazdarat atau Nutsun. Ini semua termasuk dalam kategori pemborosan, bid’ah, suka pamer, kesombongan, meninggalkan Sunnah; tidak mengerjakannya atau mencari berkahnya.

Kemudian, masih mereka tambah lagi dengan satu kebiasaan tercela. Yaitu seluruh anggota keluarga harus memakai baju baru dan berpenampilan Seisi rumah juga harus tampil baru. Sampai karpet pun mereka ganti dengan yang baru, dan seterusnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rahmat kepada kita semua. Dengan itu semua mereka masih berusaha untuk mengemukakan alasan bahwa mereka tidak melaksanakan aqiqah karena tidak mampu. Sebagian dari mereka berutang ke sana ke mari untuk mengadakan pesta tersebut dan beralasan bahwa aqiqah tidak wajib mereka lakukan.

Mereka sama sekali tidak sibuk dengan utang untuk pelaksanaan aqiqah, tapi justru sibuk memikirkan bagaimana caranya memperoleh pinjaman untuk mengadakan pesta-pesta yang bertolak-belakang dengan anjuran dan tuntutan syariat. Meminjam uang untuk melaksanakan aqiqah akan menyebabkan si peminjam tidak merasa kesulitan untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sama seperti qurban, karena keberkahan mengerjakan Sunnah. Demikianlah pada setiap pelaksanaan Sunnah.

Tidak meragukan bahwa setan yang terkutuk berusaha membisikkan hal itu supaya mereka tidak mendapatkan keberkahan mengerjakan Sunnah. Karena, melaksanakan aqiqah adalah keberkahan, kebaikan dan biayanya pasti mendapat ganti. Biaya aqiqah daripada orang yang mengadakan pesta-pesta tersebut tergolong sangat ringan. Pada aqiqah terdapat pahala yang besar, sementara pada pesta-pesta tersebut justru sebaliknya. Seandainya mengerjakan bid’ah tersebut tidak tercela, (merugi karena) selain biayanya yang tidak akan ada gantinya dan tidak ada pahala, belum lagi rasa penat dan lelah dalam melaksanakannya, maka pelaksanaannya adalah kelelahan dunia dan akhirat.”

Hewan Terbaik dalam Pelaksanaan Aqiqah

Hewan Terbaik dalam Pelaksanaan Aqiqah

Sunnah Aqiqah – Aqiqah adalah salah satu sarana bagi seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, harus memilih hewan terbaik dalam pelaksanaan aqiqah terutama untuk hal keselamatan dari cacat dan cukup usia sebagaimana berlalu penjelasannya. Juga menganjurkan untuk memilih yang gemuk, besar, bagus dan terbebas dari segala sesuatu yang menyebabkan tertolak oleh akal sehat.

Seperti yang tercantum dalam hadis Ummu Kurz al-Ka’biyah radhiallahu’anha, ia berkata:

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda, “Untuk anak lkai-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor kambing”. 

Dalam riwayat yang lain untuk hadis yang sama, menyebutkan dengan lafal yang “Sama Persis”. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud.

Aqiqah tidak apa-apa dengan hewan jantan atau betina. Berdasarkan hadis Ummu Kurz, Tidak peduli kambing-kambing itu jantan atau betina.”

Hewan jantan lebih baik apabila lebih gemukdan lebih bagus.Sebab, Rasulullah Sallallahu’alayhi wa sallam mengakikahi Hasan dan Husain dengan domba jantan. Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan, “Nabi Sallallahu’alaihi wa sallam pada aqiqah kedua cucu beliau memilih yang paling sempurna. Yaitu domba jantan.

Warna terbaik adalah putih. Menganalogikan pada hewan qurban. Aisyah mengatakan, Bawakan kemari hewan yang bermata tajam dan bertanduk panjang.

Al-Baihaqi menukilkan dari Atha’ bahwa domba lebih dia sukai daripada kambing, dan pejantan lebih dia sukai daripada betina. Disebutkan bahwa Imam Ahmad ditanya tentang aqiqah, “Bolehkah dengan kambing yang masih perawan atau yang sudah hamil besar?” Beliau menjawab, “Pejantan lebih baik.” 

Para ulama berbeda pendapat pada hewan yang terbaik untuk aqiqah. Kalangan ulama dari mazhab Syafi’i dalam pendapat mereka yang paling kuat, dan sebagian ulama penganut mazhab Maliki mengatakan bahwa yang terbaik adalah unta, kemudian sapi, lalu domba, dan diakhiri dengan kambing. Mereka katakan; karena aqiqah adalah ritual nusuk, sehingga yang terbesar adalah yang terbaik, memakai analogi hadyi.

Imam Malik berkata, Domba adalah yang terbaik, kemudian biri-biri. Ini lebih disukai oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dibandingkan dengan unta dan sapi. Sebab, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam mengakikahi Hasan dan Husain dengan kambing masing-masing dengan satu ekor. Ini juga merupakan pendapat lain dalam mazhab Syafi’i. Pendapat inilah yang paling tepat karena memiliki dasar pijakan berupa sabda dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.

Pendapat ini juga mengutip dari beberapa ulama salaf.

Al-Hakim meriwayatkan dengan sanadnya dari Atha’, dari Ummu Kurz dan Abu Kurz berkata bahwa seorang wanita dari keluarga Abdurrahman bin Abi Bakar bernazar, “Apabila istri Abdurrahman melahirkan seorang bayi, akan kami sembelihkan untuknya seekor unta.” Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

Tidak. As-Sunnah lebih baik; untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor. Dipotong mengikuti ruas sendi dan tidak boleh dipatahkan tulangnya. Dikonsumsi sendiri, dibagi-bagikan dan disedekahkan. Hendaknya itu dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran. Kalau tidak sempat, maka hari keempat belas. Kalau tidak sempat, maka hari kedua puluh satu.

Al-Hakim mengatakan, “Sanadnya shahih.

Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya dari Yusuf bin Mahik, bahwa masuk menemui Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar. Suaminya al-Mundzir Ibnu Zubair, mendapatkan anak, “Aku katakan kepadanya; Akankah engkau aqiqahi anakmu dengan seekor unta?” Dia menjawab, Kami berlindung kepada Allah. Bibiku Aisyah pernah mengatakan, Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.”

Syarat-syarat Aqiqah Menurut Pendapat Para Ulama

Syarat-syarat Aqiqah Menurut Pendapat Para Ulama

Sunnah Aqiqah – Mayoritas ulama mengemukakan syarat-syarat aqiqah adalah sebagai berikut: 

Syarat pertama:

harus hewan ternak; yaitu domba, kambing, unta dan sapi. Aqiqah tidak sah pada jenis hewan lainnya seperti kelinci, ayam atau burung. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan ahli Fikih, ahli hadis dan lain-lain.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa yang boleh untuk aqiqah hanya delapan pasang hewan yang boleh dalam qurban, kecuali pendapat menyimpang dari orang yang sama sekali tidak memperhitungkan pendapatnya.”

Ibnu Hazm az-Zhahiri menyalahi pendapat ini dan menyatakan bahwa aqiqah hanya boleh dengan kambing (domba dan biri-biri) saja dan tidak boleh dengan sapi atau unta. Dia katakan, “Untuk aqiqah tidak boleh dengan hewan apa pun selain yang berjenis kambing saja, seperti domba atau biri-biri. Hewan selain yang kami sebutkan di sini tidak boleh; tidak unta, sapi, maupun hewan ternak lainnya.” Pendapat ini dia nukilkan dari Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar dan merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Malik. Juga merupakan pendapat Abu-Ishaq bin Sya’ban dari kalangan ulama penganut mazhab Maliki dan al-Bandaniji dari kalangan ulama penganut mazhab Syafi’i seperti yang dinukilkan oleh as-Subki darinya, Abu Nashr al-Bandaniji dalam kitab Al-Mu’tamad mengatakan, “Asy-Syafi’i tidak memiliki nash selain kambing untuk aqiqah. Menurut saya, tidak boleh selain kambing.”

Mereka berargumentasi dengan makna eksplisit dari hadis-hadis yang menyebutkan lafal ‘kambing’ dan ‘domba’, seperti hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyembelih domba aqigah untuk Hasan dan Husain masing-mnasing satu ekor.

Dan hadis Ummu Kurz radhiyallahu ‘anha,

’Anil ghulaami syaataani mukaafiataani wa ‘anil jaariyati syaatun

Artinya: “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.

Mereka katakan bahwa lafal (syaatun) untuk seekor kambing dan domba.

Ibnu Hazm mengatakan, “Lafal (syaatun) disepakati dipakai untuk kambing dan domba.”

Ibnu Hazm juga berargumentasi dengan hadis yang dari Yusuf bin Mahik riwayatkan, bahwa dia masuk menemui Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar. Suaminya, al-Mundzir Ibnu Zubair mendapatkan anak, “Aku katakan kepadanya; Akankah engkau aqiqahi anakmu dengan seekor unta?” Dia menjawab, Kami berlindung kepada Allah. Bibiku Aisyah pernah mengatakan,

Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.

Malik meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibrahim at Taimi berkata, “Aqiqah disunnahkan walaupun hanya dengan seekor burung pipit.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, Atsar ini tidak menunjukkan apapun selain aqiqah menjadi sunnah… Sedangkan perkataanya ‘walaupun hanya dengan seekor burung pipit’ adalah konteks hiperbola. Sama seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kepada Umar radhiyailahu’anhu yang ingin membeli kuda,

Walaupun dia menjualnya kepadamu hanya dengan harga satu dirham.

Juga seperti sabda beliau Shallallahu ‘aiayhi wa Sallam tentang seorang budak wanita yang berzina,

Juallah walaupun hanya dengan harga seutas tali pengikat pelana.”

Al-Baji mengatakan: Pernyataannya ”Aqiqah disunnahkan walaupun hanya dengan seekor burung pipit”, Ibnu Habib mengatakan, “Maksudnya bukan aqiqah sah dilakukan dengan menyembelih seekor burung pipit.  Maksudnya adalah bahwa aqiqah benar-benar dianjurkan dan jangan sampai ditinggalkan, walaupun dari segi finansialnya kurang mampu.”

Ibnu Abdul Hakam meriwayatkan dari Malik bahwasanya tidak boleh melakukan aqiqah dengan menyembelih burung atau binatang liar. Penjelasannya: aqiqah adalah ritual penyembelihan hewan yang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, tidak layak selain dengan hewan ternak. Persis seperti qurban dan hadyi.

Mayoritas ulama bisa berargumentasi dengan sabda Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam,

Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya.

Tidak menyebutkan darah apa yang menjadi maksudnya, sehingga hewan apa pun yang untuk aqiqah si bayi hukumnya sah.

Bisa juga mayoritas ulama berdalih dalam memperbolehkan menyembelih sapi dan unta dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,

Barang siapa yang mendapat anak lalu ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya.

Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menamakannya dengan sebutan nusuk yang kandungan maknanya mencakup unta, sapi dan kambing.

A-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Mayoritas ulama juga memperbolehkan unta dan sapi. Tentang hal ini, terdapat hadis yang di riwayatkan oleh ath Thabrani dan Abusy Syaikh dari Anas yang diriwayatkan secara marfu,

Diaqiqahi dengan unta, sapi dan kambing.”

Al-Hafizh tidak mengkomentari hadis ini sedikit pun.

