Bolehkan Berutang untuk Melaksanakan Aqiqah?

Bolehkan Berutang untuk Melaksanakan Aqiqah?

Sunnah Aqiqah – Bolehkan Berutang untuk Melaksanakan Aqiqah? Berikut penjelasan dari para ulama dan ahli fiqih terkait hukum berhutang untuk ibadah aqiqah.

Aqiqah adalah sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Menghidupkan Sunnah adalah sesuatu yang menjadi tuntutan atas setiap Muslim. Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap Muslim yang mampu melaksanakannya untuk menjaga dan memelihara Sunnah ini. Bagi orang yang ingin melaksanakan aqiqah, yang terbaik adalah orang yang mampu. Apabila beberapa bentuk ibadah wajib seperti ibadah haji mengharuskan adanya kemampuan untuk melaksanakannya, maka terlebih lagi pada bentuk-bentuk ibadah sunnah.

Daftatr Isi

Sebagian ulama mengatakan bahwa aqiqah juga menjadi syariat orang miskin yang tidak memiliki biaya untuk pelaksanaannya. Bahkan, Imam Ahmad memandang sunnah meminjam uang bagi orang yang tidak mampu untuk membeli hewan aqiqah dan menyembelihnya sebagai upaya menghidupkan as-Sunnah. Ada beberapa pernyataan beliau mengenai hal ini, antara lain:

  • Al-Khallal menukilkan dalam riwayat Abul Harits, beliau mendapat pertanyaan tentang seseorang yang meminjam uang untuk pelaksanaan aqiqah. Beliau menjawab, “Semoga Allah memberinya ganti. Dia telah menghidupkan as-Sunnah.”
  • Putra beliau yang bernama Shalih bertanya, “Seseorang memperoleh anak, tapi tidak memiliki uang untuk mengaqiqahinya. Menurut penapat Anda, mana yang lebih disukai: dia meminjam uang supaya dapat melaksanakan aqiqah, atau menunda pelaksanaannya sampai memiliki uang yang cukup?” Beliau menjawab, Yang paling sering terdengar dalam masalah aqiqah adalah hadis al-Hasan dari Samurah dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya.

Aku berharap apabila dia meminjam uang, semoga Allah Subhianahu  wa Ta’ala segera melunasinya. Sebab, dia sedang menghidupkan salah satu Sunnah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan mengikuti petunjuk beliau.

Ibnul Mundzir mengomentari seluruh riwayat ini dengan mengatakan, “Ahmad telah berkata benar. Menghidupkan dan mengikuti Sunnah lebih baik. Tentang aqiqah, banyak hadis yang telah kami riwayatkan dan tidak terdapat dalam riwayat lainnya. Sebab, aqiqah adalah ritual penyembelihan hewan yang menjadi perintah oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Oleh karena itu, lebih patut untuk melaksanakannya seperti walmah dan qurban.”

Ibnul Qayyim mengomentari pernyataan Imam Ahmad dengan mengatakan, “Hal ini karena aqiqah adalah Sunnah dan ritual yang menjadi syariat berkat adanya pembaharuan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kedua orangtua. Pada aqiqah tersimpan hikmah terpendam tentang tebusan Nabi Ismail alayhissalam dengan seekor domba. Hal itu menjadi sunnah yang yang menjadi warisan secara turun-temurun. Setiap orang dari mereka mengeluarkan tebusan untuk anaknya sewaktu lahir. Persis seperti mengucapkan nama Allah ketika meletakkan sperma di dalam rahim sebagai upaya perlindungan dari gangguan setan.”

Imam an-Nawawi berkata, “Pelaksanaan aqiqah menurut kami lebih daripada bersedekah dengan nilai yang sama. Pendapat ini juga oleh Ahmad dan Ibnul Mundzir.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Barang siapa yang tidak memiliki dana untuk melaksanakan qurban atau aqiqah, silakan meminjam uang untuk melaksanakannya dengan catatan memiliki kesanggupan untuk mengembalikan pinjaman tersebut.”

Bolehkan Berutang untuk Melaksanakan Aqiqah?

Ibnul Haj al-Maliki mengatakan, “Para Ulama kami rahimahullah mengatakan tentang orang yang hanya memiliki satu perangkat baju untuk shalat Jumat dan tidak ada yang lain, ‘Hendaknya menjual baju tersebut untuk melaksanakan qurban.’ Demikian juga dia boleh menjualnya untuk melaksanakan aqiqah anaknya.” Mereka juga mengatakan, “Boleh meminjam uang untuk melaksanakan qurban. Demikian juga boleh meminjam uang untuk melaksanakan aqiqah. Hukumnya sama.”

Perlu memahami bahwa banyak orang yang menghabiskan biaya besar untuk menyambut kelahiran bayi dengan membeli pakaian, penganan dan lain sebagainya. Mereka juga melakukan berbagai pesta ulang-tahun yang secara syariat dilarang. Sebaliknya, mereka justru pelit untuk melaksanakan aqiqah bagi anak-anak yang mereka miliki. Ternyata, sikap pelit untuk melaksanakan aqiqah ini sudah ada semenjak dahulu.

