Berbagai Macam Hikmah Aqiqah yang Bisa Ayah dan Bunda Dapatkan

Berbagai Macam Hikmah Aqiqah yang Bisa Ayah dan Bunda Dapatkan

Sunnah Aqiqah – Menjalankan ibadah aqiqah memiliki bermacam hikmah dan manfaat sebagaimana penjelasan mengenai hikmah aqiqah berikut ini.

Pertama:

Waliyullah ad-Dahlawi mengatakan, Pada aqiqah terdapat berbagai kemaslahatan finansial, psikologis dan sosial. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam membiarkannya, mengerjakannya dan menganjurkan masyarakat untuk ikut melakukannya.

Salah satu manfaat aqiqah adalah berlemah-lembut dalam mengumumkan kabar tentang garis keturunan si bayi. Sebab, hal ini memang harus menyebar kepada khalayak supaya tidak terjadi fitnah di kemudian hari. Di samping itu, juga tidak baik kalau si anak berkeliling di kampung-kampung hanya sekadar untuk memberitahukan garis keturunannya. Oleh karenanya, metode inilah yang paling tepat.

Manfaat yang lain adalah memupuk sikap kedermawanan dan menekan sifat kikir. Hikmah berikutnya adalah bahwa kaum Nasrani apabila memperoleh anak, mereka membaptisnya dengan air berwarna kuning yang biasa mereka namakan ma’mudiyah. Mereka nyatakan bahwa dengan baptis tersebut, si anak resmi menjadi anggota umat Kristiani. Maka, sebagai perimbangan atas hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya,

Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah” (Q.s. al-Baqarah [2]: 138).

Maka, disunnahkan bagi para pemeluk agama tauhid untuk melakukan suatu tindakan yang menjadi tandingan atas perbuatan mereka dan mengisyaratkan bahwa bayi yang baru lahir ini adalah pemeluk ajaran tauhid serta pengikut agama Ibrahim dan Ismail ‘alayhimassalam. Tindakan yang paling menonjol dan telah ada secara turun-temurun pada anak-cucu mereka adalah penyembelihan putra beliau yang kemudian dengan karunia Allah ditebus dengan seekor domba jantan. 

Selain itu, ajaran terkemuka mereka adalah ibadah haji yang di dalamnya terdapat ajaran mencukur rambut dan menyembelih hewan. Sehingga, meniru tindakan dan perbuatan mereka ini menjadi semacam syiar agama tauhid dan pengumuman bahwa telah ada tindakan yang menjadikan bayi tersebut termasuk anggota keluarga besar agama ini.

Hikmah yang lain; bahwa tindakan ini di masa awal kelahiran menunjukkan bahwa seakan-akan orang tua menyerahkan anaknya di jalan Allah seperti Nabi Ibrahim ‘alayhissalam. Hal ini menggerakkan rangkaian kebaikan dan ketaatan sebagaimana yang telah kami sebutkan pada sa’i antara Bukit Shafa dan Marwa.

Kedua:

berterima-kasih dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’’ala atas anugerah kenikmatan berupa anak. Sebab, anak merupakan kenikmatan duniawi terbesar. Anak adalah perhiasan dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia” (Q.s.al-Kahfi [18] : 46).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menanamkan pada diri manusia rasa gembira dan bangga atas kelahiran bayi. Oleh karena itu, setiap orang sudah sepatutnya untuk bersyukur kepada Allah Sang Maha Pencipta dan Maha Pemberi. Ada atsar dari Husain radhiyallahu ‘anhu tentang ucapan selamat atas kelahiran bayi. Yaitu dengan mengucapkan,

“Semoga Allah memberkatimu pada karunia-Nya kepadamu sehingga engkau bersyukur kepada Dzat yang telah memberimu karunia ini, dan semoga anak ini dapat mencapai usia baligh sehingga engkau mendapatkan baktinya.”

Aqiqah adalah salah-satu bentuk ungkapan rasa syukur dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

hikmah aqiqah

Ketiga:

hikmah aqiqah adalah pembebasan dan penebusan anak seperti Allah Subhanahu wa Ta’ala menebus Ismail ‘alayhissalam dengan seekor domba. Masyarakat Jahiliyah juga melakukannya dan menamakannya aqiqah. Mereka melumurkan darah di kepala si bayi. Aqiqah ini diakui dalam Islam, tapi dengan catatan tanpa melumurkan darah di kepala bayi.

Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memberitahukan bahwa hewan yang disembelih untuk bayi sepatutnya dilakukan dengan tujuan ritual; seperti qurban dan hadyi. Beliau bersabda,

Barang siapa dari kalian yang ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya.

Beliau menjadikannya seperti qurban yang Allah jadikan sebagai ritual penebusan Ismail ‘alayhissalam dan sarana mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dapat diperkirakan bahwa hikmah Allah dalam syariat dan ketentuan-Nya dapat menjadi faktor penentu ketetapan hati si anak dan keselamatannya sepanjang hidup di bawah perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari bahaya godaan setan. Setiap organ tubuh hewan aqiqah menjadi tebusan bagi setiap organ tubuhnya. 

Keempat:

pengumuman dan pemberitahuan bahwa seseorang baru mendapatkan anak dan dia beri nama. Kemudian, berita tersebut diketahui oleh masyarakat yang terdiri dari karib-kerabat, tetangga dan handai-taulan, lalu mereka datang untuk memberi selamat dan menghadiri aqiqahnya. Semua itu dapat menambah erat ikatan cinta dan persaudaraan dalam tubuh kaum Muslimin.

