Hukum hewan aqiqah setelah sembelih menurut para ulama sama dengan hukum hewan qurban dari sisi pemanfaatannya. Berikut ini adalah perkataan sebagian ulama tentang metode pemanfaatan daging hewan aqiqah setelah menyembelih.
Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Daging aqiqah diperlakukan persis seperti daging qurban.“
Atha’ mengatakan, “Anggota keluarga boleh mengonsumsi daging aqiqah dan membagi-bagikannya. Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan. Kalau mau, juga boleh menyedekahkannya.”
Masih dari Atha’, “Daging aqiqah dimasak dengan air dan garam dan dibagi-bagikan kepada para tetangga, tapi tidak boleh disedekahkan.”
Ibnu Juraij mengatakan, ”Dimasak sepotong demi sepotong, kemudian dikonsumsi sendiri dan dibagi-bagikan, tapi tidak boleh disedekahkan.“
Daftatr Isi
Ibnu Hazm mengatakan, “Dikonsumsi, dibagikan dan disedekahkan. Semua ini hukumnya mubah, bukan wajib.”
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Kemudian diperlakukan seperti daging qurban; dikonsumsi, disedekahkan dan dibagi-bagikan kepada para tetangga. Hal ini diriwayatkan dari Aisyah dan merupakan pendapat mayoritas ulama. Daging hewan aqiqah dibagi menjadi tiga bagian; satu bagian untuk keluarga, satu bagian untuk sedekah dan satu bagian untuk dibagi-bagikan.”
Al-Kharaqi mengatakan, ”Cara memperlakukannya dalam mengkonsumsi, membagi-bagikan dan menyedekahkannya sama seperti caranya.” Yaitu sama seperti cara memperlakukan daging qurban.
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam mensyarahi perkataan al-Kharaqi di atas mengatakan, “Ini juga merupakan pendapat Imam asy-Syafi’i.” Ibnu Sirin mengatakan, “Perlakukan dagingnya sesukamu.” Ibnu Juraij mengatakan, “Dimasak dengan air dan garam, kemudian dibagi-bagikan kepada para tetangga dan teman tanpa disedekahkan sama sekali.” Ahmad pernah ditanya tentang masalah ini dan beliau mengungkapkan pernyataan Ibnu Sirin. Hal ini menunjukkan bahwa beliau juga berpendapat demikian.
Beliau juga pernah ditanya, “Bolehkah dikonsumsi seluruhnya?” Beliau menjawab, “Saya tidak mengatakan boleh dikonsumsi seluruhnya atau disedekahkan seluruhnya. Yang paling tepat adalah diperlakukan seperti daging qurban. Sebab, aqiqah adalah ritual penyembelihan yang disyariatkan tapi tidak wajib, schingga ueryerupai ritual qurban, Juga karena mirip dengan quiban dalam hal ciri-ciri, usia, ukuran dan syarat-syaratnya. Sehingga disamakan juga cara memperlakukannya. Apabila dimasak kemudian diundangkan teman-teman untuk makan bersama, maka itu baik.”
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Membagikan kepada tetangga, tapi tidak perlu mengundang khalayak untuk makan bersama seperti pesta pernikahan.”
Dalam kitab Mukhtashar al- Khalil disebutkan,
“Makruh untuk diperlakukan seperti pesta pernikahan.” Al-Mawwaq mengatakan bahwa Ibnul Qasim menyatakan, “Daging hewan aqiqah dimasak dan dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga serta dibagi-bagikan kepada para tetangga. Sedangkan mengundang khalayak untuk makan bersama, saya rasa saya tidak menyukainya.” Dalam kesempatan yang lain dia (Ibnul Qasim) mengatakan, “Apabila mereka ingin melakukannya, hendaknya melakukannya pada daging hewan yang lain kemudian mengundang khalayak untuk makan bersama. Ibnu Umar biasa mengundang khalayak untuk makan bersama pada acara kelahiran anak dan khitan anak-anak laki-laki.“
An-Nawawi mengatakan, “Dianjurkan untuk mengonsumsi, menyedekahkan dan membagi-bagikannya seperti yang kami nyatakan pada hewan qurban.” Masih dari an-Nawawi, “Para sejawat kami mengatakan bahwa hukum aqiqah dalam bersedekah, mengonsumsi, membagi-bagikan, menyimpan, ukuran yang dikonsumsi, tidak boleh dijual dan ketentuan kambing yang digunakan untuk aqiqah sama persis seperti yang kami sebutkan pada hewan qurban, tidak ada perbedaan sama-sekali.”
