Dalil tentang Aqiqah – Kedua, an-Nasa’i meriwayatkan dari hadis Qatadah, dari Ikrimah, Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain masing-masing dengan dua ekor domba.
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar mentarjih riwayat ini berdasarkan riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain masing-masing dengan dua ekor domba.
Saya katakan: hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Hakim tanpa komentar. Adz-Dzahabi mengkritiknya dengan mengatakan, “Siwar dha’if. Kalau riwayatnya ini mendukung riwayat dua ekor domba, maka riwayat Ibnu Ishaq mendukung riwayat satu ekor domba. Sehingga tidak ada tarjih.”
Daftatr Isi
Dalam kitab Al-‘llal, Ibnu Abi Hatim mengatakan:
Aku bertanya kepada bapakku tentang hadis yang diriwayatkan oleh Abdul Warits dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan dua ekor domba (yaitu masing-masing satu ekor). Bapak menjawab, “Itu keliru. Riwayat yang benar berbunyi; Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar dan dari Warits demikian, Diriwayatkan oleh Wahb dan Ibnu ‘UIayyah dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam secara mursal.” Bapak mengatakan, “Riwayat ini lebih shahih.” Aku bertanya kepada bapakku tentang hadis yang diriwayatkan oleh al-Muharibi dari Yahya bin Said, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa Hasan dan Husain telah diaqiqahi. Bapak menjawab, “Itu salah. Yang benar adalah hanya dari Ikrimah.”
Kalimat: ‘Dari hadis Yahya bin Said al-Anshari’, saya katakan; Demikianlah yang diceritakan kepada kami oleh al-Asyaj dari Abu Khalid al-Ahmar, dari Yahya, dari Ikrimah bahwa Hasan dan Husain telah diaqiqahi. Bapak mengatakan, “Riwayat Yahya bin Said dari Ikrimah tidak shahih. Sebab, dia tidak rela terhadap Ikrimah. Maka, bagaimana mungkin dia meriwayatkan darinya?” Aku bertanya kepada bapakku tentang hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari Jarir bin Hazim, dari Qatadah, dari Anas berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan dua ekor kambing.”
Bapak menjawab, “Jarir keliru dalam periwayatan hadis ini. Sebab, hadis ini diriwayatkan oleh Qatadah dari Ikrimah secara mursal.“
Selain itu, masih terdapat dua idhthirab lainnya. Pertama: Yahya bin Said meriwayatkan dari Ikrimah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain, tanpa lafal satu atau dua ekor domba. Ayyub meriwayatkan dengan lafal Masing-masing satu ekor domba. Qatadah meriwayatkan dengan lafal ‘Masing-masing dua ekor domba. kedua: Jarir meriwayatkan dari Qatadah, dari Anas. Yang lainnya meriwayatkan dari Qatadah dari Ikrimah. Dengan demikian, hadis ini tidak bisa mengalahkan hadis Abu Rafi.
Setelah membawakan seluruh jalur periwayatan,perbedaan para perawi dalam kemursalan dan kemarfu’annya, serta jumlah kambing atau domba yang disebutkan dalam hadis ini, Ibnu Hazm mengatakan, “Dengan cacat yang Iebih ringan dari ini saja mereka dapat menjadikannya sebagai alasan untuk menolak hadis dan menganggapnya mengandung idhthirab.”
Dapat dikatakan bahwa Ibnu Abbas meriwayatkan kepada Ikrimah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain tanpa lafal satu atau dua ekor domba seperti yang diriwayatkan oleh Yahya bin Said al-Anshari dari Ikrimah dan seperti yang diriwayatkan oleh ‘Amrah dari Aisyah. Maksudnya itu adalah bahwa beliau memerintahkan agar mencukur rambut mereka berdua dan menimbangnya untuk kemudian mensedekahkan dengan perak seberat rambut tersebut seperti yang oleh Abu Rafi riwayatkan.
Dari sini, para perawi mengira bahwa beliau menyembelih domba. Sehingga, dengan ijtihad mereka nyatakan bahwa beliau mengaqiqahi mereka berdua dengan menyembelih dua ekor atau empat ekor domba. Berdasarkan hal ini, riwayat Ibnu Abbas tidak bertentangan dengan riwayat Abu Raf’. Seluruh riwayat yang ada juga menjadi sepakat.