Kelima:

pada aqiqah teraplikasikan salah-satu bentuk solidaritas sosial dalam Islam. Orang yang melaksanakan aqiqah anaknya, akan menyembelih hewan dan membagi-bagikan dagingnya untuk fakir-miskin, karib-kerabat dan tetangga. Atau dia akan mengundang mereka untuk makan bersama. Hal ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam upaya meringankan  beban penderitaan kaum fakir-miskin.

Ibnul Haj mengatakan, “Banyak sekali hikmah aqiqah, antara lain: mengerjakan sunnah dan memadamkan bid’ah. Seandainya tidak ada keberkahan yang terdapat pada aqiqah selain menjaga jabang bayi dari sumber penyakit seperti yang tercantum dalam hadis, maka sunnah apa pun yang dilakukan akan menjadi penyebab timbulnya seluruh bentuk kebaikan dan keberkahan. Sementara, bid’ah adalah kebalikannya.”

Ada satu hikayat; seseorang didatangi oleh beberapa orang temannya sebagai tamu. Di dalam rumahnya, mereka melihat emas dan perak berserakan, sementara anak-anaknya keluar-masuk. Mereka bertanya kepadanya “Tuan, bukankah ini sama artinya dengan menyia-nyiakan harta?” Dia menjawab, “Tapi harta ini aman terlindungi.” Mereka bertanya lagi, “pengamannya?” Dia menjawab, “Harta ini sudah dizakati. Itulah pengamannya.”

Maka, demikian halnya dengan masalah yang sedang kita bicarakan ini. Orang yang sudah diaqiqahi, berarti dia sudah aman dari bencana. Bencana terkecil yang menimpa bayi memerlukan upaya orang tuanya untuk mengeluarkan biaya setinggi biaya aqiqah atau bahkan lebih. Orang yang memiliki akal sehat, akan segera mengeluarkan segala daya-upaya untuk melaksanakannya.

Sebab, aqiqah menghimpun antara keamanan harta dan tubuh sekaligus. Keamanan tubuh adalah keselamatan si bayi dari bencana seperti yang sudah dijelaskan di atas. Sedangkan tentang keamanan harta; biaya aqiqah bisa menjadi cukup ringan dan tidak sebanding dengan biaya yang harus untuk mengatasi bencana yang tersebut di atas atau biaya yang atas bencana yang mungkin akan terjadi pada si bayi.

Aqiqah juga menarik banyak pahala jika mengikuti as-Sunnah dalam melaksanakannya. Terutama di zaman sekarang yang banyaknya pahala ini juga karena minimnya orang yang mau melakukannya.

Makna Hadis “Setiap Anak Tergadaikan pada Aqiqahnya”

Makna Hadis “Setiap Anak Tergadaikan pada Aqiqahnya”

Makna Hadis – Disebutkan dalam hadis dari Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh kelahirannya, diberi nama dan dicukur rambut kepalanya.

Dalam riwayat Abmad dan an-Nasa’i disebutkan dengan lafal;

Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya.

Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah disebutkan dengan lafal;

Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya.”

  • Para ulama berbeda pendapat dalam penafsirannya

Al-Khaththabi mengatakan: Ahmad mengatakan, “Ini berkaitan dengan masalah syafaat. Maksudnya, apabila orang tua tidak melaksanakan h anaknya, kemudian si anak meninggal dunia di waktu kecil, dia tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. Lafal (rahiinatun) dengan Ta Marbutah artinya tergadaikan. Huruf Ta Marbutah di sini adalah hiperbolis. Contohnya seperti (fulanun kariimatun qoumuhu) ‘Fulan sangat dihormati di kalangan kaumnya’.”

Pendapat Imam Ahmad ini sama seperti pendapat Atha’ al-Khurasani yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya dari Yahya bin Hamzah berkata, “Aku bertanya kepada Atha’; Apa arti (murtahinun bi aqiiqatihi)?” Dia menjawab, “Tidak mendapatkan syafaat anaknya.”

Mulla Ali al-Qari mengatakan, “(biaqiiqatihi) artinya; keselamatannya dari bencana tergantung pada aqiqahnya. Atau seperti sesuatu yang digadaikan, sehingga tidak bisa dinikmati selain dengan ditebus terlebih dahulu. Sebab, anak merupakan anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada kedua orangtua. Oleh karena itu, kedua orangtua harus bersyukur karenanya. Pendapat lain menyatakan bahwa artinya adalah bahwa syafaat si anak terkait erat pada aqiqahnya. Selama belum dilaksanakan aqiqahnya dan si anak meninggal dunia sewaktu masih kecil, dia tidak dapat memberi syafaat kepada kedua orangtuanya.”

At-Taurabusyti mengatakan,

“Lafal (murtahiinun) perlu ditinjau kembali. Sebab, secara terminologis artinya adalah orang yang mengambil gadai sebagai jaminan pinjaman. Sedangkan objek gadainya sendiri disebut (marhuunun) atau (rahiinun). Belum pernah kami menemukan bentuk maf’ul dari lafal (irtihaanun) dalam pernyataan para ahli bahasa Arab. Kemungkinan, perawi memakai ungkapan tersebut dengan metode analogi (qiyas).”

Ath-Thayyibi mengatakan, “Metode metafora (majas) tidak ada batasnya dan tidak tergantung pada arti terminologis. Sehingga, tidak perlu diragukan bahwa lafal (irtihaanun) di sini tidak diartikan secara terminologis. Buktinya adalah pernyataan az-Zamakhsyari dalam kitab Asasul Balaghah pada pembahasan tentang retorika metafora: (fulaanun rahinun bikadzaa) ‘Si Fulan di gadaikan sekian’ artinya sama dengan (rahiinun) atau (murtahinun), Sedangkan (murtahinun bihi) adalah metafora dari lafal tersebut.”

