Mencukupkan masa bermain, mengalihkan masa pencarian ilmu

Mencukupkan masa bermain, mengalihkan masa pencarian ilmu

Masa pencarian ilmu – Masa-masa bermain di usia ini masih sangat diminati anak. Anak laki-laki masih suka memainkan mobil-mobilan atau robot-robotnya. Anak perempuan masih menginginkan boneka dan bermain masak-masakan bersama teman-temannya. Di sekolah, mereka masih akan bermain kejar-kejaran dan aneka permainan lain dengan asyik. 

Apakah masih pantas?

Sebenarnya tidak ada buruknya anak bermain di masa ini. Ia masih harus mencukupkan masa-masa bersenang dan bersuka cita atas permainan ala kanak-kanaknya itu. 

Menjelang akhir masa sekolah dasar, kegemaran bermain akan segera berkurang dengan sendirinya. Anak memiliki fokus pada pelajaran sekolah dan mempersiapkan masa-masa yang ia anggap berat menjelang ujian akhir sekolah atau kelulusan. 

  1. Mengalihkan anak pada kesenangan menuntut ilmu dan belajar menguasai keterampilan

Ketika anak masih dalam masa-masa keasyikan bermain, anda dapat mulai mengalihkan perhatiannya pada kecintaan menuntut ilmu. Ia harus mengenal ilmu aqidah dan akhlak, memahami fiqih mengenai hukum ibadah dan tata cara melakukannya, dan ilmu tentang mengenali dirinya sendiri.  

Mulailah mengajak banyak membaca, mengikuti kajian-kajian atau taklim khusus anak dan pelatihan-pelatihan yang memang diperuntukkan bagi anak. Pelatihan memotivasi diri, atau pelatihan yang meningkatkan keterampilan sehari-hari berkaitan dengan hobi adalah penting untuk memperbaiki citra dirinya dan kemahiran dalam bidang yang ia sukai. Jika ia berminat dalam ajang prestasi, misalnya suka mengikuti perlombaan, melatihnya untuk menjadi optimal dalam bidang lomba yang ia sukai adalah sangat baik. 

Yang perlu dipahami oleh orang tua pada saat ini adalah membedakan mana di antara keinginan orang tua dan kebutuhan anak, mana yang termasuk penggalian bakat anak dan eksploitasi, serta kejelian mengukur kemampuan anak berlatih dalam batas-batas ia tetap merasa bahagia. Maksudnya, jangan sampai anak mempelajari sesuatu hanya karena ingin menyenangkan orang tuanya atau bahkan tertekan atas paksaan orang tuanya, jangan sampai prestasi anak ia dapatkan dengan perasaan dipaksa, dan jangan sampai ia mengikuti berbagai latihan atau menghadiri majelis ilmu hanya sekedar takut dimarahi orang tuanya.  

  1. Mumpung masih belum dewasa

Tidak ada satupun agama yang kitab suci dan nabinya menyerukan menuntut ilmu mulai dari masa anak-anak seperti dalam Islam. Islam menjadikan seorang muslim memiliki semangat yang sangat tinggi untuk belajar dan mengajar. Menuntut ilmu dianjurkan bahkan mulai saat bayi dalam gendongan sampai tepat sebelum masuk liang lahat. Menuntut ilmu dihukumi wajib, yang oleh karenanya akan berdosa jika seseorang menolak untuk menuntut ilmu, sama-sama wajibnya baik bagi laki-laki maupun perempuan. Inilah islam, dan anak kita seorang muslim.

Orang yang mempelajari ilmu pada waktu kecil diibaratkan seperti memahat batu, sedangkan perumpamaan mempelajari ilmu ketika dewasa seperti menulis di atas air. (HR ath-Thabrani dari Abu Darda’).

Maksudnya, masa anak-anak merupakan masa yang paling subur untuk melakukan pembinaan keilmuan dan membentuk pemikiran. Pada masa ini daya serap otak mereka berada pada kemampuan yang sangat baik. Mereka lebih mudah menghafal terhadap apa yang mereka dengar, mudah mengingat terhadap apa yang mereka lihat. 

Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang mempelajari al-Quran ketika masih muda, maka al-Quran itu akan menyatu dengan daging dan darahnya. Siapa yang mempelajarinya ketika dewasa, sedangkan ilmu itu akan lepas darinya dan tidak melekat pada dirinya, maka ia mendapatkan pahala dua kali. (HR al-Baihaqi, ad-Dailami, dan al-Hakim).

  1. Terus menerus menyemangati dan membersamai

  • Sampaikan bahwa menuntut ilmu adalah perintah Allah Swt

Sampaikan kepada anak bahwa manusia menuntut ilmu disebabkan Allah memerintahkan demikian. Artinya, jika kita menuntut ilmu, berarti telah menaati Allah yang oleh karenanya mendapat kasih sayang dan pahala dari-Nya. Dengan demikian, kemalasan menuntut ilmu adalah salah satu tanda kemasalan memenuhi perintah Allah yang dikhawatirkan mendatangkan kemurkaan Allah dan dosa.  