Mereka menanggapi hadis Ummu Kurz al-Ka’biyah, Hadis Ummu Kurz memiliki idhthirab yang cukup parah. Sebab, hadis tersebut riwayatnya dari berbagai jalur yang berbeda-beda. Yang paling kuat adalah jalur Siba’bin Tsabit yang juga mudhtharib. Sebab, Sufyan yang meriwayatkannya sekali waktu menyatakan: Dari Abdullah bin Abi Yazid, dari bapaknya, dari Siba bin Tsabit, dari Ummu Kurz. Di waktu yang lain menyatakan: dari Ubaidullah, dari Siba’, dari Ummu Kurz. Ibnu Juraij meriwayatkannya dari Ubaidullah, dari Siba’ bin Tsabit, dari Muhammad bin Tsabit bin Siba’ dari Ummu Kurz. Hammad bin Zaid meriwayatkannya dari Ubaidullah dengan mengatakan dalam hadisnya, Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abi Yazid berkata; Telah menceritakan kepadaku Siba’ dari Ummu Kurz. Ini tidak lain adalah idhthirab. Sufyan mengatakan bahwa Ummu Kurz mengatakan, Di Hudaibiyah, aku berjalan mencari daging. Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor.“
Ibnu Juraij dalam hadisnya mengatakan, Ummu Kurz bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tentang aqiqah. Beliau bersabda,
“Aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor.“
Hammad bin Zaid dalam hadisnya mengatakan, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak. perempuan satu ekor.“
Riwayat Sufyan menunjukkan bahwa Ummu Kurz mendengar beliau bersabda di Hudaibiyah, sementara riwayat Ibnu Juraij menunjukkan bahwa Ummu Kurz bertanya kepada beliau, dan riwayat Hammad bin Zaid tidak menunjukkan salah-satu petunjuk di atas. Kesimpulannya, riwayat Sufyan dan Ibnu Juraij keliru. Yang paling shahih adalah riwayat Hammad bin Zaid. Sebab, kalau memang di Hudaibiyah terjadi tanya-jawab, tentu akan riwayatkan oleh banyak sahabat mengingat saat itu mereka selalu berkumpul.
Dengan demikian, periwayatan Ummu Kurz secara eksklusif atas hadis ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut tidak pernah terjadi di Hudaibiyah. Lebih jauh lagi kita dapat melihat bahwa Hudaibiyah bukan merupakan tempat yang sesuai untuk pertanyaan tersebut, dan pertanyaan seputar masalah aqiqah juga tidak lebih penting untuk Ummu Kurz daripada dengan pertanyaan seputar masalah agama lainnya (karena para ahli sejarah menyebutkan bahwa justru Ummu Kurz masuk Islam di Hudaibiyah). Hal ini menjadikan dugaan bahwa peristiwa tersebut tidak terjadi di Hudaibiyah lebih kuat.
Kemudian, apabila kita melihat bahwa al-Hakim meriwayatkan dari Abdul Malik bin Atha’ dari Ummu Kurz dan Abi Kurz; bahwa ada seorang wanita dari keluarga Abdurrahman bin Abi Bakar yang bernazar, “Apabila istri Abdurrahman melahirkan seorang bayi, akan kami sembelihkan untuknya seekor unta.” Lalu Aisyah menjawab, “Tidak. As-Sunnah lebih baik; untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor.” Hal ini semakin menambah kuat dugaan di atas bahwa Ummu Kurz tidak mendengarnya secara langsung dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, tapi mendengarnya dari beliau melalui Aisyah, Sehingga, riwayatnya mursal dan dia katakan dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam secara langsung.
Persis seperti yang diriwayatkan oleh Hammad bin Zaid darinya. Hal ini masih mendapat dukungan oleh bahwa mayoritas riwayat darinya terbawa dengan ‘an’anah, bukan dengan lafal ‘mendengar’ atau ‘bertanya’. Penyebutan Hudaibiyah tidak terdapat selain pada riwayat Sufyan. Oleh karena itu, Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadis ini dalam kitab Shahih mereka. Maka, penolakan atas hadis ini dengan hadis riwayat Abu Rafi tidak terbantahkan.
Asy-Syaikh Zhafar at Tahawuni memberikan sanggahan atas peryataan ini dengan mengatakan, “Hamba Allah yang lemah ini mengatakan bahwa ini bukan hanya sekadar Idhthirab biasa. Lalu, apa salahnya kalau Ummu Kurz pergi mencari daging dan bertanya kepada beliau tentang aqiqah?” Kemudian perkataannya, Aku mendengar beliau bersabda, “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing… dan seterusnya” adalah setelah beliau ditanya tentang Aqiqah.”