Penulis kitab Al-Hidayah mengatakan, “Lafal (rahiinatun biaqiiqatihi) artinya bahwa aqiqah harus dilakukan pada si bayi. Kondisinya yang harus dilakukan dan tidak bisa terlepas, sama dengan kondisi barang yang digadaikan dan bisa terlepas dari tangan orang yang memberi pinjaman sampai Huruf Ta Marbuthah pada lafal (rahiinatun) bersifat hiperbolis dan bukan untuk menunjukkan jenis feminis. Sama seperti (asy syatum) dan (asy syatiimatu) ‘dicaci.”

Sungguh, ini adalah desktipsi yang cukup mengherankan. Pernyataan at-Taurabusyti bahwa lafal (murtahinun) dalam bentuk maf’til tidak pernah ada dalam konteks bahasa Arab dan bahwa perawi menyangka lafal tersebut sama artinya dengan lafal (rahiinatun) yang terdapat dalam teks hadis, lalu dia mengonjungsikan maknanya saja menurut perkiraannya. Kemudian, lafal gadai’ di sini tidak diartikan secara faktual, tapi diartikan secara metafora. Maka, hal ini dapat langsung dipahami kesalahannya oleh orang yang berdaya pikit lemah sekalipun. Dalam pemaparannya akan datang penjelasan tentang masalah ini secara mendetail.

Dalam kitab Syarhus Sunnah disebutkan,

“Para ulama banyak berbicara tentang masalah ini. Penjelasan terbaik dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal bahwa jika seorang anak meninggal dunia dan belum pernah diaqiqahi, si anak tersebut tidak dapat memberi syafaat kepada kedua orang tuanya. Diriwayatkan dari Qatadah bahwa dia terhalang dari memberi syafaat kepada mereka.”

Asy-Syaikh at-Taurabusyti mengatakan, Saya tidak tahu apa yang menjadi dasar pemaparannya. Padahal, Iafal hadis sama sekali tidak mendukung penafsiran yang diungkapkannya. Bahkan, antara lafal dengan penafsirannya memiliki perbedaan besar yang dapat langsung diketahui dengan mudah oleh masyarakat awam, terlebih lagi para ulama. Sebuah hadis apabila maknanya meragukan, maka metode terbaik dalam menjelaskannya adalah dengan menghimpun seluruh jalur periwayatannya. Sebab, dalam himpunan seiuruh jalur periwayatan jarang sekali ada penambahan, pengurangan atau isyarat pada lafal-lafal yang saling bertentangan. Sehingga, lafal yang meragukan tersebut dapat dengan mudah dipahami.

Pada sebagian jalur periwayatan hadis ini disebutkan dengan lafal (kullu ghulaamin rahiinatun bi’aqiiqatihi) ‘setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya’ Secara tekstual artinya digadaikan. Maknanya, seperti objek gadai yang tidak dinikmati dan dimanfaatkan sebelum ditebus terlebih dahulu. Suatu kenikmatan hanya dapat dinikmati oleh orang yang mendapatkannya dengan bersyukur. Sementara, aplikasi rasa syukur pada kenikmatan memperoleh anak adalah dengan apa yang disunnahkan oleh Nabi Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam yang dalam hal ini adalah melaksanakan aqiqah untuk bayi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan permohonan untuk keselamatan si jabang bayi. Atau bisa juga diartikan bahwa keselamatan si jabang bayi dan pertumbuhannya yang sesuai dengan harapan tergantung pada aqiqahnya.

Inilah arti yang benar. Kecuali, apabila penafsiran sebelumnya didapatkan dari shahabat yang memahaminya secara langsung dari wacana yang sedang berlangsung atau kondisi yang sedang terjadi. Sehingga, artinya adalah bahwa syafaat si anak tergantung pada aqiqahnya.”

Ath-Thayyibi mengatakan,

“Dapat dipastikan bahwa Imam Ahmad bin hanbal tidaklah berpendapat demikian kecuali setelah mendapatkannya dari para sahabat dan tabiin. Karena, beliau adalah salah-satu Imam agung yang ingin pendapatnya dikuti dan mendapatkan prasangka yang positif.”

Penafsiran yang lain menyatakan bahwa artinya adalah seorang anak tergadaikan pada kotoran atau rambut yang ada di kepalanya. Buktinya adalah lafal hadis setelahnya (faamiituu ‘anhul adza) ‘Hilangkanlah kotoran darinya.’

Penafsiran yang lain menyatakan artinya adalah bahwa si bayi tidak diberi nama dan dicukur rambut kepalanya kecuali setelah disembelihkan hewan aqiqah.

Asy-Syaikh Ibnul Qayyim rahimahullah tidak menerima semua penafsiran ini. Beliau mengungkapkan sanggahannya dengan mengatakan, Penafsiran ini perlu ditinjau kembali. Diketahui bersama bahwa syafaat seorang anak untuk orangtuanya tidak lebih penting dari syafaat orangtua untuk anaknya. Seseorang menjadi orangtua, bukan hanya sekadar untuk memberi atau mendapatkan syafaat.