Dalil lain untuk mayoritas ulama adalah hadis yang diriwayatkan dari Anas radhiyallahu’anhu:

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang mendapat anak, hendaknya mengaqiqahinya dengan unta, sapi atau kambing.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab Al-Mujam ash-Shaghir dengan sanad yang dhaif Diriwayatkan juga olah Ibnu Hibban dalam kitab Al-Adhahi dengan sanad yang hasan seperti yang dikemukakan oleh al-Iraqi. Al-Haitsami berkomentar, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrint dalam kitab Al-Mu’jam ash-Shaghur. Dalam sanadnya terdapat seorang pendusta.” At-Tahawuni mengisyaratkan bahwa hadis ini dhaif.

Dalam argumentasi mayoritas ulama, mungkin yang paling tepat adalah menganalogikan aqiqah pada qurban dan hadyi seperti pendapat kebanyakan ulama lainnya. Imam Malik mengatakan, “Aqiqah kedudukannya sama dengan nusuk dan qurban.” Imam an-Nawawi, Ibnu Qudamah dan lain-lain juga mengemukakan hal yang sama.

Demikian juga dinukilkan dari sekelompok ulama salaf tentang bolehnya aqiqah dengan unta dan sapi.

Dari Qatadah, bahwasanya Anas bin Malik radliyallahu’anhu mengaqiqahi anak-anaknya dengan unta. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani. Para perawinya adalah para perawi kitab Ash-Shahih. Hal ini dikemukakan olah al-Haitsami.

Dari Abu Bakrah, bahwasanya dia menyembelih seekor unta untuk aqiqah putranya, Abdurrahman, dan membagi-bagikannya kepada penduduk Bashrah.

Pernyataan Ibnu Hazm bahwa penyebutan kambing dalam hadis-hadis tentang aqiqah berarti aqiqah tidak boleh dilaksanakan dengan menyembelih unta atau sapi, tidak bisa diterima. Sebab, hadis-hadis tersebut tidak membatasi aqiqah hanya dengan kambing saja. Itu disebutkan hanya sekadar contoh. Karena, menyembelih kambing jauh lebih mudah, murah dan ringan dibandingkan dengan menyembelih sapi atau unta. Selain itu, menyembelih kambing lebih biasa dilakukan daripada menyembelih sapi atau unta.

Asy-Syaukani mengatakan,

Jelas bahwa penyebutan kambing saja tidak meniadakan bolehnya hewan lain.” Ini dari satu sisi. Sementara dari sisi yang lain, kita tidak dapat menerima pernyataan bahwa lafal (arab) hanya khusus untuk kambing, biri-biri dan domba saja. Memang secara umum arti itulah yang dominan. Tapi secara terminologis, lafal tersebut juga mengartikannya sapi dan lain-lain. Ibnu Manzhur mengatakan, “(syaatun) artinya seekor kambing, baik pejantan maupun betina. Bisa juga disebut demikian untuk biri-biri, domba, menjangan, sapi, unta dan keledai liar.

Kesimpulannya: aqiqah boleh dengan kambing, domba, unta atau sapi seperti yang oleh mayoritas ulama, dan tidak sah apabila dengan hewan lainnya seperti burung atau ayam.

Syarat-syarat aqiqah

Syarat kedua:

hewan aqiqah harus sehat dan tidak cacat. Ini adalah pendapat mayoritas uiama. Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Dengan demikian, mayoritas ulama berpendapat bahwa cacat yang ada pada hewan aqiqah yang harus dijauhi sama dengan cacat yang terdapat pada hewan qurban.”

Cacat di sini adalah cacat fisik yang menyebabkan hewan tersebut tidak layak untuk menjadi qurban sebagaimana yang oleh banyak ulama.

Imam Malik berkata, “Aqiqah kedudukannya sama dengan nusuk dan qurban; tidak boleh buta sebelah, kurus, patah tanduknya atau sakit…”

Imam at-Tirmidzi menukilkan perkataan para ulama, “Kambing untuk aqiqah tidak sah selain kambing yang boleh untuk qurban.”

Al-Kharaqi mengatakan,

Cacat pada aqiqah yang harus menghindarinya sama dengan cacat pada qurban.” Asy-Syaikh Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam menjelaskan pernyataan al-Kharaqi ini mengatakan, “Kesimpulannya, hukum aqiqah sama dengan hukum qurban dalam masalah usia hewan. Cacat yang dilarang sama dengan cacat yang dilarang pada hewan qurban. Ciri-ciri yang dianjurkan sama dengan ciri-ciri yang dianjurkan pada hewan qurban.”

Aisyah radhiyallahu’anha pernah mengatakan, “Bawakan ke mari kambing yang bermata tajam dan bertanduk panjang.” Atha’ mengatakan, “Pejantan lebih aku sukai daripada betina, dan domba lebih aku sukai daripada biri-biri.” Maka, usia domba tidak boleh kurang dari dua tahun, dan biri-biri tidak boleh kurang dari tiga tahun. Tidak boleh buta sebelah matanya yang jelas butanya, tidak boleh timpang kakinya yang jelas timpangnya, tidak boleh sakit yang jelas sakitnya, kurus-kering, bertanduk dan telinga pendek atau terpotong lebih dari setengahnya. Makruh hukumnya untuk hewan yang berdaun telinga sobek memanjang, berlobang, teriris dari bagian depan atau belakang. Pilihlah hewan yang bermata dan berdaun telinga lengkap seperti yang kami sebutkan pada hewan qurban. Sebab hewan aqiqah sama persis dengan hewan qurban.”

Abu Ishaq asy Syirazi mengatakan,

“Tidak boleh selain yang sehat dan tidak cacat. Sebab, penyembelihan ini atas dasar syariat. Sehingga, perlu adanya syarat-syarat seperti yang kami sebutkan pada hewan qurban.”4o

Berdasarkan hal ini, pada aqiqah tidak boleh hewan yang timpang kakinya yang jelas timpangnya, buta sebelah mata yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, kurus kering, buta, patah tanduknya, dan lumpuh. Cacat-cacat ini ada dalam hadis al-Bara’ bin ‘Azib yang menjelaskan tentang ciri-ciri hewan qurban. Dalam hadis tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Empat hal yang tidak boleh terdapat pada hewan qurban: buta sebelah mata yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, timpang kaki yang jelas timpangnya dan kurus-kering sampai tidak bisa berdiri.”

Si perawi (yaitu perawi dari al-Bara’ bin ‘Azib, Ubaid bin Fairuz) berkata, “Aku tidak suka hewan yang belum cukup umur.” Al-Bara’ menjawab, “Tinggalkan apa yang tidak engkau sukai. Tapi, jangan mengharamkannya unuk orang lain.” riwayatnya oleh para penulis empat kitab As-Sunan. At Tirmidzi berkomentar, “Hadis ini hasan shahih dan menjadi dasar amalan menurut para ulama.” Sahih juga oleh al-Albani. (arab) artinya hewan yang tidak bisa bangkit atau berdiri karena terlalu kurus.

Hewan aqiqah-sama seperti hewan qurban-tidak boleh memiliki cacat yang lebih parah dari apa yang disebutkan dalam hadis al-Bara’ di atas.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Keempat cacat yang tercantum dalam hadis sudah disepakati bersama. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Kita tahu bahwa cacat fisik lain yang mirip dengannya juga termasuk dalam kategori tersebut. Khususnya, apabila cacat tersebut lebih parah. Bukankah kalau buta sebelah mata tidak diperbolehkan, artinya hewan yang buta kedua matanya lebih tidak diperbolehkan? Kalau yang timpang kakinya tidak diperbolehkan, maka yang tidak berkaki atau lumpuh sama sekali lebih tidak diperbolehkan? Ini semua sudah jelas dan tidak terbantahkan.”

Aqiqah adalah sarana seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya, hewan aqiqah harus sehat, tidak cacat, gemuk dan baik. Sebab, Allah itu baik dan tidak menerima selain yang baik.

Ibnu Hazm mengemukakan pendapat yang kontradiktif dengan pendapat mayoritas ulama.

Dia memperbolehkan hewan yang cacat dan tidak mensyaratkan keselamatan hewan tersebut dari cacat. Walaupun demikian, dia tetap menganggap bahwa yang terbaik adalah hewan yang sehat dan tidak cacat. Dia katakan, “Hewan cacat boleh , baik boleh untuk qurban maupun yang tidak boleh.Tapi hewan yang sehat lebih baik.”

Asy-Syaukani menyetujui pendapat Ibnu Hazm tentang tidak adanya persyaratan yang sama dengan syarat-syarat hewan qurban pada aqiqah. Dia katakan, “Apakah syarat-syarat yang perlu untuk aqiqah sama dengan syarat-syarat qurban? Ada dua pendapat di kalangan para ulama penganut mazhab Syafi’i. Menyebutkan ‘dua ekor kambing’ tanpa kaitan apa pun menjadi sebagai dalil tidak adanya syarat tersebut. Ini adalah pendapat yang benar. Tetapi, bukan karena keumuman yang terdapat dalam kalimat di atas, melainkan karena tidak ada dalil yang mengarahkan kepada syarat-syarat dan cacat pada hewan qurban. Karena, itu termasuk dalam kategori hukum syariat yang hanya bisa tetap dengan dalil.”

Pendapat mayoritas ulama lebih tepat dan lebih kuat. Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan, “Bawakan ke mari kambing yang bermata tajam dan bertanduk panjang.

syarat-syarat aqiqah

Syarat ketiga:

Usia hewan aqiqah harus sudah cukup. Sama seperti usia pada hewan qurban. Kambing hanya sebagai hewan aqiqah apabila berusia minimal satu tahun. Pada sapi minimal dua tahun, dan pada unta minimal lima tahun. Pendapat ini berdasar pada pendapat penyamaan antara aqiqah dengan qurban. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ulama.

Al-Khallal dalam kitab Al-Jami’ menukilkan bahwa Imam Ahmad berkata, “Pada sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,

“Barang siapa yang mendapatkan anak, lalu ingin menyembelihkan hewan untuknya, silakan dilakukan.”

Maka, hadis ini merupakan dalil bahwa hewan yang boleh pada aqiqah adalah hewan yang boleh untuk ritual penyembelihan, baik berupa qurban, hadyi dan lain sebagainya. Juga karena ritual ini disyariatkan, baik sebagai sembelihan wajib atau sunnah. Sehingga, harus sesuai dengan pelaksanaan hadyi dan qurban dalam membagi-bagikan dagingnya, mengkonsumsinya dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya.

Oleh karena itu, sangat perlu untuk faktor usia. Juga karena aqiqah disyariatkan dengan disertai sifat kelengkapan dan kesempurnaan. Oleh karena itu, yang menjadi syariat untuk anak laki-laki dua ekor kambing. Pada kedua kambing ini syariatnya harus sama, tidak kurang satu sama lain. Maka untuk melengkapi kesempurnaan tersebut, usianya juga harus sesuai dengan usia ritual penyembelihan hewan lainnya. Oleh karena itu, pada hewan aqiqah terdapat hukum-hukum yang sama dengan hukum-hukum ritual penyembelihan lainnya.

Al-Mawardi berkata, Pada aqiqah, sama seperti hewan-hewan sembelihan lainnya.

Untuk domba harus berusia minimal dua tahun, dan untuk kambing harus berusia minimal tiga tahun. Apabila beralih dari kambing kepada unta dan sapi, maka lebih tua usianya lebih baik. Apabila melaksanakan aqiqah dengan domba di bawah usia dua tahun dan kambing di bawah usia tiga tahun, maka dalam sunnah pelaksanaan aqiqah ada dua pendapat.