Dalam bantahannya atas pernyataan di atas, asy-Syaikh Zhafar at-Tahawuni mengatakan, Hamba Allah yang lemah ini mengatakan bahwa Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadis tersebut. Hal ini tidak berarti hadis tersebut dhaif. Kemudian, pernyataannya bahwa Hudaibiyah bukanlah tempat yang cocok untuk pertanyaan semacam ini yang sifatnya kurang penting bagi Ummu Kurz. Seluruhnya adalah pernyataan yang tidak memiliki dasar dan tidak ada kaitanrya sama-sekali dengan hadis. Hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Kurz dari Aisyah tentang larangannya menyembelih unta untuk aqiqah berbeda dengan hadis yang diriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.
Maka, bagaimana mungkin hal itu menjadi bukti riwayat mursal yang dia yakini? Anggapan bahwa sanadnya mudhtharib terbantahkan oleh hadis Hammad bin Zaid yang di dalamnya tegas bahwa Ubaidullah bin Yazid mendengar secara langsung dari Siba’, dan Siba’ mendengar secara langsung dari Ummu Kurz. Sehingga, selebihnya merupakan sebagai pelengkap dalam sanad. Akan lebih tepat apabila aqiqah dengan menyembelih hewan disyariatkan hingga masa Perjanjian Hudaibiyah, kemudian menghapus hukumnya dengan bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak mengaqiqahi putra beliau Ibrahim. Seandainya aqiqah hukumnya wajib atau sunnah, tentu beliau sudah melaksanakannya. Yang menjadi dasar pijakan adalah perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang paling terakhir.”
Dalam jawaban tentang aqiqah untuk putra Rasulullah Shallallalr ‘alayhi wa Sallam Ibrahim, mereka katakan, Tentang aqiqah Ibrahim, itu adalah pernyataan az-Zubair bin Bakkar yang dia kemukakan tanpa sanad. Maka, bagaimana mungkin boleh berargumentasi dengan pernyataan tanpa sanad? Seandainya aqiqah Ibrahim benar, tentu sudah diriwayatkan dengan sanad-sanad yang shahih semisal diriwayatkannya hadis tentang pesta pernikahan Rasulullah Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam. Hal ini menjadi bukti bahwa pernyataannya tersebut tidak tepat.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menegaskan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan ulama yang menukilkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam melaksanakan aqiqah putra beliau. Hal ini menjadi hujjah bagi kami. Sebab, seandainya hukum aqiqah tidak mansukh, tentunya Ibrahim berhak mendapatkannya.
Salah satu faktor bantahan terhadap pernyataan az-Zubair justru datang darinya sendiri. Dia katakan, “Rasulullah Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam memberinya nama pada hari ketujuh kelahirannya.” Padahal, riwayat oleh Ibnu Abdil Barr dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bahwasanya beliau memberinya nama Ibrahim pada malam dia lahir. Komentar Ibnu Abdil Barr, “Hadis yang marfu’ lebih benar dan lebih terpercaya dari: yang diungkapkan oleh az-Zubair.” Ath-Thahawi meriwayatkannya secara musnad dalam kitab Musykil-nya dari Tsabit al-Bunani dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:
Rasuhullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Semalam anakku lahir. Aku beri nama dengan nama bapakku Ibrahim.”
Seluruh perawinya tsiqah dan hadis ini telah sepakat kesahihannya. Ini membuktikan bahwa pernyataan az-Zubair terungkap secara serampangan dan oleh karena itu tidak perlu melihatnya sama-sekali.”
Para ulama penganut mazhab Hanaft mengemukakan bantahan terhadap mayoritas ulama yang mendhaifkan hadis Ali(arab) ‘Qurban menghapus seluruh sembelihan sebelumnya.’ “Bahwa hadis Ali riwayatnya dari dua jalur. Walaupun masing-masing hadis tersebut dhaif, namun bisa menjadi kuat setelah digabungkan. Walaupun tidak mencapai tingkatan shahih yang bisa dijadikan sebagai dasar hujjah, minimal bisa dipakai sebagai dasar syahid dan pendukung hadis Abu Rafi’. Kemudian Ibnu Hajar inengatakan dalam kitab Ad-Dirayah, “Hadis ini dhaif. ‘Abdurrazzaq meriwayatkannya secara mauquf. Hal ini menjadi bukti bahwa seorang perawi dhaiflah yang menyatakannya marfu’. Karena, riwayat mauquf artinya shahih dan cukup buat kami.”