Sunnah Aqiqah – Ada lima pendapat di kalangan para ahli fikih seputar hukum ibadah aqiqah.
Daftatr Isi
Pendapat pertama:
aqiqah hukumnya sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan shahabat, tabiin dan para ahli fkih Juga merupakan pendapat para ulama penganut mazhab Syaffi, Maliki dan pendapat terkuat dalam mazhab Hanbali. Pendapat senada juga datang dari mayoritas Ahlul Bait. Ibnu Taimiyah juga sependapat dengan mereka.
Pendapat ini dinukilkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Fatimah putri Rasulullah Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam radhiyallahu ‘anhum. Pendapat senada juga dari al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah Ibnu Zubair, Atha’, az-Zuhri, Ishaq, Abu Tsaur dan lain-lain.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Seluruh ulama ahli hadis dan ahli fikih serta mayoritas ulama Ahlussunnah berpendapat bahwa aqiqah adalah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘aleyhi wa Sallam.”
Dalil-dalil pendapat pertama
Mayoritas ulama yang menyatakan bahwa hukum ibadah aqiqah sunnah memiliki dalil-dalil sebagai berikut.
(1) Dari Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya dan singkirkanlah kotoran darinya.”
(2) Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya; disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur rambutnya dan diberi nama.”
(3) Dari Ummu Kurz al:Ka’biyyah radhiyallahu ‘anha berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.”
(4) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain.”
(5) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan mereka untuk anak-laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor.”
Mayoritas ulama menyatakan bahwa hadis-hadis di atas ini menunjukkan bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah yang dikukuhkan oleh Nabi hallallahu ‘alayhi wa Sallam melalui sabda dan perbuatan beliau, yakni beliau mengaqiqahi Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma.
Mereka juga mengatakan bahwa perintail dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha ‘Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan mereka…’ adalah anjuran, bukan wajib. Buktinya, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyerahkannya kepada keinginan dan pilihan seorang Muslim. Selama ada pilihan seperti ini, hukumnya tidak wajib. Dalam hadis dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu berkata:
Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah.
Beliau menjawab, “Allah tidak suka ‘uquq (kedurhakaan)” Sepertinya beliau tidak suka istilah ini. Beliau bersabda, “Barang siapa yang mendapat anak lalu ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya.“
Mereka juga mengatakan bahwa jika aqiqah hukumnya wajib, tentu kewajibannya sudah umum. Sebab, pengetahuan tentang suatu kewajiban dalam ajaran agama sangat dibutuhkan dan akan berisiko tinggi apabila pengetahuan tersebut tidak tidak ada. Rasulullah Shallall ahu ‘alayhi wa Sallam pasti akan menjelaskan kewajiban ini kepada umat beliau sejelas-jelasnya, agar tidak ada lagi alasan untuk menyangkalnya.
(6) Mereka juga berargumentasi dengan konsensus (ijmak) bahwa hukum ibadah aqiqah adalah sunnah. Ibnu Qudamah mengatakan, “Dan konsensus para ulama. Abu Zinad mengatakan, ‘Aqiqah adalah perkara yang kaum Muslimin tidak suka meninggalkannya.” Pernyataan Abu Zinad bahwa aqiqah adalah perkara kaum Muslimin; artinya aqiqah boleh ditinggalkan dan tidak wajib oleh syariat. Seandainya aqiqah hukumnya wajib, tentu mereka tidak akan meninggalkannya. Karena, meninggalkan kewajiban hukumnya haram, bukan sekadar tidak disukai (makruh).
(7) Mereka katakan bahwa aqiqah adalah menyembelih hewan untuk merayakan sesuatu. Sehingga, tidak bisa dikatakan hukum ibadah aqiqah wajib. Sama seperti pesta pernikahan dan jamuan makan.
Mereka juga menyatakan bahwa walaupun Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam melakukannya, tidak menunjukkan suatu kewajiban. Tapi, menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya sunnah.
Mereka mengatakan bahwa aqiqah adalah menumpahkan darah bukan karena denda atau nazar. Sehingga, hukumnya tidak wajib. Sama seperti qurban.
