Apakah Makruh Hukumnya untuk Memakai Istilah ‘Aqiqah’?

Apakah Makruh Hukumnya untuk Memakai Istilah ‘Aqiqah’?

Sunnah Aqiqah – Sebagian ulama berpendapat bahwa memberi nama ritual ini dengan istilah aqiqah hukumnya makruh. Mereka katakan, lebih baik menamakannya denagn nasikah (Qurban) atau dzabihah (sembelihan). 

Mereka berargumentasi dengan Hadis Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu berkata,

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah. Beliau menjawab, “Aku tidak suka ‘uquq (kedurhakaan).” Sepertinya beliau tidak suka istilah ini. Mereka katakan, “Wahai Rasulullah, yang kami tanyakan adalah tentang salah seorang dari kami yang baru mendapat anak.” Beliau bersabda, “Barang siapa dari kalian yang ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya; untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Aba Dawud, an-Nasa’i,al-Hakim Baihaqi. Al-Hakim berkomentar, “Sanadnya shahih.” Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albari berkomentar, “Hasan shahih.”

Asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkomentar, “Sanad ini hasan.” 

Hadis ini yang meriwayatkan adalah al-Baihaqi dari dua jalur. Pertama, jalur ‘Amr bin Syu’aib di atas. Kedua, jalur Zaid bin Aslam tentang seseorang dari Bani Dhamrah dari bapaknya. Kemudian, dia berkomentar, “Hadis ini apabila digabungkan dengan hadis pertama akan menjadi kuat.”

Ibnu Turkumani mengomentari pernyataan al-Baihaqi di atas, Beliau membatasi pada kedua jalur periwayatan ini saja. Padahal, ada jalur ketiga yang lebih baik, dari segi periwayatannya. Ibnu Abi Syaibah berkata; Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair; Telah menceritakan kepada kami Dawud bin Qais. ‘Abdurazzaq berkata; Telah menceritakan kepada kami Dawud bin Qais; Aku mendengar ‘Arnr bin Syu’aib meriwayatkan dari bapaknya, Ialu dari kakeknya berkata, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah. Beliau menjawab, “Aku tidak suka uquq (kedurhakaan)…..”

Demikian juga an-Nasa’i meriwayatkan dari Ahmad bin Sulaiman ar-Ranawi al-Hafizh dari Abu Nu’aim dari Dawud. Malik juga meriwayatkan dalam kitab Al-Muwaththa dan al-Baihaqi dalam kitab Ma’rifarus Sunan wal Atsar dari Zaid bin Aslam, dari seseorang dari Bani Dhamrah, dari bapaknya.

Imam al-Baji mengatakan,

Sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam (arab) ‘Aku tidak suka uquq (kedurhakaan)’ secara eksplisit dipahami bahwa nama ini tidak disukai. Sebab, nama ini memiliki kesamaan dengan lafal uquq (kedurhakaan). Beliau lebih memilih nama nusuk.

Pendapat ini mendapat sanggahan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Barr. Dia katakan, Dalam hadis ini dapat mengambil pelajaran tentang makruhnya nama-nama yang memiliki makna negatif. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyukai nama-nama yang baik. Salah-satu contohnya adalah sikap beliau terhadap nama Harb (perang), Murrah (pahit) dan lain sebagainya seperti yang diriwayatkan oleh Malik dan ulama hadis lainnya.

Hal ini cukup jelas dan dapat Anda lihat pada babnya di buku kami ini, insya Allah. Sesuai dengan eksplisitas makna hadis ini, hewan sembelihan untuk bayi sebutannya nasikah, bukan aqiqah. Tetapi, saya tidak menemukan seorang ulama pun yang menganut dan mengemukakan pendapat tersebut. Saya kira – Wallahua’lam – mereka sengaja tidak mengamalkan makna yang terkandung dalam hadis ini karena adanya hadis lain yang memakai lafal aqiqah. Yaitu bahwa Samurah bin Jundab meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Seorang anak tergadatkan pada aqiyalurya. Disembelihkan hewan untuknya pada hati ketujuh kelahirannya.