Demikian juga dengan seluruh bentuk ibadah dan hubungan silaturrahmi lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun.” (Q.s. Luqman [311: 33).

makna hadits

Dan jagalah dirimu dasi (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak dicerima syafaat.” (Q.s. al-Baqarah [2]: 48).

makna haditsSebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual-beli dan tidak ada lagi persahabaran yang akrab dan tidak ada lagi syafaat.” (Q.s. al-Baqarah [2]: 254).

Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan syafaat kepada orang lain di hari kiamat selain setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi izin bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Izin untuk memberikan syafaat tergantung pada amalan orang yang diberi izin berupa tauhid dan keikhlasan. Bahkan, ada orang yang mendapatkan izin untuk memberi syafaat kepada orang lain namun ia justru tidak memiliki hubungan darah sama-sekali; tidak sebagai bapak maupun sebagai anak.

Pemimpin para pemberi syafaat dan orang yang paling berhak untuk memberi syafaat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada paman, bibi dan putrinya, “Aku tidak sanggup menjamin kalian di sisi Allah sedikit pun.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Aku tidak memiliki apa pun untuk kalian di sisi Allah.

Pada syafaat beliau yang agung, ketika beliau sujud di hadapan Allah dan memberi syafaat, beliau bersabda, “Allah memberiku batasan dari memasukkan mereka ke dalam surga.

Syafaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terbatas pada batasan yang telali Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan. Tidak akan melebihinya. 

Oleh karena itu, dari mana bisa dikatakan bahwa seorang anak dipastikan berhak memberi syafaat kepada kedua orang tuanya, kemudian apabila si anak tidak diaqiqahi, dia terhalang dari memberi syafaat kepada orang tuanya? Juga tidak dikatakan bagi orang yang dapat memberi syafaat kepada orang lain bahwa dia tergadaikan pada syafaat itu. Pada lafal hadisnya juga tidak ada yang menjadi bukti atas hal tersebut.

Kedudukan dan Hukum Aqiqah di Dalam Islam

Kedudukan dan Hukum Aqiqah di Dalam Islam

Sunnah Aqiqah – Legitimasi kedudukan dan hukum aqiqah ditetapkan dalam as-Sunnah dalam pernyataan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Berikut ini adalah beberapa hadis tersebut.

  • Sunnah Qauliyah Seputar Aqiqah

Banyak sekali hadis-hadis tentang masalah ini.

1. Diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad dari Salman bin Amir adh Dhabbi radhiyallahu ‘anhu berkata. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya dan singkirkanlah kotoran darinya.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi dan al-Baihaqi.

2. Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya; disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur rambutnya dan diberi nama.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan lafal ini. Diriwayatkan juga oleh at Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Baihaqi, Ahmad, al-Hakim dan disahihkan serta disepakati oleh adz-Dzahabi. At-Timidzi berkomentar, “Hasan Shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan, “Shahih.”

3. Dari Ummu Kurz al-Ka’biyyah radhiyallahu ‘anha berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,”Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan lafal ini. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan al-Baihaqi.

4. Dalam riwayat yang lain hadis Ummu Kurz ini disebutkan bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang aqiqah. Beliau bersabda, “Benar, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor. Tidak peduli kambing-kambing tersebut jantan atau betina.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at- Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim dan Ahmad. Komentar at- Tirmidzi, “Hadis ini hasan shahih.” Disahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Disahihkan juga oleh an-Nawawi. Al-Albani berkomentar, “Shahih.” Asy Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkomentar, “Hadis shahih.”

5. Dari Yusuf bin Mahik berkata, Kami menemui Hafshah binti Abdurrahman dan bertanya kepadanya tentang aqiqah. Dia menjawab bahwa Aisyah memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,”Untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dengan lafal ini. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkomentar, “Sanadnya shahih.”

6. Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Bahwasanya Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitahu mereka bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan mereka untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan komentar, “Hasan shahih.”Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi. Al-Albani berkomentar, “Shahih.”

kedudukan dan hukum aqiqah

7. Dari Asma binti Yazid radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam bersabda, “Aqiqah adalah benar. Untuk anak-laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani. Al-Haitsami mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam al-Kabir. Para perawinya bisa dijadikan sebagai hujjah.”

8. Dari Aba Hurairah adhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak terkait dengan aqiqahnya. Tumpahkanlah darah untuknya dan hilangkanlah kotoran darinya.”

Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar. Para perawinya adalah para perawi kitab Ash- Shahih.”

9. Dari Yazid bin ‘Abd al-Muzani dari bapaknya bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang anak boleh diaqiqahi, tapi kepalanya jangan diolesi darah (hewan sembelihannya).”

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, ath-Thahawi dan ath-Thabrani dalan Kitab Al-Mu’jam al-Ausath dan Al-Mu’jam al-Kabir. Al-Haitsami mengatakan Para perawinya tsiqah. Al-Bushiri dalam kitab az-Zawa’id mengatakan “Sanadnya hasan.” Disahihkan oleh al-Albani.

10. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu “Bahwasanya Nabi Shallallalu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan untuk memberi nama bayi pada hari ketujuh kelahirannya, membersihkan kotoran darinya dan menyembelih hewan.”

Diriwayatkan oleh at-tirmidzi dergan komentar, “Hasan gharib”. al-Albani berkomentar, “Hasan”.

11. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallaillahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Pada hari ketujuh kelahirannya, tumpahkanlah darah untuknya, bersihkanlah kotoran darinya dan berilah dia nama.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab Al-Mujam al-Ausath dan Al-Mu’jam al- Kabir dengan para perawi yang tsiqah seperti yang dikatakan oleh al-Haitsami.

12. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Untuk anak laki-laki dua ekor hewan sembelihan dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Al-Haitsami mengatakan, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Imran bin Uyainah yang dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban, padahal ada unsur dhaif padanya.”

Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dengan sanad yang baik untuk syahid, dan disebutkan bahwa jalur periwayatan ath-Thahawi ini aman dari faktor dhaif.”

13. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata pada hadis tentang aqiqah, “Masyarakat Jahillyah biasa mnencelupkan kapas pada darah hewan sembelihan Ialu mengoleskannya pada kepala bayi. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan agar darah tersebut diganti dengan minyak wangi.”

14. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallah ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Orang-orang Yahudi biasa mengaqiqahi anak laki-laki, tapi tidak mengaqiqahi anak perempuan. Aqiqahilah anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu ekor.”

15. Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya bahwasanya Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam bersabda, “Hewan aqiqah disembelih pada hari Ketujuh kelahiran, atau hari keempat belas, atau hari kedua puluh satu.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dengan komentar, “Tidak ada yang Meriwayatkan hadis ini dari Qatadah selain Ismail. Di samping al-Khaffaf meriwayatkannya secara eksklusif.”

16. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam bersabda tentang aqiqah, “’Barang siapa yang mendapatkan anak, lalu ingin menyembelihkan hewan untuknya, silakan dilakukan.

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dengan komentar, “Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari az-Zuhri selain Ismail. Sementara, Ismail dhaif.”

17. Dari al-Qasim bin Abdurrahman, dari Muhammad bin Ali, dari bapak nya berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayli wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain; masing-masing dengan satu ekor domba dan uang sebesar satu dinar. Ketika acara aqiqah salah-satunya diselenggarakan, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam masuk menemui Fatimah dan bertanya, “Hai Fatimah, bagaimana kabar daging aqiqahnya?” Dia jawab, “Wahai Rasulullah, sudah kami makan, kami bagi-bagikan dan kami sedekahkan. Tapi, masih ada sisanya.

Dia (Fatimah) katakan, “Lalu aku mengambilkan paha belakang sementara beliau masih berdiri. Beliau memakannya tanpa roti. Kemudian, beliau shalat tanpa menyentuh air (berwudhu).”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya. Hadis ini adalah hadis mursal. 

Disamping itu, dalam sanadnya terdapat perawi bernama al-Qasim bin Abdurrahman, yang sangat lemah.

18. Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘Anhu berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ditanya tentang aqiqah. Beliau menjawab, “Aku tidak suka ‘uqug (kedurhakaan).” Sepertinya beliau tidak suka istilah ini. Mereka katakan, “Wahai Rasulullah, yang kami tanyakan adalah tentang salah seorang dari kami yang baru mendapat anak.” Beliau bersabda, “Barang siapa dari kalian yang ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, Silahkan melakukannya; untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, al-Hakim dan al-Baihaqi. Al-Hakim berkumentar, “Sanadnya shahih.”

Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkomentar “Hasan shahih.” Sedangkan asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkomentar, “Sanad ini hasan.”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari dua jalur. Pertama, Jalur ‘Amr bin Syu’aib di atas. Kedua, jalur Zaid bin Aslam tentang seseorang dari Bani Dhamrah dari bapaknya. Kemudian, dia berkomentar, “Hadis ini apabila digabungkan dengan hadis pertama, akan menjadi kuat.”

Pengertian Aqiqah dan Bagaimana Kedudukannya Sebelum Islam

Pengertian Aqiqah dan Bagaimana Kedudukannya Sebelum Islam

Sunnah Aqiqah – Penjelasan menganai pengertian aqiqah secara terminologis dan etimologis, serta seperti apa kedudukannya sebelum islam datang.

  • Pengertian Aqiqah secara Terminologis

Aqiqah adalah rambut yang sudah tumbuh di kepala bayi ketika lahir. Sebab rambut tersebut membelah kulit. Imru’ul Qais mengatakan dalam syairnya:

Ayaa Hindun laa tankihii buuhatan    ‘alaihi ‘aqiiqatuhu ahsabaa

Hai Hindun, jangan menikah dengan orang tolol itu!

Rambut bayinya belum dicukur dan kulitnya belang.”

Diambil dari kata (ya’aqqu – ya’iqqu – ‘aqqu). Dikatakan (‘aqqu ‘anibnihi), artinya mencukur rambut kepala anaknya atau menyembelih kambing yang juga dinamakan aqiqah. Ibnul Manzhur mengatakan, “Kambing yang disembelih juga dinamakan aqiqah. Sebab, kambing tersebut disembelih dan dibelah tenggorokan serta kedua arterinya, seperti (adz dzabhu) yang artinya membelah, yang juga digunakan sebagai nama hewan sembelihan.” 

Al-Jauhari mengatakan, “Setiap rambut yang sudah tumbuh di kepala bayi ketika dilahirkan, baik bayi manusia atau hewan dinamakan aqiqah. Dari sini kambing yang disembelih pada hari ketujuh kelahiran juga dinamakan aqiqah.”

Imam an-Nawawi mengatakan: Imam Abu Manshur al-Azhari mengatakan: Abu Ubaid berkata bahwa al-Ashma’i dan lain-lain mengatakan. “Arti dasar aqiqah adalah rambut yang sudah tumbuh di kepala bayi ketika baru lahir. Kemudian, menyembelih kambing untuk bayi itu juga namanya aqiqah. Karena, rambut si bayi dicukur ketika menyembelih kambing tersebut .Oleh karena itu, dalam hadis menyebutkan ‘Bersihkanlah kotoran darinya’, maksudnya adalah rambut yang dicukur tersebut.” 

