Menggabungkan Qurban dan Aqiqah

Menggabungkan Qurban dan Aqiqah

Menggabungkan Qurban dan Aqiqah. Apabila waktu qurban bertepatan dengan aqiqah, seperti apabila seseorang ingin melaksanakan aqiqah untuk anaknya pada hari Idul Adha atau hari-hari Tasyriq, apakah qurban tersebut sudah mewakili aqiqah?

Ada dua pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama:

Qurban mewakili aqiqah. Pendapat ini oleh al-Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Qatadah dan Hisyam-termasuk kalangan tabi’in. Juga merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad. Pendapat senada juga oleh Abu Hanifah. Ibnu Abidin mengatakan, “..Demikian juga apabila sebagian mereka ingin melaksanakan aqiqah untuk seorang anak yang lahir beberapa waktu sebelumnya. Sebab, hal itu termasuk dalam kategori mendekatkan diri kepada Allah dengan bersyukur atas karunia berupa anak. Hal ini diungkapkan oleh Muhammad.”

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan berkata, “Apabila mereka menyembelih hewan qurban untuk anak, maka itu sudah mewakili aqiqah.” Diriwayatkan juga oleh Abdurrazzaq.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Hisyam dan Ibnu Sirin berkata, “Pelaksanaan qurban dapat mewakili aqiqah.”

Abdurtazzaq juga meriwayatkan dari Qatadah berkata, “Barang siapa yang belum pernah aqiqah, ritual qurbannya dapat mewakilinya.” 

Al-Khallal mengatakan: Bab Riwayat Tentang Qurban Dapat Mewakili Aqiqah. Kemudian, al-Maimuni menceritakan bahwa dia bertanya kepada Aba Abdillah (Abmad bin Hanbal), “Bolehkah menyembelih hewan qurban untuk anak sebagai wakil aqiqah?” Beliau menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian beliau melanjutkan, “Banyak ulama yang berpendapat demikian.” Aku bertanya, “Dari kalangan tabi’in?” Beliau menjawab, “Ya.” …Abdillah menyebutkan bahwa sebagian mereka mengatakan, “Menyembelih hewan qurban dapat mewakili aqiqah.” …Abu Abdillah berkata, “Aku berharap semoga ritual qurban dapat mewakili aqiqah untuk orang yang belum pernah aqiqah, insya Allah.” …Aku melihat Abu Abdillah membeli hewan qurban. Kemudian, beliau menyembelihnya atas namanya dan nama keluarganya. Putranya yang bernama Abdullah saat itu masih kecil. Beliau juga mengatasnamakannya. Aku merasa tujuan beliau adalah aqiqah dan qurban sccara bersamaan. Beliau membagikan daging hewan tersebut dan mengonsumsi sebagiannya.

Golongan ulama ini memandang bahwa tujuan aqiqah dan qurban dapat terrealisasikan dengan hanya satu sembelihan. Hal ini menyerupai shalat Jumat dan shalat Hari Raya apabila bertepatan waktunya. Juga seperti shalat dua rakaat dengan niat shalat Tahiyyatul Masjid dan niat shalat sunnah Rawatib. Atau seperti niat shalat wajib setelah Thawaf dan niat shalat sunnah Rawatib. Tujuannya bisa terrealisasikan hanya dengan satu shalat. Demikian juga apabila orang yang melaksanakan ibadah haji tamattu atau qiran menyembelih kambing di hari raya Idul Adha, ritual sembelihan tersebut dapat mewakili hadyi dan qurban.

Pendapat kedua:

Qurban tidak dapat mewakili aqiqah. Ini adalah pendapat para ulama penganut mazhab Maliki, Syafi’i dan versi riwayat lain pendapat Imam Ahmad. Al-Khallal meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad berkata: Aku bertanya kepada bapakku tentang aqiqah yang dilaksanakan pada hari Idul Adha, apakah dapat mewakili qurban dan aqiqah sekaligus? Beliau menjawab, “Hanya salah satunya; qurban atau aqiqah. Tergantung pada niatnya.” Versi pendapat inilah yang menjadi pedoman mayoritas ulama penganut mazhab Hanbali.

Argumen mereka adalah bahwa qurban dan aqiqah masing-masing adalah ritual sembelihan yang memiliki sebab tersendiri, sehingga satu sama lain tidak dapat saling mewakili. Sama seperti hadyi dan damm.

