Sunnah Aqiqah – Mayoritas ulama mengemukakan syarat-syarat aqiqah adalah sebagai berikut:
Daftatr Isi
Syarat pertama:
harus hewan ternak; yaitu domba, kambing, unta dan sapi. Aqiqah tidak sah pada jenis hewan lainnya seperti kelinci, ayam atau burung. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan ahli Fikih, ahli hadis dan lain-lain.
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa yang boleh untuk aqiqah hanya delapan pasang hewan yang boleh dalam qurban, kecuali pendapat menyimpang dari orang yang sama sekali tidak memperhitungkan pendapatnya.”
Ibnu Hazm az-Zhahiri menyalahi pendapat ini dan menyatakan bahwa aqiqah hanya boleh dengan kambing (domba dan biri-biri) saja dan tidak boleh dengan sapi atau unta. Dia katakan, “Untuk aqiqah tidak boleh dengan hewan apa pun selain yang berjenis kambing saja, seperti domba atau biri-biri. Hewan selain yang kami sebutkan di sini tidak boleh; tidak unta, sapi, maupun hewan ternak lainnya.” Pendapat ini dia nukilkan dari Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar dan merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Malik. Juga merupakan pendapat Abu-Ishaq bin Sya’ban dari kalangan ulama penganut mazhab Maliki dan al-Bandaniji dari kalangan ulama penganut mazhab Syafi’i seperti yang dinukilkan oleh as-Subki darinya, Abu Nashr al-Bandaniji dalam kitab Al-Mu’tamad mengatakan, “Asy-Syafi’i tidak memiliki nash selain kambing untuk aqiqah. Menurut saya, tidak boleh selain kambing.”
Mereka berargumentasi dengan makna eksplisit dari hadis-hadis yang menyebutkan lafal ‘kambing’ dan ‘domba’, seperti hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyembelih domba aqigah untuk Hasan dan Husain masing-mnasing satu ekor.“
Dan hadis Ummu Kurz radhiyallahu ‘anha,
’Anil ghulaami syaataani mukaafiataani wa ‘anil jaariyati syaatun
Artinya: “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.”
Mereka katakan bahwa lafal (syaatun) untuk seekor kambing dan domba.
Ibnu Hazm mengatakan, “Lafal (syaatun) disepakati dipakai untuk kambing dan domba.”
Ibnu Hazm juga berargumentasi dengan hadis yang dari Yusuf bin Mahik riwayatkan, bahwa dia masuk menemui Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar. Suaminya, al-Mundzir Ibnu Zubair mendapatkan anak, “Aku katakan kepadanya; Akankah engkau aqiqahi anakmu dengan seekor unta?” Dia menjawab, Kami berlindung kepada Allah. Bibiku Aisyah pernah mengatakan,
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.”
Malik meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibrahim at Taimi berkata, “Aqiqah disunnahkan walaupun hanya dengan seekor burung pipit.”
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, Atsar ini tidak menunjukkan apapun selain aqiqah menjadi sunnah… Sedangkan perkataanya ‘walaupun hanya dengan seekor burung pipit’ adalah konteks hiperbola. Sama seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kepada Umar radhiyailahu’anhu yang ingin membeli kuda,
“Walaupun dia menjualnya kepadamu hanya dengan harga satu dirham.”
Juga seperti sabda beliau Shallallahu ‘aiayhi wa Sallam tentang seorang budak wanita yang berzina,
“Juallah walaupun hanya dengan harga seutas tali pengikat pelana.”
Al-Baji mengatakan: Pernyataannya ”Aqiqah disunnahkan walaupun hanya dengan seekor burung pipit”, Ibnu Habib mengatakan, “Maksudnya bukan aqiqah sah dilakukan dengan menyembelih seekor burung pipit. Maksudnya adalah bahwa aqiqah benar-benar dianjurkan dan jangan sampai ditinggalkan, walaupun dari segi finansialnya kurang mampu.”