Dia lanjutkan, “Demikianlah, saya jelaskan kepada Anda bahwa para ulama biasa memberi nama sesuatu dengan nama yang lain apabila masih ada sangkut-pautnya dengan sesuatu tersebut. Seperti, kambing dinamakan aqiqah lantaran dicukurnya rambut si bayi.” Abu Ubaid megatakan, “Demikian juga setiap bayi hewan yang baru dilahirkan. Rambut yang ada dinamakan (‘aqiiqatun) aqiqah.

Al-Azhari mengatakan,

Rambut hewan tersebut dinamakan aqiq (‘aqiiqun) tanpa huruf Ta Marbuthah.” Al-Azhari melanjutkan, “Arti dasar kata (Al’aqqu) adalah membelah dan memotong. Rambut yang sudah tumbuh bersama dengan seorang bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya dinamakan aqiqah. Sebab, kalau berada di atas kepala manusia, harus dipangkas dan dicukur. Sedangkan kalau berada pada tubuh hewan, akan rontok dengan sendirinya. Kemudian, hewan yang disembelih juga dinamakan aqiqah, sebab hewan tersebut dibelah dan dipotong tenggorokan serta kedua arterinya. Seperti (adz dzabhu) yang artinya membelah, yang juga digunakan sebegai nama lewan sembelihan.”

Ibnus Sukait mengatakan,”’Seseorang mengaqiqahi anaknya’; artinya dia menyembelih hewan di hari ketujuh kelahiran anaknya”; artinya lanjutkan,“Sedangkan (‘aqqu falaanun walidaihi ya’uqquhumaa ‘uquuqon) artinya seseorang memutuskan tali silaturahim (durhaka) kepada kedua orang tuanya. Bentuk plural dari subjek kata kerja tersebut (al’aqqu) yang berarti durhaka adalah (‘aqaqatun). Bisa juga disebut (rajulun ‘aqqu) yang berarti durhaka.“ Ibnul ‘Arabi mengatakan, “(al’aqqu) artinya orang yang memutuskan tali silaturahmi.”

  • Definisi Aqiqah secara Etimologis

pengertian aqiqah

Beberapa definisi secara etimologis tentang aqiqah oleh para ahli fikih. Imam al-Baghawi mengatakan, “Yaitu nama hewan yang disembelih untuk bayi yang baru dilahirkan.” Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan, “Aqiqah adalah hewan yang disembelih untuk. bayi yang baru dilahirkan.

Ibnu Arafah al-Maliki mengatakan, “Aqiqah adalah kambing jantan atau betina yang disembelih  sebagai sarana ibadah dengan syarat tidak cacat dan disembelih pada hari ketujuh kelahiran anak manusia yang lahir dalam keadaan hidup.”

Definisi ini oleh Ibnu Arafah ini mengandung beberapa syarat yang tidak setuju oleh sekelompok ahli fikih. Nanti akan datang penjelasannya.

Dapat saya simpulkan bahwa aqiqah adalah hewan sembelihan atas nama bayi yang baru lahirb pada hari ketujuh kelahirannya sebagai ungkapan rasa syukur ke hadhirat Allah Subbanahu wa Ta’ala atas anugerah nikmat-Nya berupa anak, baik laki-laki maupun perempuan.

Dr. Muhammad Abu Faris mendefinisikannya sebagai “Kambing yang disembelih atas nama bayi yang baru lahir.”

Definisi ini tidak lengkap. Sebab, terbatas hanya pada kambing saja. Hal ini berdasarkan pendapat sebagian ahli fikih yang tidak memperbolehkan aqiqah dengan unta dan sapi. Pendapat ini sama-sekali tidak kuat. Nanti akan datang penjelasannya.

Akan lebih baik apabila kita ungkapkan dengan lafal (Adz dzabiihatu) hewan sembelihan. Sebab, lafal ini sifatnya umum. Mencakup kambing, sapi dan unta yang merupakan jenis hewan yang boleh sebagai objek aqiqah. Akan datang penjelasannya.

Lafal (Adz dzabiihatu) ‘hewan sembelihan’ untuk kambing, sapi dan unta. Ibnul Manzhur mengatakan,  “(Adz dzabiihatu) ‘hewan sembelihan’ adalah kambing yang disembelih…. Demikian juga unta…” Al-Azhari mengatakan, “(Adz dzabiihatu) ‘hewan sembelihan’ adalah nama untuk hewan yang disembelih.”

  • Aqiqah Sebelum Islam

Aqiqah sudah ada di kalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Al-Mawardi mengatakan, “Aqiqah adalah menyembelih kambing pada hari kelahiran anak yang bangsa Arab sudah melakukannya sebelum datangnya Islam.”

Waliyyullah ad-Dahlawi mengatakan, “Bahwa bangsa Arab biasa melakukan aqiqah untuk anak-anak mereka. Aqiqah adalah perkara yang biasa dan merupakan sunnah yang menganjurkan untuk pelaksanaanya (sunnah muakkadah). Pada aqiqah terdapat berbagai kemaslahatan finansial, psikologis dan sosial. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam membiarkannya, mengerjakannya dan menganjurkan masyarakat untuk ikut melakukannya.”

Hal ini ada dalam hadis dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya berkata: Aku mendengar bapakku (Buraidah al-Aslami tadhiyallahuanhu) berkata,

Di zaman Jahiliyah, apabila salah seorang dari kami memperoleh anak, dia menyembelih seekor  kambing lalu melumuri kepala anaknya dengan darah kambing tersebut. Setelah datangnya Islam,kami menyembelih kambing dan mencukur rambut si anak, lalu mengolesi kepalanya dengan minyak za’faran.”