Mereka juga mengatakan bahwa tujuan dari qurban dan aqiqah masing-masing adalah ritual penumpahan darah. Sehingga, satu ritual menumpahkan darah tidak bisa mewakili dua ritual sekaligus. Asy-Syaikh Ibnu Hajar al-Makki mendapat pertanyaan tentang ritual penyembelihan kambing di hari raya Idul Adha dengan niat qurban dan niat aqiqah secara bersamaan. Apakah kedua niat itu bisa melaksanakan sekaligus atau tidak? Beliau menjawab, “Yang ada dalam pernyataan para sejawat kami dan telah kami terapkan dari semenjak bertahun-tahun yang lalu adalah bahwa tidak ada saling tumpang tindih pada kedua ritual itu. Sebab, qurban dan aqiqah adalah sunnah yang masing-masing memiliki tujuan dan sebab tersendiri.” 

Qurban adalah tebusan untuk jiwa, sementara aqiqah adalah tebusan untuk anak.

Dengan aqiqah si anak dapat tumbuh dengan baik, berbakti dan dapat memberi syafaat kelak. Tetapi, dengan pendapat yang mengatakan bahwa keduanya bisa saling tumpang tindih,masing-masing tujuannya tidak akan dapat terealisasikan. Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak mungkin benar. Sama halnya seperti pendapat mereka tentang mandi Jumat dan mandi Hari Raya, shalat sunnah Zuhur dan shalat sunnah Ashar. Sementara, shalat Tahiyyatul Masjid dan yang

semisalnya tidak memiliki tujuan tersendiri. Tujuan utamanya adalah penghormatan terhadap masjid. Hal itu bisa dengan shalat yang lain. Demikian juga dengan puasa Senin-Kamis yang tujuan utamanya adalah menghidupkan hari itu dengan ibadah puasa, sehingga bisa juga dengan puasa yang lain.

Qurban dan aqiqah tidak seperti itu, sebagaimana telah saya paparkan di atas. Pembahasan ini hanya terbatas pada seekor kambing atau sepertujuh unta atau sapi. Sedangkan apabila menyembelih seekor unta atau sapi dengan tujuh niat sekaligus; seperti qurban, aqiqah, hadyi, kafarat dam dan lain sebagainya, maka itu sah dan tidak termasuk saling tumpang tindih dengan yang lain. Sebab, setiap sepertujuh bagian unta atau sapi yang disembelih itu sah menurut niatnya masing-masing.

Dalam syarah kitab Al-‘Ibab disebutkan:

Apabila melahirkan dua orang bayi dari satu perut kemudian menyembelih seekor kambing untuk kedua bayi tersebut, hal itu tidak dianggap melaksanakan dasar Sunnah seperti yang disebutkan dalam kitab Al-Majmu dan lain-lain. Ibnu Abdil Barr mengatakan: ‘Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.’ Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saling tumpang tindih antara qurban dengan aqiqah lebih tidak diperbolehkan. Sebab, kalau yang satu jenis saja tidak boleh, apalagi yang berlainan jenis, Wallahu a’lam.

Pendapat yang kuat menurut saya adalah bahwa ritual qurban tidak dapat mewakili aqiqah dan begitu juga sebaliknya. Sebab, masing-masing memiliki sebab tersendiri dalam ritual penumpalan darah sehingga tidak bisa mewakili kedudukan yang lain. Seluruh contoh kasus yang mereka ketengahkan belum tentu diterima oleh seluruh ulama.

Melakukan dua ibadah sekaligus dengan satu niat boleh bagi sebagian ulama. Sebab, mereka menganggapnya termasuk kategori sarana, bukan tujuan. Misalnya seperti seseorang yang mandi dengan niat menghilangkan hadas kecil dan hadas besar sekaligus, atau dengan niat mandi Jumat dan mandi junub. Hal ini kontradiktif dengan pendapat Ibnu Hazm. Sedangkan tentang ibadah shalat Tahiyyatul Masjid dengan niat sekaligus shalat sunnah Rawatib, karena shalat Tahiyyatul Masjid sudah pasti walau dengan tanpa niat sekalipun. Kemudian, pendapat mereka tentang bolehnya melakukan dua ibadah dengan satu niat, menurut hemat saya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganggapnya memiliki dua tujuan berbeda walaupun tidak diniatkan oleh si pelaku. Misalnya seperti orang yang bersedekah untuk karib-kerabat. Dia akan mendapatkan dua pahala sekaligus; pahala sedekah dan pahala menyambung tali silaturahmi.