Parenting Al-Kautsar – Selain seorang ibu yang hebat, seorang anak juga menginginkan sosok ayah yang memiliki sifat-sifat menonjol. Maka dari itu seorang ayah harus terlibat.
Daftatr Isi
Tentang Ayah
Mari kita beralih dari pandangan tradisional yang memahami ayah sebagai pemberi keturunan biologis dan penyedia kebutuhan materi semata. Ayah tradisional dicirikan sebagai orang yang bekerja keras mencari nafkah (breadwinner), namun seringkali absen (tidak hadir) baik secara fisik maupun emosional dari anak-anaknya (Mc Keown, 2001)
Sudah tak terbilang lagi, begitu banyak sindiran dialamatkan kepada ayah disebabkan kelalaiannya dalam berperan. Para ahli dan pakar telah berulang kali mengulas dari hasil penelitiannya, bahwa memahami peran ayah secara tradisional seharusnya sudah ditinggalkan.
Jauh sebelum penelitian-penelitian dan kajian itu dipaparkan, Allah dengan wahyu-Nya telah memberi petunjuk mengenai sosok ayah dalam kitab-Nya, Al-Qur’an.
Nabi Adam as sebagai manusia pertama, adalah juga ayah pertama bagi seluruh umat manusia. Belau memberi teladan umat manusia seluruhnya tentang mengelola bumi dan mempertahankan kehidupan. Pendidikan keluarga yang ditanamkan adalah tentang tauhid kepada Allah, tentang kedekatan kepada Allah dan hakikat keikhlasan yang diwujudkan dalam bentuk ajaran berqurban, tentang syariat pernikahan, dan melestrikan alam. Semua itu dilakukan dengan kepemimpinan Nabi Adam as, seorang ayah yang luar biasa.
Nabi Ibrahim adalah pendidik sejati yang menjadi ayah para Nabi. Dari keturunannya lahir beberapa Nabi hingga yang terakhir, Muhammad SAW. Nabi Ibrahim mengajarkan keteguhan akidah melawan penguasa zalim, keberanian mempertahankan pendapat yang benar, kemandirian, perjuangan hidup, musyawarah, hingga qurban sebagai bentuk cinta Allah yang tak tertandingi.
Nabi Ya’qub memberi contoh seorang ayah yang bersungguh-sungguh menjaga akidah anak—anaknya. Beliau memastikan bahwa anak-anaknya akan teguh berkeyakinan, beriman dan taat seperti dirinya, yaitu hanya kepada Allah. Di kala menjelang wafatnya, belau memanggil anak-anaknya untuk memastikan bahwa anak-anaknya tetap menyembah Allah.
“Apa yang akan kau sembah sepeninggalku?” Tanya beliau di penghujung napasnya.
Nabi Zakariya adalah seorang suami penyabar yang ketaatan menjadi teladan bagi seluruh suami. Ketika lama tak dikaruniai keturunan, beliau membuktikan dirinya seorang yang tabah dan tetap berprasangka baik kepada Allah, hingga Allah mengabulkan keinginannya dengan lahirnya bayi laki-laki Yahya. Nabi Zakaria mengajarkan taurat kepada puteranya itu sejak kecil, memberi teladan kepada umat manusia bahwa seorang ayah bertanggungjawab mengenalkan wahyu Allah dan syariat-Nya kepada anak sejak dini. Ketika Yahya masih remaja, sang ayah telah melibatkannya dalam dakwah menyeru manusia untuk berbuat kebaikan dan mencegah mereka berbuat kemungkaran. Sungguh, seorang ayah adalah pembimbing, dan mentor dakwah bagi anak-anaknya.
Imran bukan seorang Nabi, tetapi disebutkan dalam Al-Qur’an karena kemuliaannya. Beliau memberi teladan tentang bagaimana seharusnya orang tua berpandangan terhadap anak, yaitu sebagai pengabdi kepada Allah. Sampai-sampai pandangan ini dilantunkan dalam doa isterinya ketika mengandung kehamilan Maryam. Ketika Maryam lahir, Imran benar-benar memberi teladan cara menjaga kehormatan dan kemuliaan anak perempuan, yaitu Maryam. Hingga atas kehendak Allah, Maryam melahirkan putera yang dimuliakan, yaitu Nabi Isa as.
Luqman juga bukan seorang Nabi, tetapi Allah mencacat keistimewaannya sebagai ayah yang bijak dan penuh kearifan. Yang paling mengesankan dari keteladanan Luqman adalah beliau memberi contoh mengenai praktik pengasuhan ayah kepada anak-anaknya. Pengasuhan Luqman sangat nyata dan langsung, yaitu sebagai ayah yang mengingatkan anaknya untuk menjauhi syirik, membimbing anak-anaknya untuk mendirikan salat, memberi petunjuk mengenai cara menjalin hubungan dengan orang tua, adab berbicara, dan etika berjalan atau menjaga pandangan masyarakat, dan nasehat seputar pengawasan Allah.
