Ucapan Selamat Kepada Keluarga yang Baru Mendapatkan Bayi

Ucapan Selamat Kepada Keluarga yang Baru Mendapatkan Bayi

Sunnah Aqiqah – Kehadiran sang buah hati merupakan berkah yang sangat para orang tua nantikan. Sehingga ketika si kecil lahir, kebahagiaan yang luar biasa menghampiri Ayah dan Bunda sebagai orang tua. Banyak kebutuhan yang Ayah dan Bunda persiapkan sedari menunggu kelahirannya, hingga kebutuhan pasca melahirkan. Selain itu para keluarga dan kerabat pun turut berbahagia ketika Ayah dan Bunda baru mendapatkan bayi. Sehingga banyak yang memberikan ucapan selamat serta doa-doa kebaikan untuk sang bayi.

Tahukah Ayah/Bunda bahwa menyampaikan ucapan selamat kepada kerabat atau keluarga kita yang baru saja melahirkan buah hatinya adalah sesuatu yang menjadi anjuran. Selama ini dalam kehidupan bermasyarakat kita sebenarnya sudah sering kita praktekkan. Kita sering memberikan ucapan selamat kepada keluarga, sahabat hingga tetangga kita yang baru saja melahirkan bayi. Begitu pula sebaliknya Ayah dan Bunda akan mendapatkan ucapan selamat dan doa ketika baru melahirkan buah hati. Anjuran untuk memberikan ucapan selamat tersebut menurut sebagian besar ulama ahli fikih adalah boleh.

Dalam buku Ensiklopedi Aqiqah karya Dr. Husamudin Bin Musa’afanah, bahwasanya Imam an-Nawawi berkata:

Merupakan sunnah untuk memberi ucapan Selamat kepada keluarga yang baru mendapat anak. Para sejawat kami mengatakan “Disunnahkan untuk memberi ucapan selamat kepada keluarga yang baru mendapatkan anak dengan ucapan yang diajarkan oleh al-Husain radhiallahu’anhu.” Dia (al-Husain) berkata, “ucapkanlah:

Barakallahu laka fil mauhuubi laka wa syakartal wahib wa balagha asyuddu wa ruziqta birrahu

Ucapan doa tersebut berarti, Semoga Allah memberkatimu pada karunia-Nya kepadamu sehingga engkau bersyukur kepada Dzat yang telah memberimu karunia ini, dan semoga anak ini dapat mencapai usia baligh sehingga engkau mendapatkan baktinya”

ucapan selamatBukan hanya norma lingkungan sosial kita saja yang menganjurkan kita untuk memberikan ucapan selamat kepada keluarga maupun tetangga yang baru saja melahirkan bayi. Dalam Islam pun menganjurkan untuk melakukan hal tersebut. Jadi Ayah dan Bunda pastikan untuk memberikan ucapan selamat dan doa, seperti yang menjadi anjuran di atas, kepada keluarga yang baru mendapatkan bayi. Agar nantinya Ayah dan Bunda pun akan mendapatkan perlakuan yang sama.

Selain memberikan ucapan doa, tentunya ucapan dan doa tersebut perlu mendapatkan balasan ucapan dan doa yang serupa. Balasan tersebut bisa berupa ucapan terima kasih ataupun doa terbaik untuk mereka. Sehingga bagi pihak yang baru saja melahirkan bayi dan mencapai ucapan selamat. Masih dalam buku Ensiklopedi Aqiqah yang sama, Ayah dan Bunda juga sunnah untuk membalas dengan ucapan:

Barakallahu laka wa baraka’alaika (Semoga Allah memberkatimu dan memberkati usahamu)

Jazakallahu khairan wa razaqakallahu mitslahu (Semoga Allah memberimu pahala dan karunia yang saman)

Ajzalallahu tsawabaka (Semoga Allah memberimu pahala yang besar)

Silahkan Ayah dan Bunda memilih ucapan terima kasih mana yang Ayah/Bunda inginkan. Semua ucapan balasan tersebut di atas sama baiknya. Dengan begitu baik pihak yang baru mendapatkan karunia buah hati dan pihak keluarga yang memberikan selamat saling mendoakan satu sama lainnya. Sebab kebahagiaan yang Ayah dan Bunda rasakan ketika mendapatkan buah hati, yang turut merasakan juga oleh keluarga dan kerabat di sekitar.

Anjuran untuk memberikan ucapan dan doa selamat tersebut secara tidak langsung memberikan dampak positif. Dengan banyaknya ucapan dan doa-doa terbaik dari orang terdekat, akan semakin mempererat tali silaturahmi. Selain itu berharap sang bayi akan tumbuh dengan baik pula sesuai dengan ucapan doa tersebut.

Khitan

Khitan

Sunnah Aqiqah – Ayah bunda, anak-anak sudah pada khitan, atau belum? Jika belum, informasi seputar “ibadah khitan” berikut ini bisa menjadi tambahan referensi bagi ayah bunda yang belum sempat, atau sedang mempersiapkan hajatan sunat untuk buah hati tercinta. 

1. Sejarah Khitan

Istilah khitan berasal dari suku kata bahasa arab, kha-ta-na, yang berarti memotong. Terdapat dua penggunaan istilah yang berbeda berdasarkan jenis kelamin. Yakni, khitan merupakan istilah  untuk anak laki-laki, sedangkan khifadh adalah istilah untuk anak perempuan. 

Khitan, pada permulaannya, merupakan perintah kepada rasul-Nya, Ibrahim alaihisalam. Allah telah menjadikan Ibrahim sebagai contoh bagi seluruh manusia dalam urusan agama, termasuk khitan. Hal ini dalam surah al-baqarah ayat 124,

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 124)

Allah menjadikan Ibrahim alaihisalam dan keturunannya sebagai pemimpin umat manusia (di atas jalan yang lurus). Seluruh tuntunan syari’at pada masa Ibrahim alaihisalam sampai hari ini, merupakan bagian dari agama yang satu – islam.

Khitan sendiri adalah salah satu dari lima sunnah fitrah manusia yang menjadi ketetapan oleh Allah azza wa jalla. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis,

“Ada lima macam fitrah, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhari no. 5891)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Khitan dijadikan sebagai kepala sunnah-sunnah fitrah. Sunnah-sunnah ini termasuk dalam kategori fitrah, karena fitrah adalah hanifiyah ideologi Ibrahim. Sunnah-sunnah ini diperintahkan kepada Ibrahim yang merupakan kalimat-kalimat (perintah dan larangan) yang diujikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. (Qs. Al-Baqarah: 124 – Tafsir)

B. Khitan Sebagai Ibadah

Dalam agama islam, kita mendapat ajaran untuk senantiasa memelihara hubungan yang baik. Apakah itu hubungan dengan Rabb, maupun hubungan dengan sesama makhluk. Dalam menjalin hubungan yang tersebut pun, agama berperan penting dalam mentarbiyah para penganutnya.

Misal, hubungan dengan makhluk. Ada berbagai macam cara dalam agama. Contoh: sebagai sesama manusia kita bisa saling mengunjungi/silaturahmi, memberi hadiah, mengucapkan salam, dll. Hal tersebut merupakan tata cara ajaran agama kepada kita, untuk bisa saling menjaga, dan juga saling memelihara hubungan yang baik dengan sesama makhluk. 

