Nikah – Ada sepuluh syarat demi keabsahan sebuah pernikahan, sebagian sudah menjadi kesepakatan para ulama dan sebagiannya lagi masih menjadi perselisihan. Berikut syarat-syarat sahnya pernikahan tersebut:
- Objek cabang
- Mengekalkan shighat akad
- Persaksian
- Ridha dan ikhtiyar (memilih)
- Menentukan pasangan
- Tidak sedang ihram haji dan umrah
- Harus dengan mahar
- Tidak bersepakat untuk saling merahasiakan
- Hendaknya salah satu atau keduanya tidak sedang mengidap penyakit yang mengkhawatirkan
- Wali
Daftatr Isi
1. Objek Cabang
Si perempuan hendaknya tidak haram dalam jangka waktu tertentu, atau menjadi haram karena adanya sebuah syubhat (keraguan), atau yang menjadi perselisihan di kalangan para ahli fikih, seperti menikahkan perempuan yang masih dalam masa iddah dari talak baa’in dan menikahi saudari istri yang dicerai yang masih dalam masa iddah, menikahi dua perempuan bersaudara, seperti menikahi seorang bibi (dari ayah) dengan putri saudaranya atau bibi (dari ibu) dengan putri saudarinya. Jika objek cabang ini tidak terealisasi maka menurut ulama Hanafiah akadnya tidak sah.
Sedangkan objek asli: hendaknya si perempuan bukan merupakan perempuan yang haram selamanya bagi si lelaki, seperti saudari, putri, bibi dari ayah dan bibi dari ibu. Ini merupakan syarat terlaksananya pernikahan. Jika objek ini tidak terealisasi maka menurut kesepatakan para ulama akad tersebut tidak sah, dan tidak ada pengaruh apa pun.
Berdasarkan ini, jika pengharaman tersebut sudah qath’i (pasti) maka itu menjadi salah satu sebab batalnya akad. Jika pengharaman tersebut bersifat zhanni (dugaan), itu merupakan salah satu sebab rusaknya akad, menurut para ulama Hanafiah. Pernikahan tatkala tidak dibarengi dengan keberadaan objek cabang hukumnya rusak. Dengan terjadinya hubungan suami-istri akan menimbulkan sebagian konsekuensi pernikahan. Akan tetapi berhubungan suami-istri haram tatkala akadnya rusak. Dalam keadaan demikian, wajib memisahkan antara lelaki dan perempuan yang bersangkutan secara paksa, jika mereka berdua tidak berpisah secara sukarela.
Jika terjadi hubungan suami-istri setelah pernikahan yang rusak ini, sekalipun telah haram dan menjadi maksiat serta wajib untuk pisah dengan tetap menanggung sebagian konsekuensi pernikahan, maka si perempuan wajib mendapat sesuatu yang paling minim dari mahar yang asli dan mahar mitsli. Si perempuan juga wajib menjalani masa iddah. Jika terjadi kehamilan maka nasab si anak tetap bersandar kepada si lelaki, akan tetapi sepasang suami-istri tersebut tidak dapat saling mewarisi.
2. Shighat Ijab dan Qabul Harus Kekal dan Tidak Temporal
Jika pernikahan mendapat batasan waktu maka pernikahan tersebut batal, seperti dengan shighat tamattu’ (bersenang-senang), misalnya, “Aku bersenang-senang denganmu sampai bulan sekian,” lantas si perempuan berkata, “Aku terima.” Atau juga dengan memberikan tenggang waktu yang telah diketahui maupun tidak, misalnya, “Aku menikahimu sampai bulan atau tahun sekian, atau selama aku tinggal di negeri ini.” Macam yang pertama ini biasa dikenal dengan nikah mut’ah. Sedangkan yang kedua dikenal dengan nikah muaqqat (temporal).
Akan tetapi para ulama Malikiah berkata, Nikah mut’ah atau nikah temporal, baik tepat waktu maupun tidak suami-istri tetap berdosa. Menurut madzhab, mereka berdua tidak kena had, dan pernikahannya secara otomatis rusak tanpa harus melaluinperceraian (talak). Ketika maksud menikah secara temporal itu terang-terangan kepada si perempuan ataupun walinya ketika akad, maka hal itu membahayakan status akad. Adapun jika si suami menyembunyikan maksud menikahi si perempuan dalam jangka waktu selama ia berada di negeri ini atau selama satu tahun kemudian menceraikannya, maka itu tidak membahayakan, sekalipun si perempuan memahami hal itu.