Mereka semua itu adalah figur ayah, dan Al-Qur’an tak pernah salah mengabadikan nama-nama mereka. Sebuah pesan yang sangat mudah dipahami, bahwa ayah harus hadir dalam kehidupan anak-anaknya. Terlibat mendidik dan menjalin kedekatan.
Bukan ayah yang seperti ini
Masih tentang dua tipe besar ayah, yaitu ayah tradisional yang hanya menjadi biologis dan penjamin kebutuhan hidup, dan ayah modern yang merupakan ayah biologis sekaligus ayah social (social father).
Ayah model lama: Good father, good provider
Ayah adalah penguasa rumah. Ia adalah seorang pria yang menikahi wanita, kemudian dari pernikahan itu lahirlah anak-anak. Ayah menjadi pihak yang paling kuat di rumah. Ia mengambil keputusan untuk mengendalikan semua hal yang terjadi pada isteri dan anak-anaknya. Ia menentukan arah keluarga, menjadi satu-satunya pemberi nafkah atau penjamin kehidupan keluarga.
Sebagai penjamin kebutuhan (provider), ayah akan berkuasa dan menentukan semuanya, tetapi tidak terlibat dalam pengasuhan anak-anak karena urusan detail rumah tangga adalah tugas ibu. Jadi, berpagi-pagi ayah pergi dan petang hari pulang untuk berburu uang. Karena menghayati tanggungjawabnya sebagai pencari nafkah, ia menjadi tidak merasa harus banyak berinteraksi dengan anak-anaknya. Ia tidak mengetahui sifat anak-anaknya dengan rinci beserta perkembangannya setiap hari. Ia tidak mampu menangkap cita-cita dan mimpi anak-anaknya. Dan ia tidak tahu nama guru yang mengajar anak-anaknya dan menolak dating di pertemuan wali murid yang membicarakan kondisi terkini dan masa depan anaknya.
Dalam persepsi pribadinya, terlintas bahwa ayah yang menggendong bayi atau memasak di dapur akan menjadi luntur wibawanya, kurang gagah, dan jatuh gengsinya.
Ayah model baru, Good father, sharing power
Apakah dengan meninggalkan konsep keayahan tradisional berarti kita akan begitu saja masuk ke dalam model ayah modern yang sepenuhnya berbagi?
Pertumbuhan ekonomi telah menggeser posisi ayah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Penyebabnya adalah semakin besar dan luasnya keterlibatan perempuan untuk menjadi tenaga kerja, yang bermakna pula bahwa dominasi laki-laki sebagai pencari nafkah dalam keluarga tidak lagi berlaku. Ayah tak selalu penting sebagai penjamin penghidupan karena ibu juga mampu melakukannya, bahkan bisa melebihi ayah.
Keadaan ini mengubah beragam pandangan para pemerhati keluarga. Di antaranya adalah gagasan pentingnya “social father”, yaitu seorang laki-laki yang berbagi kehidupan sehari-hari dengan anak, hidup bersama dengan dia, dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Pengamat keluarga lain yang mengaitkan bertambahnya peran ayah di rumah itu dengan pembagian kekuasaan. Menurutnya, pergeseran status dari ayah biologis ke ayah sosial mengindikasikan bahwa praktek pengasuhan yang dilakukan ayah didasari oleh pembagian kekuasaan (power sharing) dengan ibu.
Semakin lama, model ayah di sini semakin terhubung dengan propaganda kesetaraan gender. Agenda tak terpisahkan dari gerakan feminis.
Bukan ayah seperti itu yang kita inginkan, tradisional yang sekedar berkuasa dan menjamin materi, juga bukan ayah modern yang berbagi kekuasaan dengan ibu. Bukan masalah tradisional atau modern, sebab banyak kebaikan dan keluhuran nilai tidak terkait oleh keduanya. Dam bukan masalah dominasi jumlah penghasilan karena islam tidak melarang wanita berpenghasilan dan jumlah penghasilan tidak mempengaruhi status dan tanggung jawab dalam rumah. Juga, bukan masalah pembagian kekuasaan di rumah, karena norma yang terbangun dalam keluarga adalah sinergi dan kolaborasi yang jauh dari semangat penguasaan. Yang kita inginkan adalah tipe ayah yang Allah kehendaki, seperti para nabi, mwndapat ilham para sahabat dan orang-orang salih, dan inspirasi dari praktik terbaik para ayah sukses.
Ayah yang kita inginkan
Kita menginginkan sosok ayah yang memiliki sifat-sifat menonjol sebagaimana dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul-Nya.
Ayah yang memimpin
Para laki-laki adalah Ar Rijaal, seorang laki-laki yang memimpin isteri dan anak-anaknya.