Jika kepada sesama makhluk saja kita harus bisa saling menjaga hubungan dengan baik, lalu, bagaimana dengan Rabb, sang pencipta? Tentunya, agama juga sudah mengajarkan kepada kita, tata caranya. Yakni dengan cara beribadah, antara lain adalah ibadah khitan ini. 

Jadi… dengan melakukan khitan, ayah, bunda beserta seluruh keluarga, telah berupaya menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan semesta alam, Allah azza wa jalla.

  • Pelaksanaan

Khitan menjadi anjuran untuk setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini seperti fatwa para ulama, berdasarkan hadis dari Abu Hurairah r.a,

Bagi laki-laki, memotong ujung bagian kulit kemaluan – yang menutupi kepala zakar. Sementara bagi wanita, memotong ujung dari daging yang menonjol pada bagian vagina, – banyak ataupun sedikit tidak ada ketentuan atas hal tersebut.

  • Hajatan Khitan

Sudah menjadi kearifan budaya lokal kita di indonesia, ibadah-ibadah seperti Haji, Umrah, Aqiqah, Khitan, dan yang lainnya, menyandingkan dengan hajatan tertentu. 

Meski tidak semua orang islam melakukannya, namun bagi sebagian kalangan, ibadah-ibadah tersebut memiliki nilai spiritual yang mendalam, sehingga ketika hari pelaksanaannya tiba, sering sekali di beberapa daerah membuat  hajatan khusus, sebagai wujud ghirah dalam beragama.

Hajatan-hajatan yang tersebut, boleh-boleh saja, sepanjang dalam pelaksanaannya tidak terdapat unsur-unsur yang melanggar ketentuan syariat. Seperti kesyirikan, berlebih-lebihan, menghambur-hamburkan harta, dan lain sebagainya. 

Nah, ayah bunda sendiri bagaimana nih, kira-kira apakah punya rencana membuat hajatan khitan? Tidak harus mengadakan hajatan ya, ayah bunda. Apalagi, kalau sampai terbebani dengan hajatan tersebut, lebih baik adakan dengan seadanya saja. 

Seperti kata Rasulullah sallallahu’alaihi wa salam, agama itu mudah, jadi jangan dipersulit. Terima kasih, Jazakumullahu Khairan Katsiran ayah bunda. Semoga bermanfaat yaa. 

Barakallahufiikum.

Memberi Nama Kepada Bayi

Memberi Nama Kepada Bayi

memberi nama kepada bayiMemberi Nama Kepada Bayi – Nama merupakan salah satu persiapan yang penting bagi kedua orang tua menjelang kelahiran sang buah hati. Bukan hanya menyiapkan ketika si bayi lahir, bahkan mungkin ada di antara Ayah dan Bunda yang sudah menyiapkan terlebih dahulu sejak bayi masih dalam kandungan. Nah seperti apa saja sih nama-nama yang baik untuk anak? semoga artikel berikut ini dapat sedikit membantu Ayah dan Bunda untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pada waktu pelaksanaan aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran, selain menyembelih hewan dan mencukur rambut bayi, ada pula anjuran untuk memberikan nama. Waktu pemberian nama pada hari ketujuh ini sesuai dengan hadits:

Dari Samurah radiyallahuanhu bahwasanya Rasulullah SAW, bersabda: tiap-tiap anak tergadaikan aqiqahnya. Disembelihkan baginya pada hari ketujuh dari kelahirannya, bayi dicukur dan diberi nama.” (HR. Ahmad)

Namun bukan berarti Ayah dan Bunda baru menentukan namanya pada hari ketujuh tersebut. Ayah/Bunda boleh memberikan nama pada hari-hari sebelumnya atau ketika bayi baru lahir. Nanti ketika ibadah aqiqah, pemberian nama tersebut resmi bersamaan dengan penyembelihan hewan dan cukur gundul.

Nama merupakan identitas, sehingga boleh untuk langsung memberikan nama kepada bayi di hari pertama kelahirannya sebagai identitas untuk memperkenalkannya. Boleh juga beberapa hari setelahnya atau pas di hari ketujuh ketika pelaksanaan ibadah aqiqah.

Memilih dan memberikan nama yang baik merupakan hal yang penting untuk  Ayah/Bunda perhatikan. Nama adalah doa, jadi pastikan Ayah dan Bunda untuk memberikan nama yang baik kepada anak. Pada dasarnya dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang pemberian nama. Orang tua bebas untuk memberi anaknya nama apapun. Meskipun demikian jangan sampai asal-asalan dalam memberikan nama.

Sebagai seorang muslim, kita wajib untuk memberikan nama yang baik kepada anak kita. Terdapat beberapa nama yang sunnah untuk diberikan kepada anak.   Sebagaimana yang dalam Syarah an-Nawawi nama yang baik adalah Abdullah dan Abdurrahman. sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Umar ra:

Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa salam bersabda, “sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah ‘Azza wa jalla adalah Abdulla dan Abdurrahman.” (HR. Muslim)

Sejalan dengan hadis di atas, Abu Dawud dan An-Nasai juga meriwayatkan hadis mengenai nama yang baik hingga nama yang buruk. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Pakailah nama para Nabi. Nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman, nama yang paling Jujur adalah Harits (orang yang menanam benih) dan Hammam (orang yang memiliki cita-cita). Nama terburuk adalah Harb (perang) dan Murrah (pahit).”

Seperti yang tulisan Dr. Husamudin Bin Musa’afanah dalam buku Ensiklopedi Aqiqah, bahwa ada nama-nama yang bagi seluruh ulama sepakat haram untuk memakainya. Misalnya Abdurrasul, Abdunnabiy, Abdu ’Amr, Abdu Ali dsb. Sebab nama-nama tersebut menunjukkan penghambaan kepada selain Allah. Selain itu haram juga untuk memberikan nama Raja Diraja atau penguasa dari segala penguasa. Dari Abu Hurairah ra Rasulullah SAW bersabda:

Nama terkeji di sisi Allah adalah seseorang yang memakai nama Raja Diraja (raja segala raja)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain nama-nama yang baik dan nama-nama yang haram, ada pula beberapa nama yang makruh. Misalnya menggunakan nama penguasa yang zalim seperti Fir’aun, Haman, atau Qarun. Atau menggunakan nama-nama tertentu seperti Rabah (untung), Yasar (kiri) atau Aflah (bahagia). Dalam hadis yang oleh Muslim riwayatkan Rasulullah SAW bersabda:

“Jangan namakan anakmu dengan nama Yasar, Rabah, Najih (berhasil), atau Aflah.”

Jadi Ayah dan Bunda, pastikan untuk memberi nama kepada anak dengan nama-nama yang baik. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ada dua n ama yang paling dicintai Allah yaitu Abdullah dan Abdurrahman. Disunnahkan pula untuk memakan nama-nama para nabi, nama-nama orang soleh atau nama yang menunjukkan penghambaan terhadap Allah SWT, seperti nama dari asmaul husna. 

Sebab sekali lagi, memberikan nama kepada anak juga berarti memberikan doa yang mengiringinya seumur hidup. Memakai nama yang baik insyaAllah akan memberikan dampak baik pula kepada sang anak, sehingga menjadikannya pribadi yang soleh dan solehah.

