Hukum Ibadah Aqiqah – Bagian 2

Hukum Ibadah Aqiqah – Bagian 2

Sunnah Aqiqah – Pembahasan berikut merupakan lanjutan dari pendapat di kalangan para ahli fikih seputar hukum ibadah aqiqah bagian 1.

pendapat para ulama mazhab Hanafi. Terdapat perbedaan pendapat dalam mazhab mereka seputar hukum aqiqah. Setelah melalui penelitian yang cukup mendalam, dapat saya tarik kesimpulan bahwa dalam mazhab mereka tentang masalah ini terdapat tiga pendapat yang berbeda.

(1) Hukumnya sunnah. Boleh aqiqah dan boleh tidak. Pendapat ini oleh ath-Thahawi dalam kitab Mukhtashar-nya dan Ibnu Abidin dalam kitab Al ‘Uqud ad-Durriyyah. Dari asy-Syaikh Nazhzham dari Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Pendapat ini secara umum sesuai dengan pendapat mayoritas ulama.

(2) Hukumnya mubah. Ini adalah pendapat al-Manbaji. Dari oleh Ibnu Abidin dari Jami’ al-Mahbubi.

(3) Hukumnya makruh, karena ritual ini mansikh. Pendapat ini dinukilkan dari Muhammad Ibnul Hasan sejawat Abu Hanifah. Dia katakan, “Tentang aqiqah, telah sampai berita kepada kami bahwa ritual tersebut ada di zaman Jahiliyah. Di masa awal Islam juga pernah. Kemudian, ritual qurban menasakh (menghapus) hukum setiap sembelihan sebelumnya.” Al-Khawarizmi al-Karlani mengatakan, “Di zaman Jahiliyah terdapat beberapa ritual penyembelihan. Antara lain; aqiqah, rajabiyah…Semuanya mansukh oleh ritual qurban.

Pendapat adanya nasakh adalah salah-satu pendapat yang terdapat dalam mazhab Hanafi.

At-Tahawuni mengatakan, “Teks-teks riwayat yang ada cukup jelas dalam menunjukkan bahwa pendapat mazhab Abu Hanifah adalah bahwa hukum aqiqah adalah mansikh dan tidak menjadi syariat. Apa yang oleh asy-Syami–Ibnu Abidin-dari Jami’ al-Mahbubi bahwa hukumnya mubah dan Syarab ath-Thahawi bahwa hukumnya sunnah, bukan merupakan representasi pendapat mazhab ini. Pendapat tersebut adalah pendapat pribadi mereka berdua berdasarkan dalil-dalil yang mereka miliki.”

Sedangkan pendapat yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah; bahwa aqiqah adalah bid’ah seperti yang oleh al-Iraqi dan lain-lain, maka pernyataan ini tertolak dan keliru.

Al’Aini mengatakan, “Ini adalah kedustaan yang tidak boleh dinisbahkan kepada Abu Hanifah. Beliau tidak mungkin berpendapat demikian. Beliau hanya menyatakan bukan sunnah. Artinya; bukan termasuk amalan sunnah, ataupun sunnah muakkadah.

Ibnu Hazm terlalu berlebihan dalam mencela Abu Hanifah. Dia katakan, “Abu Hanifah tidak mengerti tentang aqiqah. Apa artinya? Aduhai, itu adalah hal yang wajar bagi Abu Hanifah. Karena, dia memang tidak mengerti tentang as-Sunnah.

Asy-Syaikh Ibnu Qudamah al-Maqdisi mengatakan, “Abu Hanifah menganggap aqiqah termasuk perkara Jahiliyah. Hal itu karena minimnya ilmu pengetahuannya tentang hadis.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni asy-Syaikh Ibnu Qudamah. Sungguh tidak pantas dia mengatakan hal ini tentang Abu Hanifah. Saya tegaskan: pendapat atau perkataan setiap orang bersifat proposisi, boleh memakainya boleh juga tidak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Celaan Ibnu Hazm dan Ibnu Qudamah pada Abu Hanifah harus ditinggalkan. Seandainya Ibnu Hazm dan Ibnu Qudamah rahimahumallah memberikan alasan lain yang lebih bersifat positif untuk Abu Hanifah rahimahullah, tentu itu akan lebih baik daripada celaan semacam ini.

