Parenting Al-Kautsar – Bersyukurnya ibu dan ayah ketika datang kehamilan adalah bagian dari mulai mendidik bayi dalam kandungan. Kehadiran bayi disambut dengan rasa suka cita dan sikap berterima kasih kepada Allah karena hanya dengan kekuasaan-Nya ini penciptaan bayi ini terjadi. Arti syukur paling sederhana adalah berterima kasih dengan memuji kepada Dzat yang telah memberikan berbagai kenikmatan dan kebaikan ini.
Daftatr Isi
Cara bersyukur
Ada tiga rukun syukur, yang seorang hamba tidak belum bersyukur kecuali dengan ketiganya.
Pertama, Al-I’tiraaf, yaitu pengakuan bahwa seluruh kenikmatan itu datangnya dari Allah dan semuanya adalah penting. Sikap ini memunculkan jiwa tawadhu dan rendah diri di hadapan-Nya, merasa butuh dan berhajat kepada-Nya.
Pengakuan ini sekaligus menghilangkan keangkuhan diri bahwa semua kenikmatan adalah semata akibat dari perbuatan sendiri, lalu bangga dengan kemampuannya. Sifat seperti ini terdapat pada Qarun hingga Allah menyindir dengan penuh celaan, “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku” (QS Al-Qashash 78).
I’tiraaf adalah pengakuan yang tulus, bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi langit dan bumi yang kita rasakan dan lebih banyak lagi yang belum kita rasakan.
Kedua, At-Tahadduts, yaitu mengucapkan atau mengutarakan pengakuan akan nikmat Allah dengan lisan. Seorang yang beriman minimal mengucapkan hamdalah (Alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur dan terima kasihnya kepada Allah.
Tahadduts atau mengucap syukur secara lisan ini adalah perintah ALlah, seperti dalam surat Ad Dhuha 11, yang artinya,
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan” (QS Ad-Duhaa 11)
Mengenai syukur secara lisan ini, Abi Nadhrah berkata, “Dahulu umat Islam melihat bahwa di antara bentuk syukur nikmat adalah dengan mengucapkannya”. Sedangkan Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Berkata Al-Hasan bin Ali: “Perbanyaklah menyebut nikmat-nikmat ini, karena sesungguhnya menyebutnya merupakan rasa syukur, dan sungguh Allah telah memerintahkan Nabi-Nya agar menceritakan nikmat Rabbnya.”
Sedangkan Ibnu Ishak mengatakan, “Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada manusia”
Ketiga, At-Tha’ah, yaitu ketaatan kepada Allah. Para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur. Rasa syukur mereka ini dibuktikan dengan melaksanakan ketaatan dan pengorbanan.
Tentang ketaatan Rasulullah saw, Aisyah ra menceritakan bahwa suatu saat beliau saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah ra.,”Engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang ?” Berkata Rasulullah saw, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?“ (HR Muslim)
Ketika nabi Sulaiman as. dilimpahi kenikmatan dunia, beliau mengatakan, “Ini adalah bagian dari karunia Allah, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” (QS An-Naml 40).
Maka demikianlah, ketika kehamilan itu datang, puncak rasa syukur sebagai ekspresi bahagia ibu dan ayah adalah dengan menambah ketaatan kepada-Nya.
Bersyukur bersama bayi dalam kandungan
Melibatkan bayi dalam kandungan untuk bersyukur dilakukan dengan menjalankan bentuk-bentuk ekspresi syukur ibu dan ayahnya. Bentuk syukurnya kedua mata, kedua telinga, perut dan kemaluan, serta kedua kaki dijelaskan seperti dalam riwayat berikut ini,
Berkata seseorang kepada Abu Hazim: “Bagaimana bentuk syukurnya kedua mata ya Abu Hazim?” Maka dia menjawab: “Jika engkau melihat kebaikan, engkau mengumumkannya (memberitahukan kepada yang lainnya) dan sebaliknya jika engkau melihat kejelekan, engkau menyembunyikannya.” Laki-laki tadi bertanya lagi: “Bagaimana syukurnya kedua telinga?” Beliau menjawab: “Jika engkau mendengar kebaikan maka engkau menjaganya dan jika engkau mendengar kejelekan, engkau menolaknya.” Dia bertanya lagi: “Bagaimana syukurnya kedua tangan?” Beliau menjawab: “Janganlah engkau mengambil apa-apa yang bukan milik keduanya dan janganlah engkau tahan hak untuk Allah apa yang ada pada keduanya.” Dia bertanya lagi: “Bagaimana syukurnya perut?” Beliau menjawab: “Jadikanlah makanan di bawahnya dan ilmu di atasnya.” Dia bertanya lagi: “Bagaimana syukurnya kemaluan?” Beliau menjawab dengan membacakan ayat:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mukminuun: 5-7)
Dia bertanya lagi: “Bagaimana syukurnya kedua kaki?” Beliau menjawab: “Jika engkau mengetahui suatu mayat yang engkau iri kepadanya (karena ketika hidupnya melakukan ketaatan kepada Allah), maka pergunakan keduanya sebagaimana dia amalkan.”
Jadi, ibu hamil dan ayah bayi dalam kandungan kandungan menjaga organ-organ tubuhnya dari keburukan-keburukan, lalu menggunakannya hanya untuk kebaikan.
Menjauhkan diri dari syetan
Iblis mengetahui betapa tingginya kedudukan syukur. Maka, cara tujuan utama menjerumuskan manusia adalah dengan mengalihkan manusia dari syukur.
Dia berkata, “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at).” (Al-A’raaf:17)
Maka jauhkanlah bayi dari pengaruh syetan. Ibu dan ayah mestinya bersih dari mitos dan kepercayaan tahayul yang berkembang. Keyakinan menyesatkan itu berbungkus nasehat dan tuntutan tradisi yang selain tidak bermanfaat bagi kebaikan janin, juga memberi peluang datangnya syetan-syetan.
[Yazid Subakti]