Hukum Aqiqah Setelah Hari Ketujuh

Hukum Aqiqah Setelah Hari Ketujuh

Sunnah Aqiqah – Ada tiga pendapat di kalangan para ahli fikih terkait hukum aqiqah setelah hari ketujuh.

Pendapat pertama:

tidak boleh menyembelih hewan aqiqah sebelum hari ketujuh. Pendapat inilah yang masyhur di kalangan ulama  mazhab Imam Malik. Pendapat senada juga datang dari oleh Amir ash-Shan’ani, al-Mubarakfuri dan penulis kitab ‘Aunul Ma’bid.

Dalil mereka adalah hadis-hadis yang mencantumkan ketentuan penyembelihan hewan aqiqah pada hari ketujuh kelahiran di dalamnya. Al-Mubarakfuri mengatakan, Jelas bahwa aqiqah ditentukan waktunya pada hari ketujuh kelahiran. Dengan demikian, pendapat Imam Malik adalah pendapat yang benar, Wallahu Ta’ala a’lam

Sedangkan riwayat yang menyebutkan tujuh hari kedua dan tujuh hari ketiga adalah riwayat yang dhaif.

Pendapat kedua:

boleh melaksanakan aqiqah pada tujuh hari kedua (yaitu hari keempat belas) atau tujuh hari ketiga (hari kedua puluh satu), tetapi tidak boleh setelah itu. Pendapat ini dinukilkan dari Aisyah dan Ishaq serta merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Syafii. Juga merupakan riwayat Ibnu Habib dari Imam malik. 

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr hanya menyebutkan tujuh hari kedua saja seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari Malik. Selain itu, juga merupakan salah satu versi Syarah al-Kharasyi 3/47 – riwayat pendapat Imam Ahmad. Shalih bin Ahmad mengatakan: Bapakku berkata tentang aqiqah, “Menyembelih pada hari ketujuh. Apabila tidak sempat, maka pada hari keempat belas. Apabila tidak sempat, maka pada hari kedua puluh satu.

Setelah membawakan hadis Samurah di atas, Imam at-Tirmidzi mengatakan, “Hadis ini menjadi dasar amalan menurut seluruh ulama. Mereka menganjurkan penyembelihan hewan aqiqah untuk bayi dilakukan pada hari ketujuh kelahirannya. Apabila tidak sanggup pada hari ketujuh, maka dilakukan pada hari keempat belas. Apabila tidak sanggup, maka dilakukan pada hari kedua puluh satu.” Atha’ mengatakan, “Kalau mereka tidak sempat melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh pertama, aku berharap mereka melakukannya pada hari kelujuh berikutiya.

Ibnu Wahb dari kalangan ulama penganut mazhab Maliki mengatakan,

aqiqah setelah hari ketujuhTidak apa-apa melaksanakan aqiqah pada tujuh hari ketiga.” Argumentasi mereka berdasar pada hadis yang  oleh al-Baihaqi riwayatkan dengan sanadnya dari Ismail bin Muslim, dari Qatadah, dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayli wa Sallam bersabda,

“Hewan aqiqah disembelih pada hari ketujuh kelahiran, atau hari keempat belas, atau hari kedua puluh satu.” Diriwayatkan oleh al-Baihaqi.

Al-Hafizh Ibnu hajar menyebutkan bahwa ath-Thabrani meriwayatkannya dari jalur Ismail bin Muslim, dari Abdullah bin Buraidah, Ismail ini dhaif, dan ath-Thabrani menyebutkan bahwa dia meriwayatkannya secara eksklusif. Ini dhaif sebagaimana yang oleh asy-Syaikh al-Albani katakan.

Hadis ini juga secara mauquf dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang oleh al-Hakim riwayatkan  dalam kitab Mustadrak-nya dengan sanad dari Atha’, dari Ummu Kurz dan Abu Kurz berkata: Seorang wanita dari keluarga Abdurrahman bin Abi Bakar bernazar, “Apabila istri Abdurrabman melahirkan seorang bayi, akan kami sembelihkan untuknya seekor unta.” Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, tidak. As-Sunnah lebih baik; untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor. Potong mengikuti ruas sendi dan tidak boleh mematahkan tulangnya. Konsumsi sendiri, membagi-bagikan dan mensedekahkan. Hendaknya melakukan itu pada hari ketujuh kelahiran. Kalau tidak sempat, maka hari keempat belas. Kalau tidak sempat, maka hari kedua puluh satu.