Di tempat yang lain, setelah membawakan hadis di atas, al Hafizh Abdil Barr mengatakan, Sesuai dengan eksplisitas makna hadis, hewan sembelihan untuk bayi pada hari ketujuh kelahirannya bernama nasikah, bukan uqiqah. Tetapi, saya tidak menemukan adanya perbedaan pendapat para ulama dalam memberinya nama aqiqah. Sehingga, kesimpulannya bahwa hukum nama tersebut (nasikah) adalah salah-satu dari ketiga hal berikut: mansukh, lebih disukai, atau merupakan sebutan Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam saat itu. Dikatakan mansukh, sebab dalam hadis Samurah bin Jundab dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Seorang tergadaikan pada aqiqahnya. Disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh kelahirannya dan diberi nama.

Juga dalam hadis Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya dan singkirkanlah kotoran darinya.

Dalam kedua hadis terakhir ini, terdapat lafal ‘aqiqah’ yang menjadi bukti bahwa hukum memakai nama tersebut adalah mubah, bukan makruh. Berdasarkan hal ini, seluruh buku para ulama ahli fikih di setiap masa dan tempat selalu menyebutkan lafal aqiqah, bukan nasikah. Di samping itu, hadis riwayat Imam Malik di atas juga tidak menegaskan bahwa hukumnya makruh. Hanya disebutkan bahwa seakan-akan Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak menyukai nama tersebut dan beliau bersabda, “Barang siapa dari kalian yang ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya… dan seterusnya.”

Al-Hafizh al Iraqi berkata: Apabila Anda katakan, “Sudah sepatutnya untuk mengganti lafal aqiqah dengan lafal nasikah atau yang semisalnya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dalam hadis Abdullah bin ‘Amr ketika ada yang menanyakan tentang aqiqah,

Allah tidak menyukai uquq (kedurhakaan).”

Dan bahwa beliau seakan-akan tidak menyukai nama tersebut, maka saya katakan: Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Sesuai dengan eksplisitas makna hadis ini, hewan sembelihan untuk bayi sebutannya nasikah, bukan aqiqah. Tetapi, saya tidak menemukan seorang ulama pun yang menganut dan mengemukakan pendapat tersebut. Saya kira-Wallahu’alam-mereka sengaja tidak mengamalkan makna yang terkandung dalam hadis ini karena adanya hadis lain yang memakai lafal aqiqah.”

Saya katakan: Lafal nasikah tidak mengarah pada definisi aqiqah secara detail. Sebab, lafal tersebut sifatnya umum, dan lafal yang sifatnya umum tidak bisa diarahkan pada pengertian yang terperinci. Dalam hadis ini sendiri tidak ada penegasan bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak menyukai lafal tersebut. Pernyataan itu disimpulkan sendiri oleh perawi hadis tanpa ada unsur kepastian. Sepertinya, ketika menyebutkan lafal aqiqah lalu Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Allah tidak menyukai ‘uquq (kedurhakaan).

Agar si penanya tidak beranggapan bahwa setiap derivasi lafal aqiqah bermakna baik. Di sini, beliau berusaha untuk menjelaskan bahwa sebagian materi lafal tersebut memiliki makna terpuji, sementara bagian lainnya tercela. Komentar beliau ini cukup baik dalam menjaga kemurnian pemahaman.

Di lain waktu, beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sengaja tidak berkomentar, karena penjelasan seperti yang tertera dalam hadis ini sudah tercapai. Atau tergantung pada kondisi orang yang sedang berdialog, apakah dia memahami hal ini atau tidak. Dalam keadaan demikian, beliau menjelaskan secara terperinci-seperti pada hadis di atas–untuk orang yang belum paham benar Sementara, untuk orang yang sudah paham, beliau tidak perlu menjelaskannya lagi. Kepada Abdullah bin ‘Amr, mungkin beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam merasa perlu untuk menyampaikan hal itu berdasarkan alasan di atas. Walaupun Abdullah bin ‘Amr sendiri adalah orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup, Wallaha’lam.