Pertama,

bukan merupakan pelaksanaan aqiqah karena memandang pada pelaksanaan qurban. Sembelihannya hanya menjadi sembelihan untuk memperoleh daging, bukan aqiqah. Karena, aqiqah dan qurban sama-sama memiliki syarat cukup usia. Syariat telah menetapkan usia salah satunya. Sehingga, usia tersebut harus ada pada kedua amalan ini. Dengan demikian, apabila seseorang menentukan aqiqah pada kambing dan mewajibkannya, maka itu menjadi wajib baginya. Sama seperti qurban. Dia tidak boleh menggantinya dengan hewan lain. Dia juga wajib bersedekah dengan daging segar hewan tersebut kepada fakir-miskin. Tidak hanya membaginya kepada orang-orang yang berkecukupan.

Kedua,

tetap sebagai pelaksanaan aqiqah walaupun usianya bawah usia qurban. Sebab, qurban lebih kuat daripada aqiqah adanya kaitan dengan pendapatan dalam satu tahun. Oleh karena itu, lebih menekankan usia hewan qurban ketimbang dengan hewan aqiqah.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi mengatakan, “Kesimpulannya, hukum usia hewan aqiqah sama dengan hukum hewan qurban.”

Ibnu Rusyd al-Qurthubi mengatakan, “Tentang usia dan ciri-ciri hewan untuk ritual sembelihan ini, sama dengan usia dan ciri-ciri hewan qurban.”

Imam an-Nawawi mengatakan, “Hewan yang boleh untuk aqiqah adalah hewan yang boleh untuk qurban. Maka, tidak boleh selain domba usia dua tahun atau kambing usia tiga tahun keatas, unta dan sapi. Inilah pendapat yang benar dan merupakan keputusan mayoritas ulama. Ada pendapat lain yang oleh al-Mawardi dan lain-lain bahwa boleh juga untuk domba yang usianya kurang dua tahun dan kambing yang usianya kurang dari tiga tahun. Tetapi, pendapat pertama lebih tepat.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar mentarjih pendapat yang terpilih oleh an-Nawawi dengan mengatakan, “Beliau mengambil kesimpulan dari lafal ‘satu ekor kambing’ dan ‘dua ekor kambing’ bahwa syarat-syarat untuk hewan aqiqah sama dengan syarat-syarat untuk hewan qurban. Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan para ulama penganut mazhab Syafi’i. Yang paling benar adalah adanya syarat tersebut. Ini kesimpulannya melalui analogi, bukan dalil tesktual.”

Ibnul Haj al-Maliki mengatakan, “Hukumnya sama dengan hukum hewan qurban dalam hal usia dan tidak cacat.”

Ibnul Habib, salah seorang ulama penganut mazhab Maliki mengatakan, “Usia, tidak cacat dan larangan untuk menjual bagian mana pun dari hewan aqiqah sama seperti hewan qurban. Hukumnya satu.

Apakah Syarat Aqiqah Sama dengan Syarat Qurban?

Apakah Syarat Aqiqah Sama dengan Syarat Qurban?

Sunnah Aqiqah – Mayoritas ulama memandang bahwa syarat aqiqah sama dengan syarat-syarat untuk qurban; yaitu termasuk salah satu jenis hewan ternak, cukup usia dan tidak cacat. Imam Malik mengatakan, “Aqiqah kedudukannya sama dengan nusuk dan qurban; tidak boleh buta sebelah, kurus, patah tanduknya atau sakit.

Imam at-Tirmidzi mengatakan, “Mereka katakan bahwa kambing untuk aqiqah tidak sah selain kambing yang boleh untuk qurban.”

Ibnu Qudamah mengatakan, “Ringkasnya, usia hewan aqiqah harus sama dengan usia hewan qurban.

Ibnu Rusyd mengatakan, “Usia dan ciri-ciri hewan untuk ritual ini (yakni aqiqah) harus sama dengan usia dan ciri-ciri hewan qurban.”

An-Nawawi mengatakan,

Hewan yang boleh untuk aqiqah adalah hewan yang boleh untuk qurban. Maka, tidak boleh selain domba usia dua tahun atau kambing usia tiga tahun ke atas, unta dan sapi. Inilah pendapat yang benar dan merupakan keputusan mayoritas ulama. Ada pendapat lain yang menyebutkan oleh al-Mawardi dan lain-lain bahwa boleh juga untuk domba yang usianya kurang dari dua tahun dan kambing yang usianya kurang dari tiga tahun. Tetapi, pendapat pertama lebih tepat.”

Pendapat yang disebutkan oleh al-Mawardi didukung oleh asy-Syaukani dengan komentar, “Inilah pendapat yang benar.” Dia katakan, “Apakah syarat-syarat yang perlu untuk aqiqah sama dengan syarat-syarat qurban? Ada dua pendapat di kalangan para ulama penganut mazhab Syafi’i. Disebutkannya ‘dua ekor kambing’ tanpa kaitan apa pun dijadikan sebagi tidak adanya syarat tersebut. Ini adalah pendapat yang benar. Tetapi, bukan karena keumuman yang terdapat dalam kalimat di atas, melainkan karena tidak ada dalil yang mengarahkan kepada syarat-syarat dan cacat yang disebutkan pada hewan qurban. Karena, itu termasuk dalam kategori hukum syariat yang hanya bisa tetap dengan dalil.

Al-Mahdi berkata dalam kitab Al-Bahr,

Fatwa Imam Yahya: Boleh untuk aqiqah dengan apa yang boleh untuk qurban, baik berupa unta, sapi atau kambing, usianya dan ciri-cirinya. Seluruhnya termasuk dalam kategori mendekatkan diri kepada Allah dengan ritual penumpahan darah.”

Jadi berdasarkan analogi ini, harus menerapkan seluruh hukum qurban pada setiap ritual penumpahan darah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menyembelih hewan untuk pesta, seluruhnya sunnah menurut orang yang berargumentasi dengan analogi ini. Sementara, sesuatu yang sunnah berarti bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Artinya, pada hewan sembelihan untuk pesta juga harus diterapkan hukum-hukum ritual menyembelih hewan qurban. Bahkan, diriwayatkan dalam salah satu pendapat Imam Syafl’i bahwa beliau menyatakan pesta pernikahan hukumnya wajib.

Para ulama penganut paham Zhahiriyah mewajibkan banyak jenis pesta.

Tapi, saya tidak mengetahui ada ulama yang mengharuskan pada hewan yang disembelih untuk pesta-pesta itu adanya syarat-syarat yang sama dengan syarat-syarat hewan qurban. Sehingga, kesimpulannya bahwa analogi ini mengharuskan timbulnya suatu hukum yang tidak pernah sebelumnya oleh seorang ulama pun. Suatu analogi keliru apabila mengharuskan sesuatu yang juga keliru.

Hal inilah yang juga oleh Ibnu Hazm katakan. Untuk aqiqah, dia tidak menuntut adanya syarat yang sama dengan syarat-syarat hewan qurban. Dia katakan, “Hewan cacat boleh, baik yang boleh untuk qurban maupun yang tidak boleh. Tapi, hewan yang sehat lebih baik.” Pendapat yang menyatakan bahwa hewan untuk aqiqah memiliki syarat-syarat yang sama dengan hewan qurban adalah pendapat yang rajih dan paling kuat.

Hukum Ibadah Aqiqah – Bagian 3

Hukum Ibadah Aqiqah – Bagian 3

Sunnah Aqiqah – Pembahasan berikut merupakan lanjutan dari pendapat di kalangan para ahli fikih seputar hukum ibadah aqiqah bagian 2.

Pendapat keempat:

aqiqah hukumnya wajib pada tujuh hari pertama kelahiran. Kalau tujuh hari ini berlalu, maka kewajiban itu pun ikut gugur. Ini adalah pendapat al-Laits bin Sa’ad seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr: Al-Laits bin Sa’ad berkata, “Bayi diaqiqahi selama tenggang waktu tujuh hari pertama kelahirannya. Apabila sampai hari ketujuh orang tua tidak melaksanakannya, maka tidak apa-apa melaksanakannya setelah itu. Tapi, pelaksanaan aqiqah setelah tujuh hari pertama kelahiran si bayi hukumnya tidak wajib.” Al-Laits berpendapat bahwa aqiqah hukumnya wajib pada tujuh hari pertama kelahiran.”

Dalil-dalil pendapat keempat

Kemungkinan, mereka berargumentasi dengan hadis Samurah radhiyallahu ‘anhu yang di dalamnya terdapat lafal ‘Menyembelihkan untuknya pada hari ketujuh kelahiran’, lalu hadis ‘Amr bin Syu’aib radhiyallahu ‘anhu yang dalamnya terdapat lafal ‘Pada hari ketujuh kelahiran’, Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha,

Rasulullah Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain pada hari ketujuh kelahiran mereka, memberi nama dan memerintahkan agar kotoran di kepala mereka dihilangkan (rambutnya dicukur).

Pendapat kelima:

Aqiqah hanya untuk anak laki-iaki, tidak untuk anak perempuan. Pendapat ini terungkap oleh al-Hasan al Bashri dengan menyatakan hukum ibadah aqiqah wajib seperti yang yang oleh Abdil Barr riwayatkan juga merupakan pendapat Qatadah seperti yang oleh Ibnul Mundzir riwayatkan juga. Pendapat senada juga diriwuyatkan oleh Ibnu Hazm dari Muhammad bin Sirin dan Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah. Ibnu Hazm menukilkan dari Ibnu Sirin bahwa dia memandang tidak ada perintah untuk mengaqiqahi anak perempuan. Dari Abu Wa’il berkaca, “Anak perempuan tidak perlu aqiqah.”

Dalil-dalil pendapat kelima

Mereka berargumentasi sebagai berikut:

  1. Hadis Salman bin Amir adh-Dhabbi berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya…
  2. Dari Samurab, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya…
  3. Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak terkait dengan aqiqah…

Mereka berpedoman pada lafal (ma’al gulaami) yang secara terminologis berarti anak laki-laki, tidak termasuk anak perempuan. Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, Hanya Hasan dan Qatadah yang berpendapat bahwa tidak mengaqiqahi anak perempuan dan hanya anak laki-laki dengan seekor kambing. Saya kira mereka mengemukakan pendapat demikian berdasarkan eksplisitas hadis Salman yang berbunyi (ma’al gulaami ‘aqiiqatun) ‘Seorang anak terkait dengan aqiqah’ dan hadis Samurah yang berbunyi (alghulaamu murtahiinun bi’aqiiqatihi) ‘Seorang anak tergadaikan pada aqiqahnya.’

Saya katakan:

Bukan hanya Hasan dan Qatadah yang berpendapat demikian. Ibnu Hazm menukilkan dari Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah yang termasuk ahli fikih dari kalangan tabi’in berkata, “Anak perempuan tidak diaqiqahi.”

Ibnu Qudamah memberikan alasan untuk mereka dengan mengatakan, “Sebab, aqiqah adalah ungkapan rasa syukur atas karunia yang didapatkan berupa anak laki-laki. Sementara, tidak ada kegembiraan yang menyertai lahirnya anak perempuan. Sehingga, tidak mensyariatkan aqiqah untuknya.”

Al-Mawardi mengarakan, “Karena aqiqah adalah kegembiraan. Sementara, kegembiraan hanya didapatkan dengan hadirnya anak laki-laki, bukan anak perempuan.