Pendapat kedua:
aqiqah hukumnya wajib. Ini adalah pendapat para ulama penganut paham Zhahiriyah oleh Dawud bin Ali dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dinukilkan dari Buraidah Ibnul Hushaib al-Aslami dan Abu Zinad radhiyallahu ‘anhuma yang berasal dari kalangan sahabat. Juga merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri dengan catatan bahwa kewajibannya hanya untuk anak laki-laki, tanpa anak perempuan. Kewajiban aqiqah juga merupakan salah satu riwayat dalam pendapat Imam Ahmad dan oleh sekelompok ulama penganut mazhab Hanbali. Pendapat senada juga oleh asy-Syaikh al-Albani yang berasal dari kalangan ahli hadis.
Dalil-dalil pendapat kedua
Para ulama penganut paham Zhahiriyah menyatakan bahwa aqiqah hukumnya wajib berdasarkan argumentasi sebagai berikut:
(1) Hadis Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu yang lalu: “Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya…“
(2) Hadis Ummu Kurz radhiyallahu ‘anha yang lalu: “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.“
(3) Hadis Samurah radhiyallahu ‘anhu yang lalu: “Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya…“
Hadis-hadis di atas dibawakan oleh Ibnu Hazm berikut sanadnya dengan beberapa riwayat, kemudian dia katakan, “Hadis-hadis ini adalah teks dalil yang mendasari pendapat kami. Juga merupakan pendapat sekelompok ulama Salaf.”
Setelah itu, dia membawakan beberapa atsar dari sekelompok ulama, antara lain: Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar, Ibnu Abbas, Atha’, Ibnu Umar dan Buraidah al-Aslami yang perkataannya dikutip sehagai berikut, “Umat manusia kelak di hari kiamat dihadapkan pada perkara aqiqah sama persis seperti dihadapkan pada perkara shalat lima waktu.”
Kemudian dia lanjutkan, Perintah beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam melaksanakan aqiqah sifatnya wajib seperti yang telah kami jelaskan di atas. Tidak halal hukumnya bagi siapa saja untuk beranggapan bahwa perintah-perintah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam boleh ditinggalkan, kecuali apabila ada teks hadis lain yang menjelaskannya. Jika tidak, anggapan tersebut adalah dusta dan melakukan sesuatu tanpa dasar pijakan pengetahuan yang benar. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam telah bersabda,
“Apabila aku memerintabkan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.”
Ini adalah argumentasi Ibnu Hazm dalam mewajibkan aqiqah.
(4) Argumentasi Ibnu Hazm yang lain atas wajibnya hukum aqiqah adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan sekaligus melakukannya. Beliau bersabda (alghulaamu murtahinun biaqiiqatihi) ‘Seorang anak tergadaikan pada aqiqahnya‘ dan (ma’al ghulaami ‘aqiiqatihi) ‘Seorang anak terkait dengan aqiqahnya.” Mereka menyatakan bahwa hadis ini mendasari wajibnya aqiqah dari dua sisi; Pertama, sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam (ma’al ghulaami ‘aqiiqatihi) ‘Seorang anak terkait dengan aqiqahnya’ bukanlah pemberitahuan tentang peristiwa yang sedang terjadi, tapi merupakan kewajiban. Kemudian, beliau memerintahkan mereka untuk melakukan tahap berikutnya. Beliau bersabda (ahriiquu ‘anhu damaan) ‘Tumpahkanlah darah untuknya.’
(5) Mereka juga berargumentasi dengan hadis ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan untuk memberi nama bayi pada hari ketujuh kelahirannya, membersihkan kotoran darinya dan menyembelih hewan.”
(6) Mereka juga berargumentasi dengan hadis Yusuf bin Mahik bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitahukan kepada mereka bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor.“
Pelasan dari kedua hadis ini adalah bahwa di dalam keduannya dapat perintah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam untuk melakukan aqiqah, dan pada dasarnya yang namanya perintah hukumnya wajib.
(7) Mereka juga berargumentasi dengan hadis Yazid bin ‘Abd al-Muzani dari bapaknya bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak boleh diaqiqahi, tapi kepalanya jangan diolesi darah (hewan sembelihannya).”
Mereka katakan bahwa hadis ini adalah perintah dalam bentuk berita.