Khitan – Bagian 1

Khitan – Bagian 1

Kelahiran – Nabi Ibrahim as adalah orang yang pertama kali melakukan khitan dan mengajarkan syariat ini kepada umatnya. Ajaran ini kemudian berlanjut oleh umat nabi sesudahnya dan mengakar sebagai tradisi di beberapa tempat.

A. Pengertian

Secara bahasa, khitan artinya memotong. Dalam terminologi medis deikenal dengan istilah sirkumsisi (circumcision) adalah membuang atau memotong bagian kulit luar ujung penis (bagian kulup atau preputium). Pemotongan ini termasuk tindakan bedah yang aman, dilakukan dengan prosedur medis yang ketat untuk menghindari resiko bagi bayi atau anak-anak.

Dalam peradaban Mesir kuno, khitan telah menjadi tradisi. Namun banyak di antara mereka yang tidak tahu bahwa budaya ini berasal dari Nabi Ibrahim yang dilanjutkan oleh para Nabi sesudahnya (yang berdakwah di sekitar daratan Mesir). Mereka berkhitan dengan cara mereka sendiri, bahkan perempuan pun berkhitan di masa itu. Kenyataan ini membuat bias sebagian sejarawan Barat, yang menganggap bahwa itu bukan ajaran agama, melainkan tradisi Mesir kuno.

Sampai saat ini, beberapa agama mengklaim sebagai penerus ajaran Ibrahim, tetapi hanya islam yang konsisten mengimaninya, terutama soal khitan. Agama yang lain menolak dengan berbagai alasan, termasuk membiaskan sejarah dengan mengatakan khitan hanyalah tradisi Mesir kuno.

Kini, dengan semakin banyaknya penelitian khitan, penganut agama selain islam baru percaya dan beramai-ramai menjalani prosedur ini. Di Amerika Serikat, khitan pernah menjadi salah satu prosedur kesehatan penting.

B. Alasan khitan

Dapatkah anda membayangkan penis putra anda terserang kanker sehingga harus diamputasi?

Memang kami belum memiliki data tentang banyaknya kasus tersebut, tetapi itu semua tidak akan terjadi jika anda melakukan prosedur perawatan alat kelamin putra anda dengan baik. Salah satu prosedur ini adalah khitan.

1. Menjalankan sunnah

Khitan merupakan salah satu cara pensucian diri dan bukti ketundukan kita kepada ajaran agama. Dalam hadist Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Kesucian (fitrah) itu ada lima, (yaitu) : khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku” (H.R. Bukhari Muslim).

2. Ikhtiar kesehatan

Setiap kali putra anda kencing, ia mengeluarkan air seni yang mengandung banyak hal: air, ampas metabolisme, kuman penyakit, dan racun tubuh. Anda pasti mengira sampah-sampah ini mengucur keluar begitu saja, semuanya. Padahal jika anda teliti, ternyata sebagian darinya meninggalkan endapan di ruang sekitar kepala penis (glands) yang tertutupi oleh kulit (kulup/preputium).

Endapan ini, selain beraroma tidak sedap, juga menjadi media tumbuhnya penyakit-penyakit baru selain kuman yang berasal dari air kencing itu sendiri. Anak yang tidak dikhitan juga menghasilkan smegma, yaitu zat semacam lemak yang mengendap di antara preputium dan glans penis. Smegma ini lama-kelamaan bisa membusuk, menjadi sarang virus yang tidak hanya menyerang penis juga dapat menular ke anggota tubuh lainnya. Pada pria dewasa yang telah menikah, kuman ini dapat menularkan penyakit pada vagina bahkan rahim isterinya.

3. Untuk kepraktisan

Penis yang dikhitan memiliki bentuk lebih praktis. Bagian yang selalu menutupi kepala penis tidak ada sehingga setiap kali habis kencing mudah membersihkannya. Tentu saja, dengan begitu berbagai resiko penyakit akan terhindarkan.

C. Hukum Khitan

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum untuk laki-laki dan perempuan.

1. Hukum khitan untuk lelaki

Mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa wajib bagi laki-laki. Para pendukung pendapat ini adalah imam Syafi’i, Ahmad, dan sebagian pengikut imam Malik. Imam Hanafi mengatakan wajib tetapi tidak fardhu.

Menurut riwayat populer dari imam Malik beliau mengatakan hukumnya sunnah. Begitu juga riwayat dari imam Hanafi dan Hasan al-Bashri mengatakan sunnah. Namun bagi imam Malik, sunnah kalau ditinggalkan berdosa, karena menurut madzhab Maliki sunnah adalah antara fardhu dan nadb. Ibnu abi Musa dari ulama Hanbali juga mengatakan sunnah muakkadah.

Ibnu Qudamah berpendapat bahwa bagi lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan, andaikan seorang lelaki dewasa masuk Islam dan takut khitan maka tidak wajib baginya. Sama dengan kewajiban wudhu dan mandi bisa gugur kalau ditakutkan membahayakan jiwa, maka khitan pun demikian.

Alasan yang menghukumi sunnah

Alasan yang dijadikan landasan bahwa khitan tidak wajib adalah kisah mengenai Salman al-Farisi ketika masuk Islam tidak disuruh khitan, dan Hadits yang menyebutkan khitan dalam rentetan amalan sunnah seperti mencukur bulu ketiak dan memendekkan kuku. Dengan demikian, khitan juga dianggap sunnah.

Alasan yang menghukumi wajib

Dalil-dalil yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakan khitan wajib adalah sbb.:

a). Dari Abu Hurairah Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa nabi Ibrahim melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun, beliau khitan dengan menggunakan kapak. (H.R. Bukhari).
Nabi Ibrahim melaksanakannya ketika mendapat perintah untuk khitan padahal beliau sudah berumur 80 tahun.

b). Kulit yang di depan alat kelamin terkena najis ketika kencing. Tanpa dikhitan, sama dengan orang yang menyentuh najis di badannya ketika sholat sehingga sholatnya tidak sah. Sholat adalah ibadah wajib, segala sesuatu yang menjadi prasyarat sholat hukumnya wajib.

c). Hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah s.a.w. berkata kepada Kulaib: “Buanglah rambut kekafiran dan berkhitanlah”. Perintah Rasulullah s.a.w. menunjukkan kewajiban.

d). Boleh membuka aurat pada saat khitan, padahal membuka aurat sesuatu yang terlarang. Ini menunjukkan bahwa hukumnya wajib, karena tidak boleh apabila sesuatu yang terlarang kecuali untuk sesuatu yang sangat kuat hukumnya.

e). Memotong anggota tubuh yang tidak bisa tumbuh kembali dan disertai rasa sakit tidak mungkin kecuali karena perkara wajib, seperti hukum potong tangan bagi pencuri.

f). Khitan merupakan tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah s.a.w. sampai zaman sekarang dan tidak ada yang meninggalkannya, maka tidak ada alasan yang mengatakan itu tidak wajib.

2. Khitan untuk perempuan

Hukum

Menurut Ibnu Mundzir, tidak ada hadist yang bisa menjadi rujukan dalam masalah khitan perempuan. Semua hadist yang meriwayatkan khitan perempuan mempunyai sanad dhaif (lemah).

Hadist paling populer tentang khitan perempuan adalah hadist Ummi ‘Atiyah r.a., Rasulllah bersabda kepadanya:”Wahai Umi Atiyah, berkhitanlah dan jangan berlebihan, sesungguhnya khitan lebih baik bagi perempuan dan lebih menyenangkan bagi suaminya”.
Hadist ini oleh Baihaqi, Hakim dari Dhahhak bin Qais. Abu Dawud juga meriwayatkan hadist serupa namun semua riwayatnya dhaif dan tidak ada yang kuat. Abu Dawud sendiri konon meriwayatkan hadist ini untuk menunjukkan ke-dlaif-annya. Demikian oleh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhisul Khabir.

Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa sebagian ulama Syafi’iyah dan riwayat dari imam Ahmad tidak menganjurkan bagi perempuan.

Jadi, kalaupun perempuan itu dikhitan, maka hukumnya tidak wajib. Mungkin sunnah atau bahkan mubah. Mengenai hukum ini, anda dapat memilih yang paling anda yakini.

Bagian yang dipotong saat perempuan berkhitan

Khitan dengan memotong bagian dari organ kelamin perempuan dapat berakibat fatal saat perempuan menjalankan amanah reproduksi (bersalin dan melahirkan) nanti. Inilah kesalahan fatal yang konon sering terjadi pada perempuan indonesia, karena mengira hukumnya wajib dan prosedurnya mirip laki-laki (memotong bagian dari kemaluan).

Itu secara syariat pun terlarang, karena dalam hadits Ummi ‘Atiyah r.a., di atas rasulullah mengingatkan “….dan jangan berlebihan”.

Jadi, jikapun perempuan harus berkhitan (bagi yang meyakini hukumnya sunnah), maka tidak ada bagian yang harus dihilangkan. Cukup dengan usapan atau gesekan benda tajam sebagai simbol ikrar kesetiaan atas syariat islam saja.

Menurut Imam Mawardi, khitan pada perempuan hanya dengan memotong kulit yang berada di atas vagina perempuan yang berbentuk mirip cengger ayam. Hanya memotong/menggores sebagian kulit tersebut, bukan menghilangkannya. Imam Nawawi juga menjelaskan hal yang sama untuk perempuan adalah memotong bagian bawah kulit yang ada di atas vagina perempuan.

 

[Yazid Subakti]