Ibnul Haj al-Maliki mengatakan, Sungguh mengherankan orang yang mengaku dirinya tidak mampu dan menjadikannya sebagai alasan untuk tidak melaksanakan aqiqah, padahal untuk berbagai pesta yang mereka adakan memerlukan biaya yang jauh lebih tinggi dari pada biaya aqiqah. Salah satu bentuk pesta tersebut adalah dengan membuat kue tart pada hari ketujuh kelahiran atau membelinya dan membeli berbagai penganan yang membutuhkan biaya berkali-kali lipat dari harga seekor hewan aqiqah.

Ini mereka lakukan pada hari ketujuh kelahiran walaupun membutuhkan biaya yang cukup besar untuk sesuatu yang tidak memiliki alasan syari. Bahkan, substansinya tidak lain adalah bid’ah, pamer kekayaan dan gosip. Sebagian dari mereka juga melakukannya pada hari kedua kelahiran. Sebagian yang Iain melakukannya pada hari ketujuh, kedua dan ketiga kelahiran. Dan sebagian yang lain melakukannya hanya pada salah satu dari hari-hari tersebut.

Ini mereka lakukan dengan alasan tidak memiliki biaya untuk melaksanakan aqiqah. Padahal, biaya untuk pelaksanaan aqiqah jauh lebih ringan dan murah dari pada dengan biaya pesta-pesta tersebut. Bahkan, kalau mereka mau meninggalkan bid’ah yang mereka lakukan dengan membuat kue pesta tersebut, tentu mereka akan memiliki biaya yang cukup untuk aqiqah, bahkan lebih. Sebab, kue tart membutuhkan biaya yang cukup besar.

Satu potong keju atau kurang dari itu semestinya cukup untuk membuat satu kue tart. Mereka membuat kue ini dan membagi-bagikannya kepada sanak-famili, tetangga dan kenalan. Padahal, hal ini tidak harus mereka lakukan dan syariat juga tidak menganjurkan mereka untuk melakukannya, walaupun pada dasarnya memberi makan orang lain dianjurkan oleh syariat. Tetapi, hal itu hanya berlaku apabila tidak meninggalkan Sunnah. Seandainya biaya untuk membeli kue tart dan berbagai macam penganan tersebut mereka gunakan untuk membiayai pelaksanaan aqiqah, tentu itu cukup atau bahkan lebih. 

Kemudian, masih mereka tambahkan dengan hidangan pencuci mulut pada malam ketujuh kelahiran yang mereka bagi-bagikan untuk keesokan harinya. Ini justru oleh orang miskin di kalangan mereka. Sebagian dari mereka mengganti hidangan pencuci mulut dengan beragam gula-gula yang menyerupai hidangan pencuci mulut. Mereka sebut dengan istilah Mughazdarat atau Nutsun. Ini semua termasuk dalam kategori pemborosan, bid’ah, suka pamer, kesombongan, meninggalkan Sunnah; tidak mengerjakannya atau mencari berkahnya.

Kemudian, masih mereka tambah lagi dengan satu kebiasaan tercela. Yaitu seluruh anggota keluarga harus memakai baju baru dan berpenampilan Seisi rumah juga harus tampil baru. Sampai karpet pun mereka ganti dengan yang baru, dan seterusnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rahmat kepada kita semua. Dengan itu semua mereka masih berusaha untuk mengemukakan alasan bahwa mereka tidak melaksanakan aqiqah karena tidak mampu. Sebagian dari mereka berutang ke sana ke mari untuk mengadakan pesta tersebut dan beralasan bahwa aqiqah tidak wajib mereka lakukan.

Mereka sama sekali tidak sibuk dengan utang untuk pelaksanaan aqiqah, tapi justru sibuk memikirkan bagaimana caranya memperoleh pinjaman untuk mengadakan pesta-pesta yang bertolak-belakang dengan anjuran dan tuntutan syariat. Meminjam uang untuk melaksanakan aqiqah akan menyebabkan si peminjam tidak merasa kesulitan untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sama seperti qurban, karena keberkahan mengerjakan Sunnah. Demikianlah pada setiap pelaksanaan Sunnah.

Tidak meragukan bahwa setan yang terkutuk berusaha membisikkan hal itu supaya mereka tidak mendapatkan keberkahan mengerjakan Sunnah. Karena, melaksanakan aqiqah adalah keberkahan, kebaikan dan biayanya pasti mendapat ganti. Biaya aqiqah daripada orang yang mengadakan pesta-pesta tersebut tergolong sangat ringan. Pada aqiqah terdapat pahala yang besar, sementara pada pesta-pesta tersebut justru sebaliknya. Seandainya mengerjakan bid’ah tersebut tidak tercela, (merugi karena) selain biayanya yang tidak akan ada gantinya dan tidak ada pahala, belum lagi rasa penat dan lelah dalam melaksanakannya, maka pelaksanaannya adalah kelelahan dunia dan akhirat.”