Syarat-syarat Sahnya Pernikahan – Bagian 2

Syarat-syarat Sahnya Pernikahan – Bagian 2

Nikah – Ada sepuluh syarat demi keabsahan sebuah pernikahan, sebagian sudah menjadi kesepakatan para ulama dan sebagiannya lagi masih menjadi perselisihan. Berikut syarat-syarat sahnya pernikahan tersebut:

  1. Objek cabang
  2. Mengekalkan shighat akad
  3. Persaksian
  4. Ridha dan ikhtiyar (memilih)
  5. Menentukan pasangan
  6. Tidak sedang ihram haji dan umrah
  7. Harus dengan mahar
  8. Tidak bersepakat untuk saling merahasiakan
  9. Hendaknya salah satu atau keduanya tidak sedang mengidap penyakit yang mengkhawatirkan
  10. Wali

Berikut adalah penjelasan lanjutan dari artikel sebelumnya ‘Syarat-syarat Sahnya Pernikahan – Bagian 1

Syarat-syarat sahnya pernikahan

4.  Ridha Kedua Belah Plhak dan Tidak Ada Paksaan

Ini merupakan syarat menurut jumhu ulama, selain Hanafiah. Pernikahan tidak sah tanpa keridhaan dua belah pihak yang melaksanakan akad. Jika salah satu pihak dari kedua belah pihak tersebut terpaksa menikah dengan ancaman bunuh, pukul keras atau penjara dalam waktu lama, maka akad tersebut rusak. Itu sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

Sesungguhnya Allah mengampuni umatku dari kesalahan, lupa dan sesuatu yang mereka dipaksa melakukan.

Imam an-Nasa’i juga meriwayatkan,

Diriwayatkan dari Aisyah bahwasanya ada seorang perempuan bertamu kepadanya dan berkata, ‘Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan anak saudaranya agar dapat menaikkan status sosialnya, sedangkan saya tidak suka hal itu.’ Aisyah berkata, ‘Duduklah sampai Rasulullah datangi Kemudian Rasulullah datang, Iantas ia memberi tahu beliau perihal itu. Kemudian beliau mengutus orang untuk menemui ayahnya dan mengundangnya, Iantas keputusan diserahkan kepada perempuan tersebut. kemudian perempuan tersebut berkata, Wahai Rasulullah, engkau telah membolehkan apa yang ayahku perbuat. Akan tetapi aku ingin memberi tahu para perempuan bahwasanya dalam masalah ini seorang ayah tidak memiliki hak.

Maksudnya, tidak memiliki hak untuk memaksa menikahkan perempuan dengan orang yang tidak ia sukai. Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa keridhaan merupakan syarat sahnya pernikahan, dan paksaan dapat menghilangkan rasa ridha. Dengan demikian, akad nikah tidak sah dengan adanya paksaan. Pendapat inilah yang kuat karena saling meridhai merupakan pokok dalam semua akad, termasuk akad nikah. Keridhaan kedua mempelai diperhitungkan dalam akad nikah, seperti dalam jual-beli.

Para ulama Hanafiah berkata, hakikat ridha bukan merupakan syarat sahnya nikah. Pernikahan dan talak sah dengan paksaan dan gurauan. Karena orang yang terpaksa terseburt memang bermaksud melangsung akad nikah, akan tetapi ia tidak ridha dengan hukum yang akan menjadi konsekuensinya, itu sama halnya dengan gurauan. Gurauan tidak menghalangi sahnya pernikahan, karena sabda Nabi saw.,

Ada tiga hal yang seriusnya dianggap serius dan guraunya tetap dianggap serius; nikah, talak, dan rujuk.

Akan tetapi qiyas ini bertentangan dengan kepastian yang terkandung di dalam sunah.

5. Menentukan Kedua Mempelai

Para ulama Syafi’iah dan Hanabilah menyebutkan syarat ini. Akad nikah tidaklah sah melainkan atas penentuan dua mempelai. Karena tujuan menikah adalah diri kedua mempelai tersebut, maka tidaklah sah tanpa menentukannya. Seandainya wali berkata, “Aku telah menikahkan putriku,” maka tidak sah hingga ia menyebutkan nama, sifat, atau memberi isyarat kepada putrinya tersebut.

