Benahi Diri, Jadilah Kumbang Paling Mempesona

Benahi Diri, Jadilah Kumbang Paling Mempesona

Pra Nikah – Perbaiki dan benahi dirimu ke arah yang lebih baik, dan jadilah kumbang yang paling mempesona.

  • Jadilah laki-laki yang memiliki gambaran calon isteri

Jadilah seorang pangeran yang memiliki gambaran seorang putri idaman. Jangan menjadi laki-laki yang tak memiliki criteria, karena itu mencerminkan kekosongan anda dari perencanaan.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan bagi kamu pasangan dari jenis kamu sendiri agar kamu sakinah bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih saying di antara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21).

Perempuan atau laki-laki yang hendak menempuh pernikahan harus mempelajari secara benar ciri-ciri calon jodoh yang  baik untuk menjadi pasangannya.

Anda memiliki karakter tertenti, dan menginginkan karakter tertentu pula untuk melengkapi. Anda memiliki rencana besar dalam keluarga, dan memiliki pula tenaga tambahan untuk mewujudkannya.

  • Milikilah informasi dan jalur yang benar

Jangan asal mencari jodoh. Jangan menemukan jodoh di tempat yang salah.

Tempat mencari jodoh yang salah berpeluang menghasilkan jodoh yang salah pula. Jodoh yang dicari di pasar tidak sama dengan jodoh yang ditemukan di majelis ilmu dan jodoh yang ditemukan di diskotik tidak akan sama dengan jodoh yang ditemukan di kampus. Jodoh yang anda temukan di lingkungan kerja anda akan berbeda jika anda menemukannya di tempat pengungsian.

Rasulullah menikahkah para sahabat melalui jalur Beliau atau sahabat lain yang Beliau percayai. Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Hasan bin Ali, ‘Saya mempunyai seorang putri. Siapakah yang patut menjadi suaminya menurut Anda?’ Ia menjawab, ‘Nikahkanlah dia dengan seorang laki-laki yang bertakwa kepada Allah, sebab jika ia senang, ia akan menghormatinya, dan jika ia tidak menyenanginya, ia tidak suka berbuat zalim kepadanya.” (Fiqhus Sunnah II, bab Nikah).

  • Teliti dan sabar dalam ikhtiar

benahi diriJangan mencari jodoh dengan cara yang tergesa-gesa. Syetan selalu memisikkan kegusaran kepada orang yang hati dan pikirannya tidak tenang.

Hadirkanlah kesabaran untuk meneliti dengan seksama, tanpa menyertakan rasa curiga dan hal-hal lain yang merepotkan.

Dari Mughirah bin Syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Sudahkah kamu lihat dia?” Ia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu berdua bisa hidup bersama lebih langgeng (dalam keserasian berumah tangga).” [HR Nasai, Ibnu Majah, dan Tirmizi].

Meneliti ialah melakukan pengamatan langsung kepada calon pasangan, agar tidak ada penyesalan kelak ketika anda telah menytu dengannya.

Namun demikian, telitilah seperlunya dengan cara yang saling menghargai dan menjaga kehormatannya.

“Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan yang tidak halal baginya karena orang ketiganya nanti adalah setan, kecuali kalau ada mahramnya.” (HR Ahmad).

  • Mintalah Nasehat dan Pertimbangan

Fathimah binti Qais didatangi oleh dua orang laki-laki untuk melamarnya, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm. Ia tidak kuasa membedakan mana di antaranya  yang paling baik. Maka, iapun datang kepada Rasulullah saw dan meminta pertimbangan.

Rasulullah saw. Kemudian bersabda, “Abu Jahm orangnya tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya, sedangkan Muawiyah seorang yang miskin, tidak berharta. Oleh karena itu, nikahlah dengan Usamah bin Zaid!

Akan tetapi, Fathimah merasa tidak menyukai pilihan yang ditawarkan oleh rasulullah itu. Dia menyampaikan hal itu hingga Rasulullah saw mengulangi sabdanya,

Nikahlah dengan Usamah bin Zaid!

Akhirnya, Fathimah memantapkan hatinya untuk menerima tawaran Rasulullah itu. Setelah pernikahan, ia menjadi wanita yang sangat mencintai suaminya hingga banyak wanita di sekitar yang merasa cemburu atas romantisme mereka.

Mintalah pertimbangan atas pilihan yang ditawarkan kepada anda. Datanglah kepada orangtua, sahabat yang memahami agama, atau guru anda untuk mendapatkan saran. Boleh jadi apa yang anda tetapkan tidak seperti pandangan mereka yang telah memiliki banyak pengalaman.

  • Dirikanlah Istikharah

Jangan meninggalkan Allah selama anda beriman kepada-Nya. Jangan menjauh dari-Nya selama anda merasa butuh terhadapnya. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk melihat sifat seseorang yang tidak tampak secara lahir. Dia datang dengan penuh teka-teki. Dia hadir dengan segala rahasia yang terselubung.

MIntalah  kepada Allah pertimbangan untuk memilih atau tidak memilih calon jodoh ANda.

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw. biasa mengajari kami melakukan istikharah dalam setiap urusan, seperti beliau mengajari kami suatu surat dari Alquran. Beliau bersabda,

“Bila seseorang bertekad melakukan suatu urusan, hendaklah ia melakukan dua rakaat bukan wajib, lalu berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Engkau pilihan kebaikan untukku dengan pengetahuan-Mu; aku memohon pertolongan-Mu dengan kekuasaan-Mu; dan aku memohon kepada-Mu (mendapatkan) karunia-Mu, Tuhan Maha Agung, karma Engkaulah yang berkuasa, sedangkan aku tidak. Engkau Maha tahu, sedangkan aku tidak dan Engkau Maha mengetahui yang gaib. Ya Allah, kalau Engkau mengetahui urusan ini baik bagiku, agamaku, kehidupanku, dan kesudahan urusanku,’ atau sabdanya, ‘pada awal-awal urusanku dan akhir-akhirnya, tentukanlah dia untukku dan mudahkanlah dia untukku, kemudian berkahilah untukku dalam urusan ini. Bila Engkau tahu urusan ini tidak baik bagiku dalam urusan agamaku, kehidupanku, dan kesudahan urusanku ini,’ atau sabdanya, ‘pada awal-awal urusanku dan akhir-akhirnya, jauhkan ia dariku dan jauhkanlah aku dari urusan ini dan tetapkanlah kebaikan bagiku di mana pun adanya, kemudian ridailah aku dengan urusan itu.‘ Ia berkata, ‘Dengan menyebutkan apa keperluannya’.” (HR An-Nasai).

Istikharah berarti memohon dipilihkan yang terbaik, agar diberi petunjuk untuk memutuskan atau menolak pilihan yang sedang Anda hadapi.

  • Pilihlah dengan tawakkal

Tawakkal adalah kekuatan jiwa anda. Tawakkal adalah pembuktian bahwa anda yakin akan pertolongan Allah.

”Dari Yahya bin Sa’id bahwa Qasim bin Muhammad telah menceritakan kepadanya tentang seorang laki-laki bernama Khidzam, yang menikahkan salah seorang anak perempuannya, tetapi anak perempuan tersebut enggan dinikahkan oleh ayahnya. Lalu, ia datang kepada Rasulullah saw dan menceritakan kejadian tersebut. Rasulullah saw. mengembalikan kepadanya pernikahan yang telah dilakukan oleh ayahnya dan anak perempuan itu memilih menikah dengan Abu Lubabah bin Abdil Mundzir. Menurut Yahya, kejadian ini terjadi pada perempuan janda.” (HR Ibnu Majah).

Letakkanlah tawakkal di seluruh rangkaian ikhtiar anda. Sertakan Allah dan rasakan pertolongan-Nya yang nyata.

[Yazid Subakti]

Menggabungkan Qurban dan Aqiqah

Menggabungkan Qurban dan Aqiqah

Menggabungkan Qurban dan Aqiqah. Apabila waktu qurban bertepatan dengan aqiqah, seperti apabila seseorang ingin melaksanakan aqiqah untuk anaknya pada hari Idul Adha atau hari-hari Tasyriq, apakah qurban tersebut sudah mewakili aqiqah?

Ada dua pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama:

Qurban mewakili aqiqah. Pendapat ini oleh al-Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Qatadah dan Hisyam-termasuk kalangan tabi’in. Juga merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad. Pendapat senada juga oleh Abu Hanifah. Ibnu Abidin mengatakan, “..Demikian juga apabila sebagian mereka ingin melaksanakan aqiqah untuk seorang anak yang lahir beberapa waktu sebelumnya. Sebab, hal itu termasuk dalam kategori mendekatkan diri kepada Allah dengan bersyukur atas karunia berupa anak. Hal ini diungkapkan oleh Muhammad.”

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan berkata, “Apabila mereka menyembelih hewan qurban untuk anak, maka itu sudah mewakili aqiqah.” Diriwayatkan juga oleh Abdurrazzaq.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Hisyam dan Ibnu Sirin berkata, “Pelaksanaan qurban dapat mewakili aqiqah.”

Abdurtazzaq juga meriwayatkan dari Qatadah berkata, “Barang siapa yang belum pernah aqiqah, ritual qurbannya dapat mewakilinya.” 

Al-Khallal mengatakan: Bab Riwayat Tentang Qurban Dapat Mewakili Aqiqah. Kemudian, al-Maimuni menceritakan bahwa dia bertanya kepada Aba Abdillah (Abmad bin Hanbal), “Bolehkah menyembelih hewan qurban untuk anak sebagai wakil aqiqah?” Beliau menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian beliau melanjutkan, “Banyak ulama yang berpendapat demikian.” Aku bertanya, “Dari kalangan tabi’in?” Beliau menjawab, “Ya.” …Abdillah menyebutkan bahwa sebagian mereka mengatakan, “Menyembelih hewan qurban dapat mewakili aqiqah.” …Abu Abdillah berkata, “Aku berharap semoga ritual qurban dapat mewakili aqiqah untuk orang yang belum pernah aqiqah, insya Allah.” …Aku melihat Abu Abdillah membeli hewan qurban. Kemudian, beliau menyembelihnya atas namanya dan nama keluarganya. Putranya yang bernama Abdullah saat itu masih kecil. Beliau juga mengatasnamakannya. Aku merasa tujuan beliau adalah aqiqah dan qurban sccara bersamaan. Beliau membagikan daging hewan tersebut dan mengonsumsi sebagiannya.