Sunnah Mencukur Rambut Bayi dan Bersedekah Seberat Rambut Tersebut

Sunnah Mencukur Rambut Bayi dan Bersedekah Seberat Rambut Tersebut

Mencukur Rambut Bayi – Dalam melaksanakan ibadah, aqiqah adalah salah satu sunnah yang menjadi anjuran. Hal tersebut merupakan bentuk rasa syukur kita atas karunia berupa buah hati oleh Allah SWT. Salah satu manfaat dalam melaksanakan ibadah aqiqah, khususnya untuk si kecil, adalah untuk menghindari bayi dari gangguan syaitan.

Mencukur rambut adalah salah satu rangkaian acara ketika ibadah aqiqah berlangsung.

Hal tersebut merupakan simbol membersihkan kotoran yang melekat pada sang bayi. Menggelar rangkaian acara cukur rambut ketika ibadah aqiqah merupakan sunnah. Banyak hadis menjelaskan dan para ulama bersepakat bahwa mencukur rambut bayi dan bersedekah dengan perak seberat rambut yang tercukur hukumnya sunnah.

Dikutip dari buku Ensiklopedi Aqiqah karya Dr. Husamudin Bin Musa’afanah, ada beberapa pendapat ulama dan hadis yang menjelaskan mengenai hukum mencukur rambut dan bersedekah seberat rambut tersebut. Yang pertama menurut Asy-Syaikh Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Beliau mengatakan bahwa “Disunnahkan untuk mencukur rambut bayi pada hari ketujuh kelahirannya dan memberi nama berdasarkan hadis Samurah. Apabila ditambah dengan sedekah seberat rambut tersebut, maka itu lebih baik…”

Terkait sunnah memberikan sedekah tersebut tidak ada perbedaan hukum antara anak laki-laki dan anak perempuan. Besarnya sedekah yang diberikan sama-sama bergantung pada berat rambut yang tercukur.

Sejalan dengan hal tersebut, Imam an-Nawawi juga mengatakan,

Disunnahkan untuk mencukur rambut bayi pada hari ketujuh kelahirannya. Para sejawat kami mengatakan bahwa juga disunnahkan untuk bersedekah dengan emas seberat rambut tersebut. Kalau tidak mampu, boleh dengan perak. Dalam hal ini anak-laki maupun perempuan hukumnya sama.”

Selain pendapat dari para ulama, ada juga beberapa hadis yang menjadi dalil sunnah tersebut. Masih bersumber dari dari buku Ensiklopedi Aqiqah yang sama, ada beberapa hadis yang ada terkait dengan sunnah mencukur rambut dan sedekahnya. Antara lain:

Dari samurah ra. berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya; sembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), cukur rambutnya dan beri nama.”

Dari Abu Rafi radhiallahu ‘anhu:

Al-Hasan bin Ali, ketika ibunya melahirkannya, sang ibu ingin mengaqiqahinya dengan seekor domba besar. Dia datang menemui Nabi SAW dan memberitahukan perihal tersebut. Beliau bersabda, “Jangan mengaqiqahnya dengan apa pun. Cukurlah rambut kepalanya, kemudian bersedekahlah dengan perak seberat rambut tersebut di jalan Allah SWT atau untuk orang yang sedang menempuh perjalanan.” Dia melahirkan Husain pada tahun berikutnya dan melakukan hal tersebut.

Dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata:

Rasulullah SAW mengaqiqahi Hasan dengan seekor kambing. Beliau bersabda, “Hai Fatimah, cukurlah rambut kepalanya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambut tersebut.” Kemudian, kami menimbangnya. Ternyata beratnya mencapai satu atau setengah dirham.”

Kemudian untuk hukum mencukur rambut ini bagi anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Salah satu dalil seperti apa yang oleh Malik riwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari bapaknya berkata,

“Fatimah putri Rasulullah SAW menimbang rambut Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kulstsum, kemudian bersedekah dengan perak seberat rambut tersebut.”

Demikianlah beberapa hadis dan dalil mengenai sunnah untuk mencukur rambut bayi ketika ibadah aqiqah dan bersedekah seberat rambut tersebut. Terkait perak untuk sedekah, dari hadis dan dalil di atas kesimpulannya untuk zaman sekarang ini sama kedudukannya dengan uang. Jadi Ayah dan Bunda tidak harus membayar sedekah dengan menggunakan perak, tetapi juga bisa menggantinya dengan uang.

Hikmah Menyuapi Bayi Dengan Kurma

Hikmah Menyuapi Bayi Dengan Kurma

Menyuapi Bayi Dengan Kurma – Kehadiran buah hati merupakan sebuah berkah yang paling Ayah dan Bunda tunggu sebagai orang tua. Setelah sembilan bulan lamanya menunggu, rasa bahagianya semakin lengkap ketika si buah hati lahir. Dalam menyambut kelahiran buah hati banyak persiapan yang Ayah dan Bunda persiapkan. Mulai dari perlengkapan kebutuhan untuk si bayi hingga mempersiapkan ibadah aqiqah. Bahkan sebelum kelahirannya pun bunda sudah mempersiapkan banyak hal selama masa kehamilan dan kebutuhan untuk proses persalinan.

Ibadah Aqiqah merupakan amalan sunnah yang dianjurkan. Bagi Ayah dan Bunda yang baru mendapat karunia buah hati, hendaknya melakukan ibadah aqiqah pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Banyak hikmah dari pelaksanaan ibadah aqiqah ini lho Ayah/Bunda. Ibadah ini merupakan bentuk rasa syukur Ayah dan Bunda sebagai orang tua karena mendapatkan karunia anak. Ibadah aqiqah juga memiliki berbagai manfaat bagi si kecil, salah satunya adalah untuk menghindarkan anak dari gangguan jin.

Dalam ibadah aqiqah ada beberapa rukun yang harus ada seperti, menyembelih hewan aqiqah berupa kambing atau domba. Dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Kemudian ada juga anjuran untuk mencukur rambut bayi dan bersedekah seberat rambut tersebut. Mencukur rambut bertujuan untuk membersihkan segala macam kotoran yang menempel pada tubuh bayi. Selain itu sunnah juga untuk memberikan nama kepada bayi di hari ketujuh setelah kelahiran atau pada saat pelaksanaan ibadah aqiqah.

Menyuapi Bayi dengan Kurma

menyuapi bayi dengan kurmaNamun apakah Ayah dan Bunda tahu bahwa ada salah satu anjuran dalam menyambut kelahiran si kecil, yaitu menyuapi bayi dengan kurma. Mungkin anjuran ini tidak terlalu umum dalam lingkungan sosial kita, namun ada baiknya untuk Ayah dan Bunda mengetahuinya.

Dikutip dalam buku Ensiklopedi Aqiqah karya Dr. Husamudin Bin Musa’afanah, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Hal ini dilakukan pada bayi agar dapat berlatih dan kuat makan”. Namun pendapat tersebut masih belum begitu jelas terkait waktunya. Al-Aini, pensyarah Sahih Bukhari, mengkritik pendapatnya dengan mengatakan, “kapan selisih waktu antara menyuapi dengan makan? bukankah seorang bayi yang lahir biasanya baru mulai makan setelah berusia dua tahun?