Abu Dawud, Ahmad, an-Nasa’I dan al-Baihaqi meriwayatkan. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Talkhish al-Habir mengatakan, ”sanadnya shahih.” Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hasan shahih.” Juga oleh al-Hakim dengan komentar, “Sesuai dengan syarat periwayatan Bukhari dan Muslim.” Komentarnya ini sudah sepakat oleh adz-Dzahabi. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hanya sesuai dengan syarat periwayatan Muslim saja.”

Dalil yang lain adalah hadis Aisyah radhiyallahu’anha tentang aqiqah. Dia katakan:

Masyarakat Jahiliyah biasa mengambil darah hewan aqiqah dengan kapas lahi mengoleskannya ke kepala bayi. Rasulullah Shallallihu ‘alayhi wa Sallam memerintahkan untuk mengganti darah itu dengan minyak wangi.

al-Baihaqi meriwayatkan. An-Nawawi berkomentar, “Sanadnya shahih.

As-Suyuthi menyebutkan bahwa Abdul Muththalib (kakek Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam) mengaqiqahi beliau di hari ketujuh kelahiran beliau. Dia katakan, Ibnu Asakir mwriwayatkan dari Ibnu Abbairadhiyallahu ‘anhuma berkata,

“Ketika Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam lahir, Abdul Muththalib mengaqiqahi beliau dengan seekor domba dan memberi nama beliau Muhammad. Kemudian mengatakan, “Wahai Abul Harits, mengapa engkau beri nama Muhammad (yang terpuji) dan tidak engkau beri nama yang sama dengan nama-nama leluhurya?” Dia menjawab, “Aku ingin agar Allah memujinya di langit dan seluruh manusia memujinya di bumi.

Aqiqah juga ada dalam syariat Nabi Musa ‘alayhissalarn. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam bersabda,

Orang-orang Yahudi mengaqiqahi anak laki-laki, tapi tidak mengaqiqahi anak perempuan. Aqiqahilah anak laki-laki dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor kambing.”

al-Baihaqi meriwayatkan. juga oleh Ibnu Abid Dunya dengan komentar pentahqiqnya, “Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Aba Hafsh asy-Sya’ir dan bapaknya. Kedua orang ini tidak dikenal.

al Bazzar meriwayatkan. Juga oleh al Hafizh Ibnu Hajar Tanpa komentar. Al-Albani mengatakan, “Hadis ini memiliki riwayat dengan sanad yang seluruh perawinya tsiqah. Tetapi, di dalamnya terdapat ‘an’anah.”

Ibnu Juraij. Namun,dalam riwayat Ibnu Hibban dia menegaskan riwayatnya ini dengan lafal tahdits. Sehingga, dapat dipastikan bahwa hadis ini shahih, Walhamdulillah. Ibnu Hibban juga meriwayatkan dengan komentar dari Syu’aib al-Arnauth, “Sanadnya shahih.

Hukum Mematahkan Tulang Hewan Aqiqah

Hukum Mematahkan Tulang Hewan Aqiqah

Sunnah Aqiqah – Terkait hukum mematahkan tulang hewan aqiqah, terdapat dua pendapat di kalangan para ulama.

Pendapat pertama:

para ulama penganut mazhab Syafi’i dan Hambali menyatakan sunnahnya menyembelih hewan aqiqah dan memotong-motong dagingnya mengikuti ruas sendi tanpa mematahkan tulangnya dan memasaknya secara utuh. Pendapat ini dinukilkan dari Aisyah, Atha’ dan Ibnu Juraij.

Al-Balhaqi menyebutkan bahwa Atha’ pernah mengatakan, “Potong-potong sesuai dengan ruas sendi dan tidak mematahkan tulangnya.”  Imam Ahmad juga mengeluarkan fatwa yang sama. Oleh al-Khallal meriwayatkan dari Abdul Malik bin Abdul Hamid mengatakan bahwa dia mendengar Abu Abdillah berkata tentang aqiqah, “Tidak mematahkan tulangnya. Potong menurut ruas sendi setiap tulang dan tidak mematahkan tulangnya.” Para ulama penganut mazhab Hanbali menganggap hal ini adalah salah satu perbedaan antara aqiqah dengan qurban. Yaitu bahwa hewan aqiqah tidak boleh mematahkan tulangnya.

Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan, “Para sejawat kami mengatakan bahwa mematahkan tulang hewan aqiqah hanya bertentangan dengan yang lebih baik saja. Ada dua pendapat di kalangan mereka tentang makruhnya melakukan hal tersebut. Pendapat paling tepat adalah hukumnya tidak makruh. An-Nawawi dalam kitab Syarhul Muhadzdzab memberi alasan karena tidak ada larangan terarah atas hal tersebut. Alasan yang diungkapkannya ini perlu ditinjau kembali. Sebab, ada larangan tegas terhadap hal tersebut seperti yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab Mustedrak-nya yang dia sahihkan sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Mungkin an-Nawawi tidak setuju dengan pensahihan hadis itu.

Para ulama pencetus pendapat pertama berargumentasi dengan hadis Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang bersabda tentang aqiqah yang oleh Fatimah untuk Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum:

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada aqiqah yang diselenggarakan oleh Fatimah untuk Hasan dan Husain bersabda, “Kirimkanlah salah satu kaki hewan sembelihan itu kepada bidannya. Makanlah dan bagikan! Tapi Jangan mematahkan tulangnya.”

