Ibadah Aqiqah – Sunnah untuk membaca azan di telinga kanan bayi dan iqamat di telinga kirinya, baik laki-laki maupun perempuan. Lafal adzan yang sama dengan lafal untuk shalat. Hal tersebut tepat pada hari si bayi lahir berdasarkan hadis-hadis berikut:
Dari Abu Rafi ra. berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW membaca adzan di telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Dari Ibnu Abbas ra. “Bahwasanya Nabi SAW membaca adzan di telinga Hasan bin Ali sewaktu lahir. Beliau membaca azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (HR. Al-Baihaqi)
Dari Hasan Bin Ali ra. berkata,
“Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mendapatkan anak kemudian membaca adzan di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya, niscaya anak tersebut akan terlindungi dari Ummu Shibyan.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Sunni)
Hadis ini dhaif, dhaif oleh Ibnu Qayyim.
Tetapi asy-Syaikh al-Albani memandang bahwa hadis ini adalah hadis palsu (maudhu’) yang tidak bisa sebagai syahid untuk hadis-hadis sebelumnya. Beliau sebutkan bahwa hadis ini dalam kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah dan hukumnya palsu. Beliau berbicara panjang lebar tentang sanadnya dan menyebutkan siapa yang meriwayatkannya, kemudian mengatakan:
“Kepalsuan hadis ini tidak diketahui oleh sebagian ulama yang membuat karya tulis tentang zikir dan wirid seperti Imam an-Nawawi rahimahullah. Beliau membawakannya dalam kitab dengan meriwayatkan Ibnu Sunni tanpa menunjukkan walau pada kedhaifannya sekalipun. Pensyarahnya, yaitu Ibnu ‘Allan 6/95, juga diam dan tidak mengomentari sanadnya sedikitpun.”
Kemudian,
setelah Imam an-Nawawi ada Ibnu Taimiyah yang membawakannya dalam kitab Al-Kalim ath-Thayyib dan diikuti oleh muridnya Ibnu Qayyim yang membawakannya dalam kitab Al-Wabil ash-Shahib. Hanya saja mereka berdua menunjukkan kedhaifannya dalam kedua kitab tersebut. Hal ini walaupun sudah menggugurkan kewajiban untuk tidak berdiam diri dari kedhaifannya, tetap tidak menggugurkan kewajiban untuk tidak membawakannya. Sebab dengan membawanya dalam kitab mereka, menunjukkan bahwa hadis tersebut hanya dhaif saja dan bukan palsu.
Kemudian setelah mereka, ada ulama yang tertipu dengan apa yang mereka berdua lakukan ini, padahal mereka berdua adalah Imam yang agung, sehingga mengatakan, “tidak apa-apa. Hadis ini dhaif dan masih bisa digunakan untuk fadha’ul ‘amal.” Atau menganggapnya sebagai syahid hadis dhaif lainnya sebagai pendukung tanpa memperhatikan bahwa syarat menjadi syahid adalah tingkat kedhaifannya tidak fatal. Saya pribadi telah membuktikan hal ini. At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dengan sanad yang dhaif dari Abu Rafi ra. berkata,
“Aku melihat Rasulullah SAW membaca azan shalat di telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya.”
Komentar at-Tirmidzi, “Hadis shahih dan menjadi dasar amalan.” Pensyarahnya, yaitu al-Mubarakfuri, setelah menjelaskan sisi kedhaifan sanadnya berdasarkan pernyataan para ulama ahli hadis dalam riwayat Ashim bin Ubaidillah, dia katakan, “Apabila anda bertanya; bagaimana mungkin hadis ini menjadi dasar amalan dengan kedhaifannya itu? Saya jawab; memang benar hadis ini dhaif. Tetapi, hadis ini didukung oleh hadis Husain bin Ali ra. yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mushili dan Ibnu Sunni.”
Memang benar, hadis Abu Rafi dapat menjadi kuatkan. Yaitu dengan hadis Ibnu Abbas ra.
“Bahwasanya Nabi SAW membaca azan di telinga Hasan bin Ali sewaktu lahir. Beliau membaca azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.”
al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Syu’abul Iman bersama dengan hadis Hasan bin Ali ra. dengan komentar, “Sanadnya dhaif.” oleh Ibnu Qayyim menyebutkan dalam kitab Tuhfatul Maudud halaman 16.
Saya Katakan: Sanad hadis ini lebih baik daripada sanad hadis Hasan, karena bisa dijadikan sebagai syahid untuk hadis Rafi’, Wallahu a’lam.”
Dari hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan iqamat di telinga kirinya adalah sunnah. Dan hadis tersebut bisa dipakai sebagai penetapan bahwa amal tersebut termasuk dalam kategori fadha’ilil ‘amal.