Ibnu Abdul Hakam meriwayatkan dari Malik bahwasanya tidak boleh melakukan aqiqah dengan menyembelih burung atau binatang liar. Penjelasannya: aqiqah adalah ritual penyembelihan hewan yang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, tidak layak selain dengan hewan ternak. Persis seperti qurban dan hadyi.
Mayoritas ulama bisa berargumentasi dengan sabda Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam,
“Seorang anak terkait dengan aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya.”
Tidak menyebutkan darah apa yang menjadi maksudnya, sehingga hewan apa pun yang untuk aqiqah si bayi hukumnya sah.
Bisa juga mayoritas ulama berdalih dalam memperbolehkan menyembelih sapi dan unta dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,
“Barang siapa yang mendapat anak lalu ingin melakukan ritual penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya.”
Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menamakannya dengan sebutan nusuk yang kandungan maknanya mencakup unta, sapi dan kambing.
A-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Mayoritas ulama juga memperbolehkan unta dan sapi. Tentang hal ini, terdapat hadis yang di riwayatkan oleh ath Thabrani dan Abusy Syaikh dari Anas yang diriwayatkan secara marfu,
“Diaqiqahi dengan unta, sapi dan kambing.”
Al-Hafizh tidak mengkomentari hadis ini sedikit pun.
Dalil lain untuk mayoritas ulama adalah hadis yang diriwayatkan dari Anas radhiyallahu’anhu:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang mendapat anak, hendaknya mengaqiqahinya dengan unta, sapi atau kambing.”
Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab Al-Mujam ash-Shaghir dengan sanad yang dhaif Diriwayatkan juga olah Ibnu Hibban dalam kitab Al-Adhahi dengan sanad yang hasan seperti yang dikemukakan oleh al-Iraqi. Al-Haitsami berkomentar, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrint dalam kitab Al-Mu’jam ash-Shaghur. Dalam sanadnya terdapat seorang pendusta.” At-Tahawuni mengisyaratkan bahwa hadis ini dhaif.
Dalam argumentasi mayoritas ulama, mungkin yang paling tepat adalah menganalogikan aqiqah pada qurban dan hadyi seperti pendapat kebanyakan ulama lainnya. Imam Malik mengatakan, “Aqiqah kedudukannya sama dengan nusuk dan qurban.” Imam an-Nawawi, Ibnu Qudamah dan lain-lain juga mengemukakan hal yang sama.
Demikian juga dinukilkan dari sekelompok ulama salaf tentang bolehnya aqiqah dengan unta dan sapi.
Dari Qatadah, bahwasanya Anas bin Malik radliyallahu’anhu mengaqiqahi anak-anaknya dengan unta. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani. Para perawinya adalah para perawi kitab Ash-Shahih. Hal ini dikemukakan olah al-Haitsami.
Dari Abu Bakrah, bahwasanya dia menyembelih seekor unta untuk aqiqah putranya, Abdurrahman, dan membagi-bagikannya kepada penduduk Bashrah.
Pernyataan Ibnu Hazm bahwa penyebutan kambing dalam hadis-hadis tentang aqiqah berarti aqiqah tidak boleh dilaksanakan dengan menyembelih unta atau sapi, tidak bisa diterima. Sebab, hadis-hadis tersebut tidak membatasi aqiqah hanya dengan kambing saja. Itu disebutkan hanya sekadar contoh. Karena, menyembelih kambing jauh lebih mudah, murah dan ringan dibandingkan dengan menyembelih sapi atau unta. Selain itu, menyembelih kambing lebih biasa dilakukan daripada menyembelih sapi atau unta.
Asy-Syaukani mengatakan,
“Jelas bahwa penyebutan kambing saja tidak meniadakan bolehnya hewan lain.” Ini dari satu sisi. Sementara dari sisi yang lain, kita tidak dapat menerima pernyataan bahwa lafal (arab) hanya khusus untuk kambing, biri-biri dan domba saja. Memang secara umum arti itulah yang dominan. Tapi secara terminologis, lafal tersebut juga mengartikannya sapi dan lain-lain. Ibnu Manzhur mengatakan, “(syaatun) artinya seekor kambing, baik pejantan maupun betina. Bisa juga disebut demikian untuk biri-biri, domba, menjangan, sapi, unta dan keledai liar.”