Hikmah dari menyuapi bayi dengan kurma adalah harapan akan keimanan. Sebab, kurma rasanya manis dan merupakan buah dari pohon yang diserupakan oleh Rasulullah SAW dengan diri seorang muslim dan iman. Anjuran untuk menyuapi bayi dengan kurma akan lebih baik jika yang menyuapinya berasal dari kalangan ulama dan orang-orang soleh.

Hal ini seperti apa yang pernah oleh Rasulullah SAW yang menyuapi Abdullah Ibnu Zubair, Al-Hafizh Ibnu Zubair mengatakan “Bagaimana Abdullah Ibnu Zubair menjadi seorang yang terkemuka dan memiliki berbagai keutamaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Dia adalah orang yang hafal Al-Quran dan pandai menjaga diri dalam Islam. Demikian juga dengan Abdullah bin Abi Thalhah yang menjadi seorang ulama terkemuka dan memiliki banyak sekali keutamaan.”

Demikianlah Ayah/Bunda informasi singkat mengenai anjuran dan hikmah untuk menyuapi bayi dengan kurma. Ayah dan Bunda bisa melakukannya sendiri, tetapi akan lebih baik jika yang menyuapinya adalah dari kalangan ulama atau orang yang saleh. Jika bukan laki-laki, maka bisa oleh perempuan yang soleh. Hal ini agar menjadi harapan kelak si bayi akan menjadi anak yang baik dan soleh/ah.

Sekian, semoga informasi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan Ayah dan Bunda, khususnya terkait sunnah dalam menyambut kelahiran si buah hati.

Membaca Azan di Telinga Bayi

Membaca Azan di Telinga Bayi

Ibadah Aqiqah – Sunnah untuk membaca azan di telinga kanan bayi dan iqamat di telinga kirinya, baik laki-laki maupun perempuan. Lafal adzan yang sama dengan lafal untuk shalat. Hal tersebut tepat pada hari si bayi lahir berdasarkan hadis-hadis berikut:

Dari Abu Rafi ra. berkata, Aku melihat Rasulullah SAW membaca adzan di telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Nabi SAW membaca adzan di telinga Hasan bin Ali sewaktu lahir. Beliau membaca azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (HR. Al-Baihaqi)

Dari Hasan Bin Ali ra. berkata,

Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mendapatkan anak kemudian membaca adzan di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya, niscaya anak tersebut akan terlindungi dari Ummu Shibyan.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Sunni)

Membaca Azan di Telinga BayiHadis ini dhaif, dhaif oleh Ibnu Qayyim.

Tetapi asy-Syaikh al-Albani memandang bahwa hadis ini adalah hadis palsu (maudhu’) yang tidak bisa sebagai syahid untuk hadis-hadis sebelumnya. Beliau sebutkan bahwa hadis ini dalam kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah dan hukumnya palsu. Beliau berbicara panjang lebar tentang sanadnya dan menyebutkan siapa yang meriwayatkannya, kemudian mengatakan:

Kepalsuan hadis ini tidak diketahui oleh sebagian ulama yang membuat karya tulis tentang zikir dan wirid seperti Imam an-Nawawi rahimahullah. Beliau membawakannya dalam kitab dengan meriwayatkan Ibnu Sunni tanpa menunjukkan walau pada kedhaifannya sekalipun. Pensyarahnya, yaitu Ibnu ‘Allan 6/95, juga diam dan tidak mengomentari sanadnya sedikitpun.”

Kemudian,

setelah Imam an-Nawawi ada Ibnu Taimiyah yang membawakannya dalam kitab Al-Kalim ath-Thayyib dan diikuti oleh muridnya Ibnu Qayyim yang membawakannya dalam kitab Al-Wabil ash-Shahib. Hanya saja mereka berdua menunjukkan kedhaifannya dalam kedua kitab tersebut. Hal ini walaupun sudah menggugurkan kewajiban untuk tidak berdiam diri dari kedhaifannya, tetap tidak menggugurkan kewajiban untuk tidak membawakannya. Sebab dengan membawanya dalam kitab mereka, menunjukkan bahwa hadis tersebut hanya dhaif saja dan bukan palsu.

Kemudian setelah mereka, ada ulama yang tertipu dengan apa yang mereka berdua lakukan ini, padahal mereka berdua adalah Imam yang agung, sehingga mengatakan, “tidak apa-apa. Hadis ini dhaif dan masih bisa digunakan untuk fadha’ul ‘amal.” Atau menganggapnya sebagai syahid hadis dhaif lainnya sebagai pendukung tanpa memperhatikan bahwa syarat menjadi syahid adalah tingkat kedhaifannya tidak fatal. Saya pribadi telah membuktikan hal ini. At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dengan sanad yang dhaif dari Abu Rafi ra. berkata,

Aku melihat Rasulullah SAW membaca azan shalat di telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya.”

Komentar at-Tirmidzi, “Hadis shahih dan menjadi dasar amalan.” Pensyarahnya, yaitu al-Mubarakfuri, setelah menjelaskan sisi kedhaifan sanadnya berdasarkan pernyataan para ulama ahli hadis dalam riwayat Ashim bin Ubaidillah, dia katakan, “Apabila anda bertanya; bagaimana mungkin hadis ini menjadi dasar amalan dengan kedhaifannya itu? Saya jawab; memang benar hadis ini dhaif. Tetapi, hadis ini didukung oleh hadis Husain bin Ali ra. yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mushili dan Ibnu Sunni.”

Memang benar, hadis Abu Rafi dapat menjadi kuatkan. Yaitu dengan hadis Ibnu Abbas ra.

Bahwasanya Nabi SAW membaca azan di telinga Hasan bin Ali sewaktu lahir. Beliau membaca azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.”

al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Syu’abul Iman bersama dengan hadis Hasan bin Ali ra. dengan komentar, “Sanadnya dhaif.”  oleh Ibnu Qayyim menyebutkan dalam kitab Tuhfatul Maudud halaman 16.

Saya Katakan: Sanad hadis ini lebih baik daripada sanad hadis Hasan, karena bisa dijadikan sebagai syahid untuk hadis Rafi’, Wallahu a’lam.”

Dari hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan iqamat di telinga kirinya adalah sunnah. Dan hadis tersebut bisa dipakai sebagai penetapan bahwa amal tersebut termasuk dalam kategori fadha’ilil ‘amal.

Bacaan Ketika Menyembelih Hewan Aqiqah

Bacaan Ketika Menyembelih Hewan Aqiqah

Sunnah Aqiqah – Wajib membaca Basmalah ketika menyembelih hewan aqiqah, sama seperti ritual penyembelihan lainnya, Sebab, membaca Basmalah hukumnya wajib ketika melakukan ritual penyembelihan menurut pendapat hampir seluruh ulama. Para ulama penganut mazhab syafi’i memandang hukumnya sunnah mengucapkan Basmalah dalam ritual penyembelihan hewan. Si penyembelih mengucapkan,

Bismillah wallahu Akbar, Allahumma laka wa ilayka, hadzihi ‘aqiqatu Fulan.” (Dengan Nama Allah, Allah Mahabesar. Ya Allah, ini adalah untuk-Mu dan aku persembahkan kepada-Mu. Ini adalah aqiqahnya si Fulan)

Bacaan ini tersebut dalam hadis Aisya ra.

