Hukum Pelaksanaan Aqiqah – Bagian 1

Hukum Pelaksanaan Aqiqah – Bagian 1

Sunnah Aqiqah – Beberapa pendapat dari para ahli fiqih terkait hukum pelaksanaan aqiqah untuk bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh.

  • Hukum Aqiqah bila Bayi Meninggal Dunia Sebelum Hari Ketujuh

Ada tiga pendapat di kalangan ahli fikih dalam masalah ini.

Pendapat pertama: sunnah untuk melaksanakan aqiqah untuk bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh kelahirannya. Ini adalah pendapat para ulama penganut mazhab Syaff’i. An-Nawawi mengatakan, “Apabila bayi meninggal dunia sebelum tujuh hari dari masa kelahirannya, menurut kami disunnahkan untuk diaqiqahi.

Pendapat kedua: Ibnu Hazm mengatakan bahwa aqiqah untuk bayi tetap harus apabila si bayi tersebut meninggal dunia, baik sebelum atau sesudah tujuh hari masa kelahirannya.

Pendapat ketiga: para ulama penganut mazhab Maliki mengatakan bahwa aqiqah untuk bayi tidak menjadi sunnah apabila si bayi meninggal dunia sebelum hari ketujuh kelahirannya. Kemudian pendapat senada juga datang dari oleh para ulama penganut mazhab Hanbali dan al-Hasan al-Bashri.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin mendukung pendapat disunnahkannya aqiqah untuk bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh kelahirannya.

  • Bayi Meninggal Dunia Setelah Hari Ketujuh dan Belum Aqiqah

Terdapat beberapa pendapat yang beredar di kalangan ahli fikih seputar masalah ini.

Pendapat pertama: Ibnu Hazm mengatakan bahwa aqiqah untuk bayi tetap harus apabila si bayi tersebut meninggal dunia, baik sebelum atau sesudah tujuh hari masa kelahirannya.

Pendapat kedua: dalam kondisi demikian, terdapat anjuran untuk melaksanakan aqiqah untuk bayi. Ini adalah versi tershahih dari dua pendapat dalam mazhab Syaf’i yang oleh ar-Raf’i sebutkan. Juga merupakan pendapat para ulama penganut mazhab Hanbali.

Pendapat ketiga: dalam kondisi demikian, ritual aqiqah menjadi gugur. Ini merupakan versi lain dari pendapat dalam mazhab Syafi’i dan konsekuensi pendapat dalai mazhab Maliki.

  • Hari Kelahiran Termasuk dalam Hitungan Tujuh Hari?

Ada dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama: Imam Malik mengatakan, “Hari kelahiran tidak termasuk apabila si bayi lahir siang hari atau setelah fajar. Kalau lahir sebelum fajar. hari kelahiran termasuk dalam hitungan tujuh hari tersebut.” Ini juga merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i yang ditarjih oleh al-Isnawi. Dia katakan, “Fatwa para ulama penganut mazhab Syafi’i berdasarkan pendapat ini.” Hal ini diikuti oleh al-Hafizh al-Iraqi dalam Syarah at- Tirmidzi.

Pendapat kedua: para ulama penganut mazhab Syafi’i mengatakan bahwa hari kelahiran termasuk dalam hitungan tujuh hari tersebut. Ini adalah pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i seperti yang oleh al-Mawardi ungkapkan. Pendapat senada juga datang dari Ibnul Majisyun yang merupakan salah satu ulama penganut mazhab Maliki.

Imam an-Nawawi mengatakan, “Kalau lahir di waktu malam, sepakat bahwa hari berikutnya setelah malam itu termasuk dalam hitungan tersebut.” Ini adalah pendapat kalangan ulama penganut mazhab Hanbali. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rabimahullah mengatakan, “Ritual penyembelihan hewan aqiqah menjadi sunnah untuk melakukannya pada hari ketujuh kelahiran. Apabila lahir hari Sabtu, maka melaksanakan aqiqahnya pada hari Jumat. Yaitu satu hari sebelum hari kelahiran. Inilah kaidahnya. Apabila dilahirkan pada hari Kanis, maka aqiqahnya dilaksanakan pada hari Rabu. Dan demikian seterusnya.