Golongan ulama ini memandang bahwa tujuan aqiqah dan qurban dapat terrealisasikan dengan hanya satu sembelihan. Hal ini menyerupai shalat Jumat dan shalat Hari Raya apabila bertepatan waktunya. Juga seperti shalat dua rakaat dengan niat shalat Tahiyyatul Masjid dan niat shalat sunnah Rawatib. Atau seperti niat shalat wajib setelah Thawaf dan niat shalat sunnah Rawatib. Tujuannya bisa terrealisasikan hanya dengan satu shalat. Demikian juga apabila orang yang melaksanakan ibadah haji tamattu atau qiran menyembelih kambing di hari raya Idul Adha, ritual sembelihan tersebut dapat mewakili hadyi dan qurban.

Pendapat kedua:

Qurban tidak dapat mewakili aqiqah. Ini adalah pendapat para ulama penganut mazhab Maliki, Syafi’i dan versi riwayat lain pendapat Imam Ahmad. Al-Khallal meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad berkata: Aku bertanya kepada bapakku tentang aqiqah yang dilaksanakan pada hari Idul Adha, apakah dapat mewakili qurban dan aqiqah sekaligus? Beliau menjawab, “Hanya salah satunya; qurban atau aqiqah. Tergantung pada niatnya.” Versi pendapat inilah yang menjadi pedoman mayoritas ulama penganut mazhab Hanbali.

Argumen mereka adalah bahwa qurban dan aqiqah masing-masing adalah ritual sembelihan yang memiliki sebab tersendiri, sehingga satu sama lain tidak dapat saling mewakili. Sama seperti hadyi dan damm.

Mereka juga mengatakan bahwa tujuan dari qurban dan aqiqah masing-masing adalah ritual penumpahan darah. Sehingga, satu ritual menumpahkan darah tidak bisa mewakili dua ritual sekaligus. Asy-Syaikh Ibnu Hajar al-Makki mendapat pertanyaan tentang ritual penyembelihan kambing di hari raya Idul Adha dengan niat qurban dan niat aqiqah secara bersamaan. Apakah kedua niat itu bisa melaksanakan sekaligus atau tidak? Beliau menjawab, “Yang ada dalam pernyataan para sejawat kami dan telah kami terapkan dari semenjak bertahun-tahun yang lalu adalah bahwa tidak ada saling tumpang tindih pada kedua ritual itu. Sebab, qurban dan aqiqah adalah sunnah yang masing-masing memiliki tujuan dan sebab tersendiri.” 

Qurban adalah tebusan untuk jiwa, sementara aqiqah adalah tebusan untuk anak.

Dengan aqiqah si anak dapat tumbuh dengan baik, berbakti dan dapat memberi syafaat kelak. Tetapi, dengan pendapat yang mengatakan bahwa keduanya bisa saling tumpang tindih,masing-masing tujuannya tidak akan dapat terealisasikan. Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak mungkin benar. Sama halnya seperti pendapat mereka tentang mandi Jumat dan mandi Hari Raya, shalat sunnah Zuhur dan shalat sunnah Ashar. Sementara, shalat Tahiyyatul Masjid dan yang

semisalnya tidak memiliki tujuan tersendiri. Tujuan utamanya adalah penghormatan terhadap masjid. Hal itu bisa dengan shalat yang lain. Demikian juga dengan puasa Senin-Kamis yang tujuan utamanya adalah menghidupkan hari itu dengan ibadah puasa, sehingga bisa juga dengan puasa yang lain.

Qurban dan aqiqah tidak seperti itu, sebagaimana telah saya paparkan di atas. Pembahasan ini hanya terbatas pada seekor kambing atau sepertujuh unta atau sapi. Sedangkan apabila menyembelih seekor unta atau sapi dengan tujuh niat sekaligus; seperti qurban, aqiqah, hadyi, kafarat dam dan lain sebagainya, maka itu sah dan tidak termasuk saling tumpang tindih dengan yang lain. Sebab, setiap sepertujuh bagian unta atau sapi yang disembelih itu sah menurut niatnya masing-masing.

Dalam syarah kitab Al-‘Ibab disebutkan:

Apabila melahirkan dua orang bayi dari satu perut kemudian menyembelih seekor kambing untuk kedua bayi tersebut, hal itu tidak dianggap melaksanakan dasar Sunnah seperti yang disebutkan dalam kitab Al-Majmu dan lain-lain. Ibnu Abdil Barr mengatakan: ‘Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.’ Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saling tumpang tindih antara qurban dengan aqiqah lebih tidak diperbolehkan. Sebab, kalau yang satu jenis saja tidak boleh, apalagi yang berlainan jenis, Wallahu a’lam.

Pendapat yang kuat menurut saya adalah bahwa ritual qurban tidak dapat mewakili aqiqah dan begitu juga sebaliknya. Sebab, masing-masing memiliki sebab tersendiri dalam ritual penumpalan darah sehingga tidak bisa mewakili kedudukan yang lain. Seluruh contoh kasus yang mereka ketengahkan belum tentu diterima oleh seluruh ulama.

Melakukan dua ibadah sekaligus dengan satu niat boleh bagi sebagian ulama. Sebab, mereka menganggapnya termasuk kategori sarana, bukan tujuan. Misalnya seperti seseorang yang mandi dengan niat menghilangkan hadas kecil dan hadas besar sekaligus, atau dengan niat mandi Jumat dan mandi junub. Hal ini kontradiktif dengan pendapat Ibnu Hazm. Sedangkan tentang ibadah shalat Tahiyyatul Masjid dengan niat sekaligus shalat sunnah Rawatib, karena shalat Tahiyyatul Masjid sudah pasti walau dengan tanpa niat sekalipun. Kemudian, pendapat mereka tentang bolehnya melakukan dua ibadah dengan satu niat, menurut hemat saya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganggapnya memiliki dua tujuan berbeda walaupun tidak diniatkan oleh si pelaku. Misalnya seperti orang yang bersedekah untuk karib-kerabat. Dia akan mendapatkan dua pahala sekaligus; pahala sedekah dan pahala menyambung tali silaturahmi.

Hukum Melumurkan Darah Hewan Aqiqah di Kepala Bayi

Hukum Melumurkan Darah Hewan Aqiqah di Kepala Bayi

Sunnah Aqiqah – Ada dua pendapat di kalangan ulama tentang hukum melumurkan darah hewan aqiqah di kepala bayi.

Pendapat pertama:

Mayoritas ulama dari kalangan penganut mazhab Maliki, Syaff’i, Hanbali dan para ahli hadis memandang hukum melumurkan darah hewan aqiqah di kepala bayi makruh. Sebab, itu adalah adat-kebiasaan masyarakat Jahiliyah. Pendapat senada juga datang dari oleh az-Zuhri, Ishak, Ibnul Mundzir dan Dawud. 

Sebagian ulama penganut mazhab Syafi’i memandang bahwa hal itu haram. Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan, ‘Syaikh kami, Imarr Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, menegur para sejawat kami yang hanya menganggap makruh hukum melumurkan darah hewan aqiqah di kepala bayi. Dia katakan bahwa yang masyhur adalah haram hukumnya melumuri anggota badan dengan najis dan haram hukumnya bagi sang wali untuk melakukan sesuatu yang haram kepada para tamu undangan, seperti memberi mereka minum arak dan lain sebagainya… dalam hal ini, melumuri kepala si bayi dengan darah hewan aqiqah juga demikian hukumnya.’

Pendapat kedua:

al-Hasan al-Bashri, Qatadah dari kalangan tabi’in dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri memandang bahwa melumurkan darah hewan aqiqah di kepala bayi hukumnya sunnah. Melumuri kepala bayi dengan darah hewan aqiqah, kemudian mencucinya. Pendapat ini dinukilkan oleh Ibnu Hazm dari penganut mazhab Hanbali.

Ibnu Umar. Pendapat senada juga datang dari oleh sebagian ulama Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan bahwa melumuri kepala bayi dengan darah hewan aqiqah selain al-Hasan al-Bashri dan Qatadah. Mereka berdua mengatakan bahwa melumuri kepala bayi dengan darah hewan aqiqah. Hal ini oleh seluruh ulama menolak dan menganggapnya makruh.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ada atsar dari al-Hasan al-Bashri tentang makruhnya melumurkan darah hewan aqiqah di kepala bayi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih.

Mereka (ulama pendapat kedua) berargumentasi dengan hadis yang diriwayatkan oleh Humam dari Qatadah, dari al-Hasan, dari Samurah: anarrasula shallallohu ‘alaihi wa sallam qoola: kullu gulaamin rahiinatun biaqiiqatihi, tudzbahu ‘anhu yaumassaa bihi wa yukhlaqu wa yudammu

Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,

Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya; disembelihkan untuknya pada hari ketujuh kelahirannya, dicukur rambutnya dan dilumuri dengan darah.

Apabila Qatadah mendapat pertanyaan tentang apa manfaat darah hewan aqiqah, dia menjawab, “Jika Anda menyembelih hewan aqiqah. Silakan mengambil sepotong kain lalu letakkan di bagian otot arteri hewan tersebut ketika menyembelih. Kemudian, ambil kain itu dan letakkan di bagian ubun-ubun kepala si bayi agar darah tersebut mengalir di kepalanya seperti benang. Kemudian, cucilah kepalanya, dan setelah itu cukurlah rambut nya.

Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Umar ra. berkata, “Rambut kepalanya dicukur, lalu dilumuri dengan darah.”

Mayoritas ulama menyanggah argumentasi ini dan menunjukkan bahwa pendapat ini bersifat anomali Juga bahwa versi riwayat yang benar untuk hadis Samurah adalah (yusamma) ‘memberi nama’, bukan (yudamma) ‘melumuri darah’.

Berikut ini adalah penjelasannya.

Abu Dawud, penulis kitab as-Sunan,setelah membawakan hadis ini mengatakan, “Ini adalah kesalahan redaksi dari Humam.” Abu Dawud mengatakan, “Pernyataan Humam mendapat pertentangan pada kalimat ini, karena merupakan kesalahan redaksi darinya. Kalimat yang benar adalah (yusamma) ‘memberi nama’. Tapi, Humam justru mengatakan (yudamma) ‘melumuri darah’. Kalimat yang ia riwayatkan ini tidak bisa menjadi patokan.”

Setelah membawakan versi riwayat kedua dari hadis Samurah yang di dalamnya tercantum kalimat (yusamma) ‘memberi nama’, Abu Dawud mengatakan, Kalimat (yusamma) ‘memberi nama’ lebih tepat. Demikianlah dikatakan oleh Sallam bin Abi Muthi’ dari Qatadah, Iyas bin Daghfal dan Asy’ats dari al-Hasan dengan lafal (yusamma) ‘memberi nama’. Diriwayatkan oleh Asy’ats dari al-Hasan dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dengan lafal ‘diberi nama’.”

