Sunnah Aqiqah – Para ulama berselisih pendapat mengenai pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan aqiqah.
Daftatr Isi
Pendapat pertama:
yang bertanggung-jawab untuk melaksanakan aqiqah adalah bapak si bayi. Anggota keluarga lainnya selain bapak tidak bertanggung-jawab untuk melaksanakannya. Ini adalah pendapat para ulama penganut mazhab Maliki dan Hanbali. Para ulama penganut mazhab Hanbali juga mengatakan, “Apabila si bapak sudah meninggal dunia sementara bayinya masih berada dalam kandungan, ibunya dapat mewakili bapak (suami) untuk mengaqiqahinya.“
Al-Murdawi mengatakan, “Tidak boleh melaksanakan aqiqah selain bapak menurut pendapat yang benar dalam mazhab ini, dan menfatwakan secara tertulis oleh mayoritas sejawat kami.”
Dalil mereka adalah kalimat yang tertera dalam hadis ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya,
“Barang siapa yang mendapatkan anak, lalu ingin menyembelihkan hewan untuknya, silakan dilakukan.”
Mereka mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa aqiqah ada atas biaya bapak untuk anaknya. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda “lalu ingin menyembelihkan hewan untuknya, silahkan dilakukan”. Maka, beliau menetapkan hal itu dari bapak untuk anak.
Dari Imam Ahmad bahwa aqiqah menjadi tanggung jawab bapak. Ismail bin Said asy-Syalinji mengatakan: Aku bertanya kepada Ahmad tentang seseorang yang mendapat kabar oleh bapaknya bahwa dia belum mengaqiqahinya. Bolehkah orang itu mengaqiqahi dirinya sendiri? Beliau menjawab, “Itu adalah tanggung jawab bapak.“
Mereka juga berargumentasi bahwa bapaklah yang mendapat perintah untuk melaksanakannya dalam hadis-hadis tentang aqiqah. Seperti dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Tumpahkanlah darah untuknya.“
Pendapat kedua:
Apabila si bayi memiliki harta, maka biaya aqiqah berasal dari hartanya. Jika si bayi tidak memiliki harta dan masih memiliki bapak, maka aqiqahnya menjadi tanggung jawab bapak. Kalau bapaknya sudah meninggal dunia dan masih memiliki ibu, maka aqiqahnya menjadi tanggung jawab ibu. Pendapat ini oleh Ibnu Hazm.
Pendapat ketiga:
aqiqah untuk bayi menjadi tanggung-jawab orang bertanggung-jawab untuk memberi nafkah kepada si bayi dan dari harta orang tersebut, bukan harta si bayi. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i. Al-Mawardi mengatakan, Orang yang bertanggung-jawab atas pelaksanaan dan penyembelihan hewan aqiqah adalah orang yang bertanggung-jawab untuk memberi nafkah kepada si bayi; seperti bapak, kakek, ibu atau nenek. Sebab, biaya aqiqah termasuk dalam lingkup nafkah yang untuk si bayi. Jika nafkah si bayi dari hartanya sendiri, biaya aqiqah tetap tidak boleh berasal dari hartanya. Sebab, aqiqah hukumnya tidak wajib.
Sama seperti qurban yang biayanya juga bukan dari harta miliknya. Bapak atau orang yang berkedudukan sebagai orang yang bertanggung jawab atas nafkah si bayi itulah yang mendapat sunnah untuk melakukan ritual penyembelihan hewan aqiqah tersebut. Sama halnya seperti apabila si bayi tidak memiliki harta. Gugurnya kewajiban memberi nafkah tidak dapat menggugurkan sunnah aqiqah. Jika si bapak tidak mampu melaksanakan aqiqah, boleh menunda pelaksanaannya sampai dia mampu.”
Pendapat para ulama penganut mazhab Syaft’i ini menyebabkan mereka menakwilkan hadis Nabi SAW bahwa beliau mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan beberapa interpretasi. An-Nawawi menyebutkannya dengan mengatakan,
“Para sejawat kami mengatakan bahwa hadis tersebut ditakwilkan bahwa beliau Shallallahu’alayhi wa Sallam memerintahkan bapak mereka berdua untuk melaksanakan aqiqah. Atau, beliau memberinya uang untuk biaya pelaksanaannya. Atau bisa jadi kedua orang tuanya saat itu tidak sanggup melakukannya, sehingga nafkah kedua anak itu ditanggung oleh kakek mereka yang dalam hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.”
Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan, “Kemungkinan yang lain adalah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukannya secara sukarela dengan seizin kedua orang tua mereka. Atau bisa juga itu merupakan kekhususanbeliau; yaitu beliau boleh menyumbangkan sesuatu kepada siapa saja yang beliau Shallalliahu ‘alayhi wa Sallam kehendaki; seperti beliau menyembelih hewan qurban untuk orang dari kalangan umat beliau yang tidak mampu melakukannya. Ini adalah kekhususan yang beliau miliki selaku Nabi.”
Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris menanggapi berbagai interpretasi ini sebagai berikut:
(a) Pernyataan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan bapak mereka untuk melaksanakan aqiqah adalah pernyataan yang tidak memiliki bukti dan kemungkinannya sangat kecil. Bahkan, kontradiktif dengan hadis yang oleh al-Baihaqi riwayatkan, Malik dan Abu Dawud bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang Fatimah untuk mengaqiqahi Hasan dalam sabda beliau ‘Jangan mengaqiqahinya’.
(b) Pernyataan bahwa kedua orang tua mereka tidak mampu sehingga mereka berdua mendapat nafkah dari kakek mereka yang dalam hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah pernyataan yang tidak memiliki dalil. Bahkan, bukti dan dalil yang ada justru sebaliknya. Hadis dari Abu Raf’ menegaskan bahwa Fatimah radhiyallahu ‘anha ingin mengaqiqahi Hasan, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkannya untuk tidak melakukannya.
(c) Pernyataan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberi uang kepada bapak mereka untuk biaya aqiqah adalah pernyataan yang tidak memiliki bukti. Dalil-dalil dan bukti-bukti di atas justru menunjukkan sebaliknya.
Pendapat keempat:
yang bertanggung jawab untuk melaksanakan aqiqah untuk bayi adalah selain bapak dan orang yang tidak memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah. Pendapat ini yang mengemukakan al-Hafizh Ibnu Hajar, ash-Shan’ani dan asy-Syaukani.
Argumentasi mereka berdasarkan kalimat yang terdapat dalam hadis Samurah yang berbunyi ‘disembelih untuknya pada hari ketujuh kelahirannya‘. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Lafal tersebut menunjukkan bahwa yang menyembelih tidak ditentukan“. Asy-Syaukani mengatakan, “Lafal ‘disembelih untuknya pada hari ketujuh kelahirannya’ menunjukkan bahwa yang mengaqiqahinya boleh orang lain, seperti karib-kerabat, handai taulan dan lain sebagainya“. Hal ini didukung oleh bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain.
Dari kelima pendapat di atas, menurut saya, siapa saja (sebenarnya) boleh mengaqiqahi bayi. Orang yang paling berhak mengaqiqahi bayi adalah bapaknya atau orang yang bertanggung-jawab atas nafkah si bayi. Apabila salah seorang karib-kerabat ingin mengaqiqahinya, maka itu tidak apa-apa. Jika kakek, saudara atau paman ingin melakukannya walaupun nafkah si bayi bukan menjadi tanggung-jawabnya, apa yang dilakukannya itu insya Allah sesuai dengan Sunnah.
Aqiqah untuk Anak Yatim
Kita tahu bahwa yatim adalah sebutan untuk anak manusia yang bapaknya meninggal dunia sebelum mencapai usia baligh. Sedangkan untuk anak binatang adalah hewan yang induk betinanya mati. Para ulama berbeda pendapat tentang aqiqah untuk anak yatim. Para ulama penganut mazhab Syafi’i mengatakan, “Tidak mengaqiqahi dengan biaya yang berasal dari hartanya sendiri.” Sementara, para ulama penganut mazhab Maliki mengatakan, “Mengaqiqahi dengan biaya yang berasal dari hartanya sendiri.” Menurut pendapat saya, anak yatim aqiqah dengan biaya yang berasal dari hartanya apabila melebihi kebutuhan pokoknya sebagai usaha untuk menghidupkan syi’ar ini. Jika si anak yatim tersebut tidak memiliki rtahendaknya ada raing yaing menyumbaing biaya aqiqahnya da harap itu boleh dilakukan.