Kesimpulannya: aqiqah boleh dengan kambing, domba, unta atau sapi seperti yang oleh mayoritas ulama, dan tidak sah apabila dengan hewan lainnya seperti burung atau ayam.
Syarat kedua:
hewan aqiqah harus sehat dan tidak cacat. Ini adalah pendapat mayoritas uiama. Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Dengan demikian, mayoritas ulama berpendapat bahwa cacat yang ada pada hewan aqiqah yang harus dijauhi sama dengan cacat yang terdapat pada hewan qurban.”
Cacat di sini adalah cacat fisik yang menyebabkan hewan tersebut tidak layak untuk menjadi qurban sebagaimana yang oleh banyak ulama.
Imam Malik berkata, “Aqiqah kedudukannya sama dengan nusuk dan qurban; tidak boleh buta sebelah, kurus, patah tanduknya atau sakit…”
Imam at-Tirmidzi menukilkan perkataan para ulama, “Kambing untuk aqiqah tidak sah selain kambing yang boleh untuk qurban.”
Al-Kharaqi mengatakan,
“Cacat pada aqiqah yang harus menghindarinya sama dengan cacat pada qurban.” Asy-Syaikh Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam menjelaskan pernyataan al-Kharaqi ini mengatakan, “Kesimpulannya, hukum aqiqah sama dengan hukum qurban dalam masalah usia hewan. Cacat yang dilarang sama dengan cacat yang dilarang pada hewan qurban. Ciri-ciri yang dianjurkan sama dengan ciri-ciri yang dianjurkan pada hewan qurban.”
Aisyah radhiyallahu’anha pernah mengatakan, “Bawakan ke mari kambing yang bermata tajam dan bertanduk panjang.” Atha’ mengatakan, “Pejantan lebih aku sukai daripada betina, dan domba lebih aku sukai daripada biri-biri.” Maka, usia domba tidak boleh kurang dari dua tahun, dan biri-biri tidak boleh kurang dari tiga tahun. Tidak boleh buta sebelah matanya yang jelas butanya, tidak boleh timpang kakinya yang jelas timpangnya, tidak boleh sakit yang jelas sakitnya, kurus-kering, bertanduk dan telinga pendek atau terpotong lebih dari setengahnya. Makruh hukumnya untuk hewan yang berdaun telinga sobek memanjang, berlobang, teriris dari bagian depan atau belakang. Pilihlah hewan yang bermata dan berdaun telinga lengkap seperti yang kami sebutkan pada hewan qurban. Sebab hewan aqiqah sama persis dengan hewan qurban.”
Abu Ishaq asy Syirazi mengatakan,
“Tidak boleh selain yang sehat dan tidak cacat. Sebab, penyembelihan ini atas dasar syariat. Sehingga, perlu adanya syarat-syarat seperti yang kami sebutkan pada hewan qurban.”4o
Berdasarkan hal ini, pada aqiqah tidak boleh hewan yang timpang kakinya yang jelas timpangnya, buta sebelah mata yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, kurus kering, buta, patah tanduknya, dan lumpuh. Cacat-cacat ini ada dalam hadis al-Bara’ bin ‘Azib yang menjelaskan tentang ciri-ciri hewan qurban. Dalam hadis tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,
“Empat hal yang tidak boleh terdapat pada hewan qurban: buta sebelah mata yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, timpang kaki yang jelas timpangnya dan kurus-kering sampai tidak bisa berdiri.”