Al-Khallal menukilkan dari Imam Ahmad, bahwasanya beliau ditanya,”Kepalanya dicukur?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku lanjutkan;

Kemudian melumuri darah? Beliau menjawab, “tidak. Itu adalah perilaku Jahiliyah.” Aku lanjutkan; “Lalu bagaimana dengan hadis Qatadah dari al Hasan yang riwayatnya menggunakan lafal (yudamma) ‘melumuri darah’?” Beliau menjawab, “Humam meriwayatkan dengan lafal (yudamma) ‘melumuri darah’, sementara Said meriwayatkan dengan lafal (yusamma) ‘memberi nama’. Dalam riwayat al-Atsram beliau katakan, “Ibnu Arubah meriwayatkannya dengan lafal (yusamma) ‘memberi nama’, sementara Humam meriwayatkannya dengan lafal (yudamma) ‘melumuri darah’. Saya yakin itu adalah kesalahan redaksi darinya.”

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani memandang bahwa riwayat hadis dengan lafal (yusamma) ‘memberi nama’ adalah riwayat yang melegakan hati karena sesuai dengan kebanyakan riwayat hadis tentang aqiqah lainnya. Terutama, riwayat ini memiliki banyak syahid dan mutaba’ah. Berbeda dengan riwayat berlafalkan (yudamma) ‘melumuri darah’ yang gharib (yang meriwayatkan hanya oleh satu orang saja pada setiap mata rantai sanadnya). Beliau juga mendukung pernyataan Abu Dawud dalam menyalahkan Humam pada lafal  (yudamma) ‘melumuri darah.’ walaupun perawi ini tsiqah. Beliau katakan, “Hal ini, walaupun tingkat ketidakmungkinannya cukup tinggi untuk seorang perawi tsiqah. Sebab, kalau menyalahkan seorang perawi tsiqah sulit melakukannya. Maka menyalahkan seluruh perawi tsigah lainnya dan menganggap mereka semua tidak kuat dalam hal hafalan tentu lebih sulit.”

Mayoritas ulama mengatakan bahwa seandainya lafal hadis ini shahih dan harus menerimanya, maka dapat mengambil kesimpulan bahwa hadis ini mansikh. Mayoritas ulama menegaskan pendapat mereka bahwa melumurkan darah di kepala bayi hukumnya mansikh. Karena merupakan adat-istiadat Jahiliyah yang dengan datangnya Islam sehingga terhapus.

Sunnah yang Dianjurkan dalam Akad Nikah

Sunnah yang Dianjurkan dalam Akad Nikah

Nikah – Pendapat para ahli fiqih membahas tentang beberapa sunnah yang dianjurkan ketika melaksanakan akad nikah. Mulai dari awal hingga pasca akad.

  • Hendaknya Melangsungkan Akad Nikah Pada Hari Jumat Sore

Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah secara marfu’,

Lakukanlah pernikahan di waktu sore’ Karena sesungguhnya saat itu adalah keberkahan paling agung.”

Demikian juga karena hari jumat adalah hari mulia dan hari raya. Keberkahan dalam pernikahan adalah sesuatu yang menjadi harapan. Oleh sebab itu, sebaiknya melangsungkannya di hari yang paling mulia demi mencari keberkahan. Juga dianjurkan agar dilakukan pada waktu sore hari, karena di akhir siang dari hari jumaat terdapat waktu yang mustajab.

  • Mengumumkan Pernlkahan dan Memukul Rebana

Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw., “UmumkanIah pernikahan.” 

“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana,”

Imam an-Nasa’i meriwayatkan, “Pemisah antara halal dan haram dalam pernikahan adalah suara dan rebana.”

Dalam walimahtul ursy boleh untuk mendendangkan lagu yang mubah atau gurauan yang tidak khusus kepada orang tertentu. Sebagaimana hadits oleh Ibnu Majah,

Dari Aisyah, bahwasannya dia menikahkan seorang perempuan yatim dengan seorang Ielaki dari kaum Anshar. Aisyah termasuk orang yang ikut mengantarkannya ke suaminya. Dia (Aisyah) berkata, “Tatkala kami pulang, Rasulullah saw. bertanya kepada kami, ‘Apa yang kamu katakan wahai Aisyah?” Dia menjawab, “Kami mengucapkan salam dan berdoa kepada Allah agar memberi mereka berkah, kemudian kami berpisah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kaum Anshar memiliki gurauan. Wahai Aisyah, tidakkah kalian mengucapkan: kami mendatangi kalian, kami mendatangi kalian, maka ucapkan selamat pada kami dan pada kalian?

Para ulama Malikiah yang tidak mensyaratkan saksi ketika akad, berkata:

Menjadi sunahkan adanya saksi ketika akad, demi keluar dari perselisihan pendapat. Karena banyak sekali dari para imam berpandangan bahwa pernikahan tidaklah sah melainkan dengan ada kesaksian ketika akad. Mereka berpandangan bahwa akad tersebut sah, sekalipun tidak ada kesaksian ketika akad, seperti halnya pada jual-beli.

Akan tetapi keabsahannya tidak sepenuhnya dan tidak ada pengaruh apa pun setelahnya, seperti kehalalan untuk bersenang-senang dengan isteri melainkan setelah adanya kesaksian sebelum melakukan akad. Oleh sebab itu, boleh melangsungkan akad kedua mempelai secara sembunyi-sembunyi, kemudian mereka berdua memberitahu kepada dua orang lelaki yang adil, seperti berkata, “Kami berdua telah melangsungkan akad, si Fulan nikah dengan si Fulanah.”

Atau sang wali memberitahu dua orang lelaki yang adil dan suami memberitahu dua lelaki yang adil lainnya. Tidaklah cukup salah satu dari keduanya hanya memberitahu kepada satu orang lelaki yang adil, dan satunya lagi memberitahu satu orang lelaki yang adil lainnya. Karena dalam keadaan seperti itu masih seperti satu orang saja.

  • Menyebutkan Mahar

Yaitu menentukannya ketika akad. Karena hal itu dapat menenangkan jiwa dan mencegah perselisihan di kemudian hari. Sunnahkan juga memberikan mahar secara kontan, tanpa harus menunda sebagianya.

  • Walimah

Hal ini merupakan sunah yang sangat dianjurkan menurut jumhur ulama, dan ini pendapat yang masyhur dari mazhab Malikiah dan Hanabilah serta pendapat sebagaian ulama Syafi’iah. Karena itu adalah makanan untuk kejadian yang membahagiakan maka hukumnya tidak wajib sebagaimana walimah-walimah yang lain.

Dalam pendapat Imam Malik dan yang tertera di dalam kitab al-Umm karya Imam Syafi’i serta pendapat Zhahiriah bahwasanryra walimah tersebut hukumnya wajib, karena sabda Nabi saw. kepada Abdurrahman bin Auf, 

Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing.

Zhahir dari sebuah perintah adalah untuk mewajibkan.

Para ulama salaf berbeda pendapat mengenai waktu walimah, apakah itu ketika akad atau setelahnya, ketika bersenggama atau setelah nya, atau ketika memulai akad hingga akhir persenggamaan.

Imam Nawawi berkata, “Para ulama berbeda pendapat. Qadhi iyadl mengisahkan bahwasannya pendapat yang paling benar dari ulama Malikiah adalah anjuran setelah bersenggama. Sedangkan sebagian Malikiah berpendapat anjuran ketika akad” Sedangkan menurut Ibnu Jundub adalah anjuran ketika akad dan setelah persenggamaan. As-Subki berkata: yang diriwayatkan dari perbuatan Nabi saw. bahwasannya walimah tersebut dilakukan setelah persenggamaan. Di dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas oleh Imam Bukhari dan lainryra menyatakan dengan jelas bahwa walimah tersebut dilakukan setelah persenggamaan, karena sabda beliau saw.,

Beliau bangun pagi sebagai pengantin Zainab. Lantas beliau mengundang orang-orang.

Inilah pendapat yang mu’tamad di kalangan Malikiah. Ulama Hanabilah berkata: walimah sunah dikerjakan sebab terjadinya akad nikah. Mengadakan walimah telah menjadi adat-istiadat yang dilakukan sebelum kedua mempelai melakukan hubungan suami-istri.

Sedangkan melakukan nutsar makruh menurut ulama Syafi’iah dan Malikiah. Karena mengumpulkannya merupakan hal hina dan bodoh, sebab itu diambil oleh sebagian orang dan dibiarkan oleh sebagian yang lain. Sangat menganjurkan untuk tidak melakukan hal itu.

Adapun hukum menghadiri walimah, maka menurut para ulama Hanafiah hukumnya sunah. Sedangkan jumhur ulama menyatakan bahwa menghadiri walimah hukumnya wajib ain. Tidak ada alasan untuk tidak mengahadiri walimah, seperti kedinginan, kepanasan atau sibuk Hal itu karena adanya hadits Nabi saw. yang berbunyi,

Barang siapa diundang menghadiri acara walimah, Iantas dia tidak menghadirinya maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abu Qashim (Rasulullah).”

Juga hadits, “Jika salah seorang di antara kalian diundang walimah pernikahan maka hendaknya mendatanginya.”

Menghadiri undangan walimah hukumnya wajib, bahkan atas orang yang berpuasa sekalipun, akan tetapi dia tidak harus memakan makanannya. Itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a., 

Jika salah orang di antara kalian diundang walimah hendaknya menghadirinya. Jika ia berpuasa hendaknya dia berdoa dan jika ia tidak berpuasa maka hendaknya dia makan makanannya.

  • Doa Seorang Suami Ketika Hendak Mendatangi Istrinya

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam sunnah, yaitu Diriwayatkan dari Abu Said budak Abu Usaid, bahwasannya ia (Abu Usaid) menikah, lantas dihadiri oleh Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzan Hudzaifah, dan para sahabat Rasulullah saw. yang lainnya. Setelah itu waktu shalat telah tiba, lantas mereka mempersilahkan Abu Usaid menjadi imam shalat, padahal ia seorang budak. Kemudian dia pun menjadi imam mereka dalam shalat tersebut.

Setelah itu mereka berkata kepadanya, “Jika kamu menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian pegang kepada istrimu dan berdoalah, ‘Ya Allah, berkahilah aku di dalam keluargaku dan berkahilah keluargaku di dalam diriku. Berilah aku rezeki dari mereka. Kemudian lakukan keperluanmu dan istrimu (bersenggama).

Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menikahi seorang perempuan atau membeli seorang pembantu hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kebaikannya dan kebaikan sesuatu yang Engkau jadikan baginya. Aku berlindung kepadamu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau jadikan baginya.’ Jika ia membeli keledai maka hendaknya ia memegang ujung talinya dan berdoa seperti itu.” (HR.Abu Dawud)

Doa ini juga dapat dibaca ketika membeli mobil, rumah, dan semisalnya.

Jangan katakan “Aku tak diminati”, tapi “aku akan segera menemukannya”

Jangan katakan “Aku tak diminati”, tapi “aku akan segera menemukannya”

Pra Nikah – Jangan pernah mengatakan kepada dirimu sendiri bahwa “Aku tak diminati”, tapi selalu katakan bahwa “aku akan segera menemukannya.” Sebab perkataan adalah doa, sehingga harus terus mengatakan hal yang berdampak baik.

  • Jangan meragukan diri sendiri

Keteguhan hati adalah tanda kuatnya iman, oleh sebab itu keraguan hati menunjukkan lemahnya iman. Allah ta’ala berfirman yang artinya,

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat 15)

Keraguan akan kemampuan diri sendiri adalah tanda seseorang tidak mengenali dirinya. Sedangkan orang yang tidak mengenal dirinya berarti tidak mengenal Rabb-nya.

Bahaya keraguan bagi seseorang adalah ia akan selalu melangkah dengan setengah hati dan tidak berani mengambil keputusan. Ia merencanakan banyak hal tetapi mengingkarinya karena takut akan risiko di hari kemudian. Atau, ia mencoba berikhtiar tetapi gamang dan tidak tuntas. Ia memohon pertolongan kepada Allah tetapi tidak yakin Allah akan menolongnya.

Jangan meragukan diri sendiri, karena jodoh tak menginginkan pribadi yang peragu. Jangan ragu-ragu mengambil keputusan karena kebimbangan anda itu akan membuat jodoh tidak mempercayai anda.

  • Jadilah golongan yang ketiga

Ada tiga macam golongan pemuda berdasarkan perilaku dan sikapnya terhadap kebenaran. Masing-masing golongan mencerminkan pesona dan masa depannya kelak baik di dunia maupun akhiratnya.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Al-Fathir 32)

Golongan pertama adalah orang yang menganiaya dirinya. Mereka adalah orang-orang yang mengira bahwa kehidupan ini adalah untuk bersenang-senang sehingga melupakan kehidupan sesudahnya. Hidupnya untuk tidur, menikmati makanan, berfoya-foya, dan mengumbar nafsu dalam perbuatan maksiat.

Mereka melupakan pengawasan Allah atas dirinya dan tidak pernah menyadari usianya mendapat jatah oleh Allah untuk waktu yang amat terbatas. Mereka lupa bahwa kelak di hari akhir harus berjumpa dengan Allah dan melaporkan semua yang pernah ia lakukan saat ini.

Pemuda seperti ini bergaul dengan orang-orang kafir dan ahli kemungkaran. Kelak mereka tidak akan mendapatkan jaminan masa depan yang baik. Di kahirat mereka menemukan dirinya sebagai manusia yang merugi.

Golongan kedua adalah orang-orang pertengahan. Mereka setengah-setengah dalam menanggapi perkataan Allah dan Rasul-Nya. Mereka menjalankan kebaikan, dan sedikit dalam gelimang kemaksiyatan. Dan mereka menjalankan shalat sebagaimana Allah memerintahkan kepadanya.

Tetapi waktu-waktu luang baginya adalah kebebasan untuk melenakan dirinya. Mereka bermain-main bersama teman-temannya, menonton televisi, tidur berlebihan, dan berlama-lama dalam hiburan. Mereka tidak meluangkan waktu untuk membaca kitab Allah dan berdzikir kepada-Nya.

Manusia pertengahan ini tidak mendapat banyak keberkahan hidup. Mereka sekedar menggugurkan kewajiban dan menjaga diri dari murtad. Tidak ada jaminan istimewa dari Allah untuk orang-orang seperti ini.

Golongan ketiga adalah manusia yang bergegas menjemput kebaikan. Mereka adalah orang-orang terbaik yang selalu menjalankan perintah Allah dan benar-benar menjauhi larangan-Nya. Mereka meluangkan waktunya untuk berjihad, berdakwah, dan membantu sesama. Setiap detik waktu luang adalah amal soleh. Setiap kesempatan adalah karya.

Orang-orang seperti inilah yang kelak mendapat jaminan dari Allah surga.

segera menemukannya

  • Dijadikan berbangsa dan bersuku, agar saling mengenal

Berkenalanlah dengan orang-orang di sekitar anda. Manusia tercipta dengan bermacam suku bangsa dan ras agar saling mengenal satu sama lain.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. AL-Hujurat 13)

Bagaimanakah anda akan mendapati jodoh terbaik kalau tidak pernah mengenal dan tidak bersedia mengenal oleh orang-orang sekeliling anda? Berkenalanlah dengan sahabat-sahabat ayah dan ibu kalian, beserta anak-anak mereka. Berkenalanlah dengan para guru dan orang-orang yang bersahabat dengan para guru anda. Kunjungilah teman-teman dan berkenalanlah dengan orangtua dan saudara-saudara mereka. Anda akan merasakan dunia ini tidak sesempit yang anda kira.

Saat bertemu, ucapkan salam kepada mereka. Berbicaralah dengan hangat sebagai saudara seiman yang saling berpesan kebaikan dan kesabaran. Anda akan merasakan dunia ini hangat dan penuh keceriaan, penuh rasa persaudaraan.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Hujurat 10)

  • Jangan terlibat dalam diskusi yang tidak jelas

Menyibukkan diri kepada masalah yang tidak mendatangkan manfaat  adalah kesia-siaan dan mengancam bangunan masa depan. Pembicaraan yang sia-sia hanyalah menghabiskan waktu. Pada waktu adalah asset anda yang tak tergantikan untuk meniti prestasi dan cinta-cita. Pembicaraan yang sia-sia juga menutup peluang-peluang emas yang seharusnya anda dapatkan selama masa muda.

Semakin banyak terlibat dalam pembicaraan yang sia-sia, orang-orang semakin melihat bahwa anda banyak cela. Bagaimanakah seseorang yang anda idamkan akan memilih orang yang tampak jelas banyak cela?

Jika seseorang sibuk dengan berbagai hal yang tidak mendatangkan manfaat, hingga ia meninggalkan kewajiban  yang seharusnya ia lakukan,  melupakan amanat yang sepatutnya ia emban, maka di dunia ini ia akan mendapat cela dan di akhirat ia akan mendapat siksaan.

Anas bin malik meriwayatkan bahwa salah seorang sahabat meninggal duniameninggal dunia, lalu seseorang berkata, “Berilah kabar gembira dengan surga“ maka Rasulullah saw bersabda,

“Apakah kalian tidak tahu ,  mungkin ia pernah mengucapkan perkataan  yang tidak mendatangkan manfaat , atau bakhil terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak akan berkurang.” (HR. Tirmidzi)

  • Jangan terlibat dalam prasangka

Keanyakan dari prasangka adalah dosa. Dari satu prasangka, permusuhan akan menjalar menjadi panjang dan bercabang-cabang menjadi fitnah, kedengkian, dan dendam.

Allah ta’ala melarang berburuk sangka, seperti dalam firman-Nya yang artinya,

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat 12)

Kesukaan berprasangka buruk berkebalikan dengan pembelajaran mencintai. Prasangka buruk berarti menduga-duga keburukan yang terjadi pada orang lain, sedangkan cinta menghendaki perasaan yakin akan kebaikan orang yang dicintai. Itulah sebabnya orang yang suka berprasangka berarti telah menutup pintu jodoh baginya. Jodoh identik dengan penyatuan cinta, dan kontraproduktif dengan hati yang penuh prasangka.


  • Jangan menjadi penghembus fitnah

Penghembus fitnah tidak lebih baik dari orang yang mereka fitnah, bahkan boleh jadi mereka jauh lebih hina.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri  dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al -ujurat 11)

Seperti halnya penghembus prasangka, penghembus fitnah berisiko jauh dari jodohnya karena ia tidak memiliki jiwa seorang pencinta. Bagaimanakah jodoh akan datang kepada jiwa yang tidak sanggup mencintai?

  • Jangan menjadi pendengar gosip

Jangan menghiraukan gossip yang bertebaran di sekeliling anda. Dan jangan menikmati kisah-kisah penuh kebohongan tentang orang-orang yang menjadi bahan pembicaraan itu.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-hujurat 6)

Gossip atau ghibah menjauhkan hati anda dari kelembutan dan kasih sayang, dan mendekatkan anda kepada kebencian dan permusuhan.

Dari Abu Hurairah -Radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Tahukah kalian apa ghibah itu?” Mereka (para sahabat) menjawab: “Allah swt daRasul-Nya lebih mengetahui”. Rasulullah saw bersabda: “Engkau menyebutnyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai”.  Ada yang bertanya: “Bagaimana kalau pada saudaraku itu terdapat sesuatu yang saya katakana (nyata)?”  Rasulullah saw menjawab: “Jika pada saudaramu itu ada sesuatu yang engkau katakan (nyata), maka engkau telah meng-ghibah-nya, jika tidak ada (tidak nyata), maka engkau telah membuat kedustaan tentang dia”. (HR Muslim).

Ghibah adalah hal-hal yang nyata kejadiannya, tetpi tidak layak menceritakan kepada orang lain karena akan merendahkan martabatnya. Buhtan adalah hal-hal yang tidak nyata dan mengatakan kepada orang lain seolah-olah ia nyata. Pembicaraan keburukan lain adalah namimah, yaitu memindahkan pembicaraan satu orang kepada oang lainnya dengan maksud mengadu domba.

Saat Anda membicarakan sifat atau perilaku buruk orang lain, ketiga  kemungkinan itu selalu berpeluang di dalamnya. Itu jugalah yang terjadi ketika anda mendengar atau  terlibat pembicaraan gosip.

  • Penuhi hati, mata, dan telinga untuk menerima ayat Allah

Hati, mata, dan telinga dapat menyelamatkan manusia dari neraka jahannam. Jika anda menggunakan hati, mata, dan telinga untuk beribadah kepada Allah, maka Allah akan menghindarkan anda dari neraka.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, 

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf 179)

Allah membandingkan tidak berfungsinya hati, mata, dan telinga seperti binatang ternak yang tidak pernah mendapat hidayah.

  • Jadilah Kumbang yang memilih bunga terbaik

segera menemukannyaKumbang memilih bunga-bunga terbaik untuk memberikan madu baginya dan membantu penyerbukannya. Pemuda salih memilih jodoh dengan pilihan terbaik menurut Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah saw. bersabda, “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, atau karena agamanya. Akan tetapi, pilihlah berdasarkan agamanya agar dirimu selamat.” (HR Bukhari dan Muslim).