Para ulama Hanafiah juga berkata, Barangsiapa menikahi seorang perempuan dengan niat menceraikannya setelah berjalan satu tahun maka itu bukan merupakan nikah mut’ah. Pendapat yang dalam kalangan Hanabilah, selain Ibnu Qudamah niat untuk menceraikan setelah tempo waktu tertentu dapat membatalkan akad, sebagaimana halnya ketika berterus-terang.
3. Kesaksian
Ada empat hal yang akan dibicarakan dalam syarat ini; pendapat para ulama fikih dalam pensyaratan kesaksian dalam nikah, waktu kesaksian, hikmahnya, dan syarat-syarat saksi.
-
Pendapat para ulama fikih dalam pensyaratan saksi:
Keempat madzhab telah bersepakat bahwa saksi merupakan syarat untuk sahnya pernikahan. Pernikahan tidak sah tanpa dua saksi selain wali, karena sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Aisyah,
“Tidaklah ada pernikahan melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR Darul Qutni dan Ibnu Hibban)
Juga dari Aisyah meriwayatkan,
“Dalam pernikahan harus ada empat sur; wali, suami, dan dua orang saksi.” (HR Darul Quthni)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
“Pelacur adalah perempuan-perempuan yang menikahkan diri mereka tanpa ada persaksian.” (HR Tirmidzi)
Karena persaksian dapat menjaga hak-hak istri dan anak, agar tidak terzolimi oleh ayahnya sehingga nasabnya tidak jelas. Demikian iuga dapat menghindarkan tuduhan atas suami-istri, serta memberikan penjelasan betapa pentingnya pernikahan tersebut.
Pernikahan siri:
sebagai penguat syariat persaksian, para ulama Malikiah berkata, Nikah siri itu rusak dengan talak ba’in jika suami-istri tersebut telah melakukan persenggamaan. Sebagaimana juga rusaknya pernikahan tanpa saksi dengan terjadi hubungan suami-istri. Mereka berdua terkena had zina; jilis atau rajam, jika telah terjadi persenggamaan dan hal itu mereka akui. Atau persenggamaan tersebut terbukti dengan persaksian empat saksi, seperti dalam kasus perzinaan. Mereka berdua tidak mendapat ampunan hanya karena ketidaktahuan mereka.
Akan tetapi mereka berdua tidak terkena had, jika pernikahan mereka telah menyebar dan banyak orang mengetahui seperti dengan adanya pemukulan rebana, mengadakan walimah, ada saksi satu orang selain wali, atau dua saksi fasik dan sejenisnya. Karena hal itu masih dalam taraf syubhat. Nabi saw. pernah bersabda,
“Halangilah had iu dengan hal-hal syubhat”
Para ulama Hanabilah berkata, “Akad tidak dapat batal sebab berpesan untuk menyembunyikannya. Seandainya akad nikah tersebut disembunyikan oleh wali, para saksi dan kedua mempelai maka akadnya sah tapi makruh.”
Ada pendapat shadz dari lbnu Abi Laila, Abu Tsaur dan Abu Bakar al-Asham yang menyatakan bahwa dalam pernikahan tidak disyaratkan ada persaksian dan itu tidak harus. Karena ayat yang berisi tentang pernikahan tidak mensyaratkan persaksian, seperti firman Allah SWT yang artinya, “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (an-Nisaa’: 3) Juga firman Allah SWT yang artinya, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu.” (an-Nuur: 32)
Isi kandungan ayat-ayat tersebut diamalkan tanpa ada syarat (mutlak). Sedangkan hadits-hadits yang berbicara tentang masalah ini tidak cocok sebagai pembatas (muqayyid). Ini merupakan pendapat Syiah Imamiah, mereka berkata, “Dianjurkan untuk mengumumkan dan menampakkan serta mendatangkan saksi dalam pernikahan yang abadi. Persaksian bukan merupakan syarat akan keabsahan akad menurut seluruh ulama kami.”
Pendapatini salah dan tidak dapat menjadi patokan. Karena hadits-hadits yang berisi tentang kewajiban adanya persaksian dalam akad nikah sangat masyhur. Oleh karenanya boleh menjadi pembatas (muqayyid) isi kandungan Al-Qur’an yang masih general (mutlak).