Si perawi (yaitu perawi dari al-Bara’ bin ‘Azib, Ubaid bin Fairuz) berkata, “Aku tidak suka hewan yang belum cukup umur.” Al-Bara’ menjawab, “Tinggalkan apa yang tidak engkau sukai. Tapi, jangan mengharamkannya unuk orang lain.” riwayatnya oleh para penulis empat kitab As-Sunan. At Tirmidzi berkomentar, “Hadis ini hasan shahih dan menjadi dasar amalan menurut para ulama.” Sahih juga oleh al-Albani. (arab) artinya hewan yang tidak bisa bangkit atau berdiri karena terlalu kurus.
Hewan aqiqah-sama seperti hewan qurban-tidak boleh memiliki cacat yang lebih parah dari apa yang disebutkan dalam hadis al-Bara’ di atas.
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Keempat cacat yang tercantum dalam hadis sudah disepakati bersama. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Kita tahu bahwa cacat fisik lain yang mirip dengannya juga termasuk dalam kategori tersebut. Khususnya, apabila cacat tersebut lebih parah. Bukankah kalau buta sebelah mata tidak diperbolehkan, artinya hewan yang buta kedua matanya lebih tidak diperbolehkan? Kalau yang timpang kakinya tidak diperbolehkan, maka yang tidak berkaki atau lumpuh sama sekali lebih tidak diperbolehkan? Ini semua sudah jelas dan tidak terbantahkan.”
Aqiqah adalah sarana seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya, hewan aqiqah harus sehat, tidak cacat, gemuk dan baik. Sebab, Allah itu baik dan tidak menerima selain yang baik.
Ibnu Hazm mengemukakan pendapat yang kontradiktif dengan pendapat mayoritas ulama.
Dia memperbolehkan hewan yang cacat dan tidak mensyaratkan keselamatan hewan tersebut dari cacat. Walaupun demikian, dia tetap menganggap bahwa yang terbaik adalah hewan yang sehat dan tidak cacat. Dia katakan, “Hewan cacat boleh , baik boleh untuk qurban maupun yang tidak boleh.Tapi hewan yang sehat lebih baik.”
Asy-Syaukani menyetujui pendapat Ibnu Hazm tentang tidak adanya persyaratan yang sama dengan syarat-syarat hewan qurban pada aqiqah. Dia katakan, “Apakah syarat-syarat yang perlu untuk aqiqah sama dengan syarat-syarat qurban? Ada dua pendapat di kalangan para ulama penganut mazhab Syafi’i. Menyebutkan ‘dua ekor kambing’ tanpa kaitan apa pun menjadi sebagai dalil tidak adanya syarat tersebut. Ini adalah pendapat yang benar. Tetapi, bukan karena keumuman yang terdapat dalam kalimat di atas, melainkan karena tidak ada dalil yang mengarahkan kepada syarat-syarat dan cacat pada hewan qurban. Karena, itu termasuk dalam kategori hukum syariat yang hanya bisa tetap dengan dalil.”
Pendapat mayoritas ulama lebih tepat dan lebih kuat. Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan, “Bawakan ke mari kambing yang bermata tajam dan bertanduk panjang.”
Syarat ketiga:
Usia hewan aqiqah harus sudah cukup. Sama seperti usia pada hewan qurban. Kambing hanya sebagai hewan aqiqah apabila berusia minimal satu tahun. Pada sapi minimal dua tahun, dan pada unta minimal lima tahun. Pendapat ini berdasar pada pendapat penyamaan antara aqiqah dengan qurban. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ulama.
Al-Khallal dalam kitab Al-Jami’ menukilkan bahwa Imam Ahmad berkata, “Pada sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,
“Barang siapa yang mendapatkan anak, lalu ingin menyembelihkan hewan untuknya, silakan dilakukan.”
Maka, hadis ini merupakan dalil bahwa hewan yang boleh pada aqiqah adalah hewan yang boleh untuk ritual penyembelihan, baik berupa qurban, hadyi dan lain sebagainya. Juga karena ritual ini disyariatkan, baik sebagai sembelihan wajib atau sunnah. Sehingga, harus sesuai dengan pelaksanaan hadyi dan qurban dalam membagi-bagikan dagingnya, mengkonsumsinya dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya.