“Jauhilah olehmu khadraa’uddiman!” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, apakah khadraa’uddiman itu?” Beliau bersabda, “Wanita cantik di lingkungan yang buruk.” (HR Daruquthni, hadist lemah)

Ini adalah peringatan Rasulullah kepada laki-laki muslim bahwa hendaknya laki-laki tidak memilih perempuan yang tinggal di lingkungan yang tidak baik. Perempuan seperti itu berisiko terpengaruh dengan lingkungannya.

Pilihlah wanita yang sabar. Kesabaran itu akan mengajak anda menuju kehidupan yang bahagia sampai ke surga.  

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

Allah menjadikan istri Fir’aun perumpamaan bagi orang orang yang beriman ketika ia berkata, “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS. At-Tahriim :11)

Isteri yang sabar berarti ia mampu berlapang dada, menerima kepahitan, kesulitan dan rintangan tanpa keluh kesah.

  • Jangan terpengaruh oleh bisikan-bisikan

Jangan terpengaruh oleh kata-lata orang lain yang melemahkan tekad Anda untuk terus melangkah. Kadang-kadang seorang laki-laki telah menentukan pilihan pada seorang wanita salihah, tetapi bisikan tetangga dan kerabat membuatnya ragu dan akhirnya mundur. Lalu ia kembali pada kekosongan hati dan penantian yang makin panjang.

Jangan dengarkan komentar mereka tentang wanita salihah pilihan Anda itu yang usianya lebih tua, kurang cantik parasnya,atau tuduhan-tuduhan lain yang keji. 

Ingatlah ketika Khadijah menyampaikan keinginan sucinya untuk menikah pada Muhammad, melalui Nufaisa sahabatnya. Muhammad sempat gamang. Ia tidak punya apa-apa untuk menikah. Namun kedua belah pihak keluarga mendukung mereka. Dengan mas kawin 20 unta, Muhammad menikahi Khadijah. Muhammad kemudian tinggal di rumah Khadijah. Keluarga mereka tenteram dan damai. Pada usianya yang terbilang tua, Khadijah masih melahirkan enam anak.

  • Jangan Silau oleh kecantikan

Kecantikan sejati bukan terlihat dari kulitnya yang bersih, tetapi dari kasih sayangnya yang tulus.

Kecantikan sejati bukan terlihat dari suaranya yang merdu,tetapi dari perkataannya yang selalu benaran.

lKecantikan sejati bukan dilihat dari bagaimana dia dihormati di tempat kerja, tetapi bagaimana dia menjaga kehormatannya di manapun berada.

Kecantikan sejati bukan dilihat dari banyaknya pria yang memujanya, tetapi dari komitmen terhadap pria yang telah dicintainya.

Kecantikan sejati bukan dilihat dari kerasnya dia membaca Al-Quran, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang dia baca setelah itu.

Jika anda menikahi seorang wanita semata hanya tertarik oleh kecantikannya, boleh jadi wanita itu juga bersedia anda nikahi hanya karena ketampanan atau uang anda. Kalaupun demikian, anda akan membencinya suatu saat ketika ia tampak makin keriput, dan anda akan ditinggalkan suatu saat ketika mulai lemah dan berkurang harta.

Jika kecantikan wanita menarik hati anda, jangan-jangan ia hanya memiliki kecantikan itu sebagai satu-satunya kelebihan. Anda akan kecewa karena di luar itu yang tersisa hanyalah kelemahan-kelemahan yang selama ini ia tutupi.

Jangan merendhkan harga diri dengan menikahi wanita yang bersedia dinikahi semata dengan mengandalkan kecantikannya. Tidak wanita yang rendah harga dirinya berjodoh kecuali dengan  laki-laki yang sederajat dengannya.

 

[Yazid Subakti]

Hukum Kulit dan Organ Tubuh Tak Terpakai dari Hewan Aqiqah

Hukum Kulit dan Organ Tubuh Tak Terpakai dari Hewan Aqiqah

Pada dasarnya seluruh bagian hewan aqiqah tidak boleh menjualnya karena hampir seluruh hukumnya sama dengan hukum hewan qurban. Para ahli fikih membuat pernyataan secara tertulis bahwa seluruh bagian hewan qurban tidak boleh menjualnya; baik daging, kulit maupun kikilnya. Baik sembelihan tersebut hukumnya wajib maupun sunnah. Imam Ahmad mengatakan, “Tidak boleh menjual seluruhnya atau sebagiannya.” Beliau juga mengatakan, “Subhanallah, bagaimana bisa menjualnya padahal sudah diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu memperbolehkan menjual kulitnya, lalu mensedekahkan hasil penjualan tersebut. Ibnul Mundzir menukilkannya dari Imam Ahmad dan Ishaq. 

Kulitnya boleh memnafaatkan untuk tempat minum, jaket, sandal dan lain sebagainya.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Kulit hewan qurban dimanfaatkan untuk tempat minum.

Dari Masruq, bahwasanya dia memanfaatkan kulit hewan qurbannya sebagai sajadah untuk shalat.

Dari al-Hasan al-Bashri berkata, “Manfaatkanlah kulit hewan qurban, tapi jangan menjualnya.”

Dalil atas hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ali radhiyallahu ‘anhu berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkanku untuk mengurus unta sembelihan, untuk menyedekahkan kulit dan organ tubuh tak terpakai lainnya, serta tidak memberi kannya kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Akan kami beri dari harta kami sendiri.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerintahkannya untuk menyedekahkan daging, kulit dan organ tubuh tak terpakai lainnya. Sebagaimana beliau telah menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak boleh ada bagian yang terjual. Sama seperti wakaf.

Dalam hadisnya, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya, berarti tidak ada qurban untuknya.

Oleh al-Hakim meriwayatkan dengan komentar, “Hadis ini shakih.” Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hasan.”

Al-Hafizh al-Mundziri mengatakan, “Banyak hadis Nabi Shaliallahu ‘alayhi wa Sallam yang menjelaskan larangan untuk menjual kulit hewan qurban.”

Dalam hadis dari Qatadah bin an-Nu’man radhiyallahu ‘ahu: Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Jangan menjual daging hadyi dan qurban. Makanlah, bersedekahlah dan nikmatilah kulitnya, tapi jangan menjualnya. Apabila kalian mendapat makan dari dagingnya, silahkan mengkonsumsinya apabila kalian mau.

Diriwayatkan oleh Ahmad. Hadis ini juga oleh al-Haitsami dengan komentar, “Dalam kitab Ash-Shahth terdapat kutipan ladis ini.” Diriwayatkan juga oleh Ahmad. Hadis ini adalah hadis mursal yang sanadnya shahih.

Kulit hewan aqiqah boleh memanfaatkan untuk berbagai kegunaan. Dalilnya adalah apa yang tertera dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dia katakan:

Sekelompok orang dari kalangan penduduk desa datang pada waktu Idul Adha di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

daging hewan aqiqahSimpanlah setelah tiga hari, kemudian sedekahkanlah yang tersisa.” Setelah tiga hari berlalu, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, penduduk membuat tempat minum dari kulit hewan qurban mereka dan mencairkan lemak dagingnya.” Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bertanya, “Mengapa demikian?” Mereka menjawab, “Anda telah melarang kami mengonsumsi daging hewan qurban setelah tiga hari.” Beliau bersabda, “Aku melarang kalian karena kedatangan orang-orang desa itu. Sekarang makanlah, simpanlah dan bersedekahlah.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Inilah ketetapan para ahli fikih berkaitan dengan hewan qurban. Para ulama penganut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali dalam salah satu riwayatnya menyamakan antara hukum hewan aqiqah dengan hukum qurban dengan melarang penjualan bagian apa pun dari hewan aqiqah. Imam Malik berkata, “Daging dan kulitnya tidak boleh menjualnya sedikitpun.”

Ibnu Rusyd mengatakan, “Hukum daging, kulit dan seluruh organ tubuh hewan aqiqah sama dengan hukum hewan qurban dalam hal konsumsi, sedekah dan tidak boleh menjualnya.”

Al-Baghawi mengatakan,

Tidak boleh menjual bagian mana pun dari hewan aqiqah. Sebab, hewan tersebut disembelih dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sama seperti hewan qurban.

Imam Ahmad memandang pada salah satu dari dua versi pendapatnya bahwa boleh menjual kulit, kepala dan organ tubuh hewan aqiqah lainnya, kemudian hasil penjualan tersebut sedekahkan. Al-Khallal meriwayatkan bahwa Imam Abad mendapat pertanyaan tentang hewan aqiqah, “Kulit, kepala dan bagian tak terpakai lainnya jual atau sedekahkan? Beliau menjawab, sedekahkan.”

Asy-Syaikh Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata bahwa Imam Ahmad mengatakan, “Kulit, kepala dan bagian tak terpakai lainnya dijual, kemudian mensedekahkannya.” Pada masalah hewan qurban, beliau (Imam Ahmad) mengeluarkan fatwa yang bertolak belakang dengan pernyataannya ini. Fatwa tersebut lebih tepat dalam mazhabnya. Sebab, aqiqah adalah sembelihan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga tidak boleh menjualnya sedikit pun. Sama seperti hadyi. Juga karena bisa langsung mensedekahkannya tanpa perlu menjualnya terlebih dahulu.

Abul Khaththab mengatakan,

“Kemungkinan beliau (Imam Ahmad) menganalogikan hukum salah-satunya kepada yang lain, sehingga beliau mengeluarkan fatwa dalam dua versi. Kemungkinan yang lain, beliau bedakan keduanya melalui sudut pandang bahwa qurban adalah ritual sembelihan yang menjadi syariatpada Idul Adha. Sehingga lebih menyerupai hadyi. Sementara, aqiqah menjadi syariat pada saat munculnya kegembiraan dengan lahirnya seorang bayi, sehingga lebih mirip dengan pesta pernikahan. Juga karena hewan sembelihan tersebut masih berada di dalam lingkup kepemilikannya, sehingga dia boleh melakukan penjualan atau perlakuan lainnya terhadap daging hewan tersebut. Dengan demikian, bersedekah dengan hasil penjualannya memiliki kedudukan, keutamaan, pahala dan manfaat yang sama dengan bersedekah dengan daging hewan tersebut secara langsung. Oleh karena itu, si pemilik boleh melakukannya.”