Ar-Raf’i menyebutkan pendapat lain; bahwa apabila kita perbolehkan aqiqah dengan domba di bawah usia dua tahun, maka tidak wajib sedekahi dan boleh mengalokasikan hanya untuk orang-orang yang mampu, Wallahu a’lam.
Banyak kalangan ulama yang menganjurkan untuk tidak menyedekahkan daging segar. Lebih baik memasaknya terlebih dahulu kemudian menyedekahkannya dengan mengirimkannya kepada kaum fakir-miskin. Para ulama tersebut menganggap hal ini lebih baik daripada mengundang kaum fakir-miskin ke rumah si pemilik hajat.
An-Nawawi mengatakan,
“Mayoritas sejawat kami menganjurkan untuk tidak menyedekahkan daging segar, tapi memasaknya terlebih dahulu.” Al-Mawardi menyebutkan bahwa apabila kita katakan aqiqah boleh dengan domba di bawah usia dua tahun dan kambing di bawah usia tiga tahun, maka harus menyedekahi dengan daging segar. Demikianlah oleh Imamul Haramain (al-Juwaini), “Apabila kita wajibkan bersedekah dengan ukuran yang sama pada hewan qurban, maka sedekah tersebut harus berupa daging segar.” Pendapat pertama, yaitu dianjurkan untuk dimasak terlebih dahulu, bercabang menjadi dua pendapat; pertama, dimasak dengan cuka. Hal ini dinukilkan oleh al-Baghawi dari teks fatwa asy-Syafi’i berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,
“Sebaik-baik kuah adalah cuka.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Kedua, merupakan pendapat yang paling benar serta menjadi keputusan penulis dan mayoritas ulama, dimasak dengan bumbu manis sebagai harapan agar si bayi memiliki budi pekerti dan perilaku yang manis kelak. Dalam kitab Ash-Shahth disebutkan,
”Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyukai gula-gula dan madu.”
Berdasarkan hal ini, kalau dimasak dengan cuka, terdapat dua pendapat tentang hukum makruhnya seperti yang disebutkan oleh ar-Rafli. Yang benar adalah tidak makruh. Sebab, tidak ada larangan untuk melakukan hal tersebut. Para sejawat kami mengatakan, “Bersedekah dengan daging dan kuahnya kepada kaum fakir-miskin dengan mengirimkannya kepada mereka lebih baik dibandingkan dengan mengundang mereka untuk makan bersama. Apabila tetap mengundang khalayak untuk makan bersama, hukumnya boleh. Apabila dibagi dua; sebagian dibagi-bagikan dan sisanya untuk undangan makan bersama, hukumnya juga boleh.”
Al-Baghawi mengatakan,
“Dianjurkan untuk tidak bersedekah dengan daging segar. Tapi, hendaknya memasaknya terlebih dahulu, kemudian mengirimkannya di dalam nampan kepada fakir-miskin. Apabila mengundang khalayak untuk makan bersama, maka itu diperbolehkan.”
Asy-Syafi’i mengatakan, “Dimasak dengan cuka.” Kemungkinan dia berpedomau pada sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,
“Sebaik-baik kuah adalah cuka.”
Pendapat lain menyatakan tidak boleh dimasak dengan cuka dengan harapan agar si bayi memiliki budi pekerti dan perilaku yang manis kelak.
Dalam kitab Al-Mustau’ib disebutkan, “Dianjurkan untuk memasaknya dengan bumbu manis dengan harapan agar si bayi memiliki budi pekerti dan perilaku yang manis kelak.“
Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Anehnya, sebagian orang mengatakan bahwa daging hewan aqiqah dianjurkan untuk dimasak dengan bumbu manis. Yaitu ditambahkan gula pada masakan tersebut sebagai harapan agar si anak kelak memiliki budi pekerti dan perilaku yang manis. Jelas ini adalah pendapat yang sangat lemah, karena tidak memiliki dalil sama-sekali. Masalah harapan dan optimisme, tidak perlu kita panjang-lebarkan seperti ini.”
Orang yang menyembelih hewan aqiqah boleh mengundang khalayak untuk makan bersama. Dia juga boleh mengkonsumsinya dan memasaknya untuk dikirimkan kepada kaum fakir miskin. Dan dia juga boleh mengundang teman-teman, karib-kerabat, tetangga dan orang-orang miskin untuk makan bersama di rumahnya. Dia boleh memperlakukan daging hewan aqiqah tersebut sesukanya. Muhammad bin Sirin yang termasuk kalangan tabi’in mengatakan, “Perlakukan daging aqiqah sesukamu.” Imam Ahmad menganggap lebih baik daging aqiqah dimasak terlebih dahulu. Ditanyakan kepada beliau, “Apakah daging aqigah harus dimasak terlebih dahulu?” Beliau menjawab, “Ya.” Dikatakan kepada beliau, “Hal itu berat bagi mereka.“Beliau menjawab, “Mereka harus menanggungnya.”
Ibnul Qayyim mengatakan,
“Hal ini dikarenakan dengan memasaknya akan dapat mencukupi biaya masak kaum fakir miskin dan tetangga. Ini berarti peningkatan amal baik dan rasa syukur atas berkat ini. Tetangga, anak-anak dan kaum fakir miskin dapat langsung menikmatinya tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun. Orang yang diberi daging yang sudah dimasak dan siap dikonsumsi, kegembiraan dan kebahagiaannya menjadi lebih sempurna dibandingkan dengan orang yang mendapatkan daging mentah yang masih perlu diolah dan dimasak.”
Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa beliau mengaqiqahi anaknya. Beliau menceritakan kepada kita apa yang beliau lakukan pada daging hewan aqiqah tersebut. Imam Malik berkata dalam kitab Al-Mabsut,
“Aku melaksanakan aqiqah untuk anakku. Aku menyembelih hewan yang aku inginkan untuk aku undang saudara-saudaraku dan lain-lain. IAku pun mempersiapkan jamuan makan tersebut. Aku menyembelih kambing aqiqah. Kemudian, sebagiannya aku bagi-bagikan kepada para tetangga, sebagiannya lagi dikonsumsi sendiri oleh keluargaku. Sisanya, mereka patahkan tulang- tulangnya, lalu aku masak untuk acara jamuan makan dengan para tetangga. Kami semua makan bersama-sama.” Malik berkata, “Barang siapa yang merasa mampu untuk melakukan hal ini, silakan melakukannya. Dan barang siapa yang merasa tidak mampu, silahkan menyembelih hewan aqiqah untuk dikonsumsi sendiri.“
Bolehkah Kaki Hewan Aqiqah Diberikan kepada Bidan?
Sebagian ulama menganjurkan agar kaki hewan aqiqah diberikan kepada wanita yang membidani kelahiran si bayi.
Mereka berargumentasi berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya,
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada aqiqah yang diselenggarakan oleh Fatimah untuk Hasan dan Husain bersabda, “Kirimkanlah salah satu kaki hewan sembelihan itu kepada bidannya. Makanlah dan bagikan! Tapi jangan mematahkan tulangnya.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Marasil dan al-Baihaqi. Asy-Syaikh al-Arnauth mengatakan, “Dalam sanadnya terdapat mata rantai sanad yang terputus (ingitha ), Dalam sanadnya juga terdapat perawi bernama Husain bin Zaid al-Alawi yang dhaif.” An-Nawawi menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan secara mauguf pada Ali radhiyallahu ‘anhu. Al-Baihaqi membawakan riwayat yang mauquf tersebut dengan lafal,
“Bahwasanya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memberikan kaki hewan aqiqah kepada si bidan.”
Al-Khallal meriwayatkan bahwa Imam Ahmad pernah ditanya tentang aqiqah. Beliau ditanya, “Apakah ada sebagian daging hewan aqiqah yang dihadiahkan kepada si bidan?” Beliau menjawab, “Ya.”
Bolehkah Memberi Makan kepada Non-Muslim dari Hewan Aqiqah?
Sebagian ulama menganggap makruh memberi makan orang kafir dengan daging hewan aqigah. Dalam kitab Al-‘Utbiyyah pada kajian pertama periwayatan Asyhab Kitab Qurban disebutkan, “Aku bertanya kepada beliau (Imam Malik) tentang hewan qurban dan aqiqah. Bolehkah membagikannya kepada orang Nasrani atau orang non-Muslim lainnya?” Beliau menjawab, “Aku belum pernah mendengarnya. Tetapi, aku lebih suka apabila tidak dibagikan kepada mereka sedikit pun.”
Dinukilkan juga dari Imam Malik bolehnya hal itu dilakukan pada hewan qurban. Sementara aqiqah dianalogikan padanya.
Saya tidak melihat adanya alasan dilarangnya memberi makan Ahlu Dzimmah dari hewan aqiqah. Terutama jika mereka miskin, tetangga atau masih memiliki hubungan kekerabatan.