-
Waktu persaksian
Jumhur ulama (selain Malikiah) berpandangan bahwasanya persaksian wajib hukumnya ketika melakukan proses akad, agar para saksi mendengar ijab dan qabul dari kedua belah pihak yang melakukan akad. Jika akad tersebut usai tanpa persaksian maka pernikahan itu rusak karena dalil hadits sebelumnya yang berbunyi,
“Tidaklah sah pernikahan melainkan dengan adanya seorang wali dan dua orang saksi yang adil.“
Maksudnya adalah ketika menikah. Dengan demikian terealisasilah hikmah persaksian. Karena, sebagaimana menurut para ulama Hanafiah, persaksian itu adalah syarat rukun akad nikah. Oleh karena itu, persaksian menjadi syarat ketika rukun akad. Para ulama Malikiah berpandangan bahwa persaksian merupakan syarat sah nikah, baik itu ketika melangsungkan akad maupun setelah akad dan sebelum berhubungan suami-istri. Dianjurkan persaksian tersebut ada ketika akad nikah. Jika persaksian ketika akad atau sebelum terjadi hubungan suami-istri tidak sah, akad nikah tersebut dianggap rusak. Bersenggamanya dengan istri pun terhitung bermaksiat. Sebagaimana telah saya jelaskan, pernikahan tersebut harus dibatalkan.
Menurut mereka, persaksian merupakan syarat dibolehkannya bersenggama dengan si istri, bukan syarat sahnya akad. Inilah titik perbedaan antara para ulama Malikiah dan lainnya.
-
Hikmah Persaksian
Hikmah persaksian dalam pernikahan adalah memberi pengertian betapa pentingnya pernikahan tersebut dan menampakkannya kepada orang-orang demi menangkis segala jenis prasangka dan tudungan atas kedua mempelai. Juga karena persaksian tersebut dapat membedakan antara halal dan haram. Biasanya sesuatu hal yang halal itu nampak, sedangkan yang haram cenderung tertutup-tutupi. Dengan persaksian pernikahan tersebut dapat dinotariskan sehingga dapat dikeluarkan catatannya saat dibutuhkan.
Oleh sebab itu semua, syariat menganjurkan untuk mengumumkan acara pernikahan dan mengundang masyarakat untuk walimah. Rasulullah saw. bersabda,
“Umumkanlah pernikahan.”
“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana.”
Dalam hadis yang lain beliau juga bersabda,
“Umumkanlah pernikahan ini, Iaksanakan di masjid dan pukullah rebana serta hendaknya mengadakan acara walimah sekalipun hanya dengan jamuan seekor kambing. Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan dan telah menyemir rambutnya dengan warna hitam maka hendaknya ia memberitahu dan tidak membohonginya.“
-
Syarat-syarat Saksi:
Saksi hendaknya memiliki beberapa sifat tertentu;
- Hendaknya mempunyai kapabilitas untuk mengemban persaksian; telah baligh dan berakal.
- Dengan kehadiran mereka hendaknya terwujud makna pengumuman akan pernikahan tersebut.
- Hendaknya mampu menghargai pernikahan ketika menghadirinya.
Mengenai sifat al-ahliyyah (kapasitas) : yang disepakati dan disyaratkan dalam persaksian nikah adalah al-ahliyah al-kamilah (kapasitas sempurna), mampu mendengar ucapakan kedua belah pihak yang melakukan akad dan memahaminya. Syarat-syarat saksi sebagai berikut:
- Akal: tidaklah sah orang gila bersaksi untuk acara akad nikah.
- Baligh: tidaklah sah persaksian anak kecil sekalipun sudah mumayyiz (tamyiz).
- Berbilang: syarat ini menjadi kesepakatan oleh para ahli fikih. Akad nikah tidak akan terlaksana dengan satu orang saksi saja, karena sebagaimana yang terkandung dalam hadits sebelumnya yang berbunyi,
- “Tidaklah ada pernikahan melainkan denganwali dan dua orang saksi yang adil.” (HR Daru Qutni dan Ibnu Hibban)
- Lelaki: Hendaknya saksi akad nikah itu adalah dua orang lelaki. Pernikahan tidak akan sah dengan satu orang saksi perempuan.
- Merdeka: Pernikahan tidak sah dengan persaksia dua orang budak lelaki, mengingat betapa pentingnya masalah pernikahan ini.
- Islam: syarat ini sudah menjadi kesepakatan seluruh ulama. Kedua saksi pastikan harus seorang Muslim, tidak cukup dengan saksi yang keislamannya belum jelas.
- Dapat melihat: ini merupakan syarat menurutpara ulama Syafi’iah, dalam pendapat yang paling benar. Kesaksian orang buta tidak dapat diterima; karena perkataan tidak dapat ditangkap secara sempurna melainkan dengan melihat secara langsung dan mendengarkannya.
- Para saksi dapat mendengar perkataan pihak yang melakukan akad dan memahaminya, ini merupakan syarat menurut mayoritas para ahli fikih.