Imam asy-Syaukani telah bertindak bijak ketika mengatakan,

Penulis kital Al-Bahr meriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa aqiqah berasal dari zaman Jahiliyah yang sudah terhapuskan oleh Islam. Hal ini kalau memang benar, maka bahwa hadis-hadis tentang masalah aqiqah belum sampai ke telinga beliau.” Demikianlah seharusnya kita berbaik sangka terhadap para ulama kita. Karena, mereka adalah orang-orang yang paling takut melanggar Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dengan sengaja.

At-Tahawuni mengatakan, Dengan demikian, apa yang oleh Ibnu Hazm tentang Abu Hanifah tidaklah benar. Berbagai tuduhan yang dia lontarkan, seluruhnya terbantahkan.

Dalam kitab Al-Bada’i’, bab ‘Partisipasi Tujuh Jenis Ritual pada Satu Hewan Sembelihan’ mengatakan:

Apabila mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan ritual qurban atau ibadah menyembelih hewan lainnya, maka hal itu boleh, baik ritual tersebut bersifat wajib ataupun sukarela. Sebab, seluruhnya bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian juga apabila sebagian dari mereka ingin melaksanakan aqiqah untuk seorang bayi yang lahir sebelumnya. Karena, sisi mendekatkan diri kepada Allah yang ada pada aktivitas tersebut terletak pada ungkapan rasa syukur atas kehadiran si jabang bayi yang merupakan anugerah yang diberikan kepadanya”.

Demikianlah disebutkan oleh Muhammad rahimahullah tentang ritual menyembelih hewan yang jarang ada. Dia tidak menyebutkan tentang walimah (pesta pernikahan). Semestinya hal ini juga boleh. Karena, pesta tersebut sebagai ungkapan rasa syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas anugerah yang Dia berikan berupa nikah. Hal ini juga jelas dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,

“Adakanlah pesta pernikahan walaupun hanya dengan seekor kambing.”

Kalau dalam melaksanakannya dengan niatan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk menghidupkan as-Sunnah, berarti sama halnya dengan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di sini jelas sekali bahwa aqiqah termasuk aktivitas mendekatkan diri kepada Allah, sama seperti walimah.

Oleh karena itu, barang siapa yang menuduh bahwa Abu Hanifah menyatakan bahwa aqiqah adalah bid’ah, maka tuduhannya tersebut tidak perlu dihiraukan. Memang benar Hanifah menolak bahwa aqiqah adalah menumpahkan darah berdasarkan perintah syariat dengan tujuan ibadah seperti qurban. Tetapi, beliau saama-sekali tidak menolak bahwa aqiqah adalah aktivitas mendekat pada Allah dengan landasan rasa syukur atas kehadiran si jabang bayi Sehingga, persis seperti walimah yang merupakan ungkapan rasa syukur atas anugerah berupa pernikahan.

Juga perlu tahu bahwa yang menjadi pendapat resmi para ulama penganut mazhab Hanafi adalah sunnahnya aqiqah. At Tahawuni mengatakan, “Perlu diketahui bahwa amalan yang dilakukan oleh para penganut mazhab Hanafi adalah sunnahnya hukum aqiqah, sesuai dengan apa yang tertera dalam Syarah Ath-Thahawi. Masalah ini cukup Iuas, karena adanya perbedaan pendapat. Tolong diperhatikan.”

Dia (at-Tahawuni) juga mengatakan:

Demikianlah, para sejawat kami, ulama penganut mazhab Hanafi, dalam hal tersebut memakai pendapat mayoritas ulama. Mereka nyatakan bahwa aqiqah hukumnya sunnah, berdasarkan pernyataan Ibnul Mundzir dan lain-lain, “Dalilnya adalah hadis shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan para sahabat serta tabi’in.” Mereka katakan, “Aqiqah dilakukan di kawasan Hijaz dari semenjak dulu hingga sekarang.”