Oleh karena itu, sangat perlu untuk faktor usia. Juga karena aqiqah disyariatkan dengan disertai sifat kelengkapan dan kesempurnaan. Oleh karena itu, yang menjadi syariat untuk anak laki-laki dua ekor kambing. Pada kedua kambing ini syariatnya harus sama, tidak kurang satu sama lain. Maka untuk melengkapi kesempurnaan tersebut, usianya juga harus sesuai dengan usia ritual penyembelihan hewan lainnya. Oleh karena itu, pada hewan aqiqah terdapat hukum-hukum yang sama dengan hukum-hukum ritual penyembelihan lainnya.
Al-Mawardi berkata, Pada aqiqah, sama seperti hewan-hewan sembelihan lainnya.
Untuk domba harus berusia minimal dua tahun, dan untuk kambing harus berusia minimal tiga tahun. Apabila beralih dari kambing kepada unta dan sapi, maka lebih tua usianya lebih baik. Apabila melaksanakan aqiqah dengan domba di bawah usia dua tahun dan kambing di bawah usia tiga tahun, maka dalam sunnah pelaksanaan aqiqah ada dua pendapat.
Pertama,
bukan merupakan pelaksanaan aqiqah karena memandang pada pelaksanaan qurban. Sembelihannya hanya menjadi sembelihan untuk memperoleh daging, bukan aqiqah. Karena, aqiqah dan qurban sama-sama memiliki syarat cukup usia. Syariat telah menetapkan usia salah satunya. Sehingga, usia tersebut harus ada pada kedua amalan ini. Dengan demikian, apabila seseorang menentukan aqiqah pada kambing dan mewajibkannya, maka itu menjadi wajib baginya. Sama seperti qurban. Dia tidak boleh menggantinya dengan hewan lain. Dia juga wajib bersedekah dengan daging segar hewan tersebut kepada fakir-miskin. Tidak hanya membaginya kepada orang-orang yang berkecukupan.
Kedua,
tetap sebagai pelaksanaan aqiqah walaupun usianya bawah usia qurban. Sebab, qurban lebih kuat daripada aqiqah adanya kaitan dengan pendapatan dalam satu tahun. Oleh karena itu, lebih menekankan usia hewan qurban ketimbang dengan hewan aqiqah.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi mengatakan, “Kesimpulannya, hukum usia hewan aqiqah sama dengan hukum hewan qurban.”
Ibnu Rusyd al-Qurthubi mengatakan, “Tentang usia dan ciri-ciri hewan untuk ritual sembelihan ini, sama dengan usia dan ciri-ciri hewan qurban.”
Imam an-Nawawi mengatakan, “Hewan yang boleh untuk aqiqah adalah hewan yang boleh untuk qurban. Maka, tidak boleh selain domba usia dua tahun atau kambing usia tiga tahun keatas, unta dan sapi. Inilah pendapat yang benar dan merupakan keputusan mayoritas ulama. Ada pendapat lain yang oleh al-Mawardi dan lain-lain bahwa boleh juga untuk domba yang usianya kurang dua tahun dan kambing yang usianya kurang dari tiga tahun. Tetapi, pendapat pertama lebih tepat.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mentarjih pendapat yang terpilih oleh an-Nawawi dengan mengatakan, “Beliau mengambil kesimpulan dari lafal ‘satu ekor kambing’ dan ‘dua ekor kambing’ bahwa syarat-syarat untuk hewan aqiqah sama dengan syarat-syarat untuk hewan qurban. Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan para ulama penganut mazhab Syafi’i. Yang paling benar adalah adanya syarat tersebut. Ini kesimpulannya melalui analogi, bukan dalil tesktual.”
Ibnul Haj al-Maliki mengatakan, “Hukumnya sama dengan hukum hewan qurban dalam hal usia dan tidak cacat.”
Ibnul Habib, salah seorang ulama penganut mazhab Maliki mengatakan, “Usia, tidak cacat dan larangan untuk menjual bagian mana pun dari hewan aqiqah sama seperti hewan qurban. Hukumnya satu.”