Allah berfirman,
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. [QS. An-Nisa:34]
Makna memimpin adalah menjadi orang yang di depan, dengan banyak konsekuensi,
- Layak perbuatan dan ucapannya. Ia menjadi sebagai imam yang langkahnya pantas oleh isteri dan anak-anaknya ikuti.
- Memperjuangkan nasib keluarganya, dan yang pertama-tama berkorban ketika ujian kesengsaraan datang.
- Mengarahkan visi dan perjalanan hidup keluarga. Oleh ayah, mengendalikan keluarga menuju ketaatan untuk tujuan akhir yang sama, yaitu masuk surga bersama sekeluarga.
- Melindungi dan mengayomi. Ketika terjadi ancaman terhadap keluarga, ayah tampil di bagian paling depan untuk memastikan seisi keluarganya mendapat keamanan darinya.
- Memotivasi dan menggerakkan, yaitu menjadi sumber inspirasi dan energy bagi anak dan isterinya untuk menjalani kehidupan penuh semangat.
- Sosok yang bisa amanah, penuh kejujuran dan berhati-hati mempertanggungjawabkan kepemimpinannya ke hadapan Allah SWT.
Ayah yang salih
Ada begitu banyak ayah yang hanya menginginkan anaknya saja yang salih. Mereka mengeluarkan biaya untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah islami untuk dapat menghafal Al Quran dan hadits, berperilaku sesuai sunnah, dan berbakti kepada orangtua. Tetapi dirinya sendiri menolak untuk disalihkan, juga tidak memiliki rencana mensalihkan dirinya. Ketika anaknya lulus dan ternyata tidak juga salih seperti yang diharapkan, yang disalahkan adalah sekolah dan gurunya.
Ayah seperti itu tidak menyadari bahwa yang menjadi penghalang kesalihan anaknya adalah dirinya sendiri. Kesalihan anak-anak itu adalah bagian dari berkah kesalihan ayahnya.
Kisah nabi Khidhir membuka tabir, bahwa kesalihan ayah berpengaruh terhadao anak turunnya. Ketika itu Nabi Musa mengikuti Nabi Khidhir. Beliau menegakkan tembok dengan sukarela tanpa meminta upah, sehingga Nabi Musa menanyakan alasan mengapa ia tidak mau mengambil upah. Allah berfirman,
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” (QS. Al Kahfi: 82)
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini mengandung pesan bahwa kesalihan seseorang berpengaruh kepada anak cucunya. Al-Qurthubi juga menafsirkan hampir sama, yaitu ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjaga kesalihan seseorang dan menjaga keshalihan anak keturunannya meskipun jauh darinya.
Ayah yang hangat
Semua anak menginginkan ayah yang kehadirannya membawa suasana gembira, tentram, dan nyaman. Ayah yang dekat dengan anak, terlibat dalam keceriaan bersama dan saling berbincang memberi nasehat atau berbagi.
Rasulullah SAW adalah sebaik-baik ayah yang dekat dengan anak. Beliau senang bermain-main menghibur anak-anak dan kadang-kadang memangku mereka. Suatu hari, pernah Beliau menyuruh Abdullah, Ubaidillah, dan lain-lain dari putra-putra pamannya Al-Abbas ra. untuk berbaris lalu berkata, “Siapa yang terlebih dahulu sampai kepadaku akan aku beri hadiah” Merekapun berlomba-lomba menuju beliau, kemudian duduk di pangkuannya lalu Rasulullah menciumi mereka dan memeluknya.
Beliau adalah sosok yang hangat dan berempati ketika anak-anak mengalami penderitaan. Ketika Ja’far bin Abu Tholib ra terbunuh dalam peperangan mut’ah, Nabi SAW sangat sedih. Beliau segera datang ke rumah Ja’far dan menjumpai isterinya Asma bin Umais yang sedang membuat roti, memandikan anak-anaknya dan memakaikan bajunya. Beliau berkata, “Suruh kemarilah anak-anak Ja’far”. Ketika anak-anak itu datang, beliau menciuminya.
Rasulullah SAW sangat memahami dunia bermain anak. Ummu Khalid binti Khalid bin Sa’ad Al-Amawiyah berkata, “Aku beserta ayahku menghadap Rasulullah dan aku memakai baju kurung (gamis) berwarna kuning. Ketika aku bermain-main dengan cincin Rasulullah SAW, ayahku memarahiku, tapi Rasulullah berkata, “Biarkanlah dia.” Kemudian beliau pun berkata kepadaku, “Bermainlah sepuas hatimu, Nak!”
Ayah yang menanggung
Bagaimanapun, hanya ada seorang yang wajib menjadi tulang punggung keluarga, yaitu ayah. Jikapun ibu memiliki penghasilan dan mengunakannya untuk keluarga, itu adalah tambahan sedekah yang mulia.
[Yazid Subakti]