Cara Memanfaatkan Daging Hewan Aqiqah

Cara Memanfaatkan Daging Hewan Aqiqah

Hukum hewan aqiqah setelah sembelih menurut para ulama sama dengan hukum hewan qurban dari sisi pemanfaatannya. Berikut ini adalah perkataan sebagian ulama tentang metode pemanfaatan daging hewan aqiqah setelah menyembelih.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Daging aqiqah diperlakukan persis seperti daging qurban.

Atha’ mengatakan, “Anggota keluarga boleh mengonsumsi daging aqiqah dan membagi-bagikannya. Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan. Kalau mau, juga boleh menyedekahkannya.”

Masih dari Atha’, “Daging aqiqah dimasak dengan air dan garam dan dibagi-bagikan kepada para tetangga, tapi tidak boleh disedekahkan.”

Ibnu Juraij mengatakan, ”Dimasak sepotong demi sepotong, kemudian dikonsumsi sendiri dan dibagi-bagikan, tapi tidak boleh disedekahkan.

Ibnu Hazm mengatakan, “Dikonsumsi, dibagikan dan disedekahkan. Semua ini hukumnya mubah, bukan wajib.”

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Kemudian diperlakukan seperti daging qurban; dikonsumsi, disedekahkan dan dibagi-bagikan kepada para tetangga. Hal ini diriwayatkan dari Aisyah dan merupakan pendapat mayoritas ulama. Daging hewan aqiqah dibagi menjadi tiga bagian; satu bagian untuk keluarga, satu bagian untuk sedekah dan satu bagian untuk dibagi-bagikan.”

Al-Kharaqi mengatakan, ”Cara memperlakukannya dalam mengkonsumsi, membagi-bagikan dan menyedekahkannya sama seperti caranya.” Yaitu sama seperti cara memperlakukan daging qurban.

Asy-Syaikh Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam mensyarahi perkataan al-Kharaqi di atas mengatakan, “Ini juga merupakan pendapat Imam asy-Syafi’i.” Ibnu Sirin mengatakan, “Perlakukan dagingnya sesukamu.” Ibnu Juraij mengatakan, “Dimasak dengan air dan garam, kemudian dibagi-bagikan kepada para tetangga dan teman tanpa disedekahkan sama sekali.” Ahmad pernah ditanya tentang masalah ini dan beliau mengungkapkan pernyataan Ibnu Sirin. Hal ini menunjukkan bahwa beliau juga berpendapat demikian.

hewan aqiqahBeliau juga pernah ditanya, “Bolehkah dikonsumsi seluruhnya?” Beliau menjawab, “Saya tidak mengatakan boleh dikonsumsi seluruhnya atau disedekahkan seluruhnya. Yang paling tepat adalah diperlakukan seperti daging qurban. Sebab, aqiqah adalah ritual penyembelihan yang disyariatkan tapi tidak wajib, schingga ueryerupai ritual qurban, Juga karena mirip dengan quiban dalam hal ciri-ciri, usia, ukuran dan syarat-syaratnya. Sehingga disamakan juga cara memperlakukannya. Apabila dimasak kemudian diundangkan teman-teman untuk makan bersama, maka itu baik.”

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Membagikan kepada tetangga, tapi tidak perlu mengundang khalayak untuk makan bersama seperti pesta pernikahan.

Dalam kitab Mukhtashar al- Khalil disebutkan,

Makruh untuk diperlakukan seperti pesta pernikahan.” Al-Mawwaq mengatakan bahwa Ibnul Qasim menyatakan, “Daging hewan aqiqah dimasak dan dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga serta dibagi-bagikan kepada para tetangga. Sedangkan mengundang khalayak untuk makan bersama, saya rasa saya tidak menyukainya.” Dalam kesempatan yang lain dia (Ibnul Qasim) mengatakan, “Apabila mereka ingin melakukannya, hendaknya melakukannya pada daging hewan yang lain kemudian mengundang khalayak untuk makan bersama. Ibnu Umar biasa mengundang khalayak untuk makan bersama pada acara kelahiran anak dan khitan anak-anak laki-laki.

An-Nawawi mengatakan, “Dianjurkan untuk mengonsumsi, menyedekahkan dan membagi-bagikannya seperti yang kami nyatakan pada hewan qurban.” Masih dari an-Nawawi, “Para sejawat kami mengatakan bahwa hukum aqiqah dalam bersedekah, mengonsumsi, membagi-bagikan, menyimpan, ukuran yang dikonsumsi, tidak boleh dijual dan ketentuan kambing yang digunakan untuk aqiqah sama persis seperti yang kami sebutkan pada hewan qurban, tidak ada perbedaan sama-sekali.”

Ar-Raf’i menyebutkan pendapat lain; bahwa apabila kita perbolehkan aqiqah dengan domba di bawah usia dua tahun, maka tidak wajib sedekahi dan boleh mengalokasikan hanya untuk orang-orang yang mampu, Wallahu a’lam.

Banyak kalangan ulama yang menganjurkan untuk tidak menyedekahkan daging segar. Lebih baik memasaknya terlebih dahulu kemudian menyedekahkannya dengan mengirimkannya kepada kaum fakir-miskin. Para ulama tersebut menganggap hal ini lebih baik daripada mengundang kaum fakir-miskin ke rumah si pemilik hajat.

An-Nawawi mengatakan,

Mayoritas sejawat kami menganjurkan untuk tidak menyedekahkan daging segar, tapi memasaknya terlebih dahulu.” Al-Mawardi menyebutkan bahwa apabila kita katakan aqiqah boleh dengan domba di bawah usia dua tahun dan kambing di bawah usia tiga tahun, maka harus menyedekahi dengan daging segar. Demikianlah oleh Imamul Haramain (al-Juwaini), “Apabila kita wajibkan bersedekah dengan ukuran yang sama pada hewan qurban, maka sedekah tersebut harus berupa daging segar.” Pendapat pertama, yaitu dianjurkan untuk dimasak terlebih dahulu, bercabang menjadi dua pendapat; pertama, dimasak dengan cuka. Hal ini dinukilkan oleh al-Baghawi dari teks fatwa asy-Syafi’i berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam  bersabda,

Sebaik-baik kuah adalah cuka.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Kedua, merupakan pendapat yang paling benar serta menjadi keputusan penulis dan mayoritas ulama, dimasak dengan bumbu manis sebagai harapan agar si bayi memiliki budi pekerti dan perilaku yang manis kelak. Dalam kitab Ash-Shahth disebutkan,

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyukai gula-gula dan madu.

Berdasarkan hal ini, kalau dimasak dengan cuka, terdapat dua pendapat tentang hukum makruhnya seperti yang disebutkan oleh ar-Rafli. Yang benar adalah tidak makruh. Sebab, tidak ada larangan untuk melakukan hal tersebut. Para sejawat kami mengatakan, “Bersedekah dengan daging dan kuahnya kepada kaum fakir-miskin dengan mengirimkannya kepada mereka lebih baik dibandingkan dengan mengundang mereka untuk makan bersama. Apabila tetap mengundang khalayak untuk makan bersama, hukumnya boleh. Apabila dibagi dua; sebagian dibagi-bagikan dan sisanya untuk undangan makan bersama, hukumnya juga boleh.”

Al-Baghawi mengatakan,

Dianjurkan untuk tidak bersedekah dengan daging segar. Tapi, hendaknya memasaknya terlebih dahulu, kemudian mengirimkannya di dalam nampan kepada fakir-miskin. Apabila mengundang khalayak untuk makan bersama, maka itu diperbolehkan.”

Asy-Syafi’i mengatakan, “Dimasak dengan cuka.” Kemungkinan dia berpedomau pada sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,

Sebaik-baik kuah adalah cuka.”

Pendapat lain menyatakan tidak boleh dimasak dengan cuka dengan harapan agar si bayi memiliki budi pekerti dan perilaku yang manis kelak.

Dalam kitab Al-Mustau’ib disebutkan, “Dianjurkan untuk memasaknya dengan bumbu manis dengan harapan agar si bayi memiliki budi pekerti dan perilaku yang manis kelak.

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Anehnya, sebagian orang mengatakan bahwa daging hewan aqiqah dianjurkan untuk dimasak dengan bumbu manis. Yaitu ditambahkan gula pada masakan tersebut sebagai harapan agar si anak kelak memiliki budi pekerti dan perilaku yang manis. Jelas ini adalah pendapat yang sangat lemah, karena tidak memiliki dalil sama-sekali. Masalah harapan dan optimisme, tidak perlu kita panjang-lebarkan seperti ini.”

Orang yang menyembelih hewan aqiqah boleh mengundang khalayak untuk makan bersama. Dia juga boleh mengkonsumsinya dan memasaknya untuk dikirimkan kepada kaum fakir miskin. Dan dia juga boleh mengundang teman-teman, karib-kerabat, tetangga dan orang-orang miskin untuk makan bersama di rumahnya. Dia boleh memperlakukan daging hewan aqiqah tersebut sesukanya. Muhammad bin Sirin yang termasuk kalangan tabi’in mengatakan, “Perlakukan daging aqiqah sesukamu.” Imam Ahmad menganggap lebih baik daging aqiqah dimasak terlebih dahulu. Ditanyakan kepada beliau, “Apakah daging aqigah harus dimasak terlebih dahulu?” Beliau menjawab, “Ya.” Dikatakan kepada beliau, “Hal itu berat bagi mereka.“Beliau menjawab, “Mereka harus menanggungnya.”

Ibnul Qayyim mengatakan,

“Hal ini dikarenakan dengan memasaknya akan dapat mencukupi biaya masak kaum fakir miskin dan tetangga. Ini berarti peningkatan amal baik dan rasa syukur atas berkat ini. Tetangga, anak-anak dan kaum fakir miskin dapat langsung menikmatinya tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun. Orang yang diberi daging yang sudah dimasak dan siap dikonsumsi, kegembiraan dan kebahagiaannya menjadi lebih sempurna dibandingkan dengan orang yang mendapatkan daging mentah yang masih perlu diolah dan dimasak.”

Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa beliau mengaqiqahi anaknya. Beliau menceritakan kepada kita apa yang beliau lakukan pada daging hewan aqiqah tersebut. Imam Malik berkata dalam kitab Al-Mabsut,

Aku melaksanakan aqiqah untuk anakku. Aku menyembelih hewan yang aku inginkan untuk aku undang saudara-saudaraku dan lain-lain. IAku pun mempersiapkan jamuan makan tersebut. Aku menyembelih kambing aqiqah. Kemudian, sebagiannya aku bagi-bagikan kepada para tetangga, sebagiannya lagi dikonsumsi sendiri oleh keluargaku. Sisanya, mereka patahkan tulang- tulangnya, lalu aku masak untuk acara jamuan makan dengan para tetangga. Kami semua makan bersama-sama.” Malik berkata, “Barang siapa yang merasa mampu untuk melakukan hal ini, silakan melakukannya. Dan barang siapa yang merasa tidak mampu, silahkan menyembelih hewan aqiqah untuk dikonsumsi sendiri.