Bahwasanya Nabi SAW mengaqiqahi Hasan dan Husain. Beliau Bersabda, Ucapkanlah Bismillah wallahu akbar, Allahuma laka wa ilayka, hadzihi ‘aqiqatu fulan.” (HR. Baihaqi)

(Dengan Nama Allah. Allah Mahabesar. Ya allah, ini adalah untuk-Mu dan aku persembahkan kepada-Mu. Ini adalah aqiqah si Fulan).

An-Nawawi berkomentar, “Sanadnya hasan.” Dalam riwayat yang lain dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain masing-masing dua ekor kambing pada hari ketujuh kelahiran mereka, memberi nama dan memerintahkan agar kotoran di kepala mereka dihilangkan (rambutnya dicukur). Beliau bersabda, “Sembelihlah dengan nama-Nya. Ucapkanlah; Bismillah, Allahu akbas, minka wa laka, hadzihi ‘aqiqaru fulan (Dengan nama Allah, Allahu Akbar, (Sembelihan ini) dari-Mu dan untuk-Mu. Ini adalah aqiqah si Fulan)…”

Al-Haitsami mengatakan, “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan al-Bazzar secara singkat. Para perawinya adalah para perawi kitab Ash-Shakih selain Syaikhnya Abu Yala yang bernama Ishaq. Saya tidak mengenalnya.”

Tetapi, tidak perlu mengucapkan dengan lidah. Ibnul Mundzir mengatakan, “Apabila berniat aqiqah tanpa mengucapkannya, aqiqahnya sah insya Allah.

Demikianlah pembahasan singkat mengenai hukum bacaan dalam menyembelih hewan aqiqah. Dari dalil-dalil tersebut semoga dapat membantu Ayah dan Bunda lebih mudah memahami dan bisa menjadi tambahan pengetahuan terkait masalah ibadah aqiqah. Untuk informasi lainnya terkain ibadah aqiqah, Ayah Bunda bisa mengikuti terus artikel kami, banyak informasi terkait Parenting, Ibu dan Anak, serta informasi seputar rumah sakit dan fasilitas kesehatan ibu dan anaknya.

Mengaqiqahi Diri Sendiri Setelah Dewasa – Bagian II

Mengaqiqahi Diri Sendiri Setelah Dewasa – Bagian II

Artikel lanjutan dari “Mengaqiqahi Diri Sendiri Setelah Dewasa – Bagian I“.

Kemudian, dia membawakan pernyataan para ulama yang mendhaifkannya maupun yang menganggapnya tsiqah. Setelah itu dia katakan, “Perawi ini termasuk dalam kategori perawi yang apabila membawakan riwayat secara eksklusif, riwayatnya tersebut tidak dapat diterima.”

Saya (al-Albani) katakan:

Pernyataan ini perlu peninjauan kembali dan dapat Anda lihat pada penjelasan kami di atas tentang bagaimana Bukhari membedakan antara riwayat Abdullah Ibnul Mutsanna dari pamannya yang dapat menjadi sebagai hujjah, dengan riwayatnya dari perawi lain. Tolong perhatikan hal ini yang justru kami simpulkan dari uraian al-Hafizh sendiri dalam Mukadimahnya. Mungkin dia lupa ketika membuat pernyataan tersebut. Selain itu, Ibnul Mutsanna tidak meriwayatkan hadis ini secara eksklusif.

Buktinya adalah adanya mutaba’ah Qatadah yang oleh Ismail bin Muslim al-Makki al-Bashri riwayatkan. Perawi ini walaupun dhaif, namun dia tidak tercurigai sebagai pemalsu hadis. Bahkan, sebagian ahli hadis menegaskan bahwa dia hanya sering keliru. Abu Hatim yang tergolong kritikus hadis garis keras berkomentar tentangnya, “Bukan perawi yang matruk. Hadisnya tetap ditulis.” Yaitu sebagai riwayat pendukung dan syahid. Oleh karena itu, Ibnu Sa’ad mengatakan, “Dia berhak berpendapat dan boleh berfatwa. Dia suka berpikir logis dan hafal banyak hadis. Oleh sebab itu, aku menulis hadisnya karena keakuratannya ini.

Saya (al-Albani) katakan: Hadis dari perawi seperti ini bisa menjadi sebagai syahid yang mendukung riwayat hadis di atas.

Sedangkan komentar al-Hafizh tentangnya bahwa mungkin dia mencuri hadis ini, maka komentar tersebut tidak bisa diterima. Sebab, seseorang tidak mendapat kecurigaan sebagai pencuri riwayat hadis apabila banyak pujian kepadanya, Wallahu a’lam.

Dari penjelasan di atas Anda dapat memahami bahwa jalur lain dari Qatadah yang oleh al-Baihaqi sebutkan dalam uraian sebelumnya yang merupakan nukilan dari al-Hafizh dalam kitab At Talkhish al-Habir dengan komentar, “Saya memandangnya tidak marfu“, setelah itu dia memandang nya sebagai riwayat yang manfu’ dalam kitab Fathul Bart. Yaitu riwayat Ismail ini, Wabillahit Taufiq.

mengaqiqahi diri sendiriSetelah ulasan ini jelas bagi Anda, maka Anda dapat menyimpulkan bahwa pernyataan an-Nawawi dalam kitab Al-Majma’ Syarbul Muhadzdzab 8/431-432, “Ini adalah hadis yang batil” dia ketengahkan tanpa melihat jalur periwayatan kedua dan keadaan si perawi Ibnul Mutsanna dalam riwayatnya. Dia juga tidak membaca muiaba’ah tersebut, Wallahu a’lam.

Al-Haitsami mengatakan dalam kitab Majma’uz Zawa’id, “Riwayat dari al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam al-Ausath. Para perawi ath-Thabrani adalah para perawi kitab Ash-Shahth selain al-Haitsam bin Jumail. Tapi, dia tsiqah. Biografi syaikhnya ath-Thabrani, yaitu Ahmad bin Mas’ud al-Khayyath al-Maqdisi tidak terdapat dalam kitab Al-Mizan.

Saya (al-Albani) katakan: Hal ini mengacu pada keserupaan dengan komentar di atas. Padahal, hadis ini memiliki mutaba’ah dari beberapa perawi tsiqah yang antara lain adalah Imam Ahmad.

Hadis ini mendapat dukunga Abdul Haqq al-Isybili dalam kitab Al-Ahkam.

Sebagian ulama salaf juga mengaplikasikannya dalam bentuk amalan. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab Al-Mushannaf 8/235-236 dari Muhammad bin Sirin berkata, “Seandainya aku belum diaqiqahi, tentu aku akan melaksanakan agigah untuk diriku sendiri.” Sanadnya shahih apabila Asy’ats, perawi atsar ini dari Ibnu Sirin, adalah Ibnu Abdillah al-Haddani atau Ibnu Abdil Malik al-Humrani. Kedua orang ini berasal dari kota Bashrah dan tsiqah. Tetapi, kalau dia adalah Ibnu Siwar al-Kufi, maka atsar ini dhaif. Mereka bertiga meriwayatkan dari Ibnu Sirin. Perawi dari mereka adalah Hafsh (yaitu Ibnu Ghiyats) yang merupakan perawi atsar ini dari Asy’ats!