  • Sampaikan kita membutuhkan  ilmu 

Manusia membutuhkan sejak pertama kali lahir ke dunia sampai menjelang ajalnya. Anak memerlukan ilmu tentang cara berbicara pada awal kehidupannya, belajar berjalan, membaca dan menulis, berhitung, sampai ilmu yang jauh lebih tinggi lai untuk berbagai kebutuhan di masa depan. Semua itu mulai sejak saat ini dan akan terus berjalan sampai waktu yang tidak kita ketahui. 

  • ilmu meningkatkan derajat manusia 

Anak perlu meyakini bahwa derajat manusia dilihat keimanan dan ketinggian ilmunya. Ini jaminan dari Allah yang tak pernah salah. 

Pada profesi atau pekerjaan yang sama, orang yang ilmunya lebih tinggi akan mendapat kedudukan lebih tinggi dan lebih terpercaya. Ia lebih menguasai dan lebih ahli sehingga berkemungkinan lebih berkembang menuju puncak kemuliaannya. Sama-sama bertani, petani yang bercocok tanam tanpa ilmu akan kalah derajatnya dengan sarjana pertanian yang telah melakukan banyak penelitian. Sama-sama mendirikan bangunan, tukang bangunan yang bekerja hanya berdasarkan pengalaman akan kalah derajat dengan arsitek yang memiliki banyak teknik dan dukungan. 

  • Jangan lupa meyakinkan Al Quran sebagai sumber ilmu utama       

Al Qur’an adalah sumber utama kebenaran sebelum sumber-sumber yang lain. Semua yang benar menurut al-Quran adalah benar. APa yang diperintahkan dalam Al Quran adalah kehendak Allah, dan larangan-larangan di dalamnya adalah larangan Allah. 

Memasuki masa remaja, anak akan lebih kritis ketika mengetahui beberapa arti ayat AL-Qur’an. Orang tua berperan sebagai pendamping untuk menjelaskan, atau mengirim anak kepada guru, agar jiwa kritis terhadap beberapa ayat tidak membuatnya semakin ragu. Misi anda adalah meyakinkan bahwa dalam kitab Allah   tidak ada keraguan jika terdapat beberapa yang seolah tidak masuk akal, itu karena akal manusia  memang sangat terbatas memahaminya. 

  • Pilihkan guru dan sekolah

Saat berada di rumah, anak berteladan kan orang tuanya. Saat berada di sekolah, anak akan meneladani gurunya. Guru akan menjadi cermin yang anak-anak lihat. kata-kata dan sikapnya akan membekas di dalam jiwa dan pikiran mereka. Bahkan, bisa jadi apa yang ada pada guru lebih mudah anak-anak tiru. Imam Mawardi berpesan mengenai pentingnya memilih guru, “Wajib bersungguh-sungguh di dalam memilihkan guru dan pendidik bagi anak, seperti kesungguhan dalam memilihkan ibu dan ibu susuan baginya, bahkan lebih dari itu. Seorang anak akan mengambil akhlak, perilaku, adab dan kebiasaan dari gurunya melebihi dari orangtuanya sendiri”

Sekolah bagi anak bukan sekedar tempat yang lengkap fasilitasnya dan biaya bulanan yang bersahabat, melainkan guru dan lingkungan yang terbangun di dalamnya. Anak akan menghabiskan banyak waktu di sekolah bersama teman-teman dan gurunya. Perlakuan guru, tata tertib yang berlaku, dan keadaan sesama wali murid adalah pertimbangan penting memilih sekolah. 

  1. Ajarkan anak memuliakan ulama

Ulama adalah sumber ilmu dan tuntunan adab yang darinya manusia akan terbimbing menuju akhlak mulia dan jalan kebenaran. Mereka adalah pewaris Nabi yang melanjutkan risalah agar tetap tersampaikan kepada umat manusia. 

Memuliakan dan menghormati ulama, bersikap santun dalam bergaul dengan mereka, adalah di antara adab yang harus terbiasa sejak kanak-kanak. Selain itu memuliakan ulama menjadikan anak akan memuliakan ilmu yang ia terima, yang dengannya Allah menghidupkan hati hamba-Nya. 

Memuliakan ulama adalah salah satu tanda terbebasnya seorang muslim dari sifat munafik. Abu Umamah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda : Ada tiga manusia, tidak ada yang meremehkan mereka kecuali orang munafik. Mereka adalah orang tua, ulama, dan pemimpin yang adil. (HR ath-Thabrani).

Abu Umamah ra. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Luqman berkata kepada putranya, “Wahai anakku, engkau harus duduk dekat dengan ulama. Dengarkanlah perkataan para ahli hikmah, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang mati dengan hujan deras.” (HR Ath-Thabrani).

Kenalkan anak pada ulama, yaitu dengan menghadirkan anak atau memperkenalkannya kepada ulama saat seorang ulama hadir di lingkungan terdekat Anda. Misalnya pada acara pengajian di masjid atau acara keislaman di kantor. 

