Pendapat-Pendapat Ahli Fiqih Mengenal Syarat di dalam Pernikahan

Pendapat-Pendapat Ahli Fiqih Mengenal Syarat di dalam Pernikahan

Syarat di dalam pernikahanNikah – Melakukan akad atas pihak lain, dengan tujuan tertentu. Yang dimaksud syarat ini adalah syarat-syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul. Maksudnya, ijab akan terjadi, namun harus dibarengi dengan sebuah syarat. Para ulama ahli fikih memberikan penjelasan secara terperinci mengenai hal itu. Kami akan memberikan pendapat setiap madzhab mengenai hal itu satu per satu. Ini berbeda dengan ijab yang digantungkan dengan sebuah syarat, maka sesungguhnya ijab tidak akan terjadi sebelum syarat di dalam pernikahan terpenuhi.

1. Madzhab Hanafiah

a) Jika syaratnya benar dan sesuai dengan akad, serta tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat, maka wajib dipenuhi.

Misalnya seorang perempuan memberikan syarat untuk tinggal sendiri di sebuah rumah, bukan dengan keluarganya atau dengan istri-istri si lelaki lainnya. Atau si perempuan tersebut memberikan syarat agar si lelaki tidak mengajaknya pergi jauh, melainkan dengan seizin keluarganya.

Demikian juga jika si perempuan memberikan syarat agar memberinya jumlah mahar tertentu. Atau dengan dibarengi syarat yang lain, seperti mensyaratkan memberikan 1000 dirham dengan tidak mengajaknya keluar dari dalam negeri, atau dengan tidak memoligaminya. Jika si lelaki memenuhi syarat tersebut maka si perempuan akan mendapatkan mahar yang ditentukan tersebut, karena si lelaki telah memberikan maharnya dan si perempuan meridhainya. Akan tetapi jika si lelaki tidak memenuhi syarat tersebut, dengan berpoligami atau mengajaknya keluar negeri maka si perempuan berhak mendapatkan mahar mitsli. Karena si lelaki telah menentukan sesuatu yang bermanfaat bagi si perempuan. Ketika sesuatu tersebut tidak ada maka ia wajib memberinya mahar mistli, karena si perempuan tidak ridha.

Senada dengan hal itu syarat yang diperintahkan oleh syariat, seperti mensyaratkan agar si lelaki berbuat baik kepadanya. Atau tidak mengeluarkannya ke klub malam, tempat-tempat tarian erotis dan sejenisnya.

Para ulama Hanafiah berkata termasuk syarat-syarat yang benar menurut mereka-, “jikalau si lelaki menikahi seorang perempuan dengan syarat bahwa perkara perempuan tersebut ada dalam wewenangnya sendiri, maka itu sah.” Akan tetapi jika si lelaki berkata, “Nikahkanlah aku dengan putrimu dengan syarat bahwa perkaramu ada dalam wewenangmu sendiri,” maka ia tidak mempunyai wewenang sebab itu merupakan bentuk penyerahan sebelum akad nikah.

b) Jika syaratnya rusak, yaitu tidak sesuai dengan akad, atau tidak dibolehkan oleh hukum-hukum syariat, maka akad nikahnya sah dan syaratnya batal sendiri.

Hal itu seperti disyaratkannya khiyar (memilih) bagi salah satu pihak atau masing-masing dari keduanya untuk membatalkan pernikahan dalam kurun waktu tertentu. Ini berbeda dengan kaidah umum yang menyatakan bahwa syarat yang rusak dalam proses tukar-menukar harta, seperti jual-beli, dapat merusak akadnya.

Jika telah ada pelarangan atas sebuah syarat, seperti mensyaratkan untuk menceraikan istri-istri yang lain, makruh hukumnya untuk memenuhinya. Dengan dalil hadits yang berbunyi,

Tidak halal bagi seorang perempuan untuk meminta menceraikan istri-istri suaminya yang lain.

2. Madzhab Maliki

Syarat-syarat yang berkaitan dengan akad nikah ada dua macam: (1) syarat-syarat yang benar, dan (2) syarat-syarat yang rusak. Sedangkan syarat yang benar ada dua macam: makruh dan tidak makruh.