Asy-Syaikh al-Albani mengatakan,

Seluruh perawinya tsiqah dan cukup terkenal. Merupakan para perawi Muslim selain Ibrahim bin Abdillah as-Sa’di an-Naisaburi yang shaduqto sebagaimana oleh adz-Dzahabi dalam kitab Mizanul I’tidal, dan selain Abu Abdillah Muhammad bin Ya’qub asy-Syaibani yang merupakan ulama besar dan penulis ternama yang dikenal dengan sebutan Ibnul Ahzam (meninggal dunia tahun 344H) 

Pendapat ini juga merupakan versi lain pendapat para ulama penganut mazhab Hanbali. Al-Murdawi mengatakan, Catatan: kalimat ‘kalau tidak sempat‘ artinya aqiqah tidak melaksanakannya pada tujuh hari pertama kelahiran. Kalau masih tidak sempat, maka pada masa dua puluh satu hari’ Artinya, setelah hari kedua puluh satu tidak perlu lagi memperhatikan kelipatan minggu dan boleh melaksanakan aqiqah di hari apa pun.

Ini adalah salah satu pendapat yang tampaknya merupakan pendapat banyak sejawat kami dan dishahihkan oleh Ibnu Razin dalam syarahnya. Saya katakan: Inilah yang benar. Dalam kitab Ar-Ri’ayah al-Kubra menyebutkan, “Kalau tidak sempat, maka pada masa dua puluh satu hari atau setelahnya.” Dalam kitab Al-Kaft menyebutkan, “Apabila menunda setelah hari kedua puluh satu, maka boleh menyembelihaya kapan saja. Karena, penyebabnya sudah terealisasikan.”

Asy-Syaikh Ibnu Qudamah al-Maqdisi mengatakan,

Jika menyembelihnya sebelum atau sesudahnya, maka hal itu sah. Sebab, tujuannya sudah tercapai. Apabila melampaui dua puluh satu hari, maka kemungkinannya adalah menganjurkan setiap kelipatan tujuh hari. Yaitu pada hari kedua puluh delapan. Kalau masih tidak sempat, maka pada hari ketiga puluh lima. Kemungkinan yang lain adalah boleh setiap saat, sebab merupakan qadha’ amalan yang belum dilakukan, sehingga tidak berhenti karena alasan waktu. Sama halnya seperti qadha’, qurban dan lain sebagainya. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm azh-Zhahiri, al-Laits bin Sa’ad dan Muhammad bin Sirin.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa al-Laits bin Sa’ad berkata, “Mengaqiqahi bayi selama tenggang waktu tujuh hari pertama kelahirannya. Apabila sampai hari ketujuh orangtua tidak melaksanakannya, maka tidak apa-apa melaksanakannya setelah itu. Tapi, melaksanakan aqiqah setelah tujuh hari pertama kelahiran si bayi hukumnya tidak wajib.” Ibnu Hazm mengatakan, “Apabila tidak menyembelih pada hari ketujuh kelahiran si bayi, boleh menyembelihnya setelah itu kapan saja selama memungkinkan. Tapi, hukumnya tetap wajib.”

Hukum Aqiqah bila Bayi Meninggal Dunia Sebelum Hari Ketujuh Ada tiga pendapat di kalangan ahli fikih dalam masalah ini.

Pendapat pertama: Sunnah untuk melaksanakan aqiqah untuk bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh kelahirannya. Ini adalah pendapat para ulama penganut mazhab Syaft’i. An-Nawawi meng Apabila bayi meninggal dunia sebelum tujuh hari dari masa kelah menurut kami sunnah untuk melaksanakan ibadah aqiqah.

Pendapat kedua: Ibnu Hazm mengatakan bahwa aqiqah untuk bayi tetap harus melaksanakannya apabila si bayi tersebut meninggal dunia, baik sebelum atau sesudah tujuh hari masa kelahirannya.

Pendapat ketiga: para ulama penganut mazhab Maliki mengarakan bahwa aqiqah untuk bayi tidak menjadi sunnah apabila si bayi meninggal dunia sebelum hari ketujuh kelahirannya. Lalu pendapat senada juga datang dari oleh para ulama penganut mazhab Hanbali dan al-Hasan al-Bashri. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin mendukung pendapat sunnahnya aqiqah untuk bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh kelahiran.