Alasan al-Mawardi dan Ibnu Qudamah tidak mungkin mendasari pendapat para ulama (kalangan pendapat kelima) tersebut. Bagaimana mungkin kelahiran bayi perempuan untuk seorang Muslim tidak membawa kebahagiaan, padahal dia tahu bahwa ketentuan tersebut berada di Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dalam al-Qur’ an, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyesalkan perilaku kaum Jahiliyah yang tidak suka dengan kelahiran bayi perempuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (Kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia bersembunyi dari orang banyak, karena buruknya berita yang yang ia dapatkan. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruk nya apa yang mereka tetapkan itu” (Q.s. an-Nahl [16]: 58-59).

Oleh karena itu, tidak sepatutnya seorang Muslim merasa kecewa ketika mendapatkan karunia anak perempuan. Sebab, seluruh ketentuannya berada di Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak sekali hadis-hadis yang menjelaskan tentang keutamaan orang yang memelihara dan mendidik anak perempuan dengan sabar Anak-anak perempuan itu nantinya akan menjadi tabir penghalang dari api neraka.

Sanggahan Mazhab Hanafi terhadap dalil tentang Aqiqah Mayoritas Ulama – Bagian 2

Sanggahan Mazhab Hanafi terhadap dalil tentang Aqiqah Mayoritas Ulama – Bagian 2

Dalil tentang Aqiqah – Kedua, an-Nasa’i meriwayatkan dari hadis Qatadah, dari Ikrimah, Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain masing-masing dengan dua ekor domba.

Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar mentarjih riwayat ini berdasarkan riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain masing-masing dengan dua ekor domba.

Saya katakan: hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Hakim tanpa komentar. Adz-Dzahabi mengkritiknya dengan mengatakan, “Siwar dha’if. Kalau riwayatnya ini mendukung riwayat dua ekor domba, maka riwayat Ibnu Ishaq mendukung riwayat satu ekor domba. Sehingga tidak ada tarjih.”

Dalam kitab Al-‘llal, Ibnu Abi Hatim mengatakan:

Aku bertanya kepada bapakku tentang hadis yang diriwayatkan oleh Abdul Warits dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan dua ekor domba (yaitu masing-masing satu ekor). Bapak menjawab, “Itu keliru. Riwayat yang benar berbunyi; Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar dan dari Warits demikian, Diriwayatkan oleh Wahb dan Ibnu ‘UIayyah dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam secara mursal.” Bapak mengatakan, “Riwayat ini lebih shahih.” Aku bertanya kepada bapakku tentang hadis yang diriwayatkan oleh al-Muharibi dari Yahya bin Said, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa Hasan dan Husain telah diaqiqahi. Bapak menjawab, “Itu salah. Yang benar adalah hanya dari Ikrimah.”

Kalimat: ‘Dari hadis Yahya bin Said al-Anshari’, saya katakan; Demikianlah yang diceritakan kepada kami oleh al-Asyaj dari Abu Khalid al-Ahmar, dari Yahya, dari Ikrimah bahwa Hasan dan Husain telah diaqiqahi. Bapak mengatakan, “Riwayat Yahya bin Said dari Ikrimah tidak shahih. Sebab, dia tidak rela terhadap Ikrimah. Maka, bagaimana mungkin dia meriwayatkan darinya?” Aku bertanya kepada bapakku tentang hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari Jarir bin Hazim, dari Qatadah, dari Anas berkata,

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan dua ekor kambing.”

Bapak menjawab, “Jarir keliru dalam periwayatan hadis ini. Sebab, hadis ini diriwayatkan oleh Qatadah dari Ikrimah secara mursal.

Selain itu, masih terdapat dua idhthirab lainnya. Pertama: Yahya bin Said meriwayatkan dari Ikrimah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain, tanpa lafal satu atau dua ekor domba. Ayyub meriwayatkan dengan lafal Masing-masing satu ekor domba. Qatadah meriwayatkan dengan lafal ‘Masing-masing dua ekor domba. kedua: Jarir meriwayatkan dari Qatadah, dari Anas. Yang lainnya meriwayatkan dari Qatadah dari Ikrimah. Dengan demikian, hadis ini tidak bisa mengalahkan hadis Abu Rafi.

Setelah membawakan seluruh jalur periwayatan,perbedaan para perawi dalam kemursalan dan kemarfu’annya, serta jumlah kambing atau domba yang disebutkan dalam hadis ini, Ibnu Hazm mengatakan, “Dengan cacat yang Iebih ringan dari ini saja mereka dapat menjadikannya sebagai alasan untuk menolak hadis dan menganggapnya mengandung idhthirab.”

Dapat dikatakan bahwa Ibnu Abbas meriwayatkan kepada Ikrimah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain tanpa lafal satu atau dua ekor domba seperti yang diriwayatkan oleh Yahya bin Said al-Anshari dari Ikrimah dan seperti yang diriwayatkan oleh ‘Amrah dari Aisyah. Maksudnya itu adalah bahwa beliau memerintahkan agar mencukur rambut mereka berdua dan menimbangnya untuk kemudian mensedekahkan dengan perak seberat rambut tersebut seperti yang oleh Abu Rafi riwayatkan.

Dari sini, para perawi mengira bahwa beliau menyembelih domba. Sehingga, dengan ijtihad mereka nyatakan bahwa beliau mengaqiqahi mereka berdua dengan menyembelih dua ekor atau empat ekor domba. Berdasarkan hal ini, riwayat Ibnu Abbas tidak bertentangan dengan riwayat Abu Raf’. Seluruh riwayat yang ada juga menjadi sepakat.

Mereka menanggapi hadis Ummu Kurz al-Ka’biyah, Hadis Ummu Kurz memiliki idhthirab yang cukup parah. Sebab, hadis tersebut riwayatnya dari berbagai jalur yang berbeda-beda. Yang paling kuat adalah jalur Siba’bin Tsabit yang juga mudhtharib. Sebab, Sufyan yang meriwayatkannya sekali waktu menyatakan: Dari Abdullah bin Abi Yazid, dari bapaknya, dari Siba bin Tsabit, dari Ummu Kurz. Di waktu yang lain menyatakan: dari Ubaidullah, dari Siba’, dari Ummu Kurz. Ibnu Juraij meriwayatkannya dari Ubaidullah, dari Siba’ bin Tsabit, dari Muhammad bin Tsabit bin Siba’ dari Ummu Kurz. Hammad bin Zaid meriwayatkannya dari Ubaidullah dengan mengatakan dalam hadisnya, Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abi Yazid berkata; Telah menceritakan kepadaku Siba’ dari Ummu Kurz. Ini tidak lain adalah idhthirab. Sufyan mengatakan bahwa Ummu Kurz mengatakan, Di Hudaibiyah, aku berjalan mencari daging. Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor.

Ibnu Juraij dalam hadisnya mengatakan, Ummu Kurz bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tentang aqiqah. Beliau bersabda,

Aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor.

Hammad bin Zaid dalam hadisnya mengatakan, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak. perempuan satu ekor.

Riwayat Sufyan menunjukkan bahwa Ummu Kurz mendengar beliau bersabda di Hudaibiyah, sementara riwayat Ibnu Juraij menunjukkan bahwa Ummu Kurz bertanya kepada beliau, dan riwayat Hammad bin Zaid tidak menunjukkan salah-satu petunjuk di atas. Kesimpulannya, riwayat Sufyan dan Ibnu Juraij keliru. Yang paling shahih adalah riwayat Hammad bin Zaid. Sebab, kalau memang di Hudaibiyah terjadi tanya-jawab, tentu akan riwayatkan oleh banyak sahabat mengingat saat itu mereka selalu berkumpul.

Dengan demikian, periwayatan Ummu Kurz secara eksklusif atas hadis ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut tidak pernah terjadi di Hudaibiyah. Lebih jauh lagi kita dapat melihat bahwa Hudaibiyah bukan merupakan tempat yang sesuai untuk pertanyaan tersebut, dan pertanyaan seputar masalah aqiqah juga tidak lebih penting untuk Ummu Kurz daripada dengan pertanyaan seputar masalah agama lainnya (karena para ahli sejarah menyebutkan bahwa justru Ummu Kurz masuk Islam di Hudaibiyah). Hal ini menjadikan dugaan bahwa peristiwa tersebut tidak terjadi di Hudaibiyah lebih kuat.

Kemudian, apabila kita melihat bahwa al-Hakim meriwayatkan dari Abdul Malik bin Atha’ dari Ummu Kurz dan Abi Kurz; bahwa ada seorang wanita dari keluarga Abdurrahman bin Abi Bakar yang bernazar, “Apabila istri Abdurrahman melahirkan seorang bayi, akan kami sembelihkan untuknya seekor unta.” Lalu Aisyah menjawab, “Tidak. As-Sunnah lebih baik; untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor.” Hal ini semakin menambah kuat dugaan di atas bahwa Ummu Kurz tidak mendengarnya secara langsung dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, tapi mendengarnya dari beliau melalui Aisyah, Sehingga, riwayatnya mursal dan dia katakan dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam secara langsung. 

Persis seperti yang diriwayatkan oleh Hammad bin Zaid darinya. Hal ini masih mendapat dukungan oleh bahwa mayoritas riwayat darinya terbawa dengan ‘an’anah, bukan dengan lafal ‘mendengar’ atau ‘bertanya’. Penyebutan Hudaibiyah tidak terdapat selain pada riwayat Sufyan. Oleh karena itu, Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadis ini dalam kitab Shahih mereka. Maka, penolakan atas hadis ini dengan hadis riwayat Abu Rafi tidak terbantahkan.

Asy-Syaikh Zhafar at Tahawuni memberikan sanggahan atas peryataan ini dengan mengatakan, “Hamba Allah yang lemah ini mengatakan bahwa ini bukan hanya sekadar Idhthirab biasa. Lalu, apa salahnya kalau Ummu Kurz pergi mencari daging dan bertanya kepada beliau tentang aqiqah?” Kemudian perkataannya, Aku mendengar beliau bersabda, “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing… dan seterusnya” adalah setelah beliau ditanya tentang Aqiqah.”

Dalam bantahannya atas pernyataan di atas, asy-Syaikh Zhafar at-Tahawuni mengatakan, Hamba Allah yang lemah ini mengatakan bahwa Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadis tersebut. Hal ini tidak berarti hadis tersebut dhaif. Kemudian, pernyataannya bahwa Hudaibiyah bukanlah tempat yang cocok untuk pertanyaan semacam ini yang sifatnya kurang penting bagi Ummu Kurz. Seluruhnya adalah pernyataan yang tidak memiliki dasar dan tidak ada kaitanrya sama-sekali dengan hadis. Hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Kurz dari Aisyah tentang larangannya menyembelih unta untuk aqiqah berbeda dengan hadis yang diriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.

Maka, bagaimana mungkin hal itu menjadi bukti riwayat mursal yang dia yakini? Anggapan bahwa sanadnya mudhtharib terbantahkan oleh hadis Hammad bin Zaid yang di dalamnya tegas bahwa Ubaidullah bin Yazid mendengar secara langsung dari Siba’, dan Siba’ mendengar secara langsung dari Ummu Kurz. Sehingga, selebihnya merupakan sebagai pelengkap dalam sanad. Akan lebih tepat apabila  aqiqah dengan menyembelih hewan disyariatkan hingga masa Perjanjian Hudaibiyah, kemudian menghapus hukumnya dengan bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak mengaqiqahi putra beliau Ibrahim. Seandainya aqiqah hukumnya wajib atau sunnah, tentu beliau sudah melaksanakannya. Yang menjadi dasar pijakan adalah perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang paling terakhir.”