Jika ia menyebutkan namanya atau menyifati dengan sifat yang membedakan dari lain-nya, sekiranya sifat tersebut tidak ada pada saudari-saudarinya yang lain, seperti putriku yang paling besar, yang paling kecil, atau yang tengah-tengah, atau iuga yang berkulit putih dan semisalnya. Atau memberikan isyarat kepadanya dengan berkata, “Yang ini,” maka akad nikahnya sah.

Seandainya wali menyebutkan namanya ketika mengisyaratkan kepadanya dengan nama yang bukan namanya, atau ia hanya memiliki satu orang puteri, maka akadnya iuga sah. Karena dengan isyarat tersebut, penyebutan nama tidak ada status hukumnya. Seandainya dia berkata, “Aku menikahkanmu dengan putriku Fatimah ini,” dengan menunjuk (mengisyaratkan) kepada Khadijah, maka akad tersebut sah untuk Khadijah, karena isyarat lebih kuat. Akad tanpa menentukan mempelai tetap sah, ketika si perempuan tidak mempunyai saudari.

Jika teriadi kesalahan dalam ijab dan qabul, sekiranya si wali berniat menikahkan putrinya yang besar, sedangkan mempelai lelaki berniat putri yang kecil, maka akadnya tidak sah. Karena ijab merupakan hak perempuan, sedangkan qabul dari pihak lelaki.

6. Salah Satu Mempelai Atau Wali Tidak Sedang dalam Keadaan lhram Haji Atau Umrah

akad satu orangIni merupakan syarat menurut jumhur ulama selain Hanafiah. Pernikahan tidaklah sah jika salah satu dari kedua mempelai sedang dalam keadaan ihram haji atau umrah. Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah atau menikahkan, karena sabda Nabi saw sebagaimana diriwayatkan oleh Utsman,

Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah atau menikahkan.” (HR Muslim)

Dalam riwayat yang lain, tidak boleh mengkhitbah untuk dirinya maupun orang lain. Ini merupakan larangan yang jelas bagi orang yang berihram haji atau umrah untuk menikah atau menikahkan orang lain. Larangan tersebut menunjukkan akan rusaknya hal yang dilarang. Karena ihram adalah keadaan yang memang dikhususkan untuk beribadah, sedangkan pernikahan merupakan jalan menuju kesenangan, maka bertolak belakang dengan ihram itu sendiri. Oleh karena itu, pernikahan dilarang dilakukan di tengah-tengah berihram.

Para ulama Malikiah menambahkan bahwa pernikahan dalam keadaan ihram batal sekalipun telah terjadi persenggamaan dan si perempuan melahirkan. Pembatalan pernikahan tersebut tanpa harus dengan talak.

Para ulama Hanafiah berkata, ini bukan merupakan syarat untuk sahnya akad nikah. Akad nikah boleh dilakukan di saat berihram, baik yang berihram itu suami, istri, ataupun wali. Maksudnya, orang yang berihram boleh menikah dan menikahkan. Itu dengan dalil yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Nabi saw. menikahi Maimunah binti Harits ketika beliau dalam keadaan ihram.

Pendapat pertama lebih kuat, karena ada riwayat lain dari banyak jalur yang diriwayatkan dari Maimunah sendiri bahwasanya Nabi saw. menikahinya dalam keadaan tidak berihram. Jika ada dua hadits yang bertentangan maka yang dimenangkan adalah hadits yang diriwayatkan orang banyak. Karena kesalahan satu orang itu lebih mungkin terjadi dari pada banyak orang. Hadits yang diriwayatkan dari Utsman tentang larangan bagi orang yang sedang berihram untuk menikah tersebut statusnyra sahih, dan itu yang jadi pegangan. Hadits yang diriwayatkan dari lbnu Abbas dapat ditakwilkan bahwa maksud muhrim di situ adalah di dalam tanah haram, atau di dalam bulan asyhurul hurum.