Imam Malik menyebutkan dalam Al-Muwaththa, “Hal ini termasuk perkara yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” Yahya bin Said al-Anshari dari kalangan tabi’in mengatakan, “Saya kenal dengan orang-orang yang tidak pernah meninggalkan aqiqah untuk putra-putri mereka.” Para ulama yang memandang sunnahnya aqiqah adalah sebagai berikut: Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Aisyah, Buraidah al -Aslami, al- Qasim bin Muhammad, Urwah Ibnu Zubair, Atha’, az-Zuhri dan masih banyak para ulama lainnya. Kemudian, aktivitas tersebut ada di seluruh penjuru negeri Islam.

Syarhul Muhacdzedzab (8/447), secara ringkas:

Pada mulanya, mereka mengira bahwa masalah ini menjadi objek perbedaan pendapat di kalangan para sahabat dan tabi’in. Kemudian, mayoritas ulama dan seluruh Muslimin secara umum sepakat bahwa aqiqah hukumnya sunnah. Maka, mereka pun sepakat dengan mayoritas ulama dan mengambil pendapat ini sebagai landasan hukum. Walaupun pendapat Imam Abu Hanifah cukup kuat dari segi dalilnya seperti yang telah kami jelaskan di atas, tetapi pendapat yang bertolak-belakang dengannya lebih kuat dalinya dan merupakan pendapat yang benar. Dan Allah lebih mengetahui apa yang ada di dalam dada.

hukum aqiqah

  • Dalil-dalil pendapat ketiga

Para ulama penganut mazhab Hanafi memiliki argumentasi sebagai berikut:

(1) Berkaitan dengan pendapat pertama oleh para ulama penganut mazhab Hanafi, yaitu hukum aqiqah adalah sunnah. Dalil-dalil yang mereka miliki sama dengan pendapat mayoritas ulama di atas.

(2) Berkenaan dengan pendapat tentang mubahnya aqiqah, mereka berargumentasi dengan hadis ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya. Dalam hadis itu, “Barang siapa yang mendapat anak lalu ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya.”

Lafal hadis ini mereka katakan menunjukkan bahwa hukumnya mubah.

(3) Terkait pendapat bahwa hukum aqiqah mansikh, maka dalil mereka adalah apa yang diungkapkan oleh al-Kasani, Kami mengetahui mansukhnya sembelihan ini dari apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dia katakan,

Puasa bulan Ramadhan menghapus hukum semua puasa sebelumnya. Menyembelih hewan qurban menghapus hukum setiap sembelihan sebelumnya. Mandi janabat menghapus hukum seluruh mandi sebelumnya.”

Secara eksplisit, Aisyah radhiyallahu ‘anha menyatakan demikian berdasarkan apa yang dia dengar secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Sebab, mansukhnya suatu hukum termasuk kategori masalah yang tidak mungkin dapat mengetahuinya melalui ijtihad.

Mereka juga berargumentasi dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dalam kitab Al-Atsar dari Abu Hanifah, dari Hammad, dari Ibrahim berkata, “Aqiqah dilakukan di zaman Jahiliyah. Ketika Islam datang, aqiqah diolak.” Demikian juga riwayat Abu Yusuf dari Abu Hanifah, dari seseorang, dari Muhammad Ibnul Hanafiyah, “Aqiqah ada di zaman Jahiliyah. Ketika syariat qurban datang, aqiqah ditolak.

At-Tahawuni mengatakan,

Argumentasi para ulama yang melarang aqiqah adalah apa yang diriwayatkan dari Ibrahim dan Muhamma Hanafiyah bahwa islam menolak aqiqah. Sedangkan hadis-hadis yang ada, tidak bertentangan dengan pendapat mereka berdua. Sebab, pada dasarnya mereka berdua tidak menyangkal legitimasi aqigah. Justru, secara umum mereka menyatakan bahwa aqiqah merupakan syariat. Hanya saja mereka menyatakan bahwa hukumnya sudah terhapus. Dengan demikian, dalam pendapat mereka ini terdapat tambahan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh para ulama lain yang memperbolehkannya.