Dalam jawaban tentang aqiqah untuk putra Rasulullah Shallallalr ‘alayhi wa Sallam Ibrahim, mereka katakan, Tentang aqiqah Ibrahim, itu adalah pernyataan az-Zubair bin Bakkar yang dia kemukakan tanpa sanad. Maka, bagaimana mungkin boleh berargumentasi dengan pernyataan tanpa sanad? Seandainya aqiqah Ibrahim benar, tentu sudah diriwayatkan dengan sanad-sanad yang shahih semisal diriwayatkannya hadis tentang pesta pernikahan Rasulullah Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam. Hal ini menjadi bukti bahwa pernyataannya tersebut tidak tepat.

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menegaskan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan ulama yang menukilkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam melaksanakan aqiqah putra beliau. Hal ini menjadi hujjah bagi kami. Sebab, seandainya hukum aqiqah tidak mansukh, tentunya Ibrahim berhak mendapatkannya.

Salah satu faktor bantahan terhadap pernyataan az-Zubair justru datang darinya sendiri. Dia katakan, “Rasulullah Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam memberinya nama pada hari ketujuh kelahirannya.” Padahal, riwayat oleh Ibnu Abdil Barr dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bahwasanya beliau memberinya nama Ibrahim pada malam dia lahir. Komentar Ibnu Abdil Barr, “Hadis yang marfu’ lebih benar dan lebih terpercaya dari: yang diungkapkan oleh az-Zubair.” Ath-Thahawi meriwayatkannya secara musnad dalam kitab Musykil-nya dari Tsabit al-Bunani dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:

Rasuhullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Semalam anakku lahir. Aku beri nama dengan nama bapakku Ibrahim.”

Seluruh perawinya tsiqah dan hadis ini telah sepakat kesahihannya. Ini membuktikan bahwa pernyataan az-Zubair terungkap secara serampangan dan oleh karena itu tidak perlu melihatnya sama-sekali.”

Para ulama penganut mazhab Hanaft mengemukakan bantahan terhadap mayoritas ulama yang mendhaifkan hadis Ali(arab) ‘Qurban menghapus seluruh sembelihan sebelumnya.’ “Bahwa hadis Ali riwayatnya dari dua jalur. Walaupun masing-masing hadis tersebut dhaif, namun bisa menjadi kuat setelah digabungkan. Walaupun tidak mencapai tingkatan shahih yang bisa dijadikan sebagai dasar hujjah, minimal bisa dipakai sebagai dasar syahid dan pendukung hadis Abu Rafi’. Kemudian Ibnu Hajar inengatakan dalam kitab Ad-Dirayah, “Hadis ini dhaif. ‘Abdurrazzaq meriwayatkannya secara mauquf. Hal ini menjadi bukti bahwa seorang perawi dhaiflah yang menyatakannya marfu’. Karena, riwayat mauquf artinya shahih dan cukup buat kami.”

Sanggahan Mazhab Hanafi terhadap dalil Mayoritas Ulama – Bagian 1

Sanggahan Mazhab Hanafi terhadap dalil Mayoritas Ulama – Bagian 1

Hukum aqiqah – At-Tahawuni yang berasal dari kalangan ulama penganut mazhab Hanafi menjawab hadis-hadis tentang aqiqah untuk Hasan dan Husain yang disebutkan di atas . Dia katakan, Jawabannya; riwayat hadis tentang aqiqah mereka berdua mudhtharib. Sebab, diriwayatkan oleh al-Hakim dari jalur Muhammad bin ‘Amr al-Yafi’i dari Ibnu Juraij: dari Yahya bin Said, dari ‘Amrah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

“Rasulullah Shallullahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain pada hari ketujuh kelahiran mereka. Beliau memberi nama dan memerintahkan agar membersihkan kotoran dari kepala mereka  (mencukur rambutnya).

Dengan komentar, “Sanadnya shahih.” sepakat oleh adz-Dzahabi dan diikuti oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari.

Hal ini sungguh mengherankan.

Karena, Muhammad bin ‘Amr al-Yafi’i dikomentari oleh Ibnul Qaththan, “Tidak terbukti kejujurannya.” As-Saji meletakkan namanya dalam kitab Adh-Dhu’afa. Ibnu Adi mengatakan, “Memiliki banyak riwayat munkar.” Ibnu Ma’in mengatakan, “Perawi lain lebih kuat darinya.” Demikianlah disebutkan dalam kitab At-Tahdzib.

Hamba Allah yang lemah ini mengatakan, “Dia termasuk perawi muslim dan an-Nasa’i. Adz-Dzahabi mengatakan, ‘Saya tidak mengetahui ada orang yang mendhaifkannya’ dan disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqat. Sementara, pernyataan Ibnul Qaththan, ‘Tidak terbukti kejujurannya’, pernyataan Ibnu Adi, ‘Memiliki banyak riwayat munkar’, dan pernyataan Ibnu Ma’in, ‘Perawi lain lebih kuat darinya’, bukan merupakan jarh berdasarkan apa yang tertera di Mukadimah. Tentang komentarnya bahwa riwayat ini dhaif dan tidak shahih. Maka saya tegaskan bahwa riwayat ini shahih dan sesuai dengan syarat periwayatan Muslim.

Kalau memang yang dia katakan benar, maka kemungkinannya; aqiqah yang dimaksudkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah mencukur rambut dan bersedekah dengan perak seperti yang tercantum dalam riwayat Abu Rafi; bukan menyembelih hewan.

Al-Hakim juga meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdullah bin Abi Bakar, dari Muhammad bin Ali Ibnul Husain, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Ali bin Abi Thalib berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Husain dengan seekor kambing Beliau bersabda, “Hai Fatimah, cukurlah rambut kepalanya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambut tersebut.” Kemudian, kami menimbangnya. Ternyata beratnya mencapai satu atau setengah dirham.

Tetapi, ada perbedaan pendapat pada Muhammad bin Ishaq. Sebab, al-Hakim meriwayatkannya dari Ubaid, dari Muhammad bin Ishaq…  dari Abdullah bin Abu Bakar, dari Muhammad bin Ali, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Ali secara muttashil. Kemudian, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abdul A’la, dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdullah bin Abi Bakar, dari Muhammad bin Ali, dari Ali secara mursal. Di samping itu, Muhammad bin Ishaq selain masih dipertanyakan kesahihannya, dia juga seorang mudallis yang suka melakukan tadlis dari para perawi dha’if.

Dalam riwayat ini dia melakukan ananah yang tidak bisa diterima. Selain itu, tambahan lafal yang tertera pada hadis (aqqa’anil husaini bisyaatin) hanya diriwayatkan olehnya sendiri secara eksklusif. Sementara, Ali Ibnul Husain tidak meriwayatkan lafal tersebut dari Abu Rafi maupun Muhammad bin Ali dalam riwayat Said bin Manshur. Selain itu, kalau ada riwayat Ali Ibnul Husain dibawakan dari bapaknya, lalu dari kakeknya, dia tidak perlu lagi meriwayatkan dari Abu Rafi. Ini menunjukkan bahwa riwayat Muhammad bin Ishaq gugur, sehingga tidak bisa melawan riwayat Abu Rafi dan tidak bisa mendukung riwayat Aisyah. Kemudian, diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab Fadha’il al-Husain dari jalur Husain bin Zaid, dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Ali:

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda kepada Fatimah, “Timbanglah rambut Husain, lalu bersedekahlah dengan perak seberat rambut tersebut, dan berikan kaki hewan aqiqah kepada si bidan.

Dengan komentar, “Sanadnya shahih.

Saya katakan: Adz-Dzahabi mengkritiknya dalam kitab At-Talkish dengan mengatakan, “Tidak demikian.” Saya katakan: Maka, demikian juga ketidak-shahihan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab al-Marasil dari Ja’far bin Muhanmad, dari bapaknya:

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada aqiqah yang diselenggarakan oleh Fatimah untuk Hasan dan Husain bersabda, “Kirimkanlah salah satu kaki hewan sembelihan itu kepada bidannya. Makanlah dan bagikan! Tapi jangan mematahkan tulangnya.

Sebab, riwayat mursal tidak bisa mengalahkan riwayat musnad yang diriwayatkan oleh Ali Ibnul Husain dari Abu Rafi. Tapi, saya tidak menemukan perawi yang meriwayatkan dari Ja’far. Silakan teliti kembali.

Apabila Anda katakan bahwa riwayat tersebut didukung oleh hadis yang diriwayatkan uleh Abu Dawud dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqali Hasan dan Husain dengan domba masing-masing satu ekor di mana sanad hadis ini shahih, kami katakan: hadis tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwassanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan domba masing- masing satu ekor.

Sanadnya juga shahih. Kalau ada dua hadis yang sama-sama shahih bertentangan, maka keduanya gugur dan tidak bisa sebagai sebagai pendukung hadis lain. Dalam kitab Al-Jauhar an-Naqiy disebutkan, “Terjadi Idhthirab dalam hadis tersebut dilihat dari dua sisi pada perawi bernama Ikrimah. Abu Hatim mengatakan, justru riwayat Ikrimah dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang diriwayatkan secara mursal lebih shahih.

Hukum Ibadah Aqiqah – Bagian 2

Hukum Ibadah Aqiqah – Bagian 2

Sunnah Aqiqah – Pembahasan berikut merupakan lanjutan dari pendapat di kalangan para ahli fikih seputar hukum ibadah aqiqah bagian 1.

  • Pendapat ketiga:

pendapat para ulama mazhab Hanafi. Terdapat perbedaan pendapat dalam mazhab mereka seputar hukum aqiqah. Setelah melalui penelitian yang cukup mendalam, dapat saya tarik kesimpulan bahwa dalam mazhab mereka tentang masalah ini terdapat tiga pendapat yang berbeda.

(1) Hukumnya sunnah. Boleh aqiqah dan boleh tidak. Pendapat ini oleh ath-Thahawi dalam kitab Mukhtashar-nya dan Ibnu Abidin dalam kitab Al ‘Uqud ad-Durriyyah. Dari asy-Syaikh Nazhzham dari Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Pendapat ini secara umum sesuai dengan pendapat mayoritas ulama.

(2) Hukumnya mubah. Ini adalah pendapat al-Manbaji. Dari oleh Ibnu Abidin dari Jami’ al-Mahbubi.

(3) Hukumnya makruh, karena ritual ini mansikh. Pendapat ini dinukilkan dari Muhammad Ibnul Hasan sejawat Abu Hanifah. Dia katakan, “Tentang aqiqah, telah sampai berita kepada kami bahwa ritual tersebut ada di zaman Jahiliyah. Di masa awal Islam juga pernah. Kemudian, ritual qurban menasakh (menghapus) hukum setiap sembelihan sebelumnya.” Al-Khawarizmi al-Karlani mengatakan, “Di zaman Jahiliyah terdapat beberapa ritual penyembelihan. Antara lain; aqiqah, rajabiyah…Semuanya mansukh oleh ritual qurban.

Pendapat adanya nasakh adalah salah-satu pendapat yang terdapat dalam mazhab Hanafi.

At-Tahawuni mengatakan, “Teks-teks riwayat yang ada cukup jelas dalam menunjukkan bahwa pendapat mazhab Abu Hanifah adalah bahwa hukum aqiqah adalah mansikh dan tidak menjadi syariat. Apa yang oleh asy-Syami–Ibnu Abidin-dari Jami’ al-Mahbubi bahwa hukumnya mubah dan Syarab ath-Thahawi bahwa hukumnya sunnah, bukan merupakan representasi pendapat mazhab ini. Pendapat tersebut adalah pendapat pribadi mereka berdua berdasarkan dalil-dalil yang mereka miliki.”