  • Bolehkah Kaki Hewan Aqiqah Diberikan kepada Bidan?

daging hewan aqiqahSebagian ulama menganjurkan agar kaki hewan aqiqah diberikan kepada wanita yang membidani kelahiran si bayi.

Mereka berargumentasi berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya,

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada aqiqah yang diselenggarakan oleh Fatimah untuk Hasan dan Husain bersabda, “Kirimkanlah salah satu kaki hewan sembelihan itu kepada bidannya. Makanlah dan bagikan! Tapi jangan mematahkan tulangnya.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Marasil dan al-Baihaqi. Asy-Syaikh al-Arnauth mengatakan, “Dalam sanadnya terdapat mata rantai sanad yang terputus (ingitha ), Dalam sanadnya juga terdapat perawi bernama Husain bin Zaid al-Alawi yang dhaif.” An-Nawawi menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan secara mauguf pada Ali radhiyallahu ‘anhu. Al-Baihaqi membawakan riwayat yang mauquf tersebut dengan lafal,

Bahwasanya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memberikan kaki hewan aqiqah kepada si bidan.”

Al-Khallal meriwayatkan bahwa Imam Ahmad pernah ditanya tentang aqiqah. Beliau ditanya, “Apakah ada sebagian daging hewan aqiqah yang dihadiahkan kepada si bidan?” Beliau menjawab, “Ya.”

  • Bolehkah Memberi Makan kepada Non-Muslim dari Hewan Aqiqah?

Sebagian ulama menganggap makruh memberi makan orang kafir dengan daging hewan aqigah. Dalam kitab Al-‘Utbiyyah pada kajian pertama periwayatan Asyhab Kitab Qurban disebutkan, “Aku bertanya kepada beliau (Imam Malik) tentang hewan qurban dan aqiqah. Bolehkah membagikannya kepada orang Nasrani atau orang non-Muslim lainnya?” Beliau menjawab, “Aku belum pernah mendengarnya. Tetapi, aku lebih suka apabila tidak dibagikan kepada mereka sedikit pun.”

Dinukilkan juga dari Imam Malik bolehnya hal itu dilakukan pada hewan qurban. Sementara aqiqah dianalogikan padanya.

Saya tidak melihat adanya alasan dilarangnya memberi makan Ahlu Dzimmah dari hewan aqiqah. Terutama jika mereka miskin, tetangga atau masih memiliki hubungan kekerabatan.

Jumlah Hewan Aqiqah Anak Laki-Laki dan Perempuan

Jumlah Hewan Aqiqah Anak Laki-Laki dan Perempuan

Sunnah Aqiqah – Ada dua pendapat yang berbeda di kalangan para ulama dalam masalah jumlah hewan aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan.

  • Pendapat pertama

untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor. Ini adalah pendapat para ulama penganut mazhab Syaft’i, Hanbali, paham Zhahiriyah dan sebagian ulama penganut mazhab Maliki. Juga merupakan pendapat Ibnu Abbas, Aisyah, Ishaq, Abu Tsaur dan lain-lain.

Namun, penting bahwa para ulama penganut paham Zhahiriyah memandang bahwa dua ekor kambing untuk anak laki-laki ini hukumnya wajib. Jika seorang anak laki-laki aqiqahi dengan seekor kambing, maka itu sah. Juga merupakan pendapat asy-Syaukani yang bertolak-belakang dengan para ulama lainnya. Para ulama tersebut memandang bahwa yang lebih sempurna dan lebih baik adalah dua ekor kambing untuk anak laki-laki. Apabila tidak mampu, maka satu ekor cukup untuk anak laki-laki.

Imam an-Nawawi mengatakan, “Sunnahnya adalah dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. Apabila hanya satu ekor kambing untuk anak laki-laki, berarti dasar Sunnah sudah dilakukan.”

Hadis-hadis ini secara eksplisit menunjukkan adanya perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam aqiqah.

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim menjelaskan tentang perbedaan antara anak ki dengan anak perempuan ini. Beliau katakan, Ini adalah aturan hukum syariah. Allah Subhanahu wa Ta’ala membedakan antara laki-laki dengan perempuan dan menjadikan untuk perempuan setengah bagian laki-laki dalam masalah warisan, diyat, persaksian, memerdekakan budak dan aqiqah seperti yang oleh at-Tirmidzi riwayatkan dan mensahihkannya dari hadis Umamah dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Setiap Muslim yang dapat memerdekakan seorang budak laki-laki Muslim, niscaya budak tersebut akan menjadi pembebasnya dari api neraka. Setiap organ tubuhnya menjadi tebusan bagi setiap orang tubuhrnya, Setiap Muslim yang dapat memerdekakan dua orang budak wanita Muslimah, niscaya mereka berdua akan menjadi pembebasnya dari api neraka. lSetiap organ tubuh mereka berdua menjadi tebusan bagi setiap orang tubuhnya.

Dalam Musnad Imam Ahmad dari hadis Murrah bin Ka’ab as-Sulami dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,

Setiap orang yang dapat memerdekakan seorang budak laki-laki Muslim, niscaya budak tersebut akan menjadi pembebasnya dari api neraka; setiap organ tubuhnya menjadi tebusan bagi setiap organ tubuhnya. Wanita Muslim yang dapat memerdekakan seorang budak wanita Muslimah, niscaya budak tersebut akan menjadi pembebasnya dari api neraka; setiap organ tubuhnya menjadi tebusan bagi setiap organ tubuhnya.”

jumlah hewan aqiqah

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya. Perbedaan ini menjadi dasar pelaksanaan aqiqah seandainya tidak ada dalam Sunnah. Namun, justru banyak Sunnah shakih yang menetapkan adanya Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan preferensi kepada kaum laki-laki atas kaum perempuan seperti yang tercantum dalam firman-Nya,”

Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan” (Q.s. Ali’Imran [3]: 36).

Konsekuensi dari perbedaan ini adalah bahwa kaum laki-laki memiliki preferensi atas kaum perempuan di mata hukum. Syariat menegaskan perbedaan ini dengan menjadikan seorang laki-laki memiliki kedudukan yang sama dengan dua orang perempuan dalam persaksian, warisan dan diyat. Demikian halnya aqiqah ikut serta dalam hukum-hukum ini.

Setelah memibawakan sebagian hadis-hadis di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Hadis-hadis ini merupakan dasar argumentasi mayoritas ulama dalam membedakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Imam Malik berpendapat bahwa keduanya sama, sehingga aqiqahnya masing-masing satu ekor kambing. Dalilnya adalah hadis Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Saillam menyembelih domba aqiqah untuk Hasan dan Husain masing-masing satu ekor.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Tetapi, hadis ini tidak bisa menjadi sebagai dasar argumentasi. Karena, Abusy Syaikh meriwayatkannya dari jalur yang lain dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dengan lafal ‘Masing masing dua ekor’ Diriwayatkan juga dengan lafal tersebut dari jalur ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya. Kalaupun riwayat Abu Dawud di atas shahih dan menjadi dasar hukum, tetap tidak bisa dikatakan bertentangan dengan hadis-hadis yang menegaskan secara tekstual bahwa untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing. Maksimal, hadis ini menunjukkan bolehnya hanya menyembelih satu ekor kambing saja, dan memang demikian adanya. Jumlah kambing pada ritual aqiqah tidak menjadi syarat mutlak. Hanya sekadar anjuran.

Al-Hulaimi menyebutkan bahwa hikmah di balik alasan mengapa perempuan hanya aqiqah dengan jumlah kambing setengah dari kambing aqiqah laki-laki adalah karena dimaksudkan untuk retensi jiwa, sehingga menyerupai diyat. Ibnul Qayyim mendukung hal ini dengan hadis yang menyatakan bahwa orang yang memerdekakan seorang budak laki-laki berarti telah membebaskan seluruh organ tubuhnya sendiri dari api neraka. Demikian juga dengan orang yang memerdekakan dua orang budak perempuan, dan seterusnya. Maka, kemungkinan terbesarnya adalah bahwa jumlah itulah yang paling masuk akal untuk pelaksanaan aqiqah di masa itu.

Pendapat kedua: untuk anak laki-laki dan perempuan masing- masing satu ekor kambing. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Hadawiyah serta dinukilkan dari Ibnu Umar, Asma binti Abu Bakar, ‘Urwah Ibnu Zubair dan Abu Ja’far Muhammad bin Ali.

Imam Malik mengatakan, “Pendapat kami dalam masalah aqiqah; orang yang mengaqiqahi anaknya adalah dengan menyembelih masing-masing satu ekor kambing, baik untuk anak laki-laki maupun perempuan.”

  • Dalil-dalil pendapat kedua

Dasar argumentasi mereka adalah sebagai berikut:

  1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyembelih domba aqiqah untuk Hasan dan Husain masing-masing satu ekor.
  2. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan dua ekor domba (masing-masing satu ekor).”
  3. Oleh Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Buraidah berkata: “Aku mendengar bapakku (Buraidah radhiyallahu ‘anhu) berkata,”

Di zaman Jahiliyah, apabila salah seorang dari kami memperoleh anak, dia menyembelih seekor kambing lalu melumuri kepala anaknya dengan darah kambing tersebut. Setelah datangnya Islam, kami menyembelih kambing dan mencukur rambut si anak, lalu mengolesi kepalanya dengan minyak za’faran.”

Bagaimana Hukum Bagi yang Melaksanakan Aqiqah Kolektif?

Bagaimana Hukum Bagi yang Melaksanakan Aqiqah Kolektif?

Sunnah Aqiqah – Tujuh orang secara kolektif berpartisipasi dalam membeli seekor unta atau sapi untuk mengaqiqahi tujuh orang anak. Atau tujuh orang patungan, sebagiannya menginginkan daging dan sisanya ingin aqiqah dengan unta atau sapi. Bolehkah kolektivitas dalam pelaksanaan aqiqah?

Ada dua pendapat dalam masalah ini di kalangan para ulama.

Pendapat pertama: Boleh.

Ini adalah pendapat para ulama penganut mazhab Syafi’i. An-Nawawi mengatakan, “Apabila menyembelih seekor sapi atau unta untuk aqiqah tujuh orang anak, atau sekelompok orang secara kolektif berpartisipasi dalam membeli hewan tersebut, maka hal itu diperbolehkan, baik mereka semua bertujuan untuk aqiqah atau sebagiannya hanya menginginkan daging seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan mengenai hewan qurban.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ar-Rafi’i membawakan satu kajian yang kesimpulannya aqiqah boleh dibagi tujuh seperti qurban.”