Mulla Ali al-Qari membalas sanggahan di atas dengan mengatakan, “Seakan-akan Nabi Shaliallahu ‘alayhi wa Sallam tidak menyukai nama ini’ Ini adalah kesimpulan dari si perawi hadis. Yaitu bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak suka ritual tersebut dinamakan aqiqah, agar tidak disangka bahwa lafal itu adalah hasil derivasi dari lafal (uquq) ‘kedurhakaan’. Beliau lebih suka untuk menamai dengan nama yang lebih baik seperti dzabihah atau nasikah sebagaimana kebiasaan beliau yang suka mengganti nama-nama buruk dengan nama yang lebih baik. Demikianlah dalam kitab An-Nihayah.”

At-Taurabusyti mengatakan, Pernyataan ini tidak tepat. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sempat menyebutkan lafal aqiqah dalam beberapa hadis yang lain. Andai kata beliau tidak menyukainya, tentu beliau tidak akan menyebutkan lafal itu dan menggantinya dengan lafal lain seperti kebiasaan yang selalu beliau lakukan dalam mengganti nama-nama yang tidak beliau sukai. Atau beliau menunjukkan hukum makruhnya dengan larangan secara tekstual, misalnya seperti sabda beliau,

Jangan namakan anggur dengan sebutan kurma.

istilah aqiqah

Penjelasan yang benar adalah sebagai berikut

Ada kemungkinan bahwa si penanya bertanya tentang lafal tersebut karena maknanya yang saling tumpang-tindih antara makruh dan anjuran, wajib dan sunnah. Beliau ingin memperkenalkan keutamaannya pada si penaiya, karena keutamaan aqiqah memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah dan sudah diketahui secara umum oleh khalayak. Beliau memberikan jawaban tersebut untuk mengingatkannya bahwa derivasi lafal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala benci adalah uquq (kedurhakaan), bukan aqiqah.

Kemungkinan yang lain, si penanya cenderung beranggapan bahwa kesamaan lafal aqiqah dan uquq (kedurhakaan) dalam derivasinya menunjukkan bahwa masalah ini adalah masalah yang sepele. Sehingga, beliau menjelaskan bahwa masalahnya justru sebaliknya.

Kemungkinan yang lain; lafal uquq (kedurhakaan) yang biasa oleh anak, dalam hadis ini dipinjamkan kepada orang tua. Artinya apabila seorang anak tidak menghiraukan hak-hak kedua orang tuanya dan tidak mau menunaikan hak-hak tersebut, dia seperti telah mendurhakai kedua orang tuanya. Dengan perluasan cakupannya, makna durhaka inilah yang juga bisa terjadi pada orang tua apabila tidak menunaikan hak anak. Sehingga, beliau bersabda, “Allah tidak menyukai uquq (kedurhakaan).” Yaitu, apabila orangtua tidak melaksanakan hak anak berupa aqiqah, padahal orangtua memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sama artinya dengan apabila si anak durhaka kepada orangtua, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukainya.

Ibnul Atsir mengatakan, Antara lain adalah hadis, Bahwasanya beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah. Beliau menjawab, “Aku tidak menyukai uqnq (kedurhakaan).

Dalam hadis ini sama-sekali tidak ada unsur meremehkan masalah aqiqah atau menggugurkan hukumnya. Hanya namanya saja yang makruh. Beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ingin mengganti namanya dengan yang lebih baik, seperti nasikah atau dzabihah sesuai dengan kebiasaan beliau yang suka rnengganti nama yang buruk.

Dalam beberapa hadis, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menggunakan lafal aqiqah:

  • Hadis Samurah radhiyallahu ‘anhuSetiap anak terkait dengan aqiqahnya…
  • Hadis Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhuSeorang anak terkait dengan aqiqahnya…
  • Dalam hadis Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anhaAqiqah untuk anak adalah dua ekor kambing…
  • Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuSeorang anak terkait dengan aqiqahnya…
  • Hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alayhi Sallam bersabda, “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor.

Dalam hadis-hadis ini Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menggunakan lafal aqiqah. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan lafal tersebut hukumnya mubah, bukan makruh. Seperti halnya atsar-atsar dari para shahabat dan tabi’in yang sudah ada sebelumnya. Mereka juga menggunakan lafal aqiqah tanpa perasaan tidak suka pada istilah tersebut. Para ulama ahli fikih juga menggunakan lafal ini dalam buku-buku mereka, bukan lafal nasikah.