Sedangkan pendapat yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah; bahwa aqiqah adalah bid’ah seperti yang oleh al-Iraqi dan lain-lain, maka pernyataan ini tertolak dan keliru.

Al’Aini mengatakan, “Ini adalah kedustaan yang tidak boleh dinisbahkan kepada Abu Hanifah. Beliau tidak mungkin berpendapat demikian. Beliau hanya menyatakan bukan sunnah. Artinya; bukan termasuk amalan sunnah, ataupun sunnah muakkadah.

Ibnu Hazm terlalu berlebihan dalam mencela Abu Hanifah. Dia katakan, “Abu Hanifah tidak mengerti tentang aqiqah. Apa artinya? Aduhai, itu adalah hal yang wajar bagi Abu Hanifah. Karena, dia memang tidak mengerti tentang as-Sunnah.

Asy-Syaikh Ibnu Qudamah al-Maqdisi mengatakan, “Abu Hanifah menganggap aqiqah termasuk perkara Jahiliyah. Hal itu karena minimnya ilmu pengetahuannya tentang hadis.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni asy-Syaikh Ibnu Qudamah. Sungguh tidak pantas dia mengatakan hal ini tentang Abu Hanifah. Saya tegaskan: pendapat atau perkataan setiap orang bersifat proposisi, boleh memakainya boleh juga tidak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Celaan Ibnu Hazm dan Ibnu Qudamah pada Abu Hanifah harus ditinggalkan. Seandainya Ibnu Hazm dan Ibnu Qudamah rahimahumallah memberikan alasan lain yang lebih bersifat positif untuk Abu Hanifah rahimahullah, tentu itu akan lebih baik daripada celaan semacam ini.

Imam asy-Syaukani telah bertindak bijak ketika mengatakan,

Penulis kital Al-Bahr meriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa aqiqah berasal dari zaman Jahiliyah yang sudah terhapuskan oleh Islam. Hal ini kalau memang benar, maka bahwa hadis-hadis tentang masalah aqiqah belum sampai ke telinga beliau.” Demikianlah seharusnya kita berbaik sangka terhadap para ulama kita. Karena, mereka adalah orang-orang yang paling takut melanggar Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dengan sengaja.

At-Tahawuni mengatakan, Dengan demikian, apa yang oleh Ibnu Hazm tentang Abu Hanifah tidaklah benar. Berbagai tuduhan yang dia lontarkan, seluruhnya terbantahkan.

Dalam kitab Al-Bada’i’, bab ‘Partisipasi Tujuh Jenis Ritual pada Satu Hewan Sembelihan’ mengatakan:

Apabila mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan ritual qurban atau ibadah menyembelih hewan lainnya, maka hal itu boleh, baik ritual tersebut bersifat wajib ataupun sukarela. Sebab, seluruhnya bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian juga apabila sebagian dari mereka ingin melaksanakan aqiqah untuk seorang bayi yang lahir sebelumnya. Karena, sisi mendekatkan diri kepada Allah yang ada pada aktivitas tersebut terletak pada ungkapan rasa syukur atas kehadiran si jabang bayi yang merupakan anugerah yang diberikan kepadanya”.

Demikianlah disebutkan oleh Muhammad rahimahullah tentang ritual menyembelih hewan yang jarang ada. Dia tidak menyebutkan tentang walimah (pesta pernikahan). Semestinya hal ini juga boleh. Karena, pesta tersebut sebagai ungkapan rasa syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas anugerah yang Dia berikan berupa nikah. Hal ini juga jelas dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,

“Adakanlah pesta pernikahan walaupun hanya dengan seekor kambing.”

Kalau dalam melaksanakannya dengan niatan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk menghidupkan as-Sunnah, berarti sama halnya dengan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di sini jelas sekali bahwa aqiqah termasuk aktivitas mendekatkan diri kepada Allah, sama seperti walimah.

Oleh karena itu, barang siapa yang menuduh bahwa Abu Hanifah menyatakan bahwa aqiqah adalah bid’ah, maka tuduhannya tersebut tidak perlu dihiraukan. Memang benar Hanifah menolak bahwa aqiqah adalah menumpahkan darah berdasarkan perintah syariat dengan tujuan ibadah seperti qurban. Tetapi, beliau saama-sekali tidak menolak bahwa aqiqah adalah aktivitas mendekat pada Allah dengan landasan rasa syukur atas kehadiran si jabang bayi Sehingga, persis seperti walimah yang merupakan ungkapan rasa syukur atas anugerah berupa pernikahan.

Juga perlu tahu bahwa yang menjadi pendapat resmi para ulama penganut mazhab Hanafi adalah sunnahnya aqiqah. At Tahawuni mengatakan, “Perlu diketahui bahwa amalan yang dilakukan oleh para penganut mazhab Hanafi adalah sunnahnya hukum aqiqah, sesuai dengan apa yang tertera dalam Syarah Ath-Thahawi. Masalah ini cukup Iuas, karena adanya perbedaan pendapat. Tolong diperhatikan.”

Dia (at-Tahawuni) juga mengatakan:

Demikianlah, para sejawat kami, ulama penganut mazhab Hanafi, dalam hal tersebut memakai pendapat mayoritas ulama. Mereka nyatakan bahwa aqiqah hukumnya sunnah, berdasarkan pernyataan Ibnul Mundzir dan lain-lain, “Dalilnya adalah hadis shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan para sahabat serta tabi’in.” Mereka katakan, “Aqiqah dilakukan di kawasan Hijaz dari semenjak dulu hingga sekarang.”

Imam Malik menyebutkan dalam Al-Muwaththa, “Hal ini termasuk perkara yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” Yahya bin Said al-Anshari dari kalangan tabi’in mengatakan, “Saya kenal dengan orang-orang yang tidak pernah meninggalkan aqiqah untuk putra-putri mereka.” Para ulama yang memandang sunnahnya aqiqah adalah sebagai berikut: Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Aisyah, Buraidah al -Aslami, al- Qasim bin Muhammad, Urwah Ibnu Zubair, Atha’, az-Zuhri dan masih banyak para ulama lainnya. Kemudian, aktivitas tersebut ada di seluruh penjuru negeri Islam.

Syarhul Muhacdzedzab (8/447), secara ringkas:

Pada mulanya, mereka mengira bahwa masalah ini menjadi objek perbedaan pendapat di kalangan para sahabat dan tabi’in. Kemudian, mayoritas ulama dan seluruh Muslimin secara umum sepakat bahwa aqiqah hukumnya sunnah. Maka, mereka pun sepakat dengan mayoritas ulama dan mengambil pendapat ini sebagai landasan hukum. Walaupun pendapat Imam Abu Hanifah cukup kuat dari segi dalilnya seperti yang telah kami jelaskan di atas, tetapi pendapat yang bertolak-belakang dengannya lebih kuat dalinya dan merupakan pendapat yang benar. Dan Allah lebih mengetahui apa yang ada di dalam dada.

hukum aqiqah

  • Dalil-dalil pendapat ketiga

Para ulama penganut mazhab Hanafi memiliki argumentasi sebagai berikut:

(1) Berkaitan dengan pendapat pertama oleh para ulama penganut mazhab Hanafi, yaitu hukum aqiqah adalah sunnah. Dalil-dalil yang mereka miliki sama dengan pendapat mayoritas ulama di atas.

(2) Berkenaan dengan pendapat tentang mubahnya aqiqah, mereka berargumentasi dengan hadis ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya. Dalam hadis itu, “Barang siapa yang mendapat anak lalu ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya.”

Lafal hadis ini mereka katakan menunjukkan bahwa hukumnya mubah.

(3) Terkait pendapat bahwa hukum aqiqah mansikh, maka dalil mereka adalah apa yang diungkapkan oleh al-Kasani, Kami mengetahui mansukhnya sembelihan ini dari apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dia katakan,

Puasa bulan Ramadhan menghapus hukum semua puasa sebelumnya. Menyembelih hewan qurban menghapus hukum setiap sembelihan sebelumnya. Mandi janabat menghapus hukum seluruh mandi sebelumnya.”

Secara eksplisit, Aisyah radhiyallahu ‘anha menyatakan demikian berdasarkan apa yang dia dengar secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Sebab, mansukhnya suatu hukum termasuk kategori masalah yang tidak mungkin dapat mengetahuinya melalui ijtihad.

Mereka juga berargumentasi dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dalam kitab Al-Atsar dari Abu Hanifah, dari Hammad, dari Ibrahim berkata, “Aqiqah dilakukan di zaman Jahiliyah. Ketika Islam datang, aqiqah diolak.” Demikian juga riwayat Abu Yusuf dari Abu Hanifah, dari seseorang, dari Muhammad Ibnul Hanafiyah, “Aqiqah ada di zaman Jahiliyah. Ketika syariat qurban datang, aqiqah ditolak.

At-Tahawuni mengatakan,

Argumentasi para ulama yang melarang aqiqah adalah apa yang diriwayatkan dari Ibrahim dan Muhamma Hanafiyah bahwa islam menolak aqiqah. Sedangkan hadis-hadis yang ada, tidak bertentangan dengan pendapat mereka berdua. Sebab, pada dasarnya mereka berdua tidak menyangkal legitimasi aqigah. Justru, secara umum mereka menyatakan bahwa aqiqah merupakan syariat. Hanya saja mereka menyatakan bahwa hukumnya sudah terhapus. Dengan demikian, dalam pendapat mereka ini terdapat tambahan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh para ulama lain yang memperbolehkannya.

Mereka berdua adalah ulama besar yang tidak mungkin mengemukakan pendapat tanpa dasar. Sehingga, pendapat mereka merupakan argumentasi yang kuat. Karena, argumentasi para ulama yang memperbolehkannya bersandar pada ketidaktahuan mereka akan adanya nasakh. Sementara, kedua Imam ini mengetahui adanya nasakh, dan pendapat orang yang memiliki pengetahuan merupakan hujjah atas orang yang tidak memilikinya.

Apabila Anda katakan, “Dalam riwayat Ibnul Hanafiyah terdapat perawi yang tidak dikenal“, maka kami katakan bahwa tidak mengenali si perawi ini tidak membawa dampak apa pun. Sebab, orang yang meriwayatkan darinya adalah si pencetus mazhab sendiri yang dapat dipastikan paling tahu tentangnya.

Argumentasi mereka yang lain adalah hadis ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya. Dalam hadis itu, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah. Beliau menjawab, “Allah tidak suka ‘uqiq (kedurhakaan).

Mereka juga berargumentasi dengan hadis Abu Rafi’ bekas budak Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,

Ketika Fatimah melahirkan Hasan, dia bertanya, “Bolehkah aku mengaqiqahi anakku ini dengan menyembelih hewan?” Beliau menjawab, “Tidak. Cukurlah rambut kepalanya, kemudian bersedekahlah dengan perak seberat rambut tersebut kepada kaum fakir-miskin dan Ahlusshuffah.” Maka, dia pun melakukannya. Dia juga melakukan hal yang sama ketika melahirkan Husain.

Dalam riwayat yang lain dengan lafal (laa ta’iqqii ‘anhu) Jangan mengaqiqahinya’ Diriwayatkan oleh Ahmad dan at Thabrani dalam kitab Al-Mujam al-Kabtr. Hadis ini hasan.