Mereka berdua adalah ulama besar yang tidak mungkin mengemukakan pendapat tanpa dasar. Sehingga, pendapat mereka merupakan argumentasi yang kuat. Karena, argumentasi para ulama yang memperbolehkannya bersandar pada ketidaktahuan mereka akan adanya nasakh. Sementara, kedua Imam ini mengetahui adanya nasakh, dan pendapat orang yang memiliki pengetahuan merupakan hujjah atas orang yang tidak memilikinya.

Apabila Anda katakan, “Dalam riwayat Ibnul Hanafiyah terdapat perawi yang tidak dikenal“, maka kami katakan bahwa tidak mengenali si perawi ini tidak membawa dampak apa pun. Sebab, orang yang meriwayatkan darinya adalah si pencetus mazhab sendiri yang dapat dipastikan paling tahu tentangnya.

Argumentasi mereka yang lain adalah hadis ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya. Dalam hadis itu, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah. Beliau menjawab, “Allah tidak suka ‘uqiq (kedurhakaan).

Mereka juga berargumentasi dengan hadis Abu Rafi’ bekas budak Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,

Ketika Fatimah melahirkan Hasan, dia bertanya, “Bolehkah aku mengaqiqahi anakku ini dengan menyembelih hewan?” Beliau menjawab, “Tidak. Cukurlah rambut kepalanya, kemudian bersedekahlah dengan perak seberat rambut tersebut kepada kaum fakir-miskin dan Ahlusshuffah.” Maka, dia pun melakukannya. Dia juga melakukan hal yang sama ketika melahirkan Husain.

Dalam riwayat yang lain dengan lafal (laa ta’iqqii ‘anhu) Jangan mengaqiqahinya’ Diriwayatkan oleh Ahmad dan at Thabrani dalam kitab Al-Mujam al-Kabtr. Hadis ini hasan.

As-Sa’ati mengatakan, “Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Uqail. Riwayatnya cukup lemah. Tetapi, memiliki beberapa syahid yang menguatkannya. Kemungkinan al-Hafizh al-Haitsami menganggap hadis ini hasan karena hal tersebut.

Kemudian, dari aspek logika mereka katakan, Menumpahkan darah semata bukan sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kecuali dengan adanya dasar teks syariat. Namun, apabila teks-teks syariat tentang aqiqah tersebut saling bertolak-belakang antara syariat atau mansukh, dan dengan meyakinkan kita tahu bahwa ada beberapa ritual penyembelihan dalam Islam yang kemudian terhapus (seperti fara’, atirah dan lain sebagainya), maka ini merupakan bukti kuat bahwa hukum aqiqah adalah mansikh.

Sebab kalau syariat, tentu hukumnya Sunnah, tidak ada yang lain. Dan kalau mansikh, pasti hukumnya bid’ah. Ketika suatu perkara berada di antara Sunnah atau bid’ah, mubah atau haram, maka hukum haram lebih kuat daripada hukum mubah. Apabila hukum haram dan mubah saling bersinggungan, sementara tidak tahu kapan wakti kejadiannya, hukum haram dianggap datang paling akhir, supaya tidak terjadi nasakh dua kali.

Lafal ‘Qurban menghapus seluruh sembelihan sebelumnya.

Artinya adalah hukum wajibnya menghapus seluruh hukum sembelihan sebelumnya. Pendapat kami ini tidak terbantah oleh pernyataan bahwa qurban menjadi syariat pada tahun kedua Hijriyah, sementara aqiqah Hasan dan Husain pada tahun ketiga atau kelima Hjriyah dan Ummu Kurz mendengar hadis tentang aqiqah di Hudaibiyah pada tahun keenam Hijriyah. Sebab, kami katakan bahwa qurban pada saat itu baru menjadi syariat, belum wajib. Kemudian, pada waktu ibadah haji menjadi wajib, qurban baru wajib. Maka, kewajibannya menghapus ‘seluruh hukum sembelihan sebelumnya.

Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak mengaqiqahi putra beliau Ibrahim radhiyallahu ‘anhu. Buktinya, beliau memberinya nama di malam dia lahir. Kalau seandainya beliau mengaqiqahinya, tentu beliau memberinya nama pada hari ketujuh kelahirannya.