Syarat-syarat yang tidak makruh adalah sesuatu yang sesuai dengan akad, seperti memberikan nafkah kepada si perempuan atau berbuat baik kepadanya. Atau juga disyaratkan agar si perempuan menaati suaminya, atau tidak keluar rumah melainkan dengan seizinnya. Di antaranya juga syarat agar si perempuan terbebas dari cacat yang membolehkan untuk dibatalkan pernikahan, seperti hendaknya tidak buta, juling, tuli, dan bisu. Demikian juga seperti hendaknya ia masih perawan atau berkulit putih dan sejenisnya.

Sedangkan syarat-syarat benar yang makruh adalah sesuatu yang tidak berkaitan dengan akad, atau tidak bertentangan dengan tujuan akad. Hanya saja syarat tersebut dapat mempersulit si lelaki. Seperti syarat agar tidak membawa keluar si perempuan dari negaranya, atau agar tidak bepergian dengannya. Atau agar tidak memindahkannya dari satu tempat ke tempat yang lain, agar tidak berpoligami dan sejenisnya. Syarat-syarat tersebut tidak mengharuskan si lelaki untuk memenuhinya kecuali jika dibarengi dengan sumpah untuk memerdekakan atau menceraikan maka syarat itu wajib dipenuhi.

Sedangkan syarat-syarat yang rusak adalah sesuatu yang bertentangan dengan akad itu sendiri atau tuiuan dari pernikahan.

Itu seperti syarat agar si lelaki tidak membawa jadwal bermalamnya antara si perempuan dan istri-istrinya yang lain, atau agar melebihkan satu minggu, kurang dari seminggu atau lebih dibandingkan istri-istri yang lain. Demikian syarat seorang perempuan ketika tejadi perceraian maka nafkahnya dibebankan kepada walinya; ayah atau tuannya, atau dibebankan kepada si perempuan itu sendiri atau ayahnya, maka syarat tersebut bertentangan dengan tuiuan pernikahan itu sendiri. Karena aslinya adalah nafkah istri itu dibebankan kepada suaminya.

Oleh karenanya, syarat yang bertentang dengan hal itu hukumnya tidak sah. Demikian iuga dengan syarat khiyar dalam pernikahan, atau syarat yang menyebabkan ketidakjelasan mahar seperti si lelaki menikahi perempuan dengan mahar nafkah sekian dalam setiap bulannya. Karena si lelaki tidak mengetahui sampai kapan nafkah tersebut akan berlanjut.

Demikian juga seperti seorang perempuan mensyaratkan kepada si lelaki agar perkaranya ada di dalam wewenangnya sendiri; ia dapat menceraikan dirinya sendiri kapan pun ia mau.

Atau agar si lelaki hanya memberikan nafkah anaknya saja bukan yang lain. Memberi nafkah kepada kerabat-kerabatnya seperti ayah atau saudaranya, dan sejenisnya. Hukum syarat-syarat ini adalah dapat membatalkan akad dan wajib membatalkannya selagi si lelaki belum bersenggama dengan si perempuan. Akan tetapi, jika si lelaki telah bersenggama dengan si perempuan maka akadnya tetap sah. Syaratnya dihilangkan, serta sesuatu yang disyaratkan tidak wajib dipenuhi. Akan tetapi, si perempuan waiib diberi mahar mitsli. Hanya saja dalam permasalahan si perempuan menjadikan perkaranya ada di dalam wewenangnya sendiri, para ulama Malikiah berkata:

a) Jika talak dalam wewenang si perempuan digantungkan pada sebuah sebab:

Jika sebab tersebut adalah sebuah perbuatan yang dilakukan oleh suami maka itu boleh dan harus bagi seorang suami, seperti mensyaratkan kapan pun ia memukul istrinya. Atau bepergian jauh darinya maka perkara istrinya ada dalam wewenang si istri sendiri, ayahnya atau lainnya. Begitu iuga dengan mensyaratkan menetapi sumpah untuk menceraikan atau memerdekakan, seperti bersumpah untuk tidak menikahinya dengan menentukan jenis talak yang diserahkan kepada si istri, apakah itu raj’i atau baain, atau tiga kali atau talak apapun yang ia kehendaki, maka saat itu suami harus memenuhi syarat tersebut.

b) Jika sebabnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh selain suami maka tidak wajib si suami memenuhi syarat tersebut. Dan pernikahannya boleh dilakukan.