Riwayat oleh al-Baihaqi dan lain-lain. Hadis ini dhaif sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Mereka juga berdalih dengan hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengatakan,

Potong mengikuti ruas sendi dan tidak boleh mematahkan tulangnya.”

Telah berlalu takhrijnya. Kalimat ini oleh al-Albani menganggapnya sebagai sisipan yang masuk ke dalam hadis (mudraj) yang berasal dari perkataan Atha’. Hal ini didukung oleh apa yang disebutkan oleh al-Baihaqi bahwa Atha’ pernah mengatakan, “Potong mengikuti ruas sendi dan tidak boleh mematahkan tulangnya.

Mereka katakan bahwa makruhnya mematahkan tulang adalah sebagai ungkapan sikap optimisme untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup si bayi kelak.

Pendapat kedua:

Imam Malik berpendapat boleh untuk mematahkan tulang hewan aqiqah. Bahkan, beliau menganjurkannya untuk menyalahi perilaku kaum Jahiliyah yang tidak mematahkan tulang-tulang hewan sembelihan  untuk bayi yang baru lahir. Pendapat senada juga datang dari az-Zuhri dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Hal ini juga merupakan salah satu pendapat para ulama kota Bashrah penganut mazhab Syafi’i.

Az-Zuhri berkata tentang hewan aqiqah, “Patahkan tulangnya dan Pecahkan kepalanya.

Ibnu Rusyd mengatakan, “Dianjurkan untuk mematahkan tulangnya, karena kaum Jahiliyah biasa memotong-motongnya mengikuti ruas sendi.”

Para ulama pencetus pendapat kedua berdalih bahwa tidak ada dalil yang shahih tentang larangan untuk mematahkan tulang hewan aqiqah. Ibnu Hazm mengatakan, “’Tidak ada dalil shahih yang melarang untuk mematahkan tulang hewan aqiqah.” Ibnu Hazm juga menganggap atsar Aisyah radhiyallahu’anha tentang hal tersebut dhaif.

Mereka (ulama dalam pendapat pertama) mengatakan bahwa mematahkan tulang hewan aqiqah menyalahi perilaku Jahiliyah.

Al-Baji mengatakan bahwa Ibnu Habib berkata, “Pendapat ini (mematahkan tulang hewan aqiqah) dikemukakan oleh Malik, karena masyarakat Jahiliyah apabila melakukan aqiqah untuk bayi, mereka tidak mematahkan tulang hewan aqiqah. Daging hewan tersebut dipotong-potong sesuai dengan ruas sendinya. Islam datang dan memberikan dispensasi untuk hal tersebut.”

Si Empunya hajat boleh untuk melakukan apa yang terbaik menurutnya. Ringkasnya, mematahkan tulang hewan aqiqah bukan suatu keharusan. Yang tidak boleh adalah berusaha untuk tidak mematahkan tulang hewan sembelihan itu. Dalam hal ini, hewan aqiqah sama hukumnya dengan hewan sembelihan lainnya. Bahkan mungkin, memiliki kelebihan tersendiri dengan menyalahi apa yang dilakukan oleh masyarakat Jahiliyah.

Mereka juga mengatakan bahwa menurut kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah mematahkan tulang-tulang hewan aqiqah. Karena, pemanfaatannya akan lebih efektif dan efisien. Tidak ada kemaslahatan tertentu yang melarang untuk mematahkan tulang, juga tidak ada larangan untuk tidak melakukannya, serta tidak ada hukum sunnah-makruh yang menjadi sebagai dasar pijakan.

Al-Mawardi mengemukakan alasan tidak makruhnya mematahkan tulang-tulang hewan aqiqah. Dia katakan, “Karena itu adalah kepercayaan yang terlarang. Juga karena ritual penyembelihan tersebut nilainya jauh lebih agung daripada sekadar mematahkan tulang.

Menurut pendapat saya, tidak apa-apa mematahkan tulang hewan aqiqah apabila memang perlu. Kalau Memotong-motong sesuai dengan ruas sendinya, itu lebih baik berdasarkan apa yang tertera dalam beberapa atsar, walaupun tidak terbukti berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Ada atsar dari sekelompok ulama salaf seperti Aisyah, Atha’ dan Jabir seperti yang sebutkan oleh al-Baihaqi dan lain-Iain.

Sebagai tambahan, para ulama yang mengemukakan pendapat makruhnya mematahkan tulang hewan aqiqah menyebutkan beberapa hikmah di balik hal tersebut yang dapat menyebabkan hati lebih cenderung kepadanya. leh Ibnul Qayyim menyebutkan sebagai berikut:

  1. Aqiqah adalah tebusan, sehingga ada anjuran untuk tidak mematahkan tulang-tulangnya dengan harapan untuk keselamatan, kesehatan dan kekuatan anggota tubuh si bayi.
  2. Menampakkan kebanggaan dan kehormatan dalam memberi makan orang lain dan membagikannya kepada para tetangga dalam bentuknya yang masih utuh, tanpa mematahkan tulangnya atau mengurangi beberapa organ lainnya.
  3. Suatu hadiah apabila memberikan dalam bentuk yang mewah dan membanggakan serta tidak terlihat murahan, tentu akan lebih dapat diterima oleh orang yang mendapat hadiah tersebut dan menunjukkan bahwa si pemberi hadiah adalah orang terhormat, dermawan dan berjiwa besar. Hal ini adalah harapan agar si bayi kelak tumbuh menjadi orang yang dermawan, terhormat dan berjiwa besar. Wallahu a’lam.