Argumentasi para ulama penganut mazhab Syafi’i adalah analogi pada qurban dan hadyi yang kolektivitas tujuh orang pada unta atau sapi boleh. Dalam hadis dari Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Kami menyembelih bersama Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam di Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.”

at-Tirmidzi  meriwayatkan dengan komentar, “Hadis ini adalah hadis sahih hasan. Merupakan dasar amalan para ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan lain-lain.”

Pendapat kedua:

tidak boleh patungan untuk melaksanakan aqiqah. Apabila seseorang ingin melaksanakan aqiqah dengan sapi atau unta, dia hanya boleh melakukannya untuk seorang bayi saja. Ini adalah pendapat para ulama penganut mazhab Hanbali dan tegas secara tekstual oleh Imam Ahmad. Al-Khallal dalam kitab Jami’nya mengatakan: Bab hukum aqiqah dengan unta untuk tujuh orang; Telah menceritakan kepadaku Abdul Malik bin Abdul Hamid, bahwasanya dia berkata kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad), “Aqiqah dengan seekor unta.” Al-Laits mengatakan, “Aqiqah dengan seekor unta sudah dilaksanakan.” Aku katakan; “bolehkah aqiqah untuk tujuh orang sekaligus? Aku pernah mendengar tentang hal itu. Sepertinya beliau tidak memperbolehkan aqiqah secara kolektif untuk tujuh orang sekaligus.”

Para ulama penganut mazhab Hianbali memandang bahwa setiap satu ekor sapi atau unta hanya mewakili satu orang bayi saja. Tidak boleh satu ekor sapi atau satu ekor unta untuk tujuh orang bayi sekaligus. Al-Murdawi mengatakan, “Jika mengaqiqahi anak dengan unta atau sapi, tidak diperbolehkan kecuali dengan satu ekor hewan tersebut secara penuh.” Ini juga merupakan pendapat para ulama penganut mazhab Maliki sepanjang pengetahuan saya.

Alasan para ulama penganut mazhab Hanbali berargumentasi atas tidak diperbolehkannya hal itu adalah karena tidak ada dalil yang mendasarinya.

Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam komentarnya atas Musa al-Hajjawi al-Maqdisi mengatakan, “Hukumnya sama dengan hukum hewan qurban. Bedanya, aqiqah tidak boleh secara kolektif, seekor unta tidak boleh untuk dua orang. Seekor sapi tidak boleh untuk dua orang, apalagi untuk tiga, empat dan seterusnya. 

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, tidak ada dalil tentang kolektivitas dalam aqiqah. Sementara, ibadah dibangun di atas dasar dalil. Kedua, aqiqah adalah tebusan yang tidak mungkin terbagi-bagi. Aqiqah adalah tebusan untuk nyawa. Karena merupakan tebusan nyawa, maka juga harus dari sesuatu yang bernyawa. Tapi, tidak meragukan lagi bahwa alasan pertama lebih tepat. Sebab, kalau ada dalil bolehnya kolektivitas dalam aqiqah, tentunya alasan kedua gugur. Sehingga, dasar hukum masalah ini adalah tidak adanya dalil.”

Ibnul Qayyim mengemukakan alasan tidak diperbolehkannya kolektivitas dalam aqiqah dengan cukup terarah. Beliau katakan, Karena sembelihan ini memiliki kedudukan sebagai tebusan untuk si bayi, maka yang menjadi syariat adalah menumpahkan darah secara penuh agar benar-benar menjadi tebusan nyawa untuk nyawa. Juga kalau seandainya kolektifvtas tersebut boleh, tentu tujuan dari menumpahkan darah untuk anak tidak akan didapatkan. Sebab, penumpahan darah itu hanya berlaku untuk satu orang anak. 

Sementara, anak-anak yang lain hanya mendapatkan bagian berupa daging hewan sembelihan saja selama tujuannya menumpahkan darah untuk anak. Substansi inilah yang dia perhatikan ketika melarang kolektivitas dalam hewan qurban dan hadyi. Tetapi, Rasulullah Shallallhu ‘alayhi wa Sallam lebih tepat dan lebih layak untuk mengikutinya. Beliau mensyariatkan bolehnya kolektivitas pada hewan hadyi. Sedangkan untuk hewan aqiqah, beliau mensyariatkan dua ekor hewan tersendiri untuk satu orang anak laki-laki yang kedudukan kedua tersebut tidak bisa terganti oleh satu ekor unta atau sapi, Wallahua’lam. Demikianlah yang beliau ungkapkan. Seharusnya beliau katakan sepertujuh unta atau sepertujuh sapi.

Para ulama penganut mazhab Hanbali memandang bahwa hukum hewan aqiqah sama dengan hukum hewan qurban kecuali dalam masalah seperti yang oleh al-Murdawi katakan, “Ada pengecualian untuk hukum tersebut. Yaitu kolektivitas pada unta dan sapi hukumnya tidak sah.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Satu kepala hanya boleh mewakili satu kepala. Hal ini secara keseluruhan merupakan perbedaan antara aqiqah dengan qurban dan hadyi.”

aqiqah kolektif

Aqiqah untuk Anak Kembar

Jika seorang wanita melahirkan bayi kembar, bagaimana mengaqiqahinya?

Para ulama sepakat bahwa apabila ada dua orang anak yang lahir dari satu perut secara bersamaan, tidak bisa mewakilkan hanya dengan satu aqiqah. Harus melakukan dua aqiqah.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Al-Laits bin Sa’ad berbicara tentang seorang wanita yang melahirkan anak kembar, bahwa masing-masing harus aqiqah secara tersendiri. Abu Umar mengatakan, ‘Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan seluruh ahli fikih dalam masalah ini, Wallahu a’lam.

Al-Baji mengatakan, “Apabila seorang wanita melahirkan bayi kembar. Oleh Ibnu Habib dari Malik meriwayatkan bahwa masing-masing daqiqahi dengan seekor kambing.”

Imam an-Nawawi mengatakan, “Apabila seseorang mendapatkan anak kembar lalu muengaqiqahi mereka dengan satu ekor kambing, tidak menganggapnya sebagai aqiqah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Apabila ada anak kembar yang lahir dari satu perut, masing-masing dianjurkan untuk diaqiqahi secara tersendiri.”

Sunnah yang Dianjurkan dalam Akad Nikah: Khotbah dan Doa

Sunnah yang Dianjurkan dalam Akad Nikah: Khotbah dan Doa

Nikah – Dalam pernikahan ada anjuran untuk khotbah dan doa. Khotbah sebelum akad dan mendoakan setelah akad.

  • Hendaknya Suami Berkhotbah Sebelum Akad Nikah

Hal ini dimulai dengan tahmid dan bersyahadat, salawat atas Rasulullah saw., bersamaan dengan itu membaca ayat tentang perintah bertakwa dan menyebutkan maksudnya. Demi mengerjakan khutbah Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah mengaiarkan kepada kami (para sahabat) bertasyahud dalam shalat dan khutbah untuk kepentingan apa pun dengan membaca,’Segala puii bagi Allah, kami memujinya dan memohon pertolongan kepada-Nya.  Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa dan kejelekan amalan kami, barangsiapa yang mendapat hidayah dari Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa yang tersesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Saya bersaksi  bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Kemudian lbnu Mas’ud membaca tiga ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh SuSran at-Tsauri, yang artinya,

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama lslam.” (Q.S. Ali-Imran: 102).

Hai sekalian manusia, bertalarulah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya AIIah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwatalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubung an silafiirahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. an-Nisaa’: 1).

Hai orang-orang yang beriman, bertalarulah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benan Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu…” (Q.S. al-Ahzaab : 70-71).

Kemudian Ibnu Mas’ud mengatakan, waba’d (selanjutnya), Sesungguhnya Allah memerintakan menikah dan melarang berzina, Dia berfirman seraya memberi kabar dan memerintah, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba’hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan…” (Q.S. an-Nuur: 32) 

Dalam khutbah nikah juga dapat hanya dengan bertahmid, bertasyahud, dan salawat atas Nabi saw., sebagaimana dari Ibnu Umar meriwayatkan ketika ia mendapat undangan untuk menikahkan orang, ia berkata, “Segala puji bagi Allah dan shalawat kepada Sayyidina Muhammad, sesungguhnya si Fulan ini melamar si Fulanah kepada kalian, iika kalian menikahkannya maka puji syukur bagi Allah, namun jika kalian menolaknya maka Mahasuci Allah”

Yang menjadi anjuran khubtah satu kali saja, bukan dua kali khutbah; yang satu khutbah dari pelaksana akad dan yang lainnya dari calon suami sebelum diterima (akadnya). Itu karena riwayat dari Rasulullah saw. Generasi salaf adalah sekali saja, dan itu lebih utama untuk mengikutinya.

Kemudian seorang calon suami menjelaskan maksud dan tujuannya seperti berkata, “Kami sungguh-sungguh bermaksud untuk menjalin hubungan dengan kalian dan besanan dengan kalian, dan berkhidmat kepada kaliani” dan semisalnya. Lalu seorang wali meniawab, “Kami telah menerimamu dankamitelah meridhaimu meniadi bagian dari kamii’ dan semisalnya.

Jika pernikahan tanpa khutbah hukumnya boleh, karena khutbah nikah merupakan anjuran bukan kewaiiban. Sebagaimana oleh Sahal bin Sa’d as-Sa’idi meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda untuk orang yang mengkhitbah perempuan yang menawarkan dirinya untuk beliau nikahi,

Aku nikahkan kamu dengannya, dengan mahar hafalan Al-Qur’anmu.”

Setelah itu beliau tidak membacakan khutbah. Demikian juga oleh Abu Dawud meriwayatkan  dari seorang lelaki dari bani Sulaim. Dia berkata, Aku mengkhitbah Umamah binti Abdul Muththalib kepada Rasulullah saw. Lantas beliau menikahkanku tanpa membaca syahadat. Itu juga karena pernikahan merupakan akad mu’awadha (saling mengganti), maka tidak wajib melakukan khutbah, seperti halnya pada akad jual-beli.

  • Hendaknya Mendoakan Kedua Mempelai Setelah Akad Nikah

Hal ini jelas dalam hadits, 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi iika mendoakan seseorang ketika menikah, beliau berdoa, ‘semoga Allah mem’ berkahi kamu dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.’

Juga hendaknya memberi ucapan selama kepada kedua mempelai dengan perkataan seperti, “Diberkahi insyaallah, hari yang berkah” dan semisalnya.