Menyadarkan Konsekuensi atas Kesalahan

Menyadarkan Konsekuensi atas Kesalahan

Parenting – Menyadarkan konsekuensi atas kesalahan. Sampai saat ini, manusia tetaplah makhluk yang penuh kesalahan, bahkan tempat salah dan lupa.

  1. Setiap manusia melakukan kesalahan 

Jangankan manusia biasa, seorang Nabi pun melakukan kesalahan. Nabi Adam ketika masih hidup di surga melakukan kesalahan dengan melanggar aturan Allah. Allah telah mengingatkan agar Nabi Adam tidak mendekati satu pohon di sana, tetapi Nabi Adam memetik buah dari pohon itu dan memakannya atas hasutan Iblis yang tak pernah berhenti merayunya. 

Kita sebagai orang tua pasti pernah melakukan kesalahan, baik kesalahan umum sebagai seorang manusia maupun kesalahan dalam hubungan dengan peran sebagai orang tua. Menyadari hal ini, kita pun dapat memahami bahwa anak juga manusia biasa yang suatu saat akan melakukan kesalahan. Kita tidak bisa mengharap anak kita terus menerus berbuat benar, berkata benar, bersikap baik dan membanggakan orang tuanya. Ia adalah anak turun kita, yang suatu saat akan pernah melakukan  kesalahan sebagaimana orang tuanya dan manusia-manusia yang lain.

  1. Sikap ketika bersalah 

Yang paling penting dari perbuatan salah adalah sikap setelah perbuatan salah itu terjadi.  Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, yang ia lakukan adalah menyadari kesalahannya kemudian bertaubat memohon ampun kepada Allah. Selanjutnya, ia tetap bersedia menerima konsekuensi dari kesalahannya itu, yaitu turun ke bumi dengan kewajiban tetap taat beribadah kepada Allah

Sikap manusia ketika bersalah adalah mengakui kesalahannya, bukan menutupi atau bertahan dalam perasaan tidak bersalah dengan mengemukakan berbagai alasan pembelaan diri. Setelah pengakuan, sikap paling baik adalah bertaubat, yaitu kesediaan untuk tidak mengulangi lagi perbuatan itu dalam kondisi apapun sampai waktu kapanpun. Taubat ini beriring dengan sikap besar hati menerima hukuman atau akibat dari perbuatannya. Hukuman ini tidak mengurangi ketaatan atau menurunnya semangat untuk tetap berbuat baik. 

Biasakan anak berani mengakui  kesalahannya, dan berbesar hati menerima konsekuensi atas perbuatannya. Orang tualah yang mengawali memberi contoh pengakuan kesalahan ketika bersalah dan meminta maaf.    

  1. Kesalahan mengandung konsekuensi

Jangan membiarkan anak berbuat salah. Pembiaran terhadap perbuatan salah dapat mengakibatkan anak beranggapan bahwa perbuatannya itu memang boleh, atau ia menganggap bahwa perbuatan salah adalah kebolehan yang wajar. 

Secara bertahap, perbaiki kesalahan anak dengan, 

  • Meluruskan kesalahannya secara langsung jika memungkinkan, atau menunda beberapa saat untuk menemukan suasana yang paling tepat. Mengoreksi kesalahan pada saat anak tidak siap (misalnya sedang marah) biasanya tidak banyak berpengaruh mengubah sikap anak. Ia dalam keadaan emosi sehingga kurang dapat memahami apa yang anda sampaikan. 
  • Memberi peringatan atau nasehat. Anda mengingatkan bahwa perbuatannya salah, menunjukkan letak kesalahannya dan memintanya untuk tidak mengulanginya. Hindari menasehati atau memperingatkan anak di depan teman-teman atau banyak orang  untuk tetap menjaga harga dirinya. Bagi anak, mendapat peringatan atau nasehat di hadapan banyak orang dapat bermakna mempermalukannya. Ia akan jatuh harga dirinya, tertekan, dan boleh jadi semakin tidak mempercayai dengan Anda.
  • memberi hukuman atau sanksi. Jika beberapa kali peringatan tidak membuat anak berubah dan sadar, maka tidak ada larangan orang tua memberi sanksi kepada anaknya. Rasulullah membolehkan orang tua untuk memukul anaknya jika pada usia 10 tahun belum mau mengerjakan salat. 

Hukuman atau sanksi berdasarkan tingkat kesalahan dan kondisi anak. 

  • Dapat berupa pengurangan hak anak, misalnya mengurangi uang jajan atau fasilitas hariannya yang tidak vital (misalnya larangan menonton Televisi, larangan bermain di luar rumah, dan sebagainya). 
  • Hukuman berupa penambahan tugas rumah, misalnya tugas harian yan semua hanya menyapu halaman setiap pagi dan dengan mencuci karpet di akhir pekan.
  • Hukuman berupa tindakan fisik, misalnya memukul di bagian tubuh yang tidak membahayakan, jika bentuk pelanggarannya adalah kemaksiatan atau melanggar aturan agama. 

Tidak menjadi anjuran orang tua menghukum anak dengan luapan kemarahan seperti menghardik atau membentak, mengusir dari rumah, atau menelantarkannya. Semua perbuatan ini dapat bernilai dosa dan merupakan pengingkaran dari amanah Allah. 

  1. Selidiki dulu dan dengarkan penjelasan anak

Saat anak melakukan kesalahan, sebagian orang tua langsung memberi hukuman tanpa melalui proses penyelidikan dan mendengar alasan anaknya. 

Memberi alasan atas perbuatan salah adalah hak setiap anak, asal bukan pembelaan untuk tetap mempertahankan kesalahannya agar dimaklumi. Kuatkan bukti bahwa anak bersalah kemudian dengarkan penjelasan dari anak seputar kronologi dan alasan yang melatarbelakangi perbuatan salah itu terjadi. Ini penting bagi orang tua untuk menilai kadar kesalahan dan menentukan tindakan apa yang harus diperbuat kepadanya. Jangan sampai orang tua mendengar anaknya berkelahi di sekolah, kemudian anak langsung mendapat hukuman begitu sampai rumah. Anak yang berkelahi dengan teman sekolah karena sebelumnya disakiti (dibully) adalah bentuk pembelaan diri atas kehormatannya. Membela kehormatan diri ketika disakiti itu bukan kesalahan. 

Kesalahan menghukum dapat terhindarkan jika orang tua bersedia dengan sabar mendengarkan keterangan dari anak mengenai kesalahan yang ia lakukan. 

  1. Tegas tanpa amarah

Banyak orang tua terjebak memberi hukuman sambil meluapkan amarah. Hukuman yang diberlakukan tidak seberapa, tetapi amarah yang dilepaskan berlebihan sehingga anak merasa dimusuhi atau tidak lagi dicintai. Amarah berupa sikap kasar, bentakan, makian, atau omelan yang menyudutkan lebih sakit dirasakan oleh anak, sementara hukuman yang diberlakukan pada saat itu menjadi semakin hambar karena anak menjadi antipati terhadap orang tuanya. Dampaknya, anak bisa menaruh kebencian, ketakutan, dan ingin menjauh dari orang tuanya. Bagaimana mungkin Anda mendidik anak kalau ia membenci, takut dan menjauh? 

Tegas mendidik berarti memberlakukan aturan, pendisiplinan, atau menegakkan hukuman dengan penuh kepastian. Pernyataan hukuman diucapkan dengan nada datar biasa, tetapi eksekusinya benar-benar dilakukan. Sikap ini akan disimpulkan oleh anak sebagai kesungguhan, bahwa orang tua tidak main-main ketika memberlakukan peraturan atau mengambil keputusan. 

  1. Istiqamah 

Salah satu sikap orang tua yang menjadikannya kurang berwibawa di hadapan anak adalah tidak adanya sikap istiqamah. Yaitu orang tua yang pada suatu hari menetapkan aturan, tetapi di hari yang ain mengubahnya sendiri dengan alasan yang sulit dipahami kebenarannya. Misalnya anda menetapkan peraturan larangan jajan di warung. Pada suatu hari ketika anda merasa malas menyediakan makanan di rumah   tiba-tiba larangan itu jadi boleh. 

Istiqamah berarti teguh dalam pendirian atau pandangan, selama tidak ada alasan syar’I yang membolehkannya untuk mengubah. Istiqamah dalam tilawah pagi berarti akan terus melakukannya selama tidak ada kebutuhan mendesak yang mengubahnya. Sikap ini akan dinilai oleh anak dan menjadi catatan tersendiri bahwa orang tuanya memang layak untuk dicontoh. 

  1. Sesuai kondisi anak dan kadar kesalahannya 

Satu jenis hukuman tidak berlaku untuk anak semua umur, semua kondisi dan semua jenis kesalahan. Orang tua menghukum anak dengan mempertimbangkan usia anak. Anak-anak yang dengan sengaja meninggalkan salat pada usia sebelum 10 tahun belum saatnya mendapat hukuman dengan pukulan di badannya.  Anak-anak sudah akil baligh tetapi belum istiqamah salat wajibnya juga tidak hanya dengan memberi nasihat. Anak perempuan tidak boleh mendapat hukuman fisik misalnya dengan menyuruhnya melakukan pekerjaan mengangkat benda-benda berat. Anak yang sedang sakit kemudian melakukan kesalahan tidak selayaknya mendapat hukuman, karena hukuman akan semakin memperparah sakitnya.  

Semua hukuman harus proporsional sesuai jenis kelamin, keadaan anak, jenis pelanggaran dan kadar kesalahannya. Jangan sampai anak melakukan kesalahan ringan tetapi mendapat hukuman berat. Atau jangan juga anak melakukan pelanggaran berat tetapi mendapat hukuman terlalu ringan yang tak membuatnya sadar. 

  1. Tetap jelaskan maksud hukuman 

Menghukum anak yang mendidik adalah dengan menjelaskan kepadanya alasan mengapa ia mendapat hukuman dengan jenis hukuman tersebut. Cobalah untuk menjelaskannya dengan ekspresi biasa tanpa menampakkan kebencian atau kemarahan. 

Jelaskan jenis hukumannya dengan rinci, batas melakukannya, sampai kapan melakukannya, dan apa yang anda harapkan pada anak dengan hukuman tersebut. Jangan lupa tetap mengingatkan agar ia tidak mengulangi kesalahannya, segera memperbaiki diri, dan  ungkapkan bahwa anda tetap menyayanginya.

 

[Yazid Subakti]