Ibnu Hazm menyebutkan dalam kitab Al-Muhalla 8/322 dari jalur ar-Rubayyi’ bin Shabih dari al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Apabila Anda belum aqiqah, maka aqiqahilah diri Anda sendiri walaupun Anda sudah dewasa.” Sanad ini hasan.”

Pendapat kedua:

tidak perlu mengaqiqahi diri sendiri. Pendapat ini datang dari oleh para ulama penganut mazhab Maliki. Mereka mengatakan bahwa aqiqah untuk orang dewasa tidak ada di kota Madinah. Ini juga merupakan versi lain pendapat Imam Ahmad dan dinisbatkan kepada Imam asy-Syaff’i. Penisbatan ini mrndapat penyangkalan oleh Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar dan lain-lain. Pendapat asy-Syafi’i yang benar adalah seperti yang saya sebutkan di atas.

  • Dalil-dalil pendapat kedua

Mereka mengatakan bahwa aqiqah menjadi syariat atas orang tua, sehingga tidak perlu melakukannya bagi anak setelah dia mencapai usia baligh. Maka, Sunnah ini ditetapkan atas orang lain. Mereka juga mengatakan bahwa hadis yang menjadi sebagai dasar argumentasi pendapat pertama tidak shahih seperti yang telah berlalu penjelasannya. Kalaupun shahih, merupakan kekhususan bagi Rasulullah Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam.

  • Studi banding dan tarjih

Hadis yang menjadi dasar argumentasi pendapat pertama masih ada perdebatan keabsahannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Banyak kalangan ulama yang menganggapnya dhaif. Sebagian ulama lainnya menganggapnya shahih dan menjadi sebagai dasar hujjah, sehingga bisa menjadi dasar bolehnya seseorang mengaqiqahi diri sendiri setelah dewasa apabila belum pernah diaqiqahi semasa kecilnya. Sedangkan pernyataan bahwa kalau hadis ini shahih adalah kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘ alayhi wa Sallam, maka itu adalah pernyataan yang memerlukan dalil. Saya tidak menemukan dalilnya. Di samping itu, tidak ada larangan untuk melaksanakan aqiqah setelah dewasa. Bahkan, ada beberapa atsar dari para ulama salaf yang justru memperbolehkannya, antara lain:

  • Al-Hasan al-Bashri berkata, “Apabila Anda belum diaqiqahi, maka aqiqahilah diri Anda sendiri walaupun Anda sudah dewasa.
  • Muhammad bin Sirin berkata, “Aku mengaqiqahi diriku sendiri dengan menyembelih seekor unta betina setelah aku dewasa.”
  • Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menganggap baik apabila seseorang di masa kecilnya belum pernah diaqiqahi untuk mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa. Beliau katakan, “Kalau ada orang yang melakukannya, aku tidak menganggapnya makruh.”

Berdasarkan penjelasan di atas, kesimpulannya bahwa tidak apa-apa seseorang mengaqiqahi sendiri setelah dewasa apabila belum pernah aqiqah semasa kecilnya, Wallahu alam.

Mengaqiqahi Diri Sendiri Setelah Dewasa – Bagian I

Mengaqiqahi Diri Sendiri Setelah Dewasa – Bagian I

Bagi orang yang belum aqiqah ketika masih bayi; bolehkah mengaqiqahi diri sendiri setelah dewasa? Ada dua pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama: Sunnah bagi orang yang belum aqiqah sewaktu kecil untuk mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa. Pendapat ini datang dari oleh Atha’, al-Hasan dan Muhammad bin Sirin. Al-Hafizh al-Iraqi menyebutkan bahwa Imam asy-Syaft’i memandang bahwa dia boleh memilih antara mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. Al-Qaffal asy-Syasyi dari kalangan ulama penganut mazhab Syafl’i lebih condong pada anjuran untuk mengaqiqahi diri sendiri setelah dewasa. Pendapat ini juga merupakan salah-satu riwayat pendapat Imam Ahmad. Asy-Syaukani juga berpendapat demikian berdasarkan kesahihan hadis yang akan tersebutkan nanti.

  • Dalil-dalil pendapat pertama

Mereka mendasari pendapat yang mereka kemukakan dengan hadis, Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi diri beliau sendiri setelah kenabian.”

Hadis ini banyak yang membicarakan secara panjang-lebar oleh para ahli hadis. Di sini akan saya paparkan secara ringkas. Hadis ini diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Abdullah bin Muhar dari Qatadah, dari Anas radhiyallahu ‘anhu.

Ada juga riwayat oleh al-Baihaqi dengan sanadnya dari Abdullah bin Muhartir, dari Qatadah dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi diri beliau sendiri setelah kenabian.”

‘Abdurrazzaq mengatakan, “Mereka meninggalkan Abdullah bin Muharrir lantaran hadisnya ini.” Kemudian dia lanjutkan, “Hadis ini juga ada riwayat dari jalur yang lain dari Qatadah dan jalur yang lain lagi dari Anas. Tapi, kedua jalur ini bukan apa-apa.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Sepertinya dengan perkataannya ini dia ingin menunjukkan bahwa hadis yang ditiwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi diri beliau sendiri setelah kenabian tidak shahth, dan memaing demikian adanya”. Riwayatoleh al-Bazzar dari riwayat Abdullah bin Muharrir, dari Qatadah, dari Anas. Al-Bazar mengatakan, “Ada riwayat secara eksklusif oleh Abdullah dan dia dhaif“.

Ada juga riwayat oleh Abusy Syaikh dari dua jalur yang lain. Yang pertama dari jalur riwayat Ismail bin Muslim dari Qatadah. Ismail ini juga dhaif. ‘Abdurrazzaq mengatakan, “Mereka meninggalkan Abdullah bin Muharrir lantaran hadisnya ini.” Mungkin, Ismail mencuri riwayat hadis ini darinya. Kedua; dari jalur riwayat Abu Bakar al-Mustamli dari al-Haitsam bin Jumail dan Dawud Ibnul Mihbar berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnul Mutsanna dari Tsumamah dari Anas. Dawud ini dhaif. Tetapi, al-Haitsam tsiqah dan Abdullah termasuk salah-satu perawi Bukhar. Sehingga, dengan demikian hadis ini sanadnya kuat.

Datang juga riwayat oleh Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman dari Ibrahim bin Ishaq as-Sarraj dari ‘Amr an-Naqid.

Oleh ath-Thabrani meriwayatkan dalam kitab Al-Mujam al-Ausath dari Ahmad bin Mas’ud, keduanya dari al-Haitsam bin Jumail secara eksklusif. Seandainya pada diri Abdullah Ibnul Mutsanna tidak ada kritik seputar keterpercayaannya, tentu hadis ini shahih. Akan tetapi, Ibnu Ma’in mengatakan tentangnya, “Bukan siapa-siapa.” An-Nasa’i mengatakan, “Tidak kuat.” Abu Dawud mengatakan, “Aku tidak mau meriwayatkan hadisnya.” As-Saji mengatakan, “Ada kelemahan padanya, bukan termasuk ahli hadis dan sering membawakan riwayat munkar.” Al-Uqaili mengatakan, “Mayoritas hadisnya tidak layak mendapatkan mutaba’ah.” Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsigat mengatakan, “Mungkin dia keliru.” Namun, dia dianggap tsiqah oleh al-‘Ajali, at-Tirmidzi dan lain-lain. Perawi ini termasuk dalam kategori perawi yang apabila membawakan riwayat secara eksklusif, riwayatnya tersebut tidak dapat diterima.