As-Sa’ati mengatakan, “Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Uqail. Riwayatnya cukup lemah. Tetapi, memiliki beberapa syahid yang menguatkannya. Kemungkinan al-Hafizh al-Haitsami menganggap hadis ini hasan karena hal tersebut.

Kemudian, dari aspek logika mereka katakan, Menumpahkan darah semata bukan sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kecuali dengan adanya dasar teks syariat. Namun, apabila teks-teks syariat tentang aqiqah tersebut saling bertolak-belakang antara syariat atau mansukh, dan dengan meyakinkan kita tahu bahwa ada beberapa ritual penyembelihan dalam Islam yang kemudian terhapus (seperti fara’, atirah dan lain sebagainya), maka ini merupakan bukti kuat bahwa hukum aqiqah adalah mansikh.

Sebab kalau syariat, tentu hukumnya Sunnah, tidak ada yang lain. Dan kalau mansikh, pasti hukumnya bid’ah. Ketika suatu perkara berada di antara Sunnah atau bid’ah, mubah atau haram, maka hukum haram lebih kuat daripada hukum mubah. Apabila hukum haram dan mubah saling bersinggungan, sementara tidak tahu kapan wakti kejadiannya, hukum haram dianggap datang paling akhir, supaya tidak terjadi nasakh dua kali.

Lafal ‘Qurban menghapus seluruh sembelihan sebelumnya.

Artinya adalah hukum wajibnya menghapus seluruh hukum sembelihan sebelumnya. Pendapat kami ini tidak terbantah oleh pernyataan bahwa qurban menjadi syariat pada tahun kedua Hijriyah, sementara aqiqah Hasan dan Husain pada tahun ketiga atau kelima Hjriyah dan Ummu Kurz mendengar hadis tentang aqiqah di Hudaibiyah pada tahun keenam Hijriyah. Sebab, kami katakan bahwa qurban pada saat itu baru menjadi syariat, belum wajib. Kemudian, pada waktu ibadah haji menjadi wajib, qurban baru wajib. Maka, kewajibannya menghapus ‘seluruh hukum sembelihan sebelumnya.

Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak mengaqiqahi putra beliau Ibrahim radhiyallahu ‘anhu. Buktinya, beliau memberinya nama di malam dia lahir. Kalau seandainya beliau mengaqiqahinya, tentu beliau memberinya nama pada hari ketujuh kelahirannya.

Hukum Ibadah Aqiqah – Bagian 1

Hukum Ibadah Aqiqah – Bagian 1

Sunnah Aqiqah – Ada lima pendapat di kalangan para ahli fikih seputar hukum ibadah aqiqah.

  • Pendapat pertama:

aqiqah hukumnya sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan shahabat, tabiin dan para ahli fkih Juga merupakan pendapat para ulama penganut mazhab Syaffi, Maliki dan pendapat terkuat dalam mazhab Hanbali. Pendapat senada juga datang dari mayoritas Ahlul Bait. Ibnu Taimiyah juga sependapat dengan mereka.

Pendapat ini dinukilkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Fatimah putri Rasulullah Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam radhiyallahu ‘anhum. Pendapat senada juga dari al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah Ibnu Zubair, Atha’, az-Zuhri, Ishaq, Abu Tsaur dan lain-lain.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Seluruh ulama ahli hadis dan ahli fikih serta mayoritas ulama Ahlussunnah berpendapat bahwa aqiqah adalah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘aleyhi wa Sallam.”

Dalil-dalil pendapat pertama

Mayoritas ulama yang menyatakan bahwa hukum ibadah aqiqah sunnah memiliki dalil-dalil sebagai berikut.

(1) Dari Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya dan singkirkanlah kotoran darinya.”

(2) Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya; disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur rambutnya dan diberi nama.”

(3) Dari Ummu Kurz al:Ka’biyyah radhiyallahu ‘anha berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.”

(4) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain.”

(5) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan mereka untuk anak-laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Mayoritas ulama menyatakan bahwa hadis-hadis di atas ini menunjukkan bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah yang dikukuhkan oleh Nabi hallallahu ‘alayhi wa Sallam melalui sabda dan perbuatan beliau, yakni beliau mengaqiqahi Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma.

Mereka juga mengatakan bahwa perintail dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha ‘Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan mereka…’ adalah anjuran, bukan wajib. Buktinya, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyerahkannya kepada keinginan dan pilihan seorang Muslim. Selama ada pilihan seperti ini, hukumnya tidak wajib. Dalam hadis dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu berkata:

Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah.

Beliau menjawab, “Allah tidak suka ‘uquq (kedurhakaan)” Sepertinya beliau tidak suka istilah ini. Beliau bersabda, “Barang siapa yang mendapat anak lalu ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya.

Mereka juga mengatakan bahwa jika aqiqah hukumnya wajib, tentu kewajibannya sudah umum. Sebab, pengetahuan tentang suatu kewajiban dalam ajaran agama sangat dibutuhkan dan akan berisiko tinggi apabila pengetahuan tersebut tidak tidak ada. Rasulullah Shallall ahu ‘alayhi wa Sallam pasti akan menjelaskan kewajiban ini kepada umat beliau sejelas-jelasnya, agar tidak ada lagi alasan untuk menyangkalnya.

(6) Mereka juga berargumentasi dengan konsensus (ijmak) bahwa hukum ibadah aqiqah adalah sunnah. Ibnu Qudamah mengatakan, “Dan konsensus para ulama. Abu Zinad mengatakan, ‘Aqiqah adalah perkara yang kaum Muslimin tidak suka meninggalkannya.” Pernyataan Abu Zinad bahwa aqiqah adalah perkara kaum Muslimin; artinya aqiqah boleh ditinggalkan dan tidak wajib oleh syariat. Seandainya aqiqah hukumnya wajib, tentu mereka tidak akan meninggalkannya. Karena, meninggalkan kewajiban hukumnya haram, bukan sekadar tidak disukai (makruh).

(7) Mereka katakan bahwa aqiqah adalah menyembelih hewan untuk merayakan sesuatu. Sehingga, tidak bisa dikatakan hukum ibadah aqiqah wajib. Sama seperti pesta pernikahan dan jamuan makan.

Mereka juga menyatakan bahwa walaupun Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam melakukannya, tidak menunjukkan suatu kewajiban. Tapi, menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya sunnah.

Mereka mengatakan bahwa aqiqah adalah menumpahkan darah bukan karena denda atau nazar. Sehingga, hukumnya tidak wajib. Sama seperti qurban.

hukum ibadah aqiqah

  • Pendapat kedua:

aqiqah hukumnya wajib. Ini adalah pendapat para ulama penganut paham Zhahiriyah oleh Dawud bin Ali dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dinukilkan dari Buraidah Ibnul Hushaib al-Aslami dan Abu Zinad radhiyallahu ‘anhuma yang berasal dari kalangan sahabat. Juga merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri dengan catatan bahwa kewajibannya hanya untuk anak laki-laki, tanpa anak perempuan. Kewajiban aqiqah juga merupakan salah satu riwayat dalam pendapat Imam Ahmad dan oleh sekelompok ulama penganut mazhab Hanbali. Pendapat senada juga oleh asy-Syaikh al-Albani yang berasal dari kalangan ahli hadis.

Dalil-dalil pendapat kedua

Para ulama penganut paham Zhahiriyah menyatakan bahwa aqiqah hukumnya wajib berdasarkan argumentasi sebagai berikut:

(1) Hadis Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu yang lalu: “Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya…

(2) Hadis Ummu Kurz radhiyallahu ‘anha yang lalu: “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.

(3) Hadis Samurah radhiyallahu ‘anhu yang lalu: “Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya…

Hadis-hadis di atas dibawakan oleh Ibnu Hazm berikut sanadnya dengan beberapa riwayat, kemudian dia katakan, “Hadis-hadis ini adalah teks dalil yang mendasari pendapat kami. Juga merupakan pendapat sekelompok ulama Salaf.”

Setelah itu, dia membawakan beberapa atsar dari sekelompok ulama, antara lain: Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar, Ibnu Abbas, Atha’, Ibnu Umar dan Buraidah al-Aslami yang perkataannya dikutip sehagai berikut, “Umat manusia kelak di hari kiamat dihadapkan pada perkara aqiqah sama persis seperti dihadapkan pada perkara shalat lima waktu.”

Kemudian dia lanjutkan, Perintah beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam melaksanakan aqiqah sifatnya wajib seperti yang telah kami jelaskan di atas. Tidak halal hukumnya bagi siapa saja untuk beranggapan bahwa perintah-perintah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam boleh ditinggalkan, kecuali apabila ada teks hadis lain yang menjelaskannya. Jika tidak, anggapan tersebut adalah dusta dan melakukan sesuatu tanpa dasar pijakan pengetahuan yang benar. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam telah bersabda,

Apabila aku memerintabkan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.”

Ini adalah argumentasi Ibnu Hazm dalam mewajibkan aqiqah.

(4) Argumentasi Ibnu Hazm yang lain atas wajibnya hukum aqiqah adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan sekaligus melakukannya. Beliau bersabda (alghulaamu murtahinun biaqiiqatihi) ‘Seorang anak tergadaikan pada aqiqahnya‘ dan (ma’al ghulaami ‘aqiiqatihi) ‘Seorang anak terkait dengan aqiqahnya.” Mereka menyatakan bahwa hadis ini mendasari wajibnya aqiqah dari dua sisi; Pertama, sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam (ma’al ghulaami ‘aqiiqatihi) ‘Seorang anak terkait dengan aqiqahnya’ bukanlah pemberitahuan tentang peristiwa yang sedang terjadi, tapi merupakan kewajiban. Kemudian, beliau memerintahkan mereka untuk melakukan tahap berikutnya. Beliau bersabda (ahriiquu ‘anhu damaan) ‘Tumpahkanlah darah untuknya.’

(5) Mereka juga berargumentasi dengan hadis ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan untuk memberi nama bayi pada hari ketujuh kelahirannya, membersihkan kotoran darinya dan menyembelih hewan.”

(6) Mereka juga berargumentasi dengan hadis Yusuf bin Mahik  bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitahukan kepada mereka bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor.

Pelasan dari kedua hadis ini adalah bahwa di dalam keduannya dapat perintah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam untuk melakukan aqiqah, dan pada dasarnya yang namanya perintah hukumnya wajib.

(7) Mereka juga berargumentasi dengan hadis Yazid bin ‘Abd al-Muzani dari bapaknya bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak boleh diaqiqahi, tapi kepalanya jangan diolesi darah (hewan sembelihannya).”

Mereka katakan bahwa hadis ini adalah perintah dalam bentuk berita.

Apakah Makruh Hukumnya untuk Memakai Istilah ‘Aqiqah’?

Apakah Makruh Hukumnya untuk Memakai Istilah ‘Aqiqah’?

Sunnah Aqiqah – Sebagian ulama berpendapat bahwa memberi nama ritual ini dengan istilah aqiqah hukumnya makruh. Mereka katakan, lebih baik menamakannya denagn nasikah (Qurban) atau dzabihah (sembelihan). 

Mereka berargumentasi dengan Hadis Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu berkata,

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah. Beliau menjawab, “Aku tidak suka ‘uquq (kedurhakaan).” Sepertinya beliau tidak suka istilah ini. Mereka katakan, “Wahai Rasulullah, yang kami tanyakan adalah tentang salah seorang dari kami yang baru mendapat anak.” Beliau bersabda, “Barang siapa dari kalian yang ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya; untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Aba Dawud, an-Nasa’i,al-Hakim Baihaqi. Al-Hakim berkomentar, “Sanadnya shahih.” Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albari berkomentar, “Hasan shahih.”

Asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkomentar, “Sanad ini hasan.” 

Hadis ini yang meriwayatkan adalah al-Baihaqi dari dua jalur. Pertama, jalur ‘Amr bin Syu’aib di atas. Kedua, jalur Zaid bin Aslam tentang seseorang dari Bani Dhamrah dari bapaknya. Kemudian, dia berkomentar, “Hadis ini apabila digabungkan dengan hadis pertama akan menjadi kuat.”

Ibnu Turkumani mengomentari pernyataan al-Baihaqi di atas, Beliau membatasi pada kedua jalur periwayatan ini saja. Padahal, ada jalur ketiga yang lebih baik, dari segi periwayatannya. Ibnu Abi Syaibah berkata; Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair; Telah menceritakan kepada kami Dawud bin Qais. ‘Abdurazzaq berkata; Telah menceritakan kepada kami Dawud bin Qais; Aku mendengar ‘Arnr bin Syu’aib meriwayatkan dari bapaknya, Ialu dari kakeknya berkata, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah. Beliau menjawab, “Aku tidak suka uquq (kedurhakaan)…..”

Demikian juga an-Nasa’i meriwayatkan dari Ahmad bin Sulaiman ar-Ranawi al-Hafizh dari Abu Nu’aim dari Dawud. Malik juga meriwayatkan dalam kitab Al-Muwaththa dan al-Baihaqi dalam kitab Ma’rifarus Sunan wal Atsar dari Zaid bin Aslam, dari seseorang dari Bani Dhamrah, dari bapaknya.

Imam al-Baji mengatakan,

Sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam (arab) ‘Aku tidak suka uquq (kedurhakaan)’ secara eksplisit dipahami bahwa nama ini tidak disukai. Sebab, nama ini memiliki kesamaan dengan lafal uquq (kedurhakaan). Beliau lebih memilih nama nusuk.

Pendapat ini mendapat sanggahan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Barr. Dia katakan, Dalam hadis ini dapat mengambil pelajaran tentang makruhnya nama-nama yang memiliki makna negatif. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyukai nama-nama yang baik. Salah-satu contohnya adalah sikap beliau terhadap nama Harb (perang), Murrah (pahit) dan lain sebagainya seperti yang diriwayatkan oleh Malik dan ulama hadis lainnya.

Hal ini cukup jelas dan dapat Anda lihat pada babnya di buku kami ini, insya Allah. Sesuai dengan eksplisitas makna hadis ini, hewan sembelihan untuk bayi sebutannya nasikah, bukan aqiqah. Tetapi, saya tidak menemukan seorang ulama pun yang menganut dan mengemukakan pendapat tersebut. Saya kira – Wallahua’lam – mereka sengaja tidak mengamalkan makna yang terkandung dalam hadis ini karena adanya hadis lain yang memakai lafal aqiqah. Yaitu bahwa Samurah bin Jundab meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Seorang anak tergadatkan pada aqiyalurya. Disembelihkan hewan untuknya pada hati ketujuh kelahirannya.

Di tempat yang lain, setelah membawakan hadis di atas, al Hafizh Abdil Barr mengatakan, Sesuai dengan eksplisitas makna hadis, hewan sembelihan untuk bayi pada hari ketujuh kelahirannya bernama nasikah, bukan uqiqah. Tetapi, saya tidak menemukan adanya perbedaan pendapat para ulama dalam memberinya nama aqiqah. Sehingga, kesimpulannya bahwa hukum nama tersebut (nasikah) adalah salah-satu dari ketiga hal berikut: mansukh, lebih disukai, atau merupakan sebutan Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam saat itu. Dikatakan mansukh, sebab dalam hadis Samurah bin Jundab dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Seorang tergadaikan pada aqiqahnya. Disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh kelahirannya dan diberi nama.

Juga dalam hadis Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya dan singkirkanlah kotoran darinya.

Dalam kedua hadis terakhir ini, terdapat lafal ‘aqiqah’ yang menjadi bukti bahwa hukum memakai nama tersebut adalah mubah, bukan makruh. Berdasarkan hal ini, seluruh buku para ulama ahli fikih di setiap masa dan tempat selalu menyebutkan lafal aqiqah, bukan nasikah. Di samping itu, hadis riwayat Imam Malik di atas juga tidak menegaskan bahwa hukumnya makruh. Hanya disebutkan bahwa seakan-akan Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak menyukai nama tersebut dan beliau bersabda, “Barang siapa dari kalian yang ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya… dan seterusnya.”

Al-Hafizh al Iraqi berkata: Apabila Anda katakan, “Sudah sepatutnya untuk mengganti lafal aqiqah dengan lafal nasikah atau yang semisalnya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dalam hadis Abdullah bin ‘Amr ketika ada yang menanyakan tentang aqiqah,

Allah tidak menyukai uquq (kedurhakaan).”

Dan bahwa beliau seakan-akan tidak menyukai nama tersebut, maka saya katakan: Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Sesuai dengan eksplisitas makna hadis ini, hewan sembelihan untuk bayi sebutannya nasikah, bukan aqiqah. Tetapi, saya tidak menemukan seorang ulama pun yang menganut dan mengemukakan pendapat tersebut. Saya kira-Wallahu’alam-mereka sengaja tidak mengamalkan makna yang terkandung dalam hadis ini karena adanya hadis lain yang memakai lafal aqiqah.”

Saya katakan: Lafal nasikah tidak mengarah pada definisi aqiqah secara detail. Sebab, lafal tersebut sifatnya umum, dan lafal yang sifatnya umum tidak bisa diarahkan pada pengertian yang terperinci. Dalam hadis ini sendiri tidak ada penegasan bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak menyukai lafal tersebut. Pernyataan itu disimpulkan sendiri oleh perawi hadis tanpa ada unsur kepastian. Sepertinya, ketika menyebutkan lafal aqiqah lalu Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Allah tidak menyukai ‘uquq (kedurhakaan).

Agar si penanya tidak beranggapan bahwa setiap derivasi lafal aqiqah bermakna baik. Di sini, beliau berusaha untuk menjelaskan bahwa sebagian materi lafal tersebut memiliki makna terpuji, sementara bagian lainnya tercela. Komentar beliau ini cukup baik dalam menjaga kemurnian pemahaman.

Di lain waktu, beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sengaja tidak berkomentar, karena penjelasan seperti yang tertera dalam hadis ini sudah tercapai. Atau tergantung pada kondisi orang yang sedang berdialog, apakah dia memahami hal ini atau tidak. Dalam keadaan demikian, beliau menjelaskan secara terperinci-seperti pada hadis di atas–untuk orang yang belum paham benar Sementara, untuk orang yang sudah paham, beliau tidak perlu menjelaskannya lagi. Kepada Abdullah bin ‘Amr, mungkin beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam merasa perlu untuk menyampaikan hal itu berdasarkan alasan di atas. Walaupun Abdullah bin ‘Amr sendiri adalah orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup, Wallaha’lam.

Mulla Ali al-Qari membalas sanggahan di atas dengan mengatakan, “Seakan-akan Nabi Shaliallahu ‘alayhi wa Sallam tidak menyukai nama ini’ Ini adalah kesimpulan dari si perawi hadis. Yaitu bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak suka ritual tersebut dinamakan aqiqah, agar tidak disangka bahwa lafal itu adalah hasil derivasi dari lafal (uquq) ‘kedurhakaan’. Beliau lebih suka untuk menamai dengan nama yang lebih baik seperti dzabihah atau nasikah sebagaimana kebiasaan beliau yang suka mengganti nama-nama buruk dengan nama yang lebih baik. Demikianlah dalam kitab An-Nihayah.”

At-Taurabusyti mengatakan, Pernyataan ini tidak tepat. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sempat menyebutkan lafal aqiqah dalam beberapa hadis yang lain. Andai kata beliau tidak menyukainya, tentu beliau tidak akan menyebutkan lafal itu dan menggantinya dengan lafal lain seperti kebiasaan yang selalu beliau lakukan dalam mengganti nama-nama yang tidak beliau sukai. Atau beliau menunjukkan hukum makruhnya dengan larangan secara tekstual, misalnya seperti sabda beliau,

Jangan namakan anggur dengan sebutan kurma.

istilah aqiqah

Penjelasan yang benar adalah sebagai berikut

Ada kemungkinan bahwa si penanya bertanya tentang lafal tersebut karena maknanya yang saling tumpang-tindih antara makruh dan anjuran, wajib dan sunnah. Beliau ingin memperkenalkan keutamaannya pada si penaiya, karena keutamaan aqiqah memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah dan sudah diketahui secara umum oleh khalayak. Beliau memberikan jawaban tersebut untuk mengingatkannya bahwa derivasi lafal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala benci adalah uquq (kedurhakaan), bukan aqiqah.

Kemungkinan yang lain, si penanya cenderung beranggapan bahwa kesamaan lafal aqiqah dan uquq (kedurhakaan) dalam derivasinya menunjukkan bahwa masalah ini adalah masalah yang sepele. Sehingga, beliau menjelaskan bahwa masalahnya justru sebaliknya.

Kemungkinan yang lain; lafal uquq (kedurhakaan) yang biasa oleh anak, dalam hadis ini dipinjamkan kepada orang tua. Artinya apabila seorang anak tidak menghiraukan hak-hak kedua orang tuanya dan tidak mau menunaikan hak-hak tersebut, dia seperti telah mendurhakai kedua orang tuanya. Dengan perluasan cakupannya, makna durhaka inilah yang juga bisa terjadi pada orang tua apabila tidak menunaikan hak anak. Sehingga, beliau bersabda, “Allah tidak menyukai uquq (kedurhakaan).” Yaitu, apabila orangtua tidak melaksanakan hak anak berupa aqiqah, padahal orangtua memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sama artinya dengan apabila si anak durhaka kepada orangtua, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukainya.

Ibnul Atsir mengatakan, Antara lain adalah hadis, Bahwasanya beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah. Beliau menjawab, “Aku tidak menyukai uqnq (kedurhakaan).

Dalam hadis ini sama-sekali tidak ada unsur meremehkan masalah aqiqah atau menggugurkan hukumnya. Hanya namanya saja yang makruh. Beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ingin mengganti namanya dengan yang lebih baik, seperti nasikah atau dzabihah sesuai dengan kebiasaan beliau yang suka rnengganti nama yang buruk.

Dalam beberapa hadis, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menggunakan lafal aqiqah:

  • Hadis Samurah radhiyallahu ‘anhuSetiap anak terkait dengan aqiqahnya…
  • Hadis Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhuSeorang anak terkait dengan aqiqahnya…
  • Dalam hadis Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anhaAqiqah untuk anak adalah dua ekor kambing…
  • Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuSeorang anak terkait dengan aqiqahnya…
  • Hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alayhi Sallam bersabda, “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor.

Dalam hadis-hadis ini Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menggunakan lafal aqiqah. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan lafal tersebut hukumnya mubah, bukan makruh. Seperti halnya atsar-atsar dari para shahabat dan tabi’in yang sudah ada sebelumnya. Mereka juga menggunakan lafal aqiqah tanpa perasaan tidak suka pada istilah tersebut. Para ulama ahli fikih juga menggunakan lafal ini dalam buku-buku mereka, bukan lafal nasikah.