7. Pernikahan Harus dengan Mahar Menurut Ulama Malikiah

Syarat ini dan dua syarat setelah ini termasuk syarat menurut para ulama Malikiah. Yaitu pernikahan harus dengan mahar. Jika tidak menyebutnya ketika akad maka harus ketika hendak bersenggama, atau menetapkan mahar mitsli setelah persenggamaan.

Syarat menurut Malikiah adalah adanya mahar. Pernikahan tidaklah sah tanpa mahar. Akan tetapi tidak disyaratkan menyebutkanya ketika akad, hanya saja dianjurkan, karena hal itu mengandung ketenangan jiwa dan mencegah terjadinya sengketa di kemudian hari. Jika tidak menyebutkan mahar ketika akad maka pernikahannya sah. Dalam keadaan demikian, pernikahannya merupakan pernikahan tafwidh.

Pernikahan tafwidh yaitu akad nikah tanpa menyebutkan mahar pun tidak menafikkannya. Ini boleh menurut ulama Malikiah. Adapun jika seorang lelaki menikahi seorang perempuan, mereka berdua saling ridha untuk menikah tanpa mahar atau mereka berdua mensyaratkan tanpa mahar, atau menamakan sesuatu yang tidak layak sebagai mahar seperti khamr dan babi, maka akadnya tidak sah, dan wajib batal sebelum terjadi persenggamahan. Jika telah terjadi persenggamaan maka akad tersebut tetap sah, dan si istri berhak mendapatkan mahar mitsli. Maksudnya, jika terjadi persenggamaan dari pernikahan yang tidak menyertai mahar itu bukan nikah tafwidh, akan tetapi nikah yang rusak (tidak sah).

Jumhur ulama berkatata tidaklah rusak akan nikah tanpa mahar, atau menamakan sesuatu yang tidak layak sebagai mahar. Karena mahar bukan merupakan rukun dalam akad, pun bukan juga syarat. Akan tetapi mahar merupakan salah satu hukum dari hularm-hukum akad. Kerusakan pada mahar tidak akan berpengaruh pada akad. Ini adalah pendapat yang kuat. Karena, jika mahar itu merupakan syarat dalam akad maka pastilah wajib menyebutkannya ketika akad. Padahal mahar tidak wajib ketika akad, akan tetapi wajib menyebutkan mahar mitsli.

8. Tidak Adanya Kesepakatan Suami dengan Para Saksi Untuk Menyembunyikan Pernikahan

Ini merupakan syarat juga menurut ulama Malikiah. Jika terjadi kesepakatan antara suami dan para saksi untuk menyembunyikan pernikahan dari khalayak manusia atau dari sebuah kelompok, maka pernikahan tersebut batal. Ini yang sebagaimana yang telah menjadi dengan nikah siri, yaitu suami berpesan kepada para saksi agar pernikahan tersebut menjadi rahasiadari istrinya, sebuah komunitas, keluarga atau istri sebelumnya. Itu jika penyembunyian tersebut khawatir dari orang zalim atau semisalnya. Hukumnya adalah wajib membatalkannya, kecuali jika telah terjadi persenggamaan.

Jika pesan menyembunyikan untuk para saksi tersebut berasal dari wali saja atau istri tanpa suami, atau suami-istri dan wali sepakat menyembunyikan tanpa pesan kepada para saksi, atau suami berpesan kepada wali dan istri atau salah satunya untuk menyembunyikan akad tersebut, hal itu tidak membahayakan dan membatalkan akad.

Jumhur ulama berkata, ini bukan merupakan syarat sahnya akad. Seandainya suami dan para saksi bersepakat untuk menyembunyikan pernikahan dari khalayak manusia atau sebagaian dari mereka, maka akad tidaklah rusak. Karena pengumuman pernikahan dapat terealisasi hanya dengan kehadiran dua saksi.