Al-Hafizh adh-Dhiya’ hanya memandang pada eksplisitas sanadnya dan memasukkan hadis ini dalam kategori hadis-hadis pilihan yang tidak terdapat dalam Ash-Shahihain dalam kitabnya Al-Ahadits al-Mukhtarah mimma Laisa fish Shahthain. Dengan demikian, bisa bahwa apabila hadis ini memang shahih, berarti termasuk dalam kategori kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sebagaimana yang mereka kemukakan tentang penyembelihan hewan qurban yang beliau lakukan untuk orang-orang dari kalangan umat beliau yang tidak mampu menyembelih qurban.  Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Abdullah bin Muharrir, hadisnya bukan hujjah.” An-Nawawi mengatakan, “Hadis ini batil. Al-Baihaqt mengatakan, ‘Hadis ini munkar… Ini adalah hadis yang batil. Abdullah bin Muharrir dhaif dan disepakati kedhaifannya.’ Para ahli hadis mengatakan bahwa dia matruk.

Al-Hafizh Abu Zur’ah al-Iraqi mengatakan,

Hadis ini memiliki jalur lain yang cukup baik. Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu Hazm dari riwayat al-Haitsam bin Jumail, dari Abdullah Ibnul Mutsanna, dari Tsumamah, dari Anas.”

Pada biografi Abdullah bin Muharrir, adz-Dzahabi menyebutkan bahwa dia itu matruk. Salah satu kekeliruannya yang fatal adalah dia meriwayatkan dari Qatadah, dari Anas bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi diri beliau sendiri setelah menjadi Nabi.

Al-Haitsami mengatakan, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam kitab Al-Mujam al-Ausath. Para perawi ath-Thabrani adalah para perawi kitab Ash-Shahth selain al-Haitsam bin Jumail. Tapi, dia tsiqah. Biografi syaikhnya ath-Thabrani, yaitu Abmad bin Mas’ud al-Khayyath al-Maqdisi tidak terdapat dalam kitab Al-Mizan.”

Asy-Syaikh al-Albani mensahinkan hadis ini dalam kitab Silsilah al-Ahadits ash-Shabthah nomor 2726 setelah membicarakannya secara panjang lebar. Beliau menyebutkan bahwa hadis ini memiliki dua buah jalur periwayatan dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Pertama: dari Abdullah bin Muliarrit, dari Qatadah, dari Anas. Kemudian beliau menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan hadis tersebut dari jalur ini serta pendhaifan Mereka terhadapnya. Setelah itu, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Jalur yang lain dari al-Haitsam bin Jumail; Telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnul Mutsanna bin Anas dari Tsumamah bin Anas, dari Anas. Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar 1/461, ath-Thabarani dalam kitab Al-Mujam al-Ausath 1/55/2 nomor 976, Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla 8/321 dan adh-Dhiya’ al-Magdisi dalam kitab Al-Mukhtarah Q 71/1.” 

Saya (al-Albani) katakan: Sanad ini hasan.

Para perawinya sebagai hujjah oleh Bukhari dalam kitab Shahilnya selain al-Haitsam bin Jumail. Tetapi, dia tsiqah, hafizh, termasuk guru Imam Ahmad yang juga meriwayatkan hadis ini darinya sebagaimana oleh al-Khallal dari Abu Dawud berkata, “Aku mendengar Abmad meriwayatkan hadis ini.” Sebagaimana yang ada dalam kitab Ahkamul Maulad karya Ibnul Qayyim, halaman 88 (edisi cetakan) Damaskus. Anehnya, dalam kitab tersebut jalur periwayatan yang ini ada mutaba’ah dengan jalur pertama dan mengatakan: Ahmad berkomentar, “Munkar” dan mendhaifkan Abdullah bin Muharrir tanpa mendhaifkan jalur ini sama sekali.

Demikian juga oleh ath-Thahawi dan Ibnu Hazm. Maka, diamnya mereka dapat menjadi penerimaan mereka terhadap hadis ini, dan memang demikianlah adanya. Sebab, para perawi hadis ini sepakat seluruhnya tsiqah selain Abdullah Ibnul Mutsanna, yaitu Ibnu Abdillah bin Anas bin Malik. Karena, walaupun Bukhari berhujjah dengannya, namun banyak terjadi perbedaan pendapat tentang keterpercayaannya seperti yang ada dalam kitab Ac-Tahdzib dan lain-lain. Adz-Dzahabi menyebutkan namanya dalam kitab Al-Mutakallam fhim bima La Yajibu ar-Radd, halaman 129-190. Sehingga, kesimpulannya bahwa tingkatan perawi ini adalah moderat.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam Mukadimah kitab Fathul Bari halaman 416, bahwa Bukhari tidak berhujjah dengannya kecuali pada riwayatnya dari pamannya Tsumamah. Kalau meriwayatkan dari perawi lain, hanya sebagai mutaba’ah. Saya katakan: Mungkin karena dekatnya hubungan Abdullah dengan pamannya dan pengetahuannya terhadap hadis-hadisnya, sehingga bisa jadi bahwa dia adalah orang yang paling tahu tentang riwayat pamannya itu. Oleh karena itu, Bukhari-seperti yang oleh al-Hafizh–berusaha untuk menyelaraskan antara perkataan para ahli hadis yang menganggap Abdullah tsiqah dengan para ahli hadis yang menganggapnya dhaif. Dalam riwayatnya dari pamannya, dia adalah hujjah. Sementara, dalam riwayatnya dari perawi lain, dia dhaif. Mungkin, inilah yang menyebabkan adh-Dhiya’ al-Maqdisi meriwayatkan hadis ini dalam kitab Al-Mukhtarah dan diamnya sebagian ahli hadis seperti yang telah saya jelaskan di atas.

Terjadi kontradiksi yang cukup mengherankan dalam pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar tentang hadis ini.

Sekali waktu dia menganggapnya kuat. Sementara, di waktu yang lain dia menganggapnya dhaif. Dalam kitab Fathul Bari 9/594-595 dia menukilkan dari Imam ar-Rafi’i bahwa pendapat terpilih dalam aqiqah adalah tidak menundanya hingga mencapai usia baligh. Kalau tidak, sunnah aqiqah tersebut gugur dari orang yang ingin melaksanakannya. Tetapi kalau dia ingin mengaqiqahi dirinya sendiri, itu boleh dilakukan. Setelah itu al-Hafizh mengatakan, “Sepertinya dengan perkataannya ini dia ingin menunjukkan bahwa hadis yang diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi diri beliau sendiri setelah kenabian tidak shakih, dan memang demikian adanya.”

Kemudian, dia membawakannya dari riwayat al-Bazzar yang dhaif lalu mengatakan, ‘Oleh Abusy Syaikh meriwayatkan dari dua jalur yang lain. Yang pertama dari jalur riwayat Ismail bin Muslim dari Qatadah. Ismail ini juga dhaif. Mungkin Ismail mencuri riwayat hadis ini darinya. Kedua; dari jalur riwayat Abu Bakar al-Mustamli dari al-Haitsam bin Jumail… Al-Haitsam tsiqah dan Abdullah termasuk salah-satu perawi Bukhari. Sehingga, dengan demikian hadis ini sanadnya kuat. Ada juga riwayat oleh Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman… Ath-Thabrant dalam kitab Al-Mu’jam al-Ausath… Seandainya pada diri Abdullah Ibnul Mutsanna tidak ada kritik seputar keterpercayaannya, tentu hadis ini shahih.”

Waktu Menyembelih Hewan Aqiqah

Waktu Menyembelih Hewan Aqiqah

Sunnah Aqiqah – Bagaimana pendapat para ahli mengenai hukum waktu dalam menyembelih hewan aqiqah.

  • Hukum Menyembelih Hewan Aqiqah Sebelum Kelahiran 

Tidak boleh menyembelih hewan aqiqah sebelum kelahiran si bayi, karena penyebabnya belum ada. Hal ini sepakatoleh seluruh ahli fikih. Apabila sebelum kelahiran, bukan merupakan sebagai ritual aqiqah, melainkan sekadar sembelihan biasa. An-Nawawi mengatakan, “Sepalat bahwa apabila menyembelih sebelum kelahiran, tidak menganggapnya sebagai ritual aqiqah, tapi hanya sembelihan biasa.”

  • Waktu Terbaik Menyembelih Hewan Aqiqah

Imam an-Nawawi berkata, “Penyembelihan hewan aqiqah dianjurkan untuk dilakukan pada pagi hari. Demikianlah pernyataan asy-Syafi’i dalam kitab Al-Buwaithi dan dikuti oleh segenap sejawat beliau.” Sebagian ulama mazhab Syafi’i mengatakan bahwa ada anjuran menyembelih hewan aqiqah untuk melakukannya ketika matahari terbit. 

Al-Murdawi dari kalangan ulama penganut mazhab Hanbali mengatakan, “Penyembelihan hewan aqiqah dianjurkan untuk dilakuk jelang siang.”

Sebagian ulama mazhab Maliki mengatakan, “Disembelih siang sejak fajar hari ketujuh hingga terbenamnya matahar. Hal ini dianjurkan pada hadyi, bukan pada qurban.”

Kalangan ulama penganut mazhab Maliki terdapat perbedaan pendapat tentang permulaan waktu bolehnya menyembelih hewan aqiqah. Ada yang mengatakan sama waktunya dengan qurban. Ada juga yang mengatakan setelah fajar, sama pada pendapat Imam Malik tentang menyembelih hewan hadyi.

Sebagian ulama penganut mazhab Maliki membagi waktunya menjadi tiga bagian. Pertama: sunnah, yaitu sejak waktu dhuha hingga tergelincirnya hari. Kedua: makruh, yaitu setelah tergelincirnya matahari terbenamnya matahari, atau setelah fajar menyingsing hingga terbitnya matahari. Tetapi, tetap boleh melakukannya menurut pendapat yang terkuat di kalangan mereka. Ketiga. tidak boleh, yaitu menyembelihnya di malam hari. Dalam mazhab ini tidak boleh menyembelih di malam hari.

  • Hukum Menyembelih Hewan Aqiqah di Malam Hari

Hewan aqiqah boleh menyembelihnya malam hari. Ibnu Rusyd mengatakan, “Dapat dipastikan bahwa para ulama yang memperbolehkan menyembelih hewan qurban di malam hari, juga memperbolehkan aqiqah di malam hari.” Sebagian ulama mazhab Maliki tidak memperbolehkannya sebagaimana telah ada penjelasannya di atas.

  • Mendahulukan Menyembelih Hewan Aqiqah atau Mencukur Rambut Bayi?

Ada dua pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama: sekelompok ulama memandang bahwa menyembelih hewan qurban sebelum mencukur rambut kepala bayi. Al-Baghawi mengatakan, “Dianjurkan untuk mencukur rambut kepala bayi setelah menyembelih hewan aqiqah.”

Imam an-Nawawi mendukung pendapat ini. Beliau katakan, “Apakah mencukur rambut dilakukan sebelum menyembelih? Ada dua pendapat; yang benar dan ditegaskan oleh penulis, al-Baghawi, al-Jurjani dan lain lain adalah disunnahkannya mencukur rambut setelah menyembelih hewan qurban. Hal ini secara implisit ditunjukkan dalam hadis di atas.

Hadis yang beliau maksud adalah hadis Samurah, Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya; disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur rambut nya dan diberi nama.”

Tetapi, Wawu ‘athaf tidak mengharuskan runtutan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar membawakan riwayat lain untuk hadis di atas dari Abusy Syaikh dengan lafal, Disembelihkan pada hari ketujuh kelahirannya, kemudian dicukur rambutnya.

Hal ini terbukti oleh hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha,

“Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqigahi Hasan dan Husain pada hari ketujuh kelahiran mereka, memberi nama dan memerintahkan agar kotoran di kepala mereka dihilangkan (rambutnya dicukur).”

Bukti yang lain adalah atsar yang riwayat oleh ‘Abdurrazzaq dari Ibnu Juraij berkata, “Dimulai dengan menyembelih, kemudian mencukur rambut.

Pendapat kedua: memulai dengan mencukur rambut, kemudian lanjut dengan menyembelih hewan aqiqah. Pendapat ini datang dari dari Atha’. ‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Atha’ berkata, “Dimulai dengan mencukur rambut sebelum menyembelih.” Ar-Rauyani menukilkan pendapat ini juga dari Imam asy-Syafi’i.

  • Pendapat Terpilih dalam Pembahasan Bab Ini

Tidak ragi lagi bahwa waktu terbaik untuk pelaksanaan aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran bayi berdasarkan hadis-hadis yang ada di awal-awal pembahasan masalah ini. Namun kalau pelaksanaannya maju atau mundur, insya Allah dasar Sunnah sudah mendapatkannya dan tidak apa-apa untuk melakukannya, sebab tujuan dari aqiqah itu sendiri sudah tercapai. Menurut perkiraan saya, penentuan hari ketujuh bukanlah suatu keharusan, tapi hanya penjelasan bahwa waktu itulah yang terbaik. Kalau tidak sempat melakukannya pada minggu pertama, boleh menunda dengan memerhatikan kelipatan minggu-minggu berikutnya kalau mampu. Apabila tidak mampu, boleh melaksanakan aqiqah kapanpun waktunya. Saya memandang tidak boleh melaksanakan aqiqah sebelum kelahiran bayi, karena penyebabnya belum ada.

Saya tidak condong pada pendapat pelaksanaan aqiqah setelah si bayi meninggal dunia, baik sebelum atau setelah hari ketujuh. Sebab pemberitahuan kepada khalayak tentang kegembiraan si jabang bayi. Sementara, dalam kasus ini si bayi tidak.

Tidak apa-apa menyembelih aqiqah di malam atau siang hari tergantung pada kondisi dan keadaan si pelaksana. Menyembelih di malam hari boleh, terutama dengan adanya berbagai sarana penerangan di zaman modern sekarang ini, sehingga si penyembelih tidak akan keliru dalam menyembelih. Juga dengan adanya sarana pendingin, sehingga daging hewan tidak akan mengalami kerusakan.

Sunnah juga untuk menyembelih hewan aqiqah sebelum mencukur rambut kepala bayi, Wallahu a’lam.