  1. Ajak anak menghadiri majelis-majelis ilmu

Orang tua seharusnya banyak belajar, dan makin haus ilmu seiring dengan usianya dan usia anak-anaknya. Semakin bertumbuh anak, semakin banyak referensi kajian keislaman, semakin rajin menghadiri  taklim-taklim dan semakin bersemangat dalam majelis-majelis yang bermanfaat. Selama menghadiri itu semua, anak sebaiknya mulai dilibatkan atau diajak turut serta.    

Nabi saw. ketika masih kecil turut menghadiri majelis-majelis kaum dewasa untuk berbagai keperluan masyarakat. Beliau mengatakan: “Aku biasa menghadiri pertemuan-pertemuan para pemuka kaum bersama paman-pamanku….” (HR. Abu Ya’la).

Manfaat membawa anak-anak ke majelis orang dewasa adalah untuk mengasah akalnya dan menambah wawasan, agar kelak kecintaannya kepada ilmu akan semakin kuat dan terlatih untuk peduli pada urusan umat.

  1. Buatlah perpustakaan rumah

Salah satu sumber pengetahuan adalah buku. Buku atau kitab adalah lembar-lembar pengikat ilmu, dari penulisnya untuk dipersembahkan kepada siapapun yang mau membacanya. Membaca buku berarti memindahkan ilmu dari penulis ke otak pembaca. Oleh karena itu, dengan membaca, pengetahuan dan wawasan menjadi bertambah. 

Jadi, buku adalah salah satu kebutuhan ilmu bagi anak dan juga seluruh keluarga. Keberadaan perpustakaan rumah menjadi sangat penting untuk menciptakan kedekatan  anak-anak terhadap sumber ilmu.

Buatlah perpustakaan keluarga, sekalipun sangat sederhana. Sediakan beberapa koleksi buku yang sekiranya anak akan tertarik membacanya, yaitu buku anak. di samping itu, jangan lupa koleksi buku untuk umum bukan untuk anak dengan tema aqidah, pengembangan diri, sejarah Islam, kisah inspirasi, biografi ulama dan orang salih, buku-buku akhlak, buku hikmah, atau kitab-kitab karangan para ulama.

Buatlah program yang unik dengan perpustakaan keluarga ini, misanya hari baca setiap jumat sore, atau hari resensi setiap sepekan sekali. 

  1. Sisihkan anggaran untuk belanja buku  

Buku bukanlah benda yang secara materi dapat menjadi aset bernilai ekonomi. Ia dibeli, mungkin dengan harga mahal, tetapi setelah itu tak akan dapat dijual kecuali sebagai kertas kiloan. Inilah penyebab mengapa banyak keluarga tidak tertarik membeli buku, yaitu keluarga materialistis yang berpikir semua yang terbeli adalah aset ekonomi. 

Kecuali jika anda tidak bersungguh-sungguh menciptakan nuansa rumah pecinta ilmu, belajar buku seharusnya tidak lebih kecil anggarannya daripada belanja pakaian, piknik, dan perlengkapan rumah tambahan. 

Jika setiap bulan ada destinasi wisata atau restoran yang hendak dikunjungi, jenis baju atau aksesoris yang dibeli, perlengkapan rumah yang diburu, seharusnya  selalu ada juga judul buku yang menjadi target untuk dibeli. Membeli buku tidak semahal pakaian sedangkan manfaat pengetahuan di dalamnya akan berlangsung seumur hidup. 

Para pencari ilmu sejati bahkan lebih mementingkan membeli buku daripada kebutuhan lain sekalipun dalam kondisi keuangan yang amat terdesak. Mereka, dengan kerasnya keinginan membeli buku, terbawa keinginan keras pula untuk membaca dan menguasai pengetahuan di dalamnya. 

  1. Jangan membuat museum buku 

Ketika anda membeli buku dalam jumlah banyak dan mengoleksinya di rak-rak perpustakaan keluarga, itu artinya anda juga berkeharusan memberi contoh memanfaatkannya. Buat apa membangun perpustakaan, tetapi sang pembangun itu sendiri meninggalkannya? 

Jangan menjadi orang tua yang memberi fasilitas kepada anak sambil di sisi lain menularkan kebiasaan buruk  mengabaikan manfaat fasilitas itu. Maksudnya, orang tua seharusnya menjadi contoh sosok di rumah yang gemar membaca. Membaca adalah aktivitas yang sangat santai, bisa dengan pasif dan dalam keadaan yang tidak memerlukan kondisi khusus. Anda tetap dapat membaca saat lelah, saat marah, saat bergembira, saat sakit, menunggu aktivitas tertentu, bahkan sambil melakukan aktivitas ringan. 

Apapun yang Anda dapatkan dari membaca, setidaknya anda telah menjadi figure gemar membaca di hadapan anak. Bukkan kesalahan anak jika mereka membenci bacaan, bila orang tuanya sendiri adalah figure pecandu televisi dan kerasukan